Tampilkan postingan dengan label About Uneg-uneg Pribadoss --piis aah-- =). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label About Uneg-uneg Pribadoss --piis aah-- =). Tampilkan semua postingan

Rabu, 27 Agustus 2014

(Tergoda) Mantan Terindah, (Oh) No Way!

Hi, visitors, postingan ini barangkali bisa terhitung telat. Ya memang, penulis pun niat awal nya ngepost dari pekan lalu, cuman karena satu dan sejumlah alasan jadi tertunda deh.  Ya walaupun sedikit telat, tapi isisnya masih relevan kok (menurut penulis..hehe).  So, please enjoy, as usual. :)

*****

Hasil imbang lawan Besiktas di leg pertama play off Liga Champion menyusul kemenangan dramatis atas Cristal Palace di laga perdana EPL musim 2014/2015 seolah menegaskan bahwa Arsenal belum sebegitu kuat sekalipun telah disuplai dengan sejumlah amunisi anyar.  Menariknya, mantan bintang dan kapten Arsenal yang konon ditolak untuk kembali merapat ke Emirates malah membantu tim yang kini bersedia dengan senang hati menampungnya di Stamford Bridge sana  meraih hasil positif di sejumlah pertandingan yang telah mereka lakoni.  Baik di laga pra musim, begitu pun di laga perdana EPL musim ini.  Menyambangi kandang lawannya yang merupakan tim promosi, Burnley, ia bahkan sukses menyumangkan 2 assists yang menghantar tim nya duduk nyaman di puncak klasmen sementara setelah menyegel kemenangan meyakinkan 1-3.  Hal ini tentu saja membuat banyak pihak kemudian mengkritisi keputusan manajemen Arsenal yang ogah diajak ‘balikan’ oleh sang mantan.

Banner bertuliskan “Cesc is Blue” pun akhirnya terpampang nyata di kandang Burnley sana. A bit disgusting, but that’s not more our business.  “He’s a professional player who has possibility to play in any clubs that he is suitable and required most,” said Opa.   I did agree with him.   Lagi pula sebetulnya menurut penulis both red and blue are truly in his heart since he’s originally Catalan’s soccer academy ‘product’ (IYKWIM).  Sayangnya  klub yang dicintainya forever ever after tersebut eh ternyata malah menyia-nyiakan (talenta) nya (lagi).  So what should we do? Save him again? He’s the one who chose to leave us.  Yes, I and You, we know that he’s no longer in relationship.  He’s available now.  He’s ready to re-start a new relationship with anyone else, and we’re top on his list.  People said that was what so called loyalty, he’s still faithful enough to us.  However, do we (really) need to re-unite a.k.a CLBK?

CLBK mungkin memang bukan hal yang baru dalam dunia sepakbola profesional.  Tidak sedikit pemain yang sudah melalang buana ke sejumlah klub memutuskan untuk kembali mengajukan ‘rujuk’ ke klub lamanya.  Bisa jadi memang passion pribadi sang pemain terhadap ti, atau memang termaktub dalam klausul kontrak pemain yang bersangkutan.  Flamini contohnya.  Hijrah dari Emirates di tahun 2008, dan kembali ke sana di musim lalu.  Tidak tangung-tanggung proses ‘rujuk’ yang diamini kedua belah pihak ini berlangsung mulus bahkan tanpa mengeluarkan sepeser biaya pun.  Tapi, tidak selamanya CLBK menjadi solutif dan berlangsung mulus tanpa adanya kesepakatan dari kedua belah pihak.  Toh tidak ada jaminan tidak akan putus lagi bukan setelah CLBK? Ah..time passing by, and we already found somebody to be loved again so deeply.  Maybe he’s not as awesome as we expeced yet.  But then, loves need time to grow up.  We’re still on that process to grow our love and prevent it better than ever.  Kayak mas Wasit yang sakit banget sampai trauma menikah gegara dikhianatin mantan kesayangannya dan akhirnya terobati setelah bertemu Mawar. #eeaa.

Jadi, jujur saya pribadi sih sependapat dengan sang arsitek tim, opa Wenger, bahwa tidak ada yang harus disesali dengan keputusannya untuk menolak ajakan ‘rujuk’ sang mantan anak emas didikannya.  Adapun penampilam impresif nya bersama tim nya cukuup membuat saya terusik, namun tidak tergoda sama sekali untuk CLBK dengan sang mantan.  Toh baru 1-2 pertandingan ini.  Begitu pun di kubu kami dengan sejumlah pemain yang masih dikritisi, termasuk pengganti sang mantan yang belakangan banyak dibanding-bandingkan kualitas nya dengan si mantan itu sendiri. Hello, people, he’s not even joining us after world cup. Just wait and see for him to shine so so so brightly very very soon. Too early to be compared for both of them right now.  I mean less than 5 matches is not reliable yet to be compared

Well, mantan itu, apalagi seorang Cesc Fabregas yang sangat layak dinobatkan sebagai salah satu mantan terindah yang pernah kami miliki memang memiliki daya pikat yang sulit dinafikkan begitu saja.  Kontribusi nya yang begitu besar dan nyata saat kami tengah mesra-mesra nya sungguh tak mudah dan terlalu tak layak dilupakan begitu saja.  Saya pun jujur saya di masa awal kecintaan saya terhadap Arsenal salah satunya adalah adanya faktor Cesc yang muda namun sudah luar biasa.  Bagaimanapun, pada masa nya dulu ia hampir berhasil mempersembahkan gelar yang diidam-idamkan kami semua.  Sayang, mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.  Kita, ia dan kami, belum berjodoh untuk mengecup trofi bersama-sama rupanya. Dan pada akhirnya setelah sekian lama dipertahankan toh ia memutuskan untuk tetap pergi juga tepat setahun setelah menjadi kampiun pada gelaran Piala Dunia di Afrika Selatan sana.  

Saat kepergiannya itulah yang menurut sang professor yang patut disesali.  Tapi, apa pun itu, keputusan sudah dibuat, bubur pun tak mungkin kembali jadi nasi.  Toh kami udah berusaha mempertahankan nya selama mungkin, tapi perpisahan yang menohok hati pun tak bisa terhindarkan. Perpisahan memilukan itu biarlah menjadi kisah yang menghiasi lembaran sejarah kita berdua.  Bukan untuk dilupakan begitu saja tentunya, tapi untuk dikenang sebagai memori indah.  Show must go on, right? Jadi perpisahan tersebut mungkin memang sudah menjadi jalan yang terbaik untuk kita. Gracias, Cesc! Good luck to you wherever you are.  Probably we’re not in a romantic relationship as before, but we still remain good friend for each other forever and ever. :)

Sabtu, 24 Agustus 2013

Becoming Third Person is No More!

After some times, finally, I’m blogging again! Welcome (back) to me! Nice to see you again, readers… well, this time I’m going to share what I never want to do again after this: becoming the third person! It’s really killing me.  How can’t it be since I need to be a liar by the first person in order to make second person forced to accept the case.  What a tiring activity to get so many unanswered calls by the first person.  While, the second persons keep asking massively something that I, as the third person, originally knew nothing.  It’s more than only physical tiredness, but it’s also really mentally tiring.  Maybe I’m too much to exaggerating this problem.  But, actually I just wanna focus on what I have to learn from that condition as follows:

Becoming a superior person is much more advantageous that becoming an inferior who is so freely to be asked for doing something by the inferior. 
Becoming a professional lobbyist , although is quite interesting, is not a simple thing, especially to person who is not used to lie easily to another person.
Becoming a professional one, in my personal opinion, needs to serve all people professionally and equally without discriminating them based on the quantity-oriented only (even though that is important, for me personally, people trust and satisfaction as the basic of quality standard are much more important).
Becoming an honest person is sometimes so tiring, but it always end, happily or even sadly.
Becoming vertical-oriented is much more valuable, than horizontal-oriented that will never find an end.

Hopefully you also can learn all the things above when you find your self is in the similar condition as I found once.  Personally, I have no regret to have such thing as I shared above.  However, I’m going to think twice if I asked to be the third person again since I’ve experienced it once so that I knew how it works.  My last word is that as my motto to not regretting anything we did, but made it as our experience.

That’s all the things that I can share with you all guys this time. See you in the next post!

p.s.: do not worry readers because I’m going to keep blogging regularly (again) from now on.  So, keep waiting for my next post, ya! See you again very soon! <3 o:p="">



Jumat, 03 Mei 2013

Sepenggal Renungan HARDIKNAS

Kisruh Penyelenggaraan UN SMA Sederajat 2013

Beberapa pekan ke belakang berita seputar kekisruhan penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) tengah menjadi buah bibir.  Kisruh mengenai penyelenggaraan UN sebenarnya bukan kali pertama terjadi.  Sebelumnya, banyak ditemukan sejumlah pelanggaran dan kecurangan yang pada akhirnya menciderai pelaksanaan UN itu sendiri.  Tahun ini kisruh serupa kembali terjadi, namun jauh lebih parah.  Jika tahun-tahun sebelumnya tidak menyentuh teknis, maka tahun ini justru kendala teknis yang menjadi sumber kekisruhan.   Siapa yang akan sepakat bahwa tidak-ada-masalah jika UN di sejumlah daerah harus diundurkan sampai tiga hari karena perangkat ujian (lembar soal & jawaban) masih tertahan di percetakan?

Hanya orang yang masa bodoh yang akan menganggapnya sebagai suatu yang bukan masalah.   Memang benar mungkin ini adalah kesalahan teknis.  Tetapi kan seharusnya hal semacam ini bisa terantisipasi dari awal.  Kan, sejak jauh-jauh hari waktu pelaksanaan UN sudah ditetapkan, jadi seharusnya pihak dinas pendidikan dan perusahaan percetakan terkait pun sudah harus bisa memperhitungkan dan menyesuaikan waktu penyelesaian percetakan perangkat UN tersebut.  Bila semuanya telah dilaksanakan sesuai prosedur, rasanya kejadian yang secara terang-terangan mencoreng penyelenggaraan UN macam begini tidak semestinya terjadi.  Seolah belum cukup sampai di sana, sejumlah daerah yang telah menerima perangkat UN ini pun tak luput dari masalah. Kali ini persoalannya adalah pada kulitas kertas perangkat UN yang dinilai terlalu tipis sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi banyak peserta UN kalau-kalau LJK-nya mudah sobek dan rusak.

Hal tersebut tentu saja menimbulkan sejumlah pertanyaan di benak publik mengenai keseriusan dari pihak DEPDIKBUD, terutama MENDIKBUD yang dalam hal ini menjadi penanggung jawab utama dalam penyelenggaraan UN.  Selain itu muncul pula tuntutan transparansi anggaran UN  sebagai buntut dari molornya waktu penyelesaian percetakan perangkat UN.  Biaya yang tidak sedikit itu pasti.  Tapi seberapa minimalisnya dana yang dialokasikan sampai-sampai molor dan yang ada pun kualitas kertasnya mengecewakan, itu yang membuat penasaran banyak pihak.  Pada akhirnya tidak sedikit pihak yang beranggaapan ada indikasi penggelapan dana operasional UN alias korupsi di tubuh penyelanggara UN.  Lebih jauh banyak yang meyakini bahwa indikasi tersebut membuktikan telah terjadi politisasi di tubuh pendidikan negeri ini.

Oleh karenanya, kisruh UN ini bisa jadi satu indikator bahwa ada kecacatan dalam penyelanggaraan UN di negeri ini.  Kecacatan tersebut seperti menunjukkan ketidaksiapan dari pihak penyelenggara.  Lebih jauh lagi, keduanya seolah menegaskan bahwa sudah sepatutnya UN ini dihapuskan saja dari sistem pendidikan kita karena toh lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.  Menguji siswa memang harus, akan tetapi tidak usah dipaksakan dengan UN.  Kecuali jika sistem dan pelaku pendidikannya sudah benar-benar terorganisir dengan baik.  Kan siswa dalam hal ini hanya obyek dari sistem pendidikan yang diatur, disahkan, dan diberlakukan oleh subyek pendidikan yang terdiri dari aparat pendidikan dari mulai guru hingga menteri pendidikan.

Quantity-oriented: Sebuah Disorientasi

Tentang nilai dan nilai.  Itulah yang penulis rasakan dari pendidikan kita hari ini.  Bukan nilai secara abstrak, tapi nilai konkrit yang bersimbolkan angka.  Bisa dalam skala 1-10 atau 10-100.  Tergantung.  Dan karena standarnya adalah angka, maka orientasi belajar para siswa pun lebih kepada bagaimana meraih angka sebesar-besarnya, bukan pemahaman yang sedalam-dalamnya dan pengetahuan yang seluas-luasnya.  Akibatnya? Tidak sedikit yang menghalalkan segala cara (baca: mencontek) demi meraih nilai tinggi, dengan mengadaikan pemahamannya terhadap materi yang bersangkutan. 

Apalagi, belakangan ini, orientasi nilai ini semakin ‘didukung’ oleh pemberlakuan sistem Ketentuan Ketuntasan Minimun (KKM).  KKM ini adalah batas nilai minimum yang mesti dicapai siswa untuk bisa dinyatakan lulus dalam satu mata pelajaran.  Sebagai contoh jika seorang siswa mendapat nilai 65 untuk mata pelajaran Matematika yang KKM nya 66, maka ia belum tuntas dalam mata pelajaran tersebut.  Dan siswa bersangkutan wajib mengikuti remedial hingga nilainya mencapai KKM demi menuntaskan tugas belajarnya di mata pelajaran tersebut.

Karuan saja siswa yang tidak ingin repot dua kali akan lebih memilih jalan pintas demi mencapai KKM di kali pertama.  Caranya? Itu tadi berbagai praktek kecurangan seperti mencontek menjadi jurus yang paling jitu dan diminati.  Parahnya lagi, setiap tahunnya, KKM ini terus meningkat.  Bahkan kini sudah banyak sekolah yang menetapkan KKM nya mendekati angka 80.  Angka yang cukup fantastis bukan? Tidak heran bila praktek mencontek pun pada akhirnya semakin kemari semakin marak dan malah jadi terkesan lumrah.  Kan hari ini meraih nilai tinggi sudah bukan lagi masalah gengsi, melainkan tuntutan.  Dan mencotek pun tidak sekedar didorong kemauan, tetapi tuntutan kebutuhan.

Guru bukannya tidak tahu, tetapi berlaga tak tahu alias memaklumi.  Bagaimanapun tuntutan standar nilai yang tinggi mau tidak mau memaksa pendidik berada dalam situasi yang sulit.  Di satu sisi ingin menegakkan idealisme sebagai pendidik berdedikasi yang senantiasa menanamkan kejujuran di kalangan siswanya.  Sementara di sisi lain dibenturkan dengan ego sebagai profesional yang bisa dinilai memiliki kecacatan bila siswanya tidak mampu mencapai KKM. Tentu wajar jika para guru tersebut merasa terjebak dalam dilema semacam begitu.  Bagaimanpun guru adalah manusia dengan segala keterbatasan dan batasannya.  

Baik siswa ataupun guru, bagaimanapun, tidak bisa sepenuhnya disalahkan atas segala kecurangan dan ‘kemasabodohan’nya.   Pendidikan yang sejatinya menekankan pada proses menyeluruh untuk membangun kecerdasan intelektual sekaligus mental spiritual para peserta didiknya, hari ini saat rezim nilai sudah memegang Kendali, bak dikebiri.  Kesuksesan capaian belajar seorang siswa hanya diukur dari satu aspek saja, yakni intelektual.  Itu pun dengan proses yang entah bagaimana.  Sisi mental dan spiritual-nya bukan nya terbangun justru semakin tenggelam.  Ya jika kesadaran mental spiritual-nya terbangun sedari awal, tentu berbagai praktek kecurangan akan bisa diminimalisir, termasuk dalam penyelenggaraan Ujian Nasional yang lagi-lagi bertameng nilai.

UN: When Quantity Doesn’t Meet Quality

Ujian Nasional ini bagi penulis sama seperti KKM yang menopang orientasi nilai itu tadi.  Meskipun judulnya menguji hasil belajar siswa selama tiga tahun, tetapi sama seperti penerapan KKM, maka dalam UN diberlakukan sistem kelulusan.  Bila mencapai standar maka lulus, bila tidak masih bisa asal…atau bahkan tidak lulus.  Masalahnya, juga sama seperti KKM, setiap tahun standar nilainya mengalami peningkatan.  Tujuannya? Konon demi perbaikan kualitas peserta didik.  Apa iya? Sama sekali tidak sepakat.  Santer terdengar bila peningkatan KKM ini demi mengejar standar yang diterapkan oleh negeri tetangga.  Kan kita ini panasan.

Peningkatan mutu standar kelulusan UN itu sayangnya tidak dibarengi dengan upaya peningkatan mutu pendidikan.  Hasilnya? Ada ketimpangan yang ditambal paksa dengan itu tadi, berbagai praktek kecurangan.  Ironisnya, bukan hanya siswa yang terlibat, tapi hampir meliputi seluruh pihak yang berkutat dalam dunia pendidikan termasuk para stake holder.  Bila kekhawatiran siswa berpangkal pada rasa minder jika sampai tidak lulus UN; bagi para stake holder perihal kelulusan itu menyangkut ranah gengsi.  Bukan apa-apa besar tinggi-nya nilai siswa berpengaruh pada tingkat kelulusan siswa di satu sekolah bahkan hingga satu provinsi.  Inilah masalahnya.

Jika saja UN ini benar  untuk menguji tanpa menentukan lulus tidaknya tentu pelanggaran dan kecurangan UN yang tersistem bisa diberantas.  Tidak akan ada kasus ‘pengeroyokan’ orang tua siswa yang melaporkan kecurangan UN oleh satu sekolah.  Tapi ya kembali karena pendidikan kita hari ini lebih berorientasi pada nilai berupa angka, maka kuantitas itu jauh lebih penting dibanding kualitas.  Adalah suatu kebanggan bila tingkat pencapaian satu sekolah hingga propinsi mendekati atau bahkan mecapai 100%.  Makin sempurna dengan nilai rata-rata yang mencapai angka 80-90.  Luar biasa ‘cerdas’ bukan?

Parahnya, gengsi kedaerahan atau kesekolahan cenderung mengamini tren nilai sangat tinggi tersebut.  Adalah sebuah aib bila angka kelulusan di satu sekolah hingga provinsi kurang dari 90%.  Sebaliknya, suatu kebangaan bagi sekolah hingga provinsi dengan kelulusan mendekati bahkan encapai 100%.  Ada semacam reward bernama gengsi yang menyertainya. Sehingga semua berlomba meminimalisir angka ketidaklulusan yang salah satu langkah strategisnya yakni dengan me-mark up nilai siswa melalui salah satu nya membiarkan bahkan ikut terlibat dalam praktik kecurangan yang sistematis.

UN yang pada awalnya ingin mengukur sejauh mana kualitas belajar siswa selama tiga tahun justru berujung pada praktek mark up nilai hasil 3 tahun belajar hanya dalam tempo 3 hari saja.  Indikasi quality-oriented: soal berkode-kode lengkap dengan barcode-nya, niatnya supaya siswa fokus serta meminimalisir tindak kecurangan siswa.  Nyatanya? Siswa resah, gerasak gerusuk, merancang berjuta strategi menyamakan barcode, boro-boro tenang dan fokus.  Kan lucu, ibaratnya ingin hati menggapai gunung apa daya tangan tak sampai.  Buat ngakalin? Naik helikopter alias melalui jalan pintas.
 
Makin lucu semua ketidakkondusifan atmosfer UN tersebut dirancang oleh mereka-mereka sendiri.  Peningkatan mutu nilai standar kelulusan yang naik dari tahun ke tahun.  Varian soal yang dibuat semakin banyak dan variatif.  Aturan main kelulusan yang dirancang dan ditentukan sedemikian rupa.  Malah sekarang UN ini konon dijadikan salah satu nilai yang diakumulasikan untuk masuk universitas.  Ah..semakin diberi peluang saja berbagai tindak kecurangan ini untuk merajalela.  Jangan heran bila ke depan, mahasiswa di perguruan tinggi negeri bisa banyak secara kuantitas namun minim kualitas.  Toh, terlalu muluk bila kita berbicara kualitas di tengan gencarnya ekspansi kuantitas di tengah pendidikan kita.  Jika mindset-nya tidak dirubah, maka penulis harus setuju dengan pernyataan seorang kawan bahwa pendidikan hari ini bukan lagi memanusiakan manusia, melainkan merobotkan manusia.  Dan nilai, angka, jumlah lah sebagai pengendalinya. 

Intinya, ketika kuantitas tidak berbanding lurus dengan kualitas siap-siap menghadapi degradasi peserta didik kita di masa depan.  Artinya bersiap siagalah menyambut generasi yang premature karena hanya berorientasi hasil tanpa memperhatikan proses yang sepatutnya.  Bagi kalian insan pendidikan tanah air, baik pelaku atau paling tidak yang merasa peduli, yuk sama-sama kawal pendidikan hari ini supaya kembali pada orientasi awal yang mengutamakan kualitas peserta didik yang dibarengi dengan kuantitas nilai yang mumpuni, bukan sebaliknya. 

***

Terakhir berikut sepenggal surat terbuka untuk mendikbud.
Kepada MENDIKBUD yth, tolong kembalikan pendidikan di negeri ini pada hakikatnya.  Biarkan para siswa terbiasa dengan proses bukan semata hasil.  Jangan tega-tega nya menggadaikan kualitas demi kuantitas yang besar dan banyak.  Apalah arti kuantitas tanpa diimbangi kualitas yang mumpuni?  Relakah Anda mendapati tingginya angka pengangguran?  Relakah Anda menghasilkan generasi yang prematur  secara pemahaman? 

Selasa, 09 April 2013

Maraton Movies: MADRE &TAMPAN TAILOR

tabloid Bintang Indonesia dok
Hari itu adalah kali ketiga (kalau ingatan penulis belum seterganggu kata hasil cek pemeriksaan kesehatan beberapa hari lalu) penulis melaksanakan aktivitas marathon film.  Yups, betul sekali, sesuai namanya marathon film itu ya penulis nonton dua film berturut-turut di hari yang sama.  Capek? Paling matanya aja ya karena harus fokus ke layar besar selama paling tidak 3 jam (anggap aja lagi nonton film Bollywood).  Pertama kali maraton film itu sekitar 2005 (entah sebelum, pas, atau sesudahnya *lupa*) dan yang dimaratonkan adalah film “Doraemon the Movie” dilanjut “Apa Artinya Cinta”.  Kedua kalinya saat berturut-turut menyaksikan “Transformer 2” dan “Rumah Dara .  Dan yang terbaru sekitar sepekan yang lalu saat penulis akhirnya memutuskan untuk memarantonkan dua film-nya bang Vino GB yang entah apa pun motifnya tayang berbarengan, “Madre” dan “Tampan Tailor”.  Penulis sih sudah tidak akan lagi membahas dua marathon film sebelumnya, hanya akan fokus pada marathon film yang terakhir.  Kenapa? Ya karena yang lalu biarlah berlalu (baca: udah pada lupa), mari fokus pada yang terakhir yang jadi asyik dibahas karena kedua film yang dimaratonkan seperti yang sudah diungkap di awal sama-sama dibintangi oleh bang Vino GB, salah satu aktor dalam negeri favorit penulis (apalagi pas amasih lajang #loh).  Ya, berhubung dibintangi oleh pemeran yang sama, otomatis perbandingan tak akan terelakkan.  Tapi jangan khawatir penulis sih bakal berusaha memaparkan secara terpisah dahulu sebelum mempertemukan mereka kembali di akhir *hyaa..sami sareng*.  So please enjoy this!

#MADRE#

Cantik & Ganteng, tapi sayang kurang bisa dinikmati kebersamaanya ^^
Agak sedikit berbeda tapi masih berhubungan dari dan dengan “Perahu Kertas” yang penulis baca setelah mendengar kabar produksi film-nya, untuk ‘Madre’ yang sama-sama ditulis mbak Dewi Lestari ini penulis sudah baca bahkan sebelum hingar bingar produksi film-nya menggaung di kolom berita.  Tapi, tak bisa dipungkiri, bahwa awal perkenalan penulis dengan novelet ini pun tak terlepas dari perkenalan penulis dengan “Perahu Kertas”.  Syukurnya adalah, penulis tidak cukup terlambat untuk mengenali dan lalu melahap kisah ‘Madre’ versi tulisannya. Dan ketika muncul kabar tentang produksi film dari novel yang disebut-sebut best of, karuan saja rasa penasaran penulis menanjak hingga level BANGET.  Apalagi setelah terungkap bahwa yang cast-ya bang Vino GB dan teteh Laura Basuki giliran antuasiasme yang menguat hingga level BANGET.  Belum lagi lokasi syuting-nya yang ternyata tidak jauh dari lokasi tempat penulis sempat intens beraktivitas tahun lalu, kan makin membuat pengen segera menikmati film-nya—yang ternyata tayang Maret ini, yang berarti berbulan-bulan lamanya sejak rasa penasaran dan antusias ini menguat.  POKOKNYA ALL ABOUT MADRE MADE ME SO SO SO CURIOUS!

Dan hasilnya? Jreng..jreng..jreng…My curiosity, to be honest, turn into a disappointmentWhy? Let you find after the synopsisWell, seperti bukunya, “Madre” rasa audio-visual ini berpusat pada kisah Tansen (Vino GB), seorang ahli waris dari ‘Tan de Baker’, sebuah toko roti klasik milik mendiang kakeknya yang sudah tidak lagi beroperasi selama belasan tahun.  Berkat setoples biang roti bernama ‘madre’ yang dijaga dengan sangat telatennya oleh Pak Hadi (Didi Petet), rekan sekaligus sahabat sang kakek, ia pun bisa terhubung dengan Meilan Tanuwidjaja (Laura Basuki), pemilik toko roti modern “Fairy Bread”, yang sudah sejak lama mengagumi bahkan terobsesi dengan madre. 

Perkenalannya dengan madre memberi banyak warna baru dalam hidup Tansen yang sebelumnya hanya terfokus pada laut, pantai, dan ombak.  Ya, sebelum bertemu madre ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di pulau Dewata, bersahabat dengan ombak dan kedamaian (baca: rutinitas monoton).  Tapi, madre membuat hidupnya berubah 180°.  Mengenal pak Hadi dkk, Mei, membuatnya tertahan di Bandung dan malah menjadi pembuat roti.  Sempat hendak menjual harta terbesarnyaa. “Madre”, pada Mei, toh akhirnya ia memiliki ikatan mendalam dengan ‘Madre’ dan apa-apa yang berkaitan dengan ‘Madre’ yang belakangan diketahuinya berarti ibu dan bahkan dijaganya bak ibu sungguhan.

Selebihnya? ya sebagaimana yang terkisah di bukunya.  Hanya saja ada sejumlah tokoh tambahan semisal James (Framly), yang calon suami Mei di versi film-nya ini.  Kehadiran tokoh baru sih sepengrasaan penulis yang penikmat film ini tidaak terlalu memberi efek apa gimanaaa gitu.  Kan, durasi munculnya pun hanya sekian menit saja.  Jadi, ada tau tidak ada pun rasanya tidak terlalu berpengaruh. Eh ada deng sedikit, soalnya versi bukunya mah sih konfliknya cenderung tidak meledak-ledak, ya jadi kurang unsur dramatisasi nya kali kalau itu tokoh James gak muncul. Mungkin.

Secara keseluruhan jujur saja penulis rada kecewa dengan hasil akhir film ini.  Jalan ceritanya sebenarnya tidak banyak yang berbeda dari bukunya, adapun beberapa yang berbeda ya hanya penyesuaian-penyesuaian saja dengan versi audio-visual.  Chemistry Vino-Laura bagi penulis pribadi kurang terasa hangat kecuali durasi filmnya diperpanjang 30 menit mungkin ya.  Entah sih, mungkin karena adegan romantis-nya nanggung. Lagi-lagi mungkin.  Tapi iya ah, penulis rada bingung sama fokus ceritanya.  Mau tentang jatuh bangun usaha roti, kurang kerasa maksimal.  Mau mengumbar romantisme, kok kayak ditahan-tahan.  Jadi? Penulis sih kurang dibikin sengiler roti buatan Tansen, seterkagum sama badan jenjangnya Laura Basuki, dan sebetah mendengarkan “Jodoh pasti Bertemu”-nya Afgan sama film-nya sendiri.  Meski demikian, penulis sih tetap merekomendasikan film ini.  


~~~

#TAMPAN TAILOR#



Ini film rada ajaib sih kalau bagi penulis.  kenapa? Soalnya kan kalau ‘Madre’ penulis sudah tau dan mengantisipasi sejak berbulan-bulan sebelumnya.  Eh film ini tiba-tiba saja link trailer-nya di RT sama akun twitter-nya bang Vino.  Penasaran dong, ya ikutan ngeklik, dan ya-ampun-film-apa-pula-kok-ada-bang Vino-nya itu yang muncul di benak penulis.  Kece juga sih trailernya.  Ada anak kecil yang dicurigai sebagai anak-nya bang Vino, dan mbak Marsha Timothy bisa jadi berperan sebagai istrinya atau paling tidak bakal berpasangan dengan bang Vino-nya.  Dan kalau ‘Madre’ penulis yakin premiere-nya di tanggal 28, nah ‘Tampan Tailor’ ini penulis yakin gak yakin.  Wajar sih, kan ‘Madre’ promo-nya WOW BGT, nah ‘Tampan Tailor’ cenderung seadanya.  Setelah menyaksikan via youtube tempo hari, setelahnya sekali dua kali penulis saksikan trailer-nya di sela-sela komersial break di televisi swasta nasional.  Selebihnya? Ya paling dari RT-an nya bang Vino di twitter. That’s all. Untung yang mainnya bang Vino, jadi tanpa promo jor-joran pun penulis tetap ingat sih dan memasukan film-nya ke dalam list a-must-see-movie

Film ini ternyata benar adanya berfokus pada hubungan ayah-anak.  Topan (Vino GB) dan Bintang (Jefan Nathanio) terpaksa jadi tuna wisma dadakan setelah gerai ‘Tampan Tailor’ miliknya disita pihak bank.  Ya, Topan ini dulunya berprofesi sebagai penjahit dan bersama almarhumah istrinya mengembangkan butik jahit ‘Tampan Tailor’ yang merupakan gabungan dari nama Tami, sang istri, dan Topan sendiri.  Beruntung ia masih memiliki Asep (Ringgo Darman), satu-satunya kerabat yang ia miliki di Jakarta.  Menumpanglah Topan dan Bintang di rumah petak Darman yang sudah sesak oleh istri dan keempat anaknya.  Tak kunjung mendapat pekerjaan memaksa Topan mengikuti jejak Darman menjadi calo kereta api.  Apalagi Bintang, anaknya, sudah tak diperbolehkan lagi masuk sekolah setelah menunggak biaya berbulan-bulan.

Pada Bintang, Topan berkilah kalau pekerjaannya itu semacam intel yang kece badai di matanya dan bahwa ia tidak dulu sekolah karena harus libur dulu.  Bintang sendiri pada akhirnya banyak menghabiskan waktu melihat ikan di warung Prita (Marsha Timothy) pemilik kios Fotocopy sekaligus tempat penitipan anak.  Prita ini bak dewi penolong bagi pasangan ayah-anak ini.  Ia yang mengamankan Bintang saat sang ayah diinapkan di kantor polisi, juga iya yang memperkenalkan Topan pada salah satu manajer di perusahaan pembuat setelan jas.  Tak heran jika pada akhirnya Topan pun jatuh hati pada gadis berpembawaan jutek ini. 

Dan cerita pun bergulir pada perjuangan Topan dalam pekerjaannya.  Pasang surut hubungannya dengan Prita.  Dan, tentu saja, keeratan ikatan ayah-anak antara Topan dan Bintang yang cukup mendominasi cerita.  Overall, kisahnya menyentuh walaupun gak sampai bikin penulis meneteskan air mata.  Chemistry Vino sama yang jadi anaknya terjalin sangat baik.  Kisah asmara Topan dengan Prita pun sungguh diberi porsi yang wajar, tidak berlebihan.  Ya kalau chemistry Vino-Marsha nya sendiri sih gausah dibahas, udah suami istri beneran juga kan ya gimana gak dapet.  Penampilan Ringgo Darman sebagai Asep dengan keluarga ajaib-nya pun cukup memberi warna tersendiri.  Secara keseluruhan film ini berhasil menyajikan satu tontonan yang seenak dan serapi melihat jas jahitan Topan.  Satu-satunya yang patut disayangkan adalah promo film-nya yang terbilang minim.  Untung cast-nya menjual, jadi ya kalaupun penontonnya sepi gak pake level BANGET.



*****
Madre vs Tampan Tailor: When Promotion is the Main Cast

Oke. Berhubung dua-duanya film bang Vino, jadi sah-sah aja dong ya kalau penulis mau ngebandingin? Sah? Sah! *ala ijab Kabul*.  Nih, kalau dari segi tema cerita, sebenarnya “Madre” lebih potensial sih untuk dikembangkan.  Tema kuliner-nya cukup fresh lah untuk ukuran film Indonesia.  Kalau tema yang diangkat di ‘Tampan Tailor’ cenderung lebih lumrah.  Fokus hubungan ayah-anak kan udah sempat dimunculkan di beberapa film Indonesia semisal ‘King’ dan banyak lainnya.  Nah, tapi kalau dari segi penceritaannya penulis lebih suka dan lebih engaged sama ‘Tampan Tailor’.  ‘Madre’ bagi penulis kurang ada letupan-letupan yang bisa bikin ceritanya lebih menggigit dan lebih lezat, malah cenderung datar karena serba nagging *bagi penulis lho ya*.  Dari segi chemistry-nya, gak ada yang salah sih dengan duet Vino-Laura, hanya saja jalan cerita yang kurang berpihak pada intensitas dan porsi kebersamaan keduanya tidak membuat chemistry mereka terjalin dengan cetar membahana dan kurang terpampang nyata.  Sayang.  Sementara chemistry Vino-anaknya sangat terbangun erat dengan porsi kebersamaan yang intens di hampir sepanjang film.  Apalagi? Hmmh..dari ‘Madre’ penulis rada terganggu dengan rambut gimbalnya Tansen, kecentilan kurang wajar-nya bu Qory, figuran yang nampak sangat kefiguranannya di sekitar Tan de Baker Bakery, ketidakjelasan penyelesaian akhir hubungan Mei-James, kenanggungan porsi keintiman Tansen-Mei.  Tapi sangat suka dengan soundtrack “Jodoh Pasti Bertemu” nya Afgan yang kece, Laura Basuki nya yang shining, dan…udah deh kayaknya.  Nah sedangkan di ‘Tampan Tailor’ penulis cukup terganggu dengan apa ya…rasanya hampir tidak ada kecuali keheranan pas Prita tiba-tiba muncul siang bolong pesen kopi di kios sekitar stasiun dengan menyisakan pertanyaan lah-itu-kiosnya-siapa-yang-jaga-? Emang-kiosnya-deket-ke-stasiun-ya-?, promonya yang minim dan emang kurang niat sama soundtrack-nya yang juga memakai lagu yang sudah available, bukan khusus diciptakan untuk kebutuhan film. Jadilah soundtrack yang apa adanya, sekalipun sah-sah saja. Kesimpulannya adalah bahwa promo jor-joran tidak jadi jaminan bahwa filmnya seWAH promonya.  Dan jangan sampai film bDarman rada terlewatkan justru karena promo yang minim dan kurang niat.  Dua-duanya sungguh disayangkan.  Suka atau tidak pada akhirnya sangat bergantung pada selera masing-masing.  Saya, apa yang saya ungkapkan dan tuangkan di sini, ya itulah selera saya, berdasarkan apa yang saya rasakan selama menikmati kedua film tersebut secara marathon. Anda ya silakan dengan selera Anda.   Yang satu selera ya terima kasih, yang beda selera ya tak masalah.  Yang masih bingung dan jadi penasaran ya buruan aja gih ke bioskop terdekat sebelum pada turun layar! :)

Nih spesial untuk kalian :))

Minggu, 28 Oktober 2012

IPA-IPS: Popularitas vs Stereotipe


http://ibnulinggasakti.wordpress.com/2009/11/page/2/

“Berdasarkan pengalaman tahun lalu, peminat ke jurusan IPA itu jauh lebih banyak daripada ke jurusan IPS, maka punten saja ketika kuota sudah penuh, kami potong, sisanya masuk kelas IPS karena hanya ada 5 kelas IPA di sekolah kita ini.  Jadi, bagi murid kelas X yang ingin masuk IPA diharapkan bisa belajar sungguh-sungguh supaya masuk dalam kuota tersebut.” begitulah salah satu petikan pesan yang disampaikan oleh seorang kepala sekolah di salah satu sekolah menengah negeri di kota Bandung dalam suatu upacara hari senin pagi.  Saya, yang juga berada di situ takjub dan tertegun saja mendengar ucapan beliau.  Saya memang takjub, namun ketakjuban saya bukan karena terpesona oleh isi pidato beliau, melainkan lebih kepada kok kenapa bisa terlontar ucapan seperti itu dari beliau.  Ada yang salah? Tidak juga sih, mungkin.  Ya, secara umum dan objektif  himbauan yang beliau berikan sepertinya tidak ada muatan negatif.  Akan tetapi, secara subyektif saya sih merasa keberatan dengan himbauan yang beliau berikan.  Apa pasal? Berikut saya jabarkan poin-poin yang tidak bisa saya sepakati dari pernyataan beliau.

Pertama, pengkultusan jurusan IPA.  Sudah jadi stigma umum dan dipertahankan sekian tahun lamanya bahwa jurusan IPA dipandang lebih tinggi secara strata soasial dibanding kelas sosialnya itu sendiri.  Cap anak pintar dan baik-baik begitu melekat dengan para penghuni IPA, sebaliknya hampir semua stigma negatif mau tidak mau ditujukan pada mereka warga IPS.  Kan, kalau yang pintar identik dengan IPA, berarti IPS identik dengan? Ah, saya sih tidak berani menjawab ya, khawatir ada yang keberatan.  Karena sebenarnya saya sendiri pun keberatan.  Tidak semua yang masuk IPA memiliki kemampuan akademis yang lebih dari kaum IPS yang termarjinalkan, sepengalaman saya.  Waktu zaman saya SMA ada kok satu anak yang level kepintarannya setara dengan anak terpintar di IPA, tapi dia toh berstatus ‘makhluk’ sosial.  Implikasinya apa? Dia tetap menjadi yang terbaik di lingkungan mana pun ia menetap.  Dari kelas satu peringkat sebagai bintang kelas tak pernah lepas dari genggamannya.  Dan, kasus teman saya ini akan menggiring kita menuju poin kedua.

Bagi saya dan berdasarkan pada pengalaman teman saya di atas, menjadi anak IPS itu tidak selamanya merupakan takdir, akan tetapi dalam beberapa kasus hal tersebut merupakan pilihan.  Pilihan yang dilakukan secara sadar, bukan karena terpaksa karena tidak mencukupi masuk IPA dari segi kuantitas nilai, tidak pula karena tak ada pilihan lain.  Dan, tidak sedikit dari mereka-mereka yang memilih IPS itu dilandasi kesadaran bahwa pada akhirnya mereka memang akan dan ingin menempuh program studi berbasis IPS seperti manajemen, akuntansi, ekonomi, dsb.  Saya kemudian berangkat dari fenomena tersebut iseng mengelompokkan mengelompokkan siswa IPS ke dalam dua kategori: Siswa yang dipilih takdir dan siswa yang memilih takdirnya sendiri.  Sama? beda lho.  Kalau yang kategori pertama ya mereka-mereka yang entah karena nilai IPA-nya tidak mencukupi, kuota masuk IPA sudah habis, dll sehingga dinyatakan gagal menjadi anak IPA.  Sedangkan kategori yang kedua diperuntukkan bagi mereka yang memang sedari awal sudah menentukan sikap untuk masuk IPS, tanpa peduli nilainya cukup atau tidak ke IPA.  Dan, tanpa bermaksud mengeneralisasi kebanyakan mereka yang masuk kategori kedua, mereka sebenarnya sangat berpotensi masuk IPA baik dari segi kuantitas nilai ataupun kapasitas keilmuannya.

Poin selanjutnya adalah himbauan untuk menyeriusi mata pelajaran MAFIKIBI (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi) seolah makin menegaskan kedigdayaan dan popularitas IPA di atas IPS.  Ini serius.  Bagi saya pernytaan tersebut sudah terlalu berlebihan.  Jika saya menjadi guru mata pelajaran IPS, sangat mungkin saya akan merasa tersinggung atau minimal terusik dengan himbauan yang diskriminatif tersebut.  Ya sekalipun sudah jadi sesuatu yang dimahfumi banyak pihak seharusnya keberpihakkan secara berlebih pada satu program mesti dihilangkan, terlebih di ranah sekola menengah.  Bisa dimaklumi jika ranah pendidikan kita adalah kejuruan yang memang sedari awal sudah memfokuskan diri pada satu bidang.  Saya, sebagai calon guru mata pelajaran umum saja merasa terusik.  Dan jika saya adalah siswa saya akan berfikiran naïf untuk mengesampingkan pelajaran lain di luar MAFIKIBI yang pada prakteknya hari ini dinilai tidak seurgen dan serelevan MAFIKIBI.  Syukurlah saya sudah bukan siswa lagi.

Maksud himbauan di atas mungkin baik, mendorong siswa untuk giat belajar sejak dini (baca: kelas X).  maklum lah siswa zaman sekarang mentang-mentang didukung oleh mudahnya akses informasi maunya serba instan.  Waktu saya masih berseragam putih abu, akses internet masih terbatas.  Sekarang? Beragam paket dengan sistem kuota hingga unlimited  bak kacang goreng sehingga akses informasi sangat mudah menyebar dan diterima.  Efeknya? Siswa malas baca lah, enggan belajar lah, sungkan mengerjakan tugaslah, semuanya berakar dari satu hal: terbiasa disuguhi yang serba instan.  Bahkan ulangan pun rasanya tidak afdol jika tidak lirik kanan-kiri.  Nah, tapi yang disayangkan himbauan positif ini beriringan dengan citra negatif atas pengekerdilan jurusan lain, atau mata pelajaran lain diluar mata pelajaran inti IPA, MAFIKIBI itu tadi.

Mohon maaf sekali Bapak, saya bukannya tidak ingin menghormati Bapak, saya hanya kurang sepaham dengan amanat yang Bapak sampaikan dalam upacara tempo hari.  Saya mungkin orang yang baru seumur jagung, masih terlalu hijau berkecimpung sebagai subyek di ranah pendidikan.  Tetapi saya telah lama sekali menjadi obyek pendidikan, sejak 17 tahun lalu hingga detik ini.  Paling tidak saya bisa mengungkapkan pandangan saya dari sudut objek pendidikan.  Paling tidak apa yang saya ungkapkan di atas mewakili posisi saya sebagai objek pendidikan.  Semakin diperkuat ketika saya menjadi subjek menu saja.  pendidikan.  Artinya ketika  saya terlibat langsung saya menjadi sedikit-sedikit paham bagaimana cara penilaian guru, aspek apa saja yang dinilai sampai keharusan untuk mencapai standar ketuntasan minimum (KKM) yang dalam beberapa kasus meletupkan pemberontakan dalam hati saya.  KKM ini seolah menegaskan quantity-oriented dalam pendidikan formal kita hari ini sebagaimana halnya pengkultusan jurusan IPA di atas yang berorientasi pada jumlah dan nilai.  Kan, tidak disinggung aspek minat disana, yang ada hanya unsur bakat yang diwakili angka (baca: nilai mata pelajaran).  Sementara dalam beberapa teori, pemilihan jurusan alangkah baiknya didasari oleh sinergisitas aspek minat dan bakat.  Bakat memang bisa diasah, minat pun bisa ditumbuhkan; namun apakah keduanya bisa dipaksakan?