Jumat, 23 Maret 2012

#Random Friday: Random Posting


Postingan ini akan berisi gabungan kisah yang terangkai dala beberapa waktu belakangan ini yang sebetulnya ingin dibuat terpisah satu-satu tapi urung karena keterbatasan penulis dalam me-manage waktu.  Alhasil, ya ini nih ikhtiar penulis yang gak pengen semuanya terlewatkan begitu saja.  Walaupun bersifat rubrik tetapi semoga tidak mengurangi esensi  cerita.  Dan lagi penulis sekaligus latihan bikin postingan yang efektif-efisien.  Tanpa usah berlama-lama lagi, yuuk…kita cussss….

#Disiplin dan Perhatian
Kisah tentang salah seorang orang yang penulis hormati.  Beliau itu masih cukup muda untuk ukuran profesinya, jadi tidak heran kalau beliau memang banyak menjadi asisten bagi koleganya yang lain yang lebih senior baik dari segi usia maupun gelar.  Meski demikian, soal disiplin, beliau juaranya.  Bahkan kolega-koleganya yang lebih senior itu pun kalah jauh lah masalah yang satu ini.  Contohnya, beliau tidak segan mengusir seseorang yang dianggap tidak menghargai orang lain di tegah perjalanan, atau beliau tidak segan mempersilakan mereka yang datang satu menit saja melewati lima belas menit yang disepakati untuk keterlambatan menunggu di luar tidak terkecuali bagi mereka yang strata pendidikannya satu tingkat di atas penulis.  Bahkan ‘mengusir’ dari perkuliahan pun kalau memang harusnya begitu ya kenapa tidak, seperti yang dialami penulis.  Waktu itu penulis terllau banyak absennya (7 dari seharusnya 6), dan itu menjelang akhir semester loh, tapi apa daya peraturan tetaplah peraturan.  Dan, karena penulis sadar bahwa itu memang kesalahan penulis maka ya tidak bisa protes. Hebatnya beliau tidak pernah tanpa alasan dalam bertindak terutama penegakkan disiplin itu yang hebatnya lagi bikin kita tidak sanggup lagi protes.

Menariknya ada satu momen ketika beliu yang sangat jarang terlambat atau tidak hadir di kelas (itupun selalu dengan alasan logis seperti sakit atau ada tugas dari jurusan, kampus, atau universitas) justru datang terlambat.  Ada konfirmasi sih, alasannya belum beres menyiapkan bahan.  Seorang yang menjunjung tinggi kedisiplinan seperti beliau belum beres bikin bahan sampe harus telat masuk kelas, sesuatu sekali lah.  Nah, tapi poinnya adalah entah mengapa tiba-tiba saja terlintas di benak penulis satu pikiran yang terlalu jauh dan cenderung mengada-ada.  Meski jarang, tapi beliau memang sesekali (yang tidak pernah lebih dari satu kali atu paling banyak dua kali) seolah menyengajakan untuk hadir telat di kelas.  Tujuannay? Menurut nalar konyol penulis tujuannya yaitu memberikan kesempatan bagi mereka yang untuk berbagai alasan baik teknikal (macet, kendaraan mogok) ataupun non-teknikal (bangun telat) sering hadir melebihi 15 menit yang telah disepakati sehingga terpaksa mesti mengambil jatah bolos.  Beliau kalau dikaitkan kesana seperti ya itu memberi kesempatan buat kami-kami (penulis ngerasa sih langganan telat, heu) bernafas lebih panjang.  Dan, itu bagi penulis ialah bentuk perhatian beliau sama kami.  Kalau bukan perhatian, kenapa juga beliau mesti ‘rela’ mengorbankan reputasinya sebagai penegak  kedisiplinan demi memberikan kesempatan pada mereka yang diajarnya yang belum tentu berfikir sampi kesana dan mengahargai itu.  Ya, walaupun beliau pasti enggan megakuinya (pasti berapologi kaau itu ya hanya eterlambatan yang bersifat non-teknis).  Ya gapapa deh toh ini kan hanya hasil analisis konyolnya penulis, betul?!?

Ya, dibalik kedisiplinannya beliau itu sesungguhnya merupakan pribadi yang layak menjadi panutan.  Untuk mendisiplinkan kami toh beliau tidak harus dengan sok menjadi sangar atu killer.  Beliau tidak pernah marah secara verbal loh apalagi main fisik (masih musim ya? Haha).   Beliau semarah apa pun selalu berusaha untuk menampilkan sisi bijaknya dibandingkan sisi sangarnya.  Makin favorit sekaligus disegani karena beliau itu termasuk satu diantara sekian persen saja dari rekan seprofesinya yang mampu mengidentifikasi nama dan muka yang diajarnya.  Kebayang gak ada sekitar 800-an individu di jurusan dan nampaknya hampir setengahnya atau bahka lebih pernah keajara, dan semua yang beliau ajar pasti teridentifikasi nama dan wajahnya.  Entah sih kalau ketika di uar kelas beliau masih bisa megenali kami dengan baik apa tidak, yang jelas saat di kelas beliau pasti tahu.  Maka, tidak jarang saat mengabsen beliau hanya perlu elihat tnapa perlu lagi mengecek sambil lihat acungan tangan atau wajah si orang yang diabsen.  pokonya beliau juara lah kalau ada ajang award-awardan.  Intinya, ya itu dibalik kedisiplinan seorang beliau, sesungguhnya beliau meyimpan perhatian yang begitu besar para kami mahasiswanya.  Toh beliau pun sebenarnya enggan mungkin mnegusir, tidak mempersilakan masuk, apalagi hingga memecat kami dari perkuliahan.  Tapi, itu tadi aturan tetaplah aturan yang perlu kita lakukan sederhana saja sebenarnya yakni: DISIPLIN!

#Taburan Cahaya di Lodaya
Lodaya, wilayah yang plaing tidak satu minggu sekali penulis kunjungi terkait aktivitas penulis di Jalan Sancang (seberang Lodaya).   jalanan yang mengitari lapangn softball Lodaya ini biasanya sepi.  Kalaupun ada keramaian di daerah situ ya paling di siang hari, itupun di palasarinya.  Atau jika jum’at tiba, jalan sancang yang memotong jalan Lodaya dan KH. Ahmad Dahlan biasanya mendadak ramai, jadi pasar mingguan, mulai pagi hingga siang. Maklum, keberadaan mesjid Mujahidin yang setiap jum’at selalu dipenuhi jamaah tentu menarik perhtaian para pedagang.  Nah, jika siang saja sepi apalagi malam.  Sayangnya, bukan hanya sepi tapi juga gelap karena banyaknya lampu penernagan jalan yang tidak berfungsi.  Hal itu membuat penulis terkadang merasa bukan takut tapi lebih kepada tidak aman jika malalui wilayah situ malam-malam (hendak menuju atau keluar dari jalan Sancang—naik angkot pulang).  Namun, situasi tersebut akan berubah seketika saat seang ada turnamen softball.  Malam di Lodaya akan menjadi ternag benderang jika tengah berlangsung turnamen softball.  Ada dua entah lebih lampu sorot yang nyalanya bahkan menerangi wilayah seantreao lapangan Lodaya hingga ke Sancang dan KH. A. Dahlan.  Pokonya selalu menyenangkan saat melalui sekitaran jalan Lodaya saat sedang bermandikna cahaya lampu sorot itu.  Seolah ada buncahan cahaya penyemangat yang menggelayuti malam di Lodaya.

#Ibu dan Anak
Awalnya penulis fikir hal ini hanya kebetula belaka, kebetulan bertemu di satu angkot, di pertemuan pertama itu.  Ehh..tak dinyana sekian waktu berlalu, kembali pertemuan yang lagi-lagi penulis anggap sebagai kebetulan itu terjadi.  Hingga akhirnya beberapa hari ke belakang sekali lagi pertemuan itu terjadi.  Kebetulan ketiga atau tiga kali kebetulan, serasa aneh.  Makin aneh karena ketiga pertemuan yang meski kesemuanya berlangsung dalam angkutan kota (angkot) itu, namun di jurusan yang berbeda-beda.  Pertemuan pertama berlangsung saat penulis hendak bertola dari Stadion Persib menuju Cicadas dengan menumpang angkot Panghegar-DU. Selanjutnya pertemuan berlangsung di angkot Margahayu-Ledeng saat penulis bertola menuju cicadas.  Terakhir, angkot Kalapa-Ledeng lah yang menjadi saksi pertemuan kami saat penulis hendak menuju Buah Batu.  Pertemuan yang melibatkan tiga pihak: penulis, sang Ibu, dan si Anak.  Jadi, yang penulis temui sebanyak tiga kali itu ialah seorang ibu dan anaknya yang sebanyak tiga kali perjumpaan itu selalu digendong oleh sang ibu meski ternyata telah berumur 12 tahun lebih.  Selain selalu mengendong si anak, yang jugaunik adalah si ibu selalu mengajak si anak yang kelhatannya tidak mampu berkomunikasi itu bicara, apa pun.  Di sua pertemuan awal Cuma itu saja kesimpulan yang bisa penulis ambil.  Baru dipertemuan ketiga itulah,  ada secercah pencerahan mengenai apa yang terjadi dengan si anak.  Entah kenapa saat itu si ibu tiba-tiba saja mengajak ibu yang duduk di sebelahnya bicara.  Lawan bicaranya sih psif ya sebetulnya, hanya menjawab sesekali dan pendek-pendek saja.  Namun, mungkin karena memang telah terbiasa mengahadapi lawan bicara yang pasif (bahkan terkesan bicara sendiri) yakni dengan si anak yang setia dalam gendongannya, ya beliau tidak begitu merasa terganggu.  Beliau mulai bercerita tentang si anak yang ternyata mengalami hidrosepalus yang mengakibatka fungsi kerja organ tubuh lain terganggu sejak usia sepuluh bulan.  Dan, sejak saat itu pulalau ia selalu menggendok sia anak kemana-mana.  Ayahnya tidak jelas apa sudah meninggal atau gimana yang jelas ia hanya mengatakan bhwa “ayahnya udah gak ada”.  Lalu ceritanya cenderung cerutanya cenderung mengrarah menjadi curhat.  Jadi, ceritanya saat itu ia dan sang anak baru saja pulang dari tempat terapi, semaca pengobatan alternatif, tapi sayang ahli terapi nya sedang ke Karawang jadi mesti balik lagi minggu depan katanya.  Nah, dari situ mulai curhat seputar keterbatasan ekonominya, bagaimana kesusahpayahannya mengurus anaknya sendirian (bukan ngeluh sih yang ini tapi lebih ke ingin berbagi aja mungkin ya), hingga betapa keluarga suaminya yang katanya kayak-kayak enggan menyisihkan bantuan untuk anaknya (kalau yang ini sih agak-agak klise ya ceritanya, serasa sinetron alupun ya mungkin memang iya begitu).  Ia juga sempat ya cerita tentang keluarga lainnya, tapi Karena itu tadi seolah bicara sendiri jadi berasa hanya gegerenyeman.  Setelah itu entah cerita apalagi karena penulis keburu turun.  Dari sana ada beberapa hal yang pengen penulis apa ya…emm…cermati *halah*.  Pertama, betapa besar ya pengorbanan si ibu yang udah hilir mudik  kesana-kemari sambil gendong-gendong anaknya .  kedua, ini  yang agak aneh, kenapa bisa secara kebetulan samapitiga kali ketemu di ‘tempat’ dan dengan ‘tujuan’ yang berbeda? Benar-benar kebetulankah atau? Wallahu’alam.

Kali ini segini dulu yaa..nanti dilanjutkan dengan portingan-postingan lain dengan judul di bawah ini…

#Tak Tergantikan
#Go GUNNERS GO
#Ayo Owi/Butet BISA!

Kamis, 15 Maret 2012

ALL ENGLAND 2012: Asa 9 Tahun itu pun Berakhir Berbuah Manis :)


Sembilan tahun puasa gelar pun akhirnya berakhir sudah dengan satu gelar yang dipersembahkan ganda campuran nomor satu Indonesia, Ahmad Tontowi/Liliyana Natsir, di ajang All England Super Series Premiere 2012 ahad lalu.  Gelar pertama keduanya di turnamen bulu tangkis paling bersejarah sekaligus gelar pertama Indonesia di keseluruhan turnamen tahun 2012 ini.

Ya, di tengah minimnya gelar dan semakin merosotnya prestasi para pebulutangkis nasional (diukur dari raihan gelar di pelbagai ajang terutama Super Series), prestasi yang diukir Owi/Butet tentu menjadi pelepas dahaga.  Apalagi All England, sekalipun dari segi nominal hadiah tak sebesar Korea Open dan bahkan Indonesia Open (meski sama-sama berlevel Premiere), namun toh nilai historisnya sebagai turnamen bulu tangkis tertua di dunia membuatnya menjadi spesial bagi para pebulutangkis dunia.

Hampir bisa dipastikan jika tidak terhalang oleh cedera atau sakit, hampir semua pemain papan atas dunia ambil bagian di ajang yang tahun ini digelar di Birmingham.  Turun dengan kekuatan terbaiknya, sayang Indonesia hanya mampu menempatkan satu wakil di final setelah M. Ahsan/Bona Septano dan Dyonisius Hayom Rumbaka di ganda dan tunggal putra menyerah masing-masing dari Cai Yun/Fu Haifeng dan Lin Dan asal Cina di semi final.

Cina sendiri kembali menunjukan dominasinya dengan menempatkan enam wakil pada empat partai di final.  Malah dua gelar sudah pasti menjadi milik mereka di sektor putri setelah terjadi all China final.  Sementara di putra, Lin Dan dan Cai/Fu harus menantang pemain yang juga tangguh yakni Lee Chong Wei (Malaysia) serta Jung Jae Sung/Lee Yong Dae (Korea) untuk menyempurnakan raihan gelar mereka.  Beruntung, satu gelar lagi di ganda campuran diperebutkan Indonesia dan Denmmark sehingga tak  ada peluang bagi tim yang belakangan semakin mendominasi kancah bulu ta ngkis internasional ini untuk melakukan sapu bersih gelar (seperti yang pernah terjadi di beberapa turnamen sebelumnya).

Akhirnya Cina berhasil menyabet tiga dari empat gelar yang diperebutkan hari itu setelah Cai/Fu kembali dikalahkan oleh pasangan nomor dua dunia, JJS/LYD dalam tiga set.  Disebut kembali karena dalam beberapa ajang sebelumnya, pasangan ini sempat beberapa kali menyerah meski sempat unggul atas ganda nomor satu dunia tersebut.  Sedangkan Lin Dan akhirnya dinyatakan sebagai pemenang duel seru dengan rivalnya LCW setelah pebulutangkis teratas dunia itu mengundurkan diri di awal babak kedua akibat cedera bahu yang menyergapnya.  Ya, bisa dibilang kemenangan Lin Dan adalah yang paling mudah dan pada akhirnya kurang berkesan karena terkesan kemenangan yang diberi *IMO*.

Kembali ke Tontowi/Liliyana, pasangn ini memastikan gelar juara setelah menang atas ganda veteran Denmark Thomas laybourn/Kamilla Rhytter Juhl dalam straight set 21-17, 21-19.  Sebelumnya, di Semi Final, mereka terlebih dahulu menumbangkan unggulan campuran tuan rumah, Jimmy Adcock/Imogen Banker, yang secara mengejutkan memaksa pasangan nomor satu hari ini asal Cina menyerah di babak pertama.

Hasil ini tentu sangat menggembirakan.  Pasalnya puasa gelar sembila tahun di ajang ini dan puasa gelar di tahun 2012 ini tentu hal yang tidak mengenakkan.  Hasil ini paling tidak bisa mengembalikan mental bertanding para pebulu tangkis Indonesia, apalagi dalam rangka persiapan mengahadapi Thomas-Uber Cup dan tentu saja Olimpiade.  Ya, setidaknya ada satu keyakinan bahwa satu emas akan kembali aman lah bagi Indonesia di Ganda Campuran dengan catatan Owi/Lili bisa konsisten.  Olimpiade itu sring tak terduga.  Ya, mudah-mudahan di London nanti ada lebih dari satu emas yang bisa dipersembahkan kontingen bulu tangkis, siapa tahu.  Sementara untuk di Thomas-Uber Cup sendiri ya minimal bisa kembali menjadi finalis pun akan sangat baik.  Akhir kata JAYALAH SELALU BULU TANGKIS INDONESIA! J

Kamis, 08 Maret 2012

Sang Komentator


“kalau saya penasaran sama si anu, coba deh dia yang biasanya banyak ngomong itu suruh mimpin, pengen liat aja, penasaran bakal kayak gimana kepemimpinannya….”

Suka gak sih nemuin orang yang kerjaannya proteeesssss mulu.  Sok merasa benar, sok merasa paling tau, sok merasa paling berhak.  Kayaknya di mata jenis orang kayak gitu apa-apa selaluuuuuuuuuu ga ada yang bener, selaluuuuuuuuuuuu ada aja cacatnya tanpa berusaha mengangkat sedikiiiiiiiiiiiiiiiit saja sisi unggulnya.  Entahlah, seakan kesempurnaan itu hanya miliknya dan seharusnya tentu saja sang Maha Pencipta.  Nah, masalahnya orang-orang model begini kebanyakan *catet kebanyakan buka semua*  susunan organnya kemungkinan besar kebalik: punya dua mulut dan satu telinga! Kenapa? Abis kebanyakan senenggggggggggg banget ngomong atau istilah rada gayanya berwacana dengan kemauan mendengarkan yang tidak sebanyak omongannya.  Dan, orang kayak gitu pun umunya termasuk tipe manusia penggombal.  Tau kan definisi gombal? Itu loh orang yang omong besar nan manis yang sayangnya semua kebesaran dan kemanisan itu gak lebi dari sekedar kata-kata.  Gak lebih loh, gak lebih.  Istilahnya talk more do less.  Biasanya orang kayak gini kebanyakan datang dari pihak oposisi kalau dari segi pemerintahan.  Yang jelas jarang diantara orang model begini yang mengemban jabatan tertinggi.  Iya sih mereka punya jabatan yang meski tidak setinggi itu tapi tetap penting.  Wawasan dan keahlian (terutama sebagai komentator) dan pengalaman pun jangan diragukan.  Tapi, rata-rata enggan jika dibebani jabatan tertinggi meskipun tidak sedikit yang sebenanrnya mau tapi sok sok merendah untuk meninggi lagi kemudian.    Ini nih yang gawat, efek kalo orang macem gini ternyata musti ‘kalah’ bersaing sama orang yang kemaren sore dalam pandangannya wah bakal jadi komentator sejati deh, DIJAMIN!   Makanya, SEPAKATTTTTTTTTTTTTTTTT banget lah kata-kata salah seorang petinggi di suatu instansi yang penulis kutip di awal tadi bahwa suka penasaran bagaimana kalo para komentator itu dapet kesempatan buat memimpin.  Ya, biar mereka setidaknya merasakan berada di posisi orang yang selama ini mereka dengan gencar dan ganansnya komentari.  Ada dua alasan sebenarnya  kenapa orang-orang macem begini suka jarang yang akhirnya jadi pucuk pimpinan: kalo bukan karena kurang dipercaya sama yang calon dipimpinnya ya kemunginan besar kedua karena ia gak sampai hati mengehantikan hobi berkomentarnya dan belum siap mental untuk dikomentari seperti halnya saat ia mengomentari orang lain dengan bebas dan tanpa bebannya.  Ayo dong wahai kalian yang merasa paling hebat, paling bisa, paling mampu, dan paling tahu, maju ke depan dong buat mimpin mereka yang menurut kalian tidak lebih apa pun kecuali beruntung (bisa berada di atas mereka secara hirarki jabatan)!  Talk less do more, please…….

Percakapan (yang sungguh) Absurd

Kisah tentang percakapan absurd penulis dengan salah seorang kawan sekelas-seangkatan penulis:

Entah darimana asalnya dan apa topik kita sebelumnya tiba-tiba sebelum masuk kuliah si teman nyeletuk:

Teman     : Eh kamu kepikiran nyari suami yang ustad-ustad gitu gak sih?
Penulis    : Hah? *hening sejenak, penuh tanda tanya*
Teman   : Iya, pak ustad gitu, kamu kan udah pantes tau jadi ustadzah gitu menurut aku. *sambil senyam senyum*
Penulis    : Hah? Bu Ustad? *makin heran, ini kan dia yang ngomong non muslim loh, ustadzah darimananya coba*
Teman     : Iya, bener tau kamu tuh cocok jadi bu Ustad. *kekeuh*
Penulis   : Heu..asal jadi yang pertama dan satu-satunya, selama gak jadi yang kesekian  ya…. *setengah bercanda sambil mesem-mesem*
Teman     : *ketawa* dasar..
Penulis   : *jadi keingetan novel yang ngangkat santri dan pesantren sebagai latar belakang dan baru aja beres di filmin* dan satu lagi, harus yang masih muda juga, ustadz muda gitu, kayak aku sih abis baca novel anu itu jadi nyesel aja kenapa gak pesantren terus malah kepikiran pengen dapetin anak pondok madani itu.
Teman     : Ya, cari dong kamu! *dengan semangat empat lima*
Penulis  : ebuseeet dipikir gampang apa nyari calon suami, ustad, alumnus pondok madani pula *dalam hati* ya gimana dong, kan gaak gampang…. *melemah..seolah pasrah*
Teman   : Eh, temen ade aku ada loh yang anak sana….anak  2010 tapi *ujungnya itu loh yang gak enak*
Penulis   : Eeaaa *ala alayers*, aduh tolong ya 2010, jangan berondong atuh.. *protes setengah memelas—yang terakhir kaykanya gak perlu sebenernya*
Teman      : Iya sih, eh tapi gak loh kasian tau dia itu anu, anu, dan anu *si teman cerita yang intinya kalo temen si adik itu aslinya angkatan 2008 cuman dua kali kesempatan ujian masuk univ belum beruntung terus baru pas  kesempatan terakhir (baca: ketiga kali) di tahun 2010 akhirnya tembus di jurusan hukum salah satu univ negeri ternama di kota tempat penulis tinggal*, eh kamu kan 2007, tapi kan seumur sama-sama kelahiran ‘90 (eeaa blunder umur nih) *katanya sok mantap*
Penulis  : Uhmmmm………..iya sih tapi kan……………. *antara bingung, speechless,  dan no comment*

Kalimat di atas gak jelas akhirnya, pun percakapan absurd itu pun berakhir (dan sepertinya menguap) begitu saja tanpa ada solusi lain kecuali seperti kata teman penulis tadi “ya, cari donk…!”  oke, I’ll find the right moment come to me.  Satu hal yang unik adalah indicator apa yang digunakan sang teman sampe bisa ngejudge kalau penulis udah pantes jadi ustadzah…heu #somysterious #abaikan

Rabu, 07 Maret 2012

Keajaiban (yang dinanti) Itu......Hampir Saja Menjadi Nyata!


Arsenal gagal mengulang sejarah manis; Milan (justru) mengukir sejarah itu...



Berniat membalas kekalahan 0-4 di San Siro dua pekan sebelumnya, pasukan Arsenen Wenger ternyata hanya mampu menyarangkan tiga gol sehingga agregat akhir menjadi 3-4 bagi tuan rumah.  Tiga gol tanpa balas yang ternyata belum cukup memmabuat tim ini untuk lolos ke fase berikutnya. 

Gol tuan rumah semua diborong di babak pertama memlalui gol cepat koscielny yang tak terkawal memanfaatkan umpan sepak pojok, gol Thomas Rosicky yang juga tak terkawal hasil bola buangan pemain elakang Milan yang tak sempurna di pertengahan babak pertama, serta gol pinalti Robin Van Persia menjelang turun minum setelah Oxlade Chamberlain dijatuhkan di kotak terlarang setelah berhasil menusuk dari kanan.

Keunggulan 3-0 atas tim tamu membuat para pendukung Arsenal yang menyaksikan langsung di Emirates Stadium kususnya, serta mereka yang menyaksikan via media di seluruh pejuru dunia hampir yakin bahwa pembalasan itu akan tiba.  Namun, sayang pasca jeda serangan-serangan Gunners nyaris selalu tertahan di barisan belakang Milan yang sudah mulai in, sementara barisa depan Milan sudah semakin sering mengancam gawang Szczesny.  Bahkan gawangnya nyaris bobol setelah ia melakukan blunder fatal, beruntung ia sigap membayar kesalahannya tersebut.

Arsenal memiliki satu peluang emas lewat kerjasama Gervinho-RVP, sayang penyelesaian yang masih etrlalu lemah dari RVP yang dini hari tadi bintangnya tak sebersinar biasanya itu masih mampu diantisipasi oleh Abiati.  Di tengah-tengah intensitas penyerangan yang sedang meningkat Oxlade Chamberlain dan Theo Walcott harus ditarik dan masing-masing digantikan Marouane Chamakh dan Park Chu Young akibat cedera.  Tak banyak lagi yang bisa dilakukan oleh para punggawa FGUnners, bahkan seorang RVP pun tak mampu mengeluarkan jurus ajaibnya seperti di laga-laga yang telah berlalu.  3-0 bertahan hingga peluit akhir dibunyikan, dan habis sudah kesempatan Arsenal meraih gelar di musim ini setelah tak mampu lolos dari babak 16 besar UCL ini.

Tidak ada lagi peluang tersisa bagi skuad asal London Utara ini untuk beburu gelar di musim ini.  Adapun hasil fantastis dini hari tadi ya belum mampu melunasi kesalahan besar mereka di leg pertama.  Anadai saja dua minggu yag lalu mereka bisa mencuri 1 gol tandang, maka hasil akhir ari pertandingan dini hari tadi tentu akan sangat berbeda.  Tapi, yasudahlah, bagaimanapun tim penghuni Emirates Stadium ini telah menunjukkan kelas permainan mereka yang sesungguhnya dengan memboyong tiga gold an bermain menekan.  Jadi kekalahan ini bisa dibilang sebagai kekalahan terhormat yang dibuktikan dengan semangat juang para meriam muda di tengah defisit empat gol. 

Mengutip narasi sang komentator di akhir laga “they are almost very close to (take) it”, ya memang begitulah.  Keberuntungan dan keajaiban belum sepenuhnya berpihak pada RVP dkk.  Mungkin keajaiban (dan juga keberuntungan) itu malah akan hadir dalam bentuk lain seperti…..dapet treble di musim depan sebagai koonpensasi tujuh tahun tanpa gelar, mungkin saja kan, who knows?  Target paling realistis saat ini bagi mereka adalah mengkudeta posisi rekan sekota yang bertengger satu tingkat di atasnya serta menjaga bahkan menjahkan jarak dari kejaran tim sekota lainnya yang satu peringkat di bawah mereka.  Yang, pasti SEPAKAT 100% dengan heading postingan di  Arsenalnews.uk bahwa Arsenal is ‘Out but not Down’. #GGG :))

Senin, 05 Maret 2012

Negeri 5 Menara: 'mantra' Man Jadda Wa Jada



Adalah Alif, seorang remaja tanggung asal Maninjau, Sumatera Barat, yang bercita-cita meneruskan sekolah menengah atasnya di salah satu sekolah negeri di kota Bandung.  Sayang, sang Amak (Lulu Tobing) memintanya untuk melanjutkan pendidikan di kampus Madani, di Jawa Timur sana.  Sempat menolak dan mengalami dilema, Alif pun pada akhirnya mengikuti keinginan sang Amak meski ia pun fikirannya masih tertancap kuat di kota kembang sana.  Maka berangkatlah ia dengan diantar sang ayah (David Chalik)  ke pondok Madani tersebut diiringi tangisan sang kawan sejawat (Sakurta Ginting).  Sesampainya disana, ia disuguhi sejumlah bangunan dalam ukuran besar dan serangkaian tes penerimaan.  Empat tahun total masa sekolah yang mesti ditempuh karena sebagai santri yang masuk di kelas 4 (setara kelas 1 SMA), mereka mesti mengikuti kelas persiapan dan pembinaan selama setahun.  Hal sempat menciutkan niatan Alif sampai-sampai ia hampir saja ngasal mengisi soal ujian supaya tidak lulus dan bisa masuk SMA.  Namun, takdir menuntunnya untuk mengurungkan niat polosnya tersebut sehingga pada akhrnya ia bisa tergabung dalam “Sahibul Menara”, bersama lima kawan barunya yang adalah Baso, Raja, Said, Atang, dan Dulmajid yang memberinya berjuta pengalaman luar biasa.

Baso, seorang penghafal Al-qur’an asal Goa yang sangat cemerlang prestasi akademiknya.  Raja, pemuda aseli Medan yang relatif tempramen dan memiliki minat di bidang seni.  Said, wong Suroboyo, pemilik badan paling besar dan kekar di antara para Sahibul Menara yang lain.  Atang, jajak bandung yang kentara sekali logat Sunda-nya serta memiliki ketertarikan dalam otak atik mesin.  Dulmajid, pemuda asal Lamongan yang sangat fanatic terhadap bulu tangkis.  Sementara Alif sendiri, pemuda Padang ini memiliki ketartarikan dalam berbahasa dan dunia jurnalistik.  Terbentuknya Sahibul Menara berawal dari intensitas kebersamaan mereka yang makin meningkat pasca dihukum bersama di bawah menara majid pondok yang tersohor itu akibat telat masuk masjid.  Sejak saat itu mereka yang terkena hukuman saling jewer menjadi makin akrab dan menjadikan Menara saksi bisu ketika mereka dihukum itu sebagai ‘markas’ mereka.  Dari sekedar merebahkan diri di tengah jeda istirahat siang sambil  tidur-tiduran, berdiskusi, hingga tidak jarang berdebat merupakan aktivitas yang  lumrah dilakukan oleh enam sekawan ini disana, jadi akhirnya merekapun dijuluki “sahibul menara” yang berarti si empunya menara.

Semangat keenam orang ini khususnya sangat dipengaruhi oleh semangat “Man Jadda Wa Jada” yang diperkenalkan pertama kali oleh ustad kesayangan sekaligus panutan mereka Ustad Salman (Donny Alamsyah).  Ada pula sosok pemimpin pondok, Kiai Rais yang di luar posisinya sebagai pemimpin tertinggi di pondok merupakan pribadi bersahaja.  Ia tak segan turut mampir ke studio menunjukan kemahirannya bermain gitar bahkan menyempatkan diri mampir untuk menyewa generator.  Alif sendiri cukup terinspirasi oleh seniornya di klub jurnalistik (Andika Pertama) dalam mencari berita.  Nisa yang keponakannya kiai Rais pun sempat menjadi bumbu bagi mereka yang sehari-hari berkutat dengan sesamanya. 

Film ini lebih mengedepankan cerita persahabatan dan suka duka keenam tokoh sahibul menara tersebut.  Dari mulai perjuangan Baso dalam mengikuti pidato berbahasa Inggris, perjuangan Dulmajid untuk memungkinkan adanya nonton bareng Piala Thomas  antara Indonesia-Malaysia di tengah-tengah larangan hadirnya TV di pondok tersebut, seorang Atang yang mulai menunjukkan bakat di bidang permesinan saat mengersitekii perbaikan generator disamping cita-citanyamenjadi seorang anggota DPR, atau bagaimana Raja menjadi team leader dalam pementasan Ibnu Batutah sepeninggal Baso yang terpaksa meninggalkan pondok lebih awal karena sakit sang nenek yang merupakan satu-satunya kerabat yang dimilikinya semakin parah sehingga ia pun mesti bersegera kembali ke Goa dijemput tetangganya, sementara Said meski berbadan besar namun senantiasa tampil sebagai si pendamai.  Dan, tentu saja bagaimana pergulatan batin seorang Alif hingga akhirnya memutusakan untuk bertahan di Pondok meski foto yang dikirimkan sahabatnya dari Bandung sempat begitu menggodanya.
Sohibul Menara out of scene
Di luar itu, tidak ada letupan letupan konflik yang menaikkan tensi cerita sih.  Makanya review penulis kali ini gak terlalu banyak bertutur tentang jalan cerita di film ini karena ya itu tadi ceritanya gak datar sih tapi lurus lurus saja.  Ada beberapa adegan seru dari novel yang penulis tunggu, tapi tidak muncul dalam film seperti adegan piket malam sampai menggrebek maling yang muncul dari semak di balik sungai; turnamen bola yang melibatkan Kiayi Rais; dan lain-lain.  Belum lagi beberapa hal yang agak menganggu seperti detil yang kurang terperhatikan (*ahh..sepengamatan penulis masalah ini selalu hampir terjadi dan terulang di tiap proyek besar kayak kerudung kusust nan menerawang padahal dipake sama akhwat di AAC) seperti pas di satu adegan apa lupa yang melibatkan cukup banyak figuran, naah kan ceritanya titu settingnya id penghujung tahun 80’an kan, tapi baju para figuran itu sangat kekinian, pun bahan jilbab yang dipakai istri Kiayi beserta anak keponaknannya yang berbahan paris yang kayaknya belum muncul deh tau segitu.  Ada juga kan pas lokasi di luar pondok yang cukup kentara nuansa kekiniannya (ahh…kadang penulis berfikir apa ini Cuma halusinansi penulis belaka atau sebegitu niatnya penulis sampai merhatiin hal-hal “sepele” begituan?). 
Selain itu, pemilihan aktor yang memerankan para sahibul menara pas udah lewat sepuluh tahun kemudian.  Yang paling pas sih ya Ario Wahab yang emang mirip sama A. Fuadi, sementara yang paling menggelitik yaitu dipilihnya Udjo Project Pop sebagai Atang.  Sundanya sih oke-oke aja, dapet, tapi kan maaf postur beliau tidak begitu tinggi sementara yang memerankan Atang remaja itu posturnya relatif tinggi.   Tapi, yang agak aneh juga kan Alif remaja itu terlalu ganteng dan kebulean deh untuk kemudian bertransformasi dalam sosok Ario Wahab—di luar kapasitas aktingnya yang cukup mumpuni.  Eitss….bukan maksud membanding-bandingkan tapi ini bermain logika. 

Meski demikian, secara keseluruhan penulis sangat mengapresiasi film ini.  Kehadiran seorang Donny Alamsyah menjadi salah satu daya dukung utama yang mendorog penulis untuk sesegera mungkin menyambangi bioskop begitu film ini dirilis disamping ya tentu saja novelnya yang sampai bikin penulis pengen jadi santri di pondok tersebut loh… Dan, pas film sudah diputar, ehh..penulis dapet bonus bisa liat lagi Gecha yang adiknya si Vino di “Malaikat Tanpa Sayap”.  Pada akhirnya penulis hanya bisa merekomendasikan film ini sebagai film yang sangat layak tonton apalagi buat para alumni pondok tersebut tentu akan member kesan tersendiri seraya membangkitkan jutaan kenangan indah akan masa-masa kebersamaan bersama kawan-kawan seperjuangan di pondok dulu.  Buat yang masih punya kesempatan nyantri, tonton filmnya, perkuat baca bukunya, niscaya jadi menggebu untuk jadi bagian dari pndok ini dan mengukir sejarah-sejarah bari layaknya Sahibul Menara.  Bener-benar terakhir, hayu segera kunjungi bioskop-bioskop terdekat kesayangan Anda *dan rasakan kembali nonton film Indonesia dengan jumlah penonton yang hampir memadati setengah gedung bioskop di luar film horor dan drama berurai airt mata!*. J