Minggu, 06 Mei 2012

Terjebak! Dijebak atau Menjebak Diri Sendiri!


Terjebak!

Apa sih makna kata “terjebak” buat para pengunjung yang budiman?

Kekurung di lift yang tiba-tiba mati?

Kekunci di kamar mandi?

Dihukum gak boleh keluar kamar atau rumah?

Lantas kalau kita berada di suatu tempat mewah nan nyaman bergelimang fasilitas tapi kita tak senyaman tempat itu, bisa dikatakan terjebakah?

Kadang penulis heran, banyak hal, banyak sekali hal yang kadang bagi penulis menjebak penulis untuk berada di lingkungan yang kurang membuat penulis nyaman.  Okelah, kan kita tidak akan selamanya ada di zona nyaman kita, tapi kan untuk keluar dari zona itu pun tentu butuh proses.  Nah, isunya kemudian adalah seberapa cepat kemampuan kita untuk beradaptasi di lingkungan yang berada di luar zona nyaman kita tersebut? 

Atau pernahkan para pengunjung yang budiman merasa terjebak dengan ucapan kita sendiri?  Penulis sih…yaa kalau dikatakan sering tidak yakin juga, tapi pernahlah..seperti kejadian beberapa waktu lalu.  Maksud hati ingin menyampaikan A, eeh…malah menghasilkan informasi yang menyiratkan U, jadi menghasilkan keputusan Z.  Semakin menjebak bila keputusan Z yang diambil akibat informasi U sebagai hasil pencernaan dari pernyataan A tsb melibatkan orang lain.  kan, itu tadi maksud kita sebenarnya bukan begitu, tapi apa daya orang lain menginterpretasikan secara berbeda, dan akibatnya bukan hanya merugikan kita, pun orang lain.  Fenomena semacam ini nih bahkan lebih menjebak daripada sekedar “Super Trap”.

Hal lain yang membuat penulis merasa terjebak ialah ketika kita secara ajaib *baca: tidak sengaja* terperngkap dalam satu situasi yang malah membuat kita yang tadinya sama sekali berada di luar area justru terlibat dan bahkan menjadi salah satu komponen intinya.  Makin merasa terjebak ketika awal keterlibatan kita karena campur tangan seseorang yang di tengah jalan justru ia tidak berlanjut, sementara penulis sebagai yang awalnya follower malah terus berlanjut.  Dan sebalnya, kejadian model begini bukan sekali dua kali dialami penulis.

Entahlah, bahkan terkadang penulis ngerasa ini semua tidak adil.  Kenapa orang yang menyeret penulis masuk dalam “pusaran” justru begitu saja meninggalkan penulis di pertengahan, bahkan sebelum penulis bisa menyeimbangkan diri *baca: beradaptasi* untuk tetap bertahan di “pusaran” tersebut.  Dan, tak jarang penulis merasa seolah menjebak diri sendiri.  Artinya kurang lebih kenapa juga dari awal penulis merelakan diri untuk diseret ke “pusaran” yang entah seberapa ganasnya.  Penyesalan, ya ketika akhirnya perasaan terjebak itu muncul sebersit penyesalan senantiasa menyertainya.  Namun benar kata pepatah “menyesal kemudian tidaklah berguna”,  jadi ketika sudah merasa terjebak *karena penulis termasuk yang menyakini bahwa perasaan terjebak ini hanyalah persepsi kita, bukan sekonyong-konyong kenyataan* lantas apa kira-kira yang mesti kita lakukan?

Nothing but tries to face and enjoy it.  So simple, right? Is this that simple? No, not at all.  As I mentioned before, the key is how to adapt in those kinds of situation.  The problem is how fast we adapt. 
*bersambung…….*


Tidak ada komentar: