Rabu, 23 Januari 2013

Sang Pialang: Mahalnya Kepercayaan Orang Terdekat



Awal pekan lalu, penulis dibuat kaget dengan tweet-nya bang Vino GB tentang rilis film terbarunya yang ternyata dibintangi juga oleh Velove Vexia.  Padahal penulis tahunya film teranyar bang Vino yang bakal rilis itu ya ‘Madre’ yang entah kapan tanggal rilis pastinya.  Penasaran, akhirnya penulis pun mencari sinopsis dan melihat trailer-nya.  Aneh! Rasa penasaran yang menggebu malah jadi kelelep sampe palung terdalam *lebay*.  Tapi iya, begitu baca sinopsisnya penulis jadi teringat sama film-film sejenis Bila, SKUT, dan film-film lain yang bercerita tentang pesakitan, (inginnya) menguras air mata, dan pastinya berujung kematian salah satu tokohnya.  Jenis drama yang entah kenapa kurang menarik perhatian penulis.  Padahal secara poster—disamping faktor bang Vino-nya—film ini cukup menarik perhatian penulis lho dibanding satu film lain yang dijadwalkan rilis di tanggal yang sama, Sang  Pialang.  Secara poster, film besutan Asad sebenarnya kurang menarik bagi penulis, tapi pas liat yang mejeng di posternya tidak ada alasan untuk tidak menjadwalkan menonton film ini.  Dan, akhirnya tanpa ragu di premiere kedua film tersebut, akhirnya penulis dengan seorang teman akhirnya memilih menonton film pertamanya mas Abimana di tahun 2013 ini. 
***
 
"main saha itu rumusnya cuma dua: insting dan timing"
                                               "sebenernya SUJU itu wajib militer gak sih?"

Mahesa (Abimana) adalah seorang broker di Barata Sekuritas, perusahaan pimpinan Rendra (Pierre Gruno) yang sekaligus ayah dari rekan sekaligus sahabatnya, Kevin (Christian Sugiono).  Meski bersahabat karakter mereka cenderung bertolak belakang: Mahesa yang lurus nan konservatif; Kevin ambisius di tengah kemodernannya.  Tiga orang alinnya menggenapi lingkaran persahabatan mereka: (Mario Irwinsyah), (Alblen), dan satu-satunya perempuan Analea (Kamidia Radisti).  Kelimanya bergerak di bidang yang serupa tapi tak sama (yang jelas gaji yang mereka dapet per bulannya nampak bejibun ya dari gambaran ngelunch di restoran-nongkrong di cafe mulu-rutin clubbing-belanja merk).  Bahkan Analea terlibat cinta segitiga dengan Mahesa dan Kevin.

Prestasi Mahesa yang menuai pujian dari bosnya yang tak lain ayah Kevin, menanamkan rasa iri pada diri sahabatnya itu.  Belum lagi perihal Analea yang sering kali begitu jelas memberikan kode pada Mahesa yang malah terlalu naif untuk menyadarinya.  Makanya Kevin sampai rela menghalalkan segala cara untuk mengangkat posisinya di mata rekan-koleganya, dan terutama sang ayah.  Bahkan Analea yang sudah lelah meksimal dengan ketidakpekaan seorang Mahesa rela diresmikan sebagai sepasang kekasih dengan Kevin.  Dan, ya, dalam tempo sebentar saja ia sudah bisa membeli jam tangan baru, menghadiahi tas ternama untuk Analea, hingga promosi jabatan, yang sayangnya diraih dengan cara yang kurang bersih tadi.

Sementara itu, posisi Mahesa yang sedang agak menurun menyebabkannya kehilangan seorang bawahan yang beralih ke kevin.  Belum lagi sang ayah masuk rumah sakit setelah mendengar kalau nilai saham yang dibelinya anjlok terus menerus.  Maklum saja, butuh waktu lama bagi Mahesa untuk meyakinkan sang ayah agar mau menginvestasikan uangnya di bursa saham, ketimbang di bisnis jual-beli tanah sebagaimana kebiasaanya.  Keluarga Mahesa, terutama ayahnya, yang digambarkan sebagai muslim taat memang meragukan kehalalan bisnis saham yang dianggapnya menyerupai judi.  Dan dalam hal ini Mahesa yang di kantor merupakan seorang broker ulung pun sering kali tak bisa berkutik.

Ternyata api akan selalu menimbulkan asap, itulah yang terjadi pada Kevin.  Ia kelabakan saat salah seorang nasabahnya ingin menarik seluruh uang yang memang merupakan hakknya.  Ia berada di masa kritis.  Apalagi hubungannya dengan Mahesa tengah bermasalah sejak ayah sahabatnya tersebut masuk rumah sakit.  Pun dengan Analea yang kecewa berat setelah mendapati Kevin mencuri data milik perusahaanya. Melapor apalagi mengadu pada ayahnya pun hanya akan merusak kepercayaan yang sudah diidam-idamkannya sejak lama itu.  Sementara itu, Pak (Ferry Salim) terus mendesak supaya uangnya segera dicairkan... Apakah Kevin mampu mengatasi masalah ini sendirian?  Apakah Mahesa, Analea, dan dua sahabatnya yang lain akan membantunya? Bagaimana reaksi ayah Kevin? Saksikan akhir kisah empat sekawan ini hanya di bioskop terdekat kesayangan Anda. Yuk nonton sana yang penasaran. ;D


***
Filmnya asik sih, seger gitu liat tampilan fresh nan trendy para tokohnya sebagai para eksekuti muda yang bergelimang gaji pula.  Asik pula liat tempat kongkownya macam restoran dan kafe yang cozy nan ekslusif.  Pusing juga dijejali kerlap kerlip lampu diskotik di beberapa scene. Tapi disegerin lagi matanya oleh tongkrongan para tokoh yang so pasti berjenis mewah.  Rumah Kevin, apartemennya...semua bikin mata ngiler!  Iya bikin ngiler, iya bikn, ngiri, tapi juga bikin mikir: buset dah ini gajinya sebulan pada berapa ya.  Menggiurkan! 

Film Sang Pialang ini sesuai judulnya mau mengangkat tema tentang bisnis saham yang menggiurkan di satu sisi, tapi penuh resiko di sisi lain. Penulis sebagai penonton awam seenggaknya jadi tahu oh gitu toh yang namanya bursa saham.  Cuma kalau ditanya ngerti enggak? Jawabannya absolutely enggak.  Penulis cuma tahu (bukan ngerti) kalau main saham itu rumusnya Cuma dua: insting sama timing.  Beli saham perusahaan yang serba positif review-nya, kalau harga lagi terjun jangan panik, sabar, tahan dulu aja sahamnya, tunggu sampai naik lagi baru dijual.  Dan satu lagi: jangan main-main dengan dana nasabah kalau gak mau senasib sama Kevin! Hii.  That’s all, no more.

Di luar persahaman yang penulis dapet dari film ini adalah tentang mahalnya kepercayaan dari orang terdekat.  Sebagaimana menimpa tokoh Mahesa dan kevin.  Jika Mahesa digambarkan susah minta ampun meyakinkan ayahnya tentang prospek pekerjaan di dunia saham dan sejumlah keuntungan bersaham ria, maka Kevin kesulitan mendapat kepercayaan sebagai broker unggulan dari ayahnya.  Disamping itu tokoh Mahesa hadir sebagai sosok wise yang berusaha mengedepankan kejujuran di tegah arus pekerjaan yang tidak menentu. Kevin sendiri bukan murni antagonis, hanya caranya merebut simpati sang ayah yang membuat ia menghalalkan segala cara.  Memnag di situlah dilemanya, pendekatan pada keluarga yang notabene lingkungan terdekat kita, justru pada prakteknya menjadi bagian tersulit. Sepakat. 

Konflik asmara antara Kevin-Analea-Mahesa mampu  memberi warna tersendiri beserta tingkah memancing tawa dari dua sahabat mereka yang lain.  Bertebarannya #kode dari Analea untuk Mahesa di sepanjang film salah satu yang bikin penulis mesem-mesem sendiri.  Ada ya sosk setiis Mahesa.  Ketidakpekaan maksimal.  Tapi ya di sisi lain mungkin memang Mahesa diciptakan sebagai tipe lelaki yang tidak suka mengumbarkan keromantisannya.  Untung, satu adegan di penghunjung film bisa jadi penebus semua ketidakpekaan Mahesa di sepanjang durasi sebelumnya. 

Jujur aja pas nonton film ini, konsentrasi penulis sedang tidak penuh.  Ada lah sesuatu hal yang menganggu keasyikan menonton penulis.  Tapi tenang saja, itu semua bukan berasal dari dalam film ini, tapi faktor eksternal kok.  Chemistry kedua tokoh utamanya, plus satu tokoh pemanis, dan dua tokoh pelengkap bagi penulis terbangun manis.  Dan kalau ditanya tokoh favorit dan scene favorit iyu pokonya yang meilbatkan dua sejoli sahabat Mahesa lainnya.  Kehadiran tokoh lain sebagai penopang cerita juga menurut penulis pada porsinya kecuali kemunculan beberapa tokoh cameo yang sambil lalu saja.   

Secara keseluruhan, yap, film ini sangat bisa dinikmati.  Hey, ini Indonesia bung.  Mau tema apapun, tetep unsur dramanya nomor satu.   Tapi paling gak ini bukan drama pengumbar air mata.  Yang ada malah mata kita dimanjain sama yang bling bling.  Selamat menikmati film-nya. :D


Sabtu, 19 Januari 2013

Pesan Bahagia Pembawa 'Kepiluan'


Siang menjelang sore tadi mendapat satu pesan singkat dari sebuah nomor asing yang isinya:

Dia     : Hai Feb, apa kabar? Ini Siti (nama samaran, red). Gimana skripsinya udah sampai mana? Ada di rumah hari apa aja
(kalau udah nanya ada di rumah kapan aja berarti mau ngasihin sesuatu yang penting secara langsung.  Nah justru kalimat ketiga atau pertanyaan keduanya yang ukup menohok tentang skripsi.  Eh tapi dalam hal ini pertanyaan ini sebenernya cuma semacam penyedap yang dijawab atau tidak pun tak masalah)

Saya   : Alhamdulillah baik. Baru mulai bimbingan..hehe. Di rumahnya tergantung, bisa hari apa aja ada. Hehe..kenapa mau ngasih undangan ya?
(saya langsung tembak aja sih ke maksud nanya jadwal keeradaan saya di rumahnya, soalnya udah lama gak ada kontak dan tiba-tiba ngajak ketemu ya apalagi kalau bukan terkait kartu undangan—info terakhir ya doi memang berenana berkeluarga di tahun ini)

Dia     : Kok tau? Hehe..Iya nih insya Allah walimahan-nya nanti tanggal 2 Februari.
(tuh kan…exactly accurate! Udah ketebak sih maksud dari sms doi kesana..dan ya congratulation!)

Setelahnya masih berlanjut sms-an tentang jadwal janjian yang dipindah ke masjid dekat almamater kami dulu.  Masjid bersejatrah sih itu.  Tempat kami janjian kalau mau kemana-mana bareng.  Eh ada satu sms lagi deh yang cukup menarik setelahnya, yaitu tentang calonnya.  Mastiin aja dsih iya sama yang waktu itu atau…kan jodoh itu who-knows-yaa ;p.

Saya   : Wh..sama yang waktu itu kan?
Dia     : Iya, sama yang waktu itu.
(Syukurlah………………)
***
Saya dan teman saya ini dulunya karib semasa masih bersergam putih abu.  Kami sama-sama tergabung dalam satu organisasi di sana.  Bahkan sebenarnya kami  sudah bersama-sama sejak masih berseragam putih-biru, sekelas malah, tiga tahun pula.  Tapi, saat itu kami tidak begitu akrab walaupun dia adalah sohib saya shalat bareng semasa duduk di kelas satu (kan kelas satu sekolah siang jadi shalat dzuhur+ashar nya di sekolah). Nah, baru deh memasuki masa putih-abu, walaupun gak sekelas, kami justru malah jadi akrab.  Saya, dia, dan tiga teman lainnya pada akhirnya mampu bertahan di organisasi yang kami ikuti hingga akhir.  Awalnya sih bejibun, Cuma biasa seleksi alam terjadi pada teman-teman kami lainnya sehingga hanya menyisakan kami berlima perempuan dan seorang lelaki.  Meski begitu, namun toh hikmahnya kami jadi akrab satu sama lain. 

Selepas kelulusan, kami mengambil jalan masing-masing.  Empat orang dari kami, termasuk saya, melanjutkan studi ke perguruan tinggi.  Sementara seorang lainnya lebih memilih bekerja.  Namun, nasib saya ternyata tidak seberuntung ketiga kawan saya yang lain karena saya terpaksa menunda studi saya selama setahun setelah tidak lolos ke jurusan manapun saat mengikuti SPMB.  Ya, akhirnya saya terpaksa turun jabatan sebagai ‘junior’ nya karib-karib saya.  Walaupun tidak kuliah saya pun tidak bekerja, hanya mengambil bimbel dan meneruskan kursus bahasa.  

Di tahun kedua setelah kelulusan kami, teman saya yang bekerja itu ternyata mendahului kami untuk naik pangkat sebagai istri.  Ia dipersunting oleh seseorang yang saya sendiri kurang paham jelas pertalian awal keduanya (lewat mana atau siapa dipertemukannya karena ia agak pelit bercerita).  Jadi, kami (yang masih berstatus lajang) tinggal berempat.  Dan, tahun lalu (lupa tepatnya kapan) seorang lagi dari kami menyusul si teman yang bekerja tadi.  Tinggalah kami bertiga.  Sampai akhirnya…pesan singkat tadi jadi semacam sinyal kalau kini, saya dan seorang teman lainnya, akan resmi menjadi minoritas di antara kami berlima.  Ya, kami akan tinggal hanya berdua yang status nya masih sama-sama aja: lajang.

Dan itu sih sebenernya yang mengiringi kebahagiaan saya untuk sang teman yang mengirimi pesan singkat itu tadi.  Bukan suatau ketakutan ataupun sesuatu yang menakutkan memang.  Hanya saja ada semaam perasaan “Yah…ditinggalin lagi deh”.  Yakan namanya sudah berkeluarga mah sedikit banyak ada perbedaan.  Makanya, setelah beres berbalas pesan dengn sang teman yang calon manten, saya segera menghubungi satu-satunya teman saya yang sejauh ini masih akan setia menemani saya dalam keminoritasan kami.  Ya, begini sih jawabannya ketika saya meminta kepastian bahwa ia tdak akan tega membiarkan saya menjadi minoritas seorang diri:

Dia     : Tenang, iya ditemenin kok (sambil nunggu)
(Hyaaaa…yang dalam kurungnya itu loh mengisyaratkan bahwa saat ini mungkin tidak, tapi akan dalam waktu-yang saya-rasa-tidak-akan-terlalu-jauh)

Ya, bisa dikatakan mungkin ini sejenis kegalauan penulis yang ‘ditinggalkan’ satu demi satu oleh teman-teman karib penulis semasa berseragam putih abu.  Tentu ada semacam kesedihan karena bagaimanapun nantinya setelah resmi, intensitas pertemuan kami akan berkurang.  Ya sedih juga mendapati nasib bahwa jreng jreng saya alamat menjadi penutup perubahan status kami.  Kan, dulu, semasa masih pada hijau kami sempat beberapa kali membahas masalah siapa-ganti status-duluan.  Bercandaan sih, tapi di setiap resepsinya kami selalu berkelakar “hayo..siapa lagi habis ini?” “terus siapa lagi?” “Habis itu?”.  Bahkan pernah sekali waktu dengan konyolnya kita saling lempar-lemparan untuk jadi yang terakhir berganti status.  Nah, ketika teman ketiga sudah pasti pergantian statusnya, kami kan berlima, so kemungkinan untuk menjadi yang terakhir itu ya peluangnya 50/50.  Itu sih yang bikin “oh…no!” alesannya? Ya itu loh kadung sama-sama ogah jadi yang terakhir! Hehe.

Hemm..sebenernya saya sih sudah gak begitu peduli mau terakhir, mau sebelum terakhir, karena pada akhirnya kembali pada jodoh-siapa-yang-tahu.  Ya siapapun nanti mau saya dulu mau teman saya dulu yang jelas kami selalu saling mendo’akan yang terbaik tentunya bagi kami semua.  Semoga teman yang akan merubah status lajang dari mayoritas menjadi minoritas ini dilanarkan prosesi pernikahannya, dan setelahnya bisa menjadi keluarga sakinah dengan mawwadah warahmah.  Dan semoga kami berdua pun bisa segera menggenapi status mereka supaya tidak ada lagi minoritas di antara kami.  :)

Rabu, 16 Januari 2013

Gending Sriwija: Aksi Kolosal di Awal 2013


“tidak selamanya adat menjawab kebutuhan” Dapunta Hyang

“masalah perampok, masa ya harus dibereskan oleh angkatan perang?” Sri Ratu

Alkisah di suatu Kedatukaan di ranah Sumatera Selatan memimpin seorang Raja bernama Dapunta Hyang (Slamet Rahardjo) yang beristrikan Sri Ratu (Jajang C. Noer) dan memiliki dua orang putra bernama Awang Kencana dan Purnama Kelana.  Kepemimpinan Dapunta Hyang tengah diuji dengan merajalelanya praktek korupsi dan pejabat yang juga korup.  Belum lagi masalah pemberontakan dan perampokan oleh komplotan pimpinan Ki Goblek (Mathis Mutchus), semakin merunyamkan suasana di kedatukan Bukit Jurai.  

Dapunta Hyang yang sudah berusia lanjut hendak menyerahkan tahta kedatukan Bukit Jurai pada lanang-nya (anak lelaki-red).  Sesuai adat, sudah semestinya tampuk kerajaan jatuh ke tangan Awang Kencana (Agus Kuncoro) sebagai anak lelaki tertua.  Adapun Purnama Kelana (Syahrul Gunawan) sebagai anak kedua seara otomatis menadampingi Awang sebagai patih.  Sayangnya semua menjadi runyam tatkala sang ayah ragu untuk memberikan restu pada sang lanang tertua, ia justru lebih merestui lanang bungsunya sebagai calon pewaris tahta.  Hal yang tentu saja ditolak keras oleh Awang dan juga Sri Ratu. 

Sebagai seorang ayah ia sangat mengenal perangai kedua lanangnya yang sangat bertolak belakang.  Jika Awang Kencana lebih berjiwa pendekar, maka Purnama Kelana lebih berjiwa cendekiawan.  Saat Awang memilih mendalami ilmu bela diri, Purnama justru memilih menuntut ilmu bahkan hingga ke negeri Cina.  Di mata sang ayah, calon penerusnya mestilah dari kalangan cendekiawan, bukan pendekar yang cenderung lebih mengutamakan otot dibanding otak. 

Belum usai polemik mengenai restu sebagai raja, Dapunta Hyang tak lama kemudian justru ditemukan terbunuh.  Purnama menjadi tersangka utama setelah kalung pemberian Dawangi, sahabat sekaligus wnita yang mencintainya, miliknya ditemukan di dekat jenazah sang ayah.  Ia pun dijebloskan ke dalam penjara.   Namun berkat bantuan dari sahabatnya dari Cina dan tabib istana, ia pun akhirnya mampu melarikan diri.  Di tengah pelariannya, ia terkena busur panah pengawal yang membuntutinya atas perintah Awang yang menyadari konspirasi pelarian sang adik.  Beruntung, ia hanya terluka oleh busur panah dan diselamatkan oleh Malini (Julia Perez), yang ternyata putri Ki Goblek.  

Sementara itu, Sang Ratu mengambil alih kepemimpnan sementara Kedatukan Rawa Jurai hingga 100 hari ke depan.  Setelahnya, akhirnya Awang lah yang memimpin kerajaan sebagai satu-satunya lanang Dapunta Hyang yang masih hidup (Purnama dianggap sudah wafat-red).  Bahkan ia pun meminang Dawangi untuk menjadi permaisurinya.  Dalam kepemimpinannya ia mengedepankan kekuatan fisik dan mulai memasok senjata api dari Cina.  Ia mulai tertarik pada senjata api setelah senjata tersebut membutakan salah satu matanya.  Ya, dalam sebuah penyerangan oleh kelompok pimpinan ki Goblek, ia dilumpuhkan oleh sebuah tmbakan yang menembus salah satu matanya.  Sejak itu pulalah dendamnya pada gerombolan ki Goblek makin membara.

Ki Goblek sendiri masih akan meneruskan usaha-usahanya untuk menjatuhkan rezim kedatukan Bukit Jurai, yang penguasanya dianggap tidak beus mengurus rakyat, serakah. Makanya saat tahu bahwa orang yang ditolong putrinya adalah salah satu putra mahkota kerajaan, ia beserta komplotannya hendak menghakimi kalau saja Purnama tidak menjelaskan bahwa ia pun berada di pihak yang besebrangan dengan Awang, kakaknya.  Disana, ia yang tak diauhkan berkarib dengan Bian, adik Malini, yang diarahkan menjadi seorang terpelajar seperti dirinya.  Kecerdasannya dalam bersiasat pun akhirnya mulai diakomodir oleh kelompok ki Goblek.  Bahkan hubungannya dengan Malini pun makin hari makin mencair.  Sayang sebuah penghianatan menghancurkan segalanya …..

Siapakah sang pengkhianat yang sebenarnya? Apa mungkin Purnama Kelna terlibat di dalamnya?  Bagaimana nasib Kedatukan Raja Jurai di bawah kekuasaan Awang Kelana? Bagaimana pula nasib Sri Ratu, Dawangi, dan Malini?  Apa sebenarnya Gending Sriwijaya? Kalau penasaran silakan segera kunjungi bioskop terdekat kesayangan para pengunjung yang budiman.  Buruan lho, keburu turun layar!  Soalnya penulis pun kelewatan menyaksikan “Demi Ucok” padahal cuma baru berlayar seminggu doang di studio-studio di kota penulis ini *curcol*.




~~~
Well, nonton film ini sebenernya penasaran dengan pemilihan cast-nya terutama Julia Perez yang biasanya main di film yang you-know-how sama Sharul Gunawan yang bahkan ini kali pertama penulis liat aksinya di layar emas.  Kalau untuk Agus Kuncoro sendiri ya sudah tidak asing sih apalagi di film-film besutannya mas Hanung (ini pula yang bikin penasaran).  Tapi, kiprahnya sebagai pemeran utama seingat penulis sih baru di sini ya, kan doi lebih banyak main sebagai pemeran pendukung.  

Adapun cast lainnya macam Slamet Rahardjo, Jajang C. Noer, Early Ashi, Teuku Rifnu Wikana, Yatty Surachman, dll sih ya udah sering penulis nikmati juga ya di banyak film lokal yang penulis tonton dalam beberapa tahun ini.  Dan ya, penulis sih gak kecewa dengan penampilan para cast.  Jupe ya mau-mau nya tampil dekil dengan gigi roges plus dipukul tendang pula sama lawan mainnya.  Sahrul Gunawan...hem, bagian perut yang membesar ya dibiarkan begitu saja secara memang karakternya digambarkan sosok terpelajar, bukan pendekar.  Agus Kuncoro, berhasil bikin penulis keki sama karakter Awang yang dimainkannya.

Ada sejumlah pesan moral yang dimunculkan film ini sepenangkapan penulis yang penikmat (bukan pengamat ya) film ini.  Semuanya diejawantahkan melalui sejumlah konflik yang muncul di sepanjang film berdurasi dua jam lebih ini (tumben ya durasi film lokal panjang beud).  Mulai dari konflik internal keluarga mengenai kecemburuan kakak-beradik hingga maraknya praktek korupsi di kalangan pejabat pemerintahan Kedatukan Raja Jurai sebagai konflik terbesar.  Belum lagi konflik asmara yang melibatkan Awang-Dawangi-Purnama-Malini.  Ada lagi konflik tentang pengkhianatan dan kesetiaan.  Dan ya semuanya mendapat porsinya masing-masing dengan latar belakang yang sama-sama jelasnya (bagi penulis).   

Menariknya lagi melihat sejumlah pertentangan dari karakter tokoh-tokohnya.  Awang yang cenderung berjiwa pendekar, sementara Purnama lebih berjiwa cendekiawan.  Jika Dapunta lebih bersifat terbuka terhadap tradisi, sebaliknya Sri Ratu masih sangat memegang teguh tradisi.  Meski demikian Sri Ratu digambarkan sebagai seorang yang teguh dalam memegang prinsip.  Bagaimana ketika ia harus menjebloksan anaknya sendiri ke penjara, kekekeuhnya mendukung Awang sebagi anak tertua untuk mengisi posisi raja sesuai adat.  Namun, di sisi lain, ia pun orang pertama yang menentang rencana pemberantasan para perampok dengan melibatkan pasukan perang yang dianggapnya terlalu berlebihan.  Pun dengn tokoh-tokoh wanita lainnya yang digambarkan memiliki keteguhan hati macam Malini, Nyi Goblek, hingga Dawangi yang masih kukuh mempercayai bahwa Purnama tidak bersalah.  

Sejujurnya penulis ini bukan penggemar genre kolosal ataupun action, tapi sekalipun begitu toh penulis yang pecinta drama sejati ini bisa menikmati film ini.  Meski agak aneh, tapi kehadiran scene animasi-nya juga cukup mencuri perhatian (kebayang sih kalau adegan ngaben, membalsem dibuat real sesusah apa).  Sebenarnya ending-nya juga cukup ketebak, tapi ya proses menuju endingnya paling tidak gak sampe bikin penulis terkantuk-kantuk (kayak ada tuh film yang rillis 1-2 bulan ke belakang) walaupun durasinya terhitung panjang.  Duet Syahrul Gunawan-Jupe yang awalnya sempet penulis ragukan juga ternyata berhasil tampil dengan chemistry yang baik.  Kalaupun ada yang agak menganggu ya itu sih kostumnya Sri Ratu yang agak aneh aja ya di beberapa sceneOverall, ini adalah film pembuka yang menyenangkan dan sama sekali tidak mengecewakan bagi penulis. Bravo Mas Hanung dan tim! Jaya terus perfilman Indonesia. :)

Selasa, 08 Januari 2013

Hello 2013: To start with a bit sweet memory in the past



Love You Kamu ~ Blink
 
 Menyesal , Kesal
Gak Bilang , Sayang
CINTA , Kamu
Padahal aku suka

Sayang
Andai tak ragu ungkap
CINTA kamu
Padahal aku suka

Ingin kembali
Ingat kisah kita
Saling pandang
Tak mampu ungkap kata
Cuma hati yang bergetar
Antara kita berdua tak tahu
Kita saling suka

Love you kamu itu dulu
Love you kamu angin semu
Love you kamu masa lalu
Love you kamu tunggu dulu

Love you kamu cuma rindu
Love you kamu tak menentu
Love you kamu jadi sendu
Love you kamu dududu...

Love you kamu itu dulu
Love you kamu angin semu
Love you kamu masa lalu
Love you kamu dudududu...

dudududu...
Love you kamu dududu...

***
Itu lirik lagu milik Girl Band Blink sekaligus soundtrack season 2 sinetron yang mereka bintangi.  Pertama denger belum begitu ngeh ya sama lagu-nya, tapi setelah denger berulang kali (maklum penonton setia sinetnya hihi) baru mulai ngeh.  Apalagi pas udah ngeh sama lirik-nya, langsung deh jatuh hati.  Kenapa? Soalnya liriknya itu ‘gue banget’! Standar sih, tapi kalau itu kenyataannya gimana dong.  Bukan lagi dialami sekarang sih, tapi dulu, di masa muda (*laah).  Bukan untuk mengungkit masa lalu, sekedar mengenang momen lucu-lucuan saja.  So, yes, ini 2013, saatnya move on dari segala apa pun yang bisa menghambat langkah kita ke depan.  Tapi ya gak semua memori di masa lalu itu harus dilupakan toh, tanpa masa lalu tidak mungkin ada hari ini.  Kenang lah yang baik-baiknya, apalagi yang positif, mesti dijadikan motivasi.  Semoga setiap harinya kita bisa terus menjadi insan yang lebih dan lebih baik lagi. Aa,miin. :)