Kamis, 07 Maret 2013

The Confession of Future Educator




Menjadi seorang pendidik itu tentu saja bukan suatu pekerjaan yang mudah.  Mudah sih kelihatannya, namun praktiknya tak semudah kelihatannya.  Mendidik itu tidak sama dengan mengajar.  Jika mengajar lebih menitikberatkan pada bagaimana proses transfer ilmu pengetahuan supaya siswa dari tidak tahu menjadi tahu, hanya sampai di sana.  Maka mendidik tidak berhenti di sana saja, tetapi lebih jauh juga bagaimana menanamkan nilai moral pada diri siswanya.  Contoh sederhananya paling tidak bagaimana seorang pendidik bisa membuat suasana kelasnya kondusif tanpa harus membuang tenaga demi memarahi siswanya supaya diam.  Atau bagaimana seorang pendidik bisa mengerjakan hal lain semisal merekap nilai dengan tenang kala siswanya mengerjakan ulangan karena percaya bahwa para siswanya berlaku jujur.

Nah, kalau diinternalisasikan ke dalam diri penulis, penulis sih merasa belum berhasil untuk ada di level pendidik.  Bukan tidak berusaha, tapi sejauh ini nampaknya usaha (yang bisa jadi belum seberapa keras ini) tersebut masih tak kunjung berbuah hasil yang manis.  Ya bagaimana, indikasi nyatanya kapan pernah penulis keluar kelas dalam keadaan tenggorokan yang baik-baik saja? Rasa-rasanya belum pernah.  Meski tidak sampai marah-marah (karena memang tidak bisa dan tidak tega marahin anak orang), tetapi minimal penulis masih harus teriak-teriak di kelas demi membuat atmosfer kelas menjadi kondusif (baca: mendiamkan siswa).  Dan setelahnya…masih ditawari gorengan pula oleh mereka (do you get what I mean?).

Penulis sih awalnya merasa kalau siswa nya yang kurang kooperatif.  Tapi semakin lama, semakin sering, semakin dievaluasi…fix faktor penulis-nya yang justru bermasalah.  Terutama sebagai organisator, mangacu pada kondusivitas kelas, penulis merasa tingkat kegagalannya 90%.  Alat ukurnya yaitu saat penulis mengajar di kelas lain yang dari hasil survey beberapa rekan yang juga sempat mengajar di kelas tersebut dikategorikan sebagai kelas yang paling tenang, lho kok ya malah (jadi) ribut pas sama penulis.  Kok iso mereka santai aja makan minum di depan penulis.  It clearly indicates something wrong with me. 

Berkaca dari sana, banyak sekali PR yang harus penulis tuntaskan guna betransformasi menjadi pendidik yang baik.  Sampai hari ini saja bahkan menjadi pengajar yang baik pun penulis masih sangsi.  Makanya selalu ada perasaan bersalah setiap penulis keluar dari kelas.  Apalagi saat para siswa meminta penulis yang saat ini hanya berstatus sebagai tenaga pengajar pengganti saban dua mingguan ini untuk menjadi pengajar tetap.  Terlepas dari motif  mereka yang beragam (sebagain besar lebih karena atmosfer tegang yang terbangun dengan staf pengajar aslinya), bagi penulis menjadi pengajar tetap adalah beban moral tersendiri untuk saat ini.  Memang, pada akhirnya skill mumpuni dan jam terbang sangat memegang peranan penting di sini. 

Sebagai ‘orang baru’ dalam dunia pengajaran masih banyak hal yang belum dan harus penulis kuasai dan atasi.  Bukan semata deg-degan, bukan.  Perasaan itu sudah sangat lama bisa diatasi.  Ini lebih kepada perasaan bersalah saja, terlebih ketika kita hadir tanpa persiapan yang matang.  Rasanya adalah sebuah penghianatan kepada mereka yang terlihat sungguh-sungguh menyambut kehadiran kita (ya mungkin juga karena berjumpa dengan kita berarti terhindar dari ketegangan dengan pengajar aslinya).   Sekali lagi, apa pun modus mereka, yang jelas penulis selalu yakin ada diantara mereka yang memang mencintai dengan tulus mata pelajaran ini dan selalu menantikannya dengan antusias.  Dan merekalah yang tentu paling kecewa pada akhirnya dengan semua keterbatasan penulis.  Maaf..itu saja mungkin kata yang bisa penulis utarakan di sini.  Maaf belum bisa menjadi fasilitator yang baik.  Maaf belum bisa menjadi penyampai yang jelas.  Maaf belum bisa menjadi contoh panutan. 

Akhirnya, saat ini hanya kata maaf saja itu yang bisa terucap.  Ke depannya, penulis berjanji akan terus berusaha dan belajar demi menjadi pendidik yang baik.  Pendidik ya, bukan sekedar pengajar.  Mudah-mudahan gak keluar kelas dengan tenggorokan yang gatal dan suara parau lagi.  Ya, kalaupun tidak berakhir di ranah pendidikan formal (sejujurnya, kurang tertarik bergelut di sini), minimal kan bisaditerapkan kepada anak cucu kita nantinya.  Yang jelas, bukan sengaja tidak memberikan yang terbaik, namun nampaknya usahanya masih harus ditingkatkan.  Sekali lagi, betul bahwa mendidik itu bukan suatu pekerjaan mudah, namun bukan berarti mustahil.  Dengan kesungguhan dan kerja keras dijamin kelak bisa terwujud.  Salam sukses untuk kita semua ya. :)

p.s: artikel ini dipersembahkan secara khusus sebagaipermohonan maaf untuk mereka yang merasaterkhianati antusiam-nya terhadap pelajaran yang sapenulis bawakan...