Selasa, 09 April 2013

Maraton Movies: MADRE &TAMPAN TAILOR

tabloid Bintang Indonesia dok
Hari itu adalah kali ketiga (kalau ingatan penulis belum seterganggu kata hasil cek pemeriksaan kesehatan beberapa hari lalu) penulis melaksanakan aktivitas marathon film.  Yups, betul sekali, sesuai namanya marathon film itu ya penulis nonton dua film berturut-turut di hari yang sama.  Capek? Paling matanya aja ya karena harus fokus ke layar besar selama paling tidak 3 jam (anggap aja lagi nonton film Bollywood).  Pertama kali maraton film itu sekitar 2005 (entah sebelum, pas, atau sesudahnya *lupa*) dan yang dimaratonkan adalah film “Doraemon the Movie” dilanjut “Apa Artinya Cinta”.  Kedua kalinya saat berturut-turut menyaksikan “Transformer 2” dan “Rumah Dara .  Dan yang terbaru sekitar sepekan yang lalu saat penulis akhirnya memutuskan untuk memarantonkan dua film-nya bang Vino GB yang entah apa pun motifnya tayang berbarengan, “Madre” dan “Tampan Tailor”.  Penulis sih sudah tidak akan lagi membahas dua marathon film sebelumnya, hanya akan fokus pada marathon film yang terakhir.  Kenapa? Ya karena yang lalu biarlah berlalu (baca: udah pada lupa), mari fokus pada yang terakhir yang jadi asyik dibahas karena kedua film yang dimaratonkan seperti yang sudah diungkap di awal sama-sama dibintangi oleh bang Vino GB, salah satu aktor dalam negeri favorit penulis (apalagi pas amasih lajang #loh).  Ya, berhubung dibintangi oleh pemeran yang sama, otomatis perbandingan tak akan terelakkan.  Tapi jangan khawatir penulis sih bakal berusaha memaparkan secara terpisah dahulu sebelum mempertemukan mereka kembali di akhir *hyaa..sami sareng*.  So please enjoy this!

#MADRE#

Cantik & Ganteng, tapi sayang kurang bisa dinikmati kebersamaanya ^^
Agak sedikit berbeda tapi masih berhubungan dari dan dengan “Perahu Kertas” yang penulis baca setelah mendengar kabar produksi film-nya, untuk ‘Madre’ yang sama-sama ditulis mbak Dewi Lestari ini penulis sudah baca bahkan sebelum hingar bingar produksi film-nya menggaung di kolom berita.  Tapi, tak bisa dipungkiri, bahwa awal perkenalan penulis dengan novelet ini pun tak terlepas dari perkenalan penulis dengan “Perahu Kertas”.  Syukurnya adalah, penulis tidak cukup terlambat untuk mengenali dan lalu melahap kisah ‘Madre’ versi tulisannya. Dan ketika muncul kabar tentang produksi film dari novel yang disebut-sebut best of, karuan saja rasa penasaran penulis menanjak hingga level BANGET.  Apalagi setelah terungkap bahwa yang cast-ya bang Vino GB dan teteh Laura Basuki giliran antuasiasme yang menguat hingga level BANGET.  Belum lagi lokasi syuting-nya yang ternyata tidak jauh dari lokasi tempat penulis sempat intens beraktivitas tahun lalu, kan makin membuat pengen segera menikmati film-nya—yang ternyata tayang Maret ini, yang berarti berbulan-bulan lamanya sejak rasa penasaran dan antusias ini menguat.  POKOKNYA ALL ABOUT MADRE MADE ME SO SO SO CURIOUS!

Dan hasilnya? Jreng..jreng..jreng…My curiosity, to be honest, turn into a disappointmentWhy? Let you find after the synopsisWell, seperti bukunya, “Madre” rasa audio-visual ini berpusat pada kisah Tansen (Vino GB), seorang ahli waris dari ‘Tan de Baker’, sebuah toko roti klasik milik mendiang kakeknya yang sudah tidak lagi beroperasi selama belasan tahun.  Berkat setoples biang roti bernama ‘madre’ yang dijaga dengan sangat telatennya oleh Pak Hadi (Didi Petet), rekan sekaligus sahabat sang kakek, ia pun bisa terhubung dengan Meilan Tanuwidjaja (Laura Basuki), pemilik toko roti modern “Fairy Bread”, yang sudah sejak lama mengagumi bahkan terobsesi dengan madre. 

Perkenalannya dengan madre memberi banyak warna baru dalam hidup Tansen yang sebelumnya hanya terfokus pada laut, pantai, dan ombak.  Ya, sebelum bertemu madre ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di pulau Dewata, bersahabat dengan ombak dan kedamaian (baca: rutinitas monoton).  Tapi, madre membuat hidupnya berubah 180°.  Mengenal pak Hadi dkk, Mei, membuatnya tertahan di Bandung dan malah menjadi pembuat roti.  Sempat hendak menjual harta terbesarnyaa. “Madre”, pada Mei, toh akhirnya ia memiliki ikatan mendalam dengan ‘Madre’ dan apa-apa yang berkaitan dengan ‘Madre’ yang belakangan diketahuinya berarti ibu dan bahkan dijaganya bak ibu sungguhan.

Selebihnya? ya sebagaimana yang terkisah di bukunya.  Hanya saja ada sejumlah tokoh tambahan semisal James (Framly), yang calon suami Mei di versi film-nya ini.  Kehadiran tokoh baru sih sepengrasaan penulis yang penikmat film ini tidaak terlalu memberi efek apa gimanaaa gitu.  Kan, durasi munculnya pun hanya sekian menit saja.  Jadi, ada tau tidak ada pun rasanya tidak terlalu berpengaruh. Eh ada deng sedikit, soalnya versi bukunya mah sih konfliknya cenderung tidak meledak-ledak, ya jadi kurang unsur dramatisasi nya kali kalau itu tokoh James gak muncul. Mungkin.

Secara keseluruhan jujur saja penulis rada kecewa dengan hasil akhir film ini.  Jalan ceritanya sebenarnya tidak banyak yang berbeda dari bukunya, adapun beberapa yang berbeda ya hanya penyesuaian-penyesuaian saja dengan versi audio-visual.  Chemistry Vino-Laura bagi penulis pribadi kurang terasa hangat kecuali durasi filmnya diperpanjang 30 menit mungkin ya.  Entah sih, mungkin karena adegan romantis-nya nanggung. Lagi-lagi mungkin.  Tapi iya ah, penulis rada bingung sama fokus ceritanya.  Mau tentang jatuh bangun usaha roti, kurang kerasa maksimal.  Mau mengumbar romantisme, kok kayak ditahan-tahan.  Jadi? Penulis sih kurang dibikin sengiler roti buatan Tansen, seterkagum sama badan jenjangnya Laura Basuki, dan sebetah mendengarkan “Jodoh pasti Bertemu”-nya Afgan sama film-nya sendiri.  Meski demikian, penulis sih tetap merekomendasikan film ini.  


~~~

#TAMPAN TAILOR#



Ini film rada ajaib sih kalau bagi penulis.  kenapa? Soalnya kan kalau ‘Madre’ penulis sudah tau dan mengantisipasi sejak berbulan-bulan sebelumnya.  Eh film ini tiba-tiba saja link trailer-nya di RT sama akun twitter-nya bang Vino.  Penasaran dong, ya ikutan ngeklik, dan ya-ampun-film-apa-pula-kok-ada-bang Vino-nya itu yang muncul di benak penulis.  Kece juga sih trailernya.  Ada anak kecil yang dicurigai sebagai anak-nya bang Vino, dan mbak Marsha Timothy bisa jadi berperan sebagai istrinya atau paling tidak bakal berpasangan dengan bang Vino-nya.  Dan kalau ‘Madre’ penulis yakin premiere-nya di tanggal 28, nah ‘Tampan Tailor’ ini penulis yakin gak yakin.  Wajar sih, kan ‘Madre’ promo-nya WOW BGT, nah ‘Tampan Tailor’ cenderung seadanya.  Setelah menyaksikan via youtube tempo hari, setelahnya sekali dua kali penulis saksikan trailer-nya di sela-sela komersial break di televisi swasta nasional.  Selebihnya? Ya paling dari RT-an nya bang Vino di twitter. That’s all. Untung yang mainnya bang Vino, jadi tanpa promo jor-joran pun penulis tetap ingat sih dan memasukan film-nya ke dalam list a-must-see-movie

Film ini ternyata benar adanya berfokus pada hubungan ayah-anak.  Topan (Vino GB) dan Bintang (Jefan Nathanio) terpaksa jadi tuna wisma dadakan setelah gerai ‘Tampan Tailor’ miliknya disita pihak bank.  Ya, Topan ini dulunya berprofesi sebagai penjahit dan bersama almarhumah istrinya mengembangkan butik jahit ‘Tampan Tailor’ yang merupakan gabungan dari nama Tami, sang istri, dan Topan sendiri.  Beruntung ia masih memiliki Asep (Ringgo Darman), satu-satunya kerabat yang ia miliki di Jakarta.  Menumpanglah Topan dan Bintang di rumah petak Darman yang sudah sesak oleh istri dan keempat anaknya.  Tak kunjung mendapat pekerjaan memaksa Topan mengikuti jejak Darman menjadi calo kereta api.  Apalagi Bintang, anaknya, sudah tak diperbolehkan lagi masuk sekolah setelah menunggak biaya berbulan-bulan.

Pada Bintang, Topan berkilah kalau pekerjaannya itu semacam intel yang kece badai di matanya dan bahwa ia tidak dulu sekolah karena harus libur dulu.  Bintang sendiri pada akhirnya banyak menghabiskan waktu melihat ikan di warung Prita (Marsha Timothy) pemilik kios Fotocopy sekaligus tempat penitipan anak.  Prita ini bak dewi penolong bagi pasangan ayah-anak ini.  Ia yang mengamankan Bintang saat sang ayah diinapkan di kantor polisi, juga iya yang memperkenalkan Topan pada salah satu manajer di perusahaan pembuat setelan jas.  Tak heran jika pada akhirnya Topan pun jatuh hati pada gadis berpembawaan jutek ini. 

Dan cerita pun bergulir pada perjuangan Topan dalam pekerjaannya.  Pasang surut hubungannya dengan Prita.  Dan, tentu saja, keeratan ikatan ayah-anak antara Topan dan Bintang yang cukup mendominasi cerita.  Overall, kisahnya menyentuh walaupun gak sampai bikin penulis meneteskan air mata.  Chemistry Vino sama yang jadi anaknya terjalin sangat baik.  Kisah asmara Topan dengan Prita pun sungguh diberi porsi yang wajar, tidak berlebihan.  Ya kalau chemistry Vino-Marsha nya sendiri sih gausah dibahas, udah suami istri beneran juga kan ya gimana gak dapet.  Penampilan Ringgo Darman sebagai Asep dengan keluarga ajaib-nya pun cukup memberi warna tersendiri.  Secara keseluruhan film ini berhasil menyajikan satu tontonan yang seenak dan serapi melihat jas jahitan Topan.  Satu-satunya yang patut disayangkan adalah promo film-nya yang terbilang minim.  Untung cast-nya menjual, jadi ya kalaupun penontonnya sepi gak pake level BANGET.



*****
Madre vs Tampan Tailor: When Promotion is the Main Cast

Oke. Berhubung dua-duanya film bang Vino, jadi sah-sah aja dong ya kalau penulis mau ngebandingin? Sah? Sah! *ala ijab Kabul*.  Nih, kalau dari segi tema cerita, sebenarnya “Madre” lebih potensial sih untuk dikembangkan.  Tema kuliner-nya cukup fresh lah untuk ukuran film Indonesia.  Kalau tema yang diangkat di ‘Tampan Tailor’ cenderung lebih lumrah.  Fokus hubungan ayah-anak kan udah sempat dimunculkan di beberapa film Indonesia semisal ‘King’ dan banyak lainnya.  Nah, tapi kalau dari segi penceritaannya penulis lebih suka dan lebih engaged sama ‘Tampan Tailor’.  ‘Madre’ bagi penulis kurang ada letupan-letupan yang bisa bikin ceritanya lebih menggigit dan lebih lezat, malah cenderung datar karena serba nagging *bagi penulis lho ya*.  Dari segi chemistry-nya, gak ada yang salah sih dengan duet Vino-Laura, hanya saja jalan cerita yang kurang berpihak pada intensitas dan porsi kebersamaan keduanya tidak membuat chemistry mereka terjalin dengan cetar membahana dan kurang terpampang nyata.  Sayang.  Sementara chemistry Vino-anaknya sangat terbangun erat dengan porsi kebersamaan yang intens di hampir sepanjang film.  Apalagi? Hmmh..dari ‘Madre’ penulis rada terganggu dengan rambut gimbalnya Tansen, kecentilan kurang wajar-nya bu Qory, figuran yang nampak sangat kefiguranannya di sekitar Tan de Baker Bakery, ketidakjelasan penyelesaian akhir hubungan Mei-James, kenanggungan porsi keintiman Tansen-Mei.  Tapi sangat suka dengan soundtrack “Jodoh Pasti Bertemu” nya Afgan yang kece, Laura Basuki nya yang shining, dan…udah deh kayaknya.  Nah sedangkan di ‘Tampan Tailor’ penulis cukup terganggu dengan apa ya…rasanya hampir tidak ada kecuali keheranan pas Prita tiba-tiba muncul siang bolong pesen kopi di kios sekitar stasiun dengan menyisakan pertanyaan lah-itu-kiosnya-siapa-yang-jaga-? Emang-kiosnya-deket-ke-stasiun-ya-?, promonya yang minim dan emang kurang niat sama soundtrack-nya yang juga memakai lagu yang sudah available, bukan khusus diciptakan untuk kebutuhan film. Jadilah soundtrack yang apa adanya, sekalipun sah-sah saja. Kesimpulannya adalah bahwa promo jor-joran tidak jadi jaminan bahwa filmnya seWAH promonya.  Dan jangan sampai film bDarman rada terlewatkan justru karena promo yang minim dan kurang niat.  Dua-duanya sungguh disayangkan.  Suka atau tidak pada akhirnya sangat bergantung pada selera masing-masing.  Saya, apa yang saya ungkapkan dan tuangkan di sini, ya itulah selera saya, berdasarkan apa yang saya rasakan selama menikmati kedua film tersebut secara marathon. Anda ya silakan dengan selera Anda.   Yang satu selera ya terima kasih, yang beda selera ya tak masalah.  Yang masih bingung dan jadi penasaran ya buruan aja gih ke bioskop terdekat sebelum pada turun layar! :)

Nih spesial untuk kalian :))

Balada Anak Perempuan Tertua (di Awal 20-an)



“Sok aja kamu pilih: mau lulus dulu atau nikah dulu!” begitulah penawaran yang sekonyong-konyong ibu saya berikan.

Dalam hati saya hanya menghela nafas panjang.  Tentu kalau memang itu adalah tawaran yang berujung pilihan yang mesti saya pilih ya saya tahu pasti jawabannya adalah yang pertama.  Kenapa? Ya karena memang itulah prioritas saya saat ini.  Memang sih beberapa tahun ke belakang saya juga mempunyai hasrat untuk menikah di usia muda, tapi tetap dengan satu syarat prinsipil: terlaksana setelah saya lulus, paling tidak beres sidang.  Nah, kalau ternyata hingga saat ini skripsi saya pun masih tertahan di bab-bab awal, ya tentu saja hasrat menjadi pengantin muda pun mesti dienyahkan dahulu.  Paling tidak sampai studi sarjana saya tutup buku. 

Dan jika ternyata ibu saya malah sudah menyibukkan diri dengan pertanyaan ‘kapan-ya-kita-menikahkan-si-teteh-?’ setiap habis menghadiri pernikahan saudara atau anak kolega-koleganya atau Bapak, saya sih belum begitu khawatir.  Toh, masih sebatas pertanyaan-pertanyaan dengan level sindiran sedang, tingkat paksaan atau tuntutan hampir tidak ada.  Lagipula, secara pribadi ya syukurnya bahwa hari ini saya masih bisa menjadikan studi saya yang belum beres sebagai tameng.  Ahh..jadi teringat seorang teman yang berkisah kalau ia sengaja menunda menuntaskan studi demi mengantisipasi banyaknya ‘proposal’ yang ditujukkan pada orang tua-nya. 

Bersyukur juga jika ternyata sampai hari ini sekalipun saya banyak berada di lingkungan yang mendukung untuk dipertemukan dengan calon pendamping hidup saya kelak, namun belum pernah ada yang benar-benar nyantol.  Adapun beberapa orang yang saya kagumi (baca: kecengan), tidak sedikit diantaranya yang kini sudah menikah.  Dan, kembali, bagi saya itu adalah cara Tuhan untuk tetap menjaga hati saya hingga tiba saatnya saya dipertemukan dengan seseorang yang sudah ditakdirkan-Nya untuk dipasangkan dengan saya.  Kini, harapan saya adalah supaya waktu untuk masa indah itu tiba ya paling tidak setelah prioritas saya di tahun ini terlaksana. 

Untuk alasan-alasan itu lah saya tidak akan gentar dan merasa tersudut ketika topik pembicaraan sudah mengarah pada topic seputar pasangan hidup.  Terus terang bukannya hendak masa bodoh, tapi saya hanya ingin fokus pada prioritas saya dulu saja.  Tidak ada salahnya memang menyambil.  Namun bagi saya hal-hal berkaitan dengan pasangan hidup ini bukan hal yang sederhana.  Butuh kesiapan mental terutama untuk itu.  Dan saya rasa mental saya belum begitu siap. Banyak sih contoh kawan-kerabat saya yang juga menikah di usia muda, dan masih kuliah, dan lancar-lancar saja.  Tapi tolong diingat lain mereka, lain saya kan.  Terbukti, terbentur dengan organisasi saja dalam pandangan orang tua saya, saya ini sulit fokus, apalagi dengan hal sebesar pernikahan.  Dan, sekali lagi, itulah yang saya yakini sebaga jalan Tuhan bagi saya.

Pada akhirnya, menikah dan pernikahan adalah hal yang jadi impian hampir semua orang termasuk saya.  Namun saya termasuk yang percaya bahwa semua ada masanya.  Dan itu bagi saya bukan dalam waktu sekarang-sekarang ini.   Jadi, jangan mencoba mengintimidasi saya dengan dengan pertanyaan seputar topik tersebut yang mungkin bisa saja sensitif, tapi ya belum akan menyiksa hati dan pikiran saya paling tidak hingga sukses menjalani sidang.  Lastly, for my beloved mommy, trust me that I’ll have finished my study in this middle year and please pray for me to let it be true.  And I promise you when the great and possible opportunity come to me, I’m going to make your dream about me comes true. J