Senin, 07 November 2011

SEMESTA MENDUKUNG "MESTAKUNG"

Trailer
 
Adalah Arief (Sayev Muhammad Billah), seorang pelajar SMP asal Madura terendus memiliki bakat khusus di bidang Sains oleh ibu gurunya, Bu Tari (Revalina S. Temat).   Arief tinggal bersama ayahnya (Lukman Sardi) yang bekerja sebagai supir truk, sementara ibunya Salamah (Helmalia Putri) sudah tujuh tahun ini merantau ke Singapura sebagai TKW.  Sehari-hari, demi membantu bapaknya mencari penghasilan Arief bekerja paruh waktu di bengkel dekat pasar sepulang sekolah.

Suatu hari, bu Tari menawarinya mengikuti olimpiade sains.  Arief menolak dengan alasan nanti ia tidak bisa bekerja: Arief lebih memilih bekerja ketimbang mengikuti olimpiade sains!  Namun, bu Tari pun Tidak Menyerah begitu saja.  Ia mengiming-imingi Arief dengan beasiswa yang mebuatnya tak perlu bekerja lagi.  Arief, yang awalnya bergeming pun, akhirnya menyerah juga pada ajakan sang guru.  Bahkan ia pun ditawari bergabung dengan FUSI, lembaga Science yang dikelola oleh dua rekan Tari asal JakartaPak Tio dan Mbak Desi (Ferry Salim dan Feby Febiola) yang senantiasa menggojlok mereka yang berbakat di bidang science untuk disertakan dalam Olimpiade Science Dunia.  Arief, seperti halnya dulu, masih saja menolak ajakan itu, namun setelah mencuri dengar percakapan antara bu Tari dan Pak Tio yang menyinggung-nyinggung Singapura—tempat Salamah, ibunda Arief bekerja—ia pun segera berubah fikiran.  Dengan berbekal bakat dan restu serta dukungan orang-orang sekitarnya—termasuk sang Ayah yang awalnya sempat tidak mengizinkan—ia pun “hijrah” ke Jakarta bersama Pak Tio.

Di Jakarta ia telah “ditunggu” rekan-rekan sesama pecinta dan ahli science lainnya.  Disana, ia mesti bersaing dengan mereka yang rata-rata merupakan siswa sekolah menengah atas sehingga ia sempat merasa minder.  Malah ia pun sempat berniat kabur setelah nilainya tak kunjung membaik dan posisinya tak kunjung beranjak dari posisi buncit.  Apalagi, ia pun mendapat “serangan” psikis dari Bima (Rangga Aditya) cs, bintang di FUSI.  Nemun, beruntung ia dikelilingi orang-orang yang peduli dan baik hati padanya seperti Thamrin, Cak Kumis, Jessica, dan Clara yang membuat ia mengurunkan niatnya.  Thamrin (Angga Putra-ALNI) merupakan orang Betawi asli yang setia kawan dan bergabung di FUSI karena mengincar beasiswnya.  Cak Kumis (Indro WARKOP) ialah pedagang ketoprak yang berjualan di sekitar asrama FUSI dan sama-sama bersal dari Madura.  Anna (Omega Rossye), salah seorang anggota FUSI asal Indonesia Timur, serta Clara (Dinda Hauw—Surat Kecil Untuk Tuhan) yang tak lain gadis yang diam-diam dikagumi—atau bahkan ditaksir Arief.

Mereka diasramakan dan selama itu pula mereka digecek pemahaman tentang Science nya.  dari puluhan anak, hanya enam saja yang nantinya berkesempan membawa nama harum Indonesia ke kancah Olimpiade Internasional sebagaimana yang selalu diingatkan oleh Pak Fusi.  Beliau berkali-kali mengingatkan para anggota FUSI untuk memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya hingga hari penentuan tiba.  Dan ketika hari itu pun tiba, enam orang termasuk Bima, Clara, Jessica, dan Thamrin sebagai orang keenam yang lolos bersama Cut Mutia (Sheina Abdat) dan Erwi (Rendy Ahmad) berhasil menyingkirkan “pesaing” mereka lainnya termasuk Arief.  Sempat kecewa, namun akhirnya terobati tatkala bu Desy (Febby) mengabarinya bahwa ialah yang dinilai paling berhak mendapat tiket tambahan ke Olimpiade.  Ia pun segera sujud syukur.  Kesempatan bertemu sang ibu pun kian nyata baginya.

Sesampainya di Singapura, Arief dengan ditemani Thamrin, bergegas memisahkan diri dari rombongan—yang sedang jalan-jalan menikmati suasana Singapura sebelum mulai berpusing-pusing ria keesokan harinya—guna mencari sang ibu.  Sayang, setelah seharian berkeliling hingga membuat penyakit asma Thamrin kambuh, pencarian mereka tak membuahkan hasil.  Alamat yang diberikan Cak Alul  (Sujiwo Tejo) ternyata sudah tidak valid.  Arief pun akhirnya memutuskan menyerah dan fokus pada pertandingan esok hari.

Keesokan harinya, hari “H”  yang ditunggu-tunggu pun tiba.  Semua peserta olimpiade dari berbagai negara telah siap mengerahkan kemampuan terbaiknya dalam menjawab dan memechakan soal demi membawa nama baik negara masing-masing.  Lomba yang dibagi ke dalam sesi  tes tulis dan praktek ini berlangsung menegangkan.  Di satu soal praktek mereka ditantang untuk menciptakan bunyi yang luar biasa (sekeras mungkin) dari seutas tali.  Arief, yang sempat kebingungan secara brilian mendapat ilham untuk melakukannya dengan sarung pemberian sang ayah yang secara sadis dikoyaknya (baca: digunting) yang kemudian ia atur sedimikian rupa hingga menghasilkan bunyi yang menabjubkan.  Tak dinyana, Arief pun dinyatakan sebagai peraih emas Olimpiade Sains Internasional tersebut.  Semua orang tanpa terkecuali bangga padanya, seorang anak dari katakanlah daerah yang cukup pelosok, namun mampu berprestasi secara internasional berkat dua orang: Salamah, ibunya, dan Tari, gurunya, seperti apa yang diucapkan Arief di awal perkenalannya di layar.  Itu saja? Tentu tidak, kesuksesan Arief tak lepas dari dukungan semesta sebagaimana judul film ini. 

Lalu, bagaimana nasib Salamah? Apakah Arief akan bertemu dengan ibuu yang selama ini dicari-carinya itu? Dan bu Tari, apakah ia masih bersemangat mencari Arief-Arief lainnya?  Pun ayahnya Arief , apa kabar beliau?  Jika penasaran, silakan tonton sendiri saja yaa.. :D

**my own review**
Sejak awal membaca ulasannya di surat kabar lokal dan menyaksikan cuplikannya di sebuah acara berita ditambah berkali-kali menykasikan trailernya di Youtube, serta berikut memutar-mutar video klip Ost. “Mestakung” yang dibawakan oleh Golliath, penulis sudah penasaran sekali dengan film ini.  Jajaran pemain serta jalan ceritanya membuat penulis makin penasaran.  Begitu tau jadwal taywanangnya, penulis (seperti biasa) bergerilya mengajak (lebih tepatnya) membujuk kawan-kawan penulis.  

Reaksinya? Beragam!  Ada yang hanya sekedar “oh, ya”, atau “film apaan itu teh?”, sampai yang apatis sekalipun “idiih apaan sih, film Indonesia, ogah!”.  Begitulah, banyak di antara kawan-kawan penulis yang masih enggan menonton film Indonesia, jangankan menonton ya baru disebut judulnya saja sudah pada begidig entah geli atau apa.  Yah, mereka cenderung menstereotipekan dan kemudian mengeneralisasi film Indonesia, padahal gak semua film Indonesia itu gak layak tonton kan, gak semua film Indonesia itu cuma obral anggota tubuh, dan gak semua film Indonesia itu kayak yang mereka (yang kumengaku anti film Indonesia) fikirkan.  Hey, come on guys, Indonesia also has GOOD MOVIE to watch.

Dan, “Mestakung” ini adalah salah satunya.  Dalam “Mestakung” tokoh Arief yang memang diangkat dari kisah nyata seorang juara Olimpiade Fisika asal Madura dihadirkan sebagai satu tokoh yang memotivasi penonton bahwa ketika semesta mendukung, kita bisa mewujudkan impian dan cita-cita kita.  

Secara keseluruhan film ini memang layak tonton, terutama bagi mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan.  Namun, ada beberapa hal yang membuat penulis kurang nyaman saat menonton film ini.  Bagi penulis, kisah Arief di Madura hingga kahirnya sampai di Jakarta terlalu lama dan bertele-tele (hampir menghabiskan waktu satu jam) ditambah lagi kebanyakan adegannya beratmosfer serius sehingga sangat berpotensi  membuat bosan penonton, termasuk penulis.  Malahn ya penulis sampai hampir tertidur saking terjebak dalam alur yang lambat dan panjang serta sepi sisipan dialog atau adegan yang mengundang tawa(heu, mungkin juga faktor capek kali ya soalnya sebelumnya abis  nganter temen cari-cari sepatu dulu).  Nah, baru deh pas Arief pindah ke Jakarta untuk bergabung dan tinggal di Asrama FUSI bersama siswa yang berprestasi di Sains lainnya, tempo cerita mulai mengingkat.
Kehadiran tokoh Thamrin jadi daya tarik sendiri bagi penulis.  Ia, bagi penulis, membuat cerita jadi lebih hidup.  Karakternya yang jenaka sering kali memancing tawa penonton.  Bukan, bukan dengan adegan slapstick, tapi melalui dialog dan mimik wajahnya.  Tanpanya, “Mestakung” akan sepi.  Pokonya, karakter favorit penulis di film ““Mestakung”” ini ya Thamrin.  Selain Thamrin, tokoh yang juga rada mencuri perhatian penulis yaitu tokoh Cut Mutia dan tokoh yang dimainkan oleh Rendy Ahmad (Ikal “Sang Pemimpi”). Wajah manis Cut Mutia, yang dari namanya sepertinya berasal dari Aceh dan berjilbab, cukup mencuri perhatian penulis walaupun porsi dan kemunculannya tidak sebanyak tokoh Clara Anabela (Dinda Hauw—Surat Kecil Untuk Tuhan).  Pun begitu dengan Rendy Ahmad, meski perannya tidak besar—berperan sebagai sohib Bima, “musuh” Arief—, namun penampilan comebacknya ini bagi penulis cukup menarik.  Coba keduanya diberi peran lebih besar, sepertinya akan lebih menarik.   Tapi, mungkin karena faktor perannya yang bersifat pendukung, pesonanya tidak sekuat saat memerankan Ikal, belum lagi gayanya juga emm…Ikal is the best lah!  Tapi, dinanti deh film Rendy Ahmad selanjutnya.

Sayang beribu sayang, dengan kualitas cerita dan pemain yang dimilikinya, “Mestakung” sepertinya mesti menerima kenyataan pahit dengan durasi tayang film ini di bioskop.  Bayangkan, baru satu minggu, di salah satu bioskop yang (memang) hanya berkapasitas tiga studio di kota tempat penulis tinggal, film ini sudah  turun layar dan diganti dengan film Indonesia lain bergenre thriller yang premiere pas seminggu pasca “Mestakung” naik layar.  Bahkan di  beberapa biokop yang memiliki 5-6 studio pun film ini sudah tidak ditaynagkan lagi, walhasil di minggu kedua penayangannya film ini hanya didapati di satu bioskop saja di kota tempat tinggal penulis ini, dan itu pun dengan jam tayang yang hanya dua kali dalam sehari (yang seharusnya sampai 4-5 kali tayang perharinya).  Makanya, penulis ngebet ngajakin temen-temen penulis nonton film ini sebelum benar-benar turun layar sama sekali di minggu ketiga penayangannya menurut prediksi penulis.  Padahal, teman seangkatannya masih bertahan sampai sekarang di semua bioskop di kota penulis ini, malahan di Koran-koran posternya saja masih mentereng diantara film-film lain yang kebanyakan adalah film Hollywood.  Entah ya mengapa apresiasi penonton Indonesia sepertinya amat minim terhadap film ini.  Seklai lagi, sayang sungguh sayang.

Selain animo masyarakat Indonesia yang masih kurang apresiatif dengan film Indonesia dan cenderung menstereotipekan serta mengeneralisasikan fiml Indonesia sebagai film yang termasuk kelas B yang kalau menurut penulis merupakan efek dari dibombardirnya bioskop Indonesia oleh film-film horror berbumbu komedi seks kemarin-kemarin, faktor lain yang membuat film ini sepi penonton barangkali pemilihan waktu tayang yang kurang atau bahkan tidak pas.  Memang, film ini merupakan film motivasi yang bisa dinikmati oleh seluruh umur dan bisa dikategorikan sebagai film keluarga, namun secara lebih khusus film ini sangat cocok dinikmati bersama keluarga dan terutama untuk anak-anak usia sekolah.  Naah, andai film ini diputar saat liburan sekolah, tentu potensi untuk menghimpun penontonnya pun (mungkin) akan jauh lebih banyak.  

Di luar jumlah penonton yang cukup mengecewkan (yang berimbas pada masa penayangannya itu tadi), “Mestakung” sebenarnya menawarkan banyak kesan mulai dari haru-biru nya hubungan ayah-anak, Arief dan Muslat, semangat pantang menyerahnya Arief demi meraih juara Olimpiade (pas adegan diumumkannya Arief sebagai peraih Olimpiade Sains Internasional, tanpa tertahan beberapa buliran air mata merembes saja dari mata ini), kejenakaan Thamrin, kebijaksanaan cak Kumis, kewibawaan bu Tari dan pak Tio, kesongongan Bima di awal, ke-innocent-an Clara dan Cut Mutia, serta sosok Salamah yang benar-benar dirindukan Arief membawa penonton terlarut.

Sebagi penutup, film ini mengajarkan pada kita untuk tidak menyerah pada impian dan tidak menyia-nyiakan kesempatan, terlebih ketika kita memiliki bakat tersendiri disana.  Kita juga diajarakn untuk tidak mudah putus asa dan menanamkan keyakinan bahwa ketika semesta mendukung yang tentu saja diiringi oleh usaha dan keyakinan kuat, maka taka ada yang tak mungkin dalam hidup ini, sebagaimana penggalan lirik lagu “Semesta Mendukung”, Ost. Film ini besutan Golliath (adapun teks penuhnya dilampirkan di bawah).  Sekian resensi kali ini yang digarap cukup lama (sstt…rahasia d apur ketauan deh! :p), semoga bermanfaat, selamat menikmati! :D

Eehh..terakhir, benar-benar penutup, cintailah produk lokal, cintailah produk Indonesia, dan cintailah film Indonesia.  Mari dukung film Indonesia dengan sudi datang ke bioskop demi menyaksikan film Indonesia, apalagi untuk film-film yang berbobot semacam ini.  Sekali lagi mari saksikan film Indonesia (berkualitas0 di bioskop keyangan Anda, hidup film Indonesia! ;))
***

Lirik Lagu Goliath – “Mestakung” (OST Semesta Mendukung)
langkah tegap kakiku, dengarkan hentakanku
kadang aku terjatuh tapi ku terus maju yeah
kejar dengan hatimu, lakukan sungguh-sungguh
apapun yang kau mau, apapun impianmu
karena di dalam hidup ini
tak ada yang tak mungkin

lihatlah kawan bulan masih bersinar
terangi malam hidup terus berjalan
raih mimpimu bulatkanlah tekadmu
“Mestakung” semesta mendukung

karena di dalam hidup ini
tak ada yang tak mungkin

lihatlah kawan bulan masih bersinar
terangi malam hidup terus berjalan
raih mimpimu bulatkanlah tekadmu
“Mestakung” semesta mendukung
lihatlah kawan bulan masih bersinar
terangi malam hidup terus berjalan
raih mimpimu bulatkanlah tekadmu
“Mestakung” semesta mendukung

lihatlah kawan bulan masih bersinar
terangi malam hidup terus berjalan
raih mimpimu bulatkanlah tekadmu
“Mestakung” semesta mendukung
“Mestakung” semesta mendukung
“Mestakung” semesta mendukung

  Video Klip "Mestakung"
 
Ost. "Mestakung"  by Golliath

credit for: Youtube

Tidak ada komentar: