Jumat, 30 Desember 2011

Hafalan Shalat Delisa


Pemain         : Chantiq Shrgill, Reza Rahardia, Nirina Zubir, Alfatir Muchtar, Mike Lewis, Billy Boedjanger, Joe P. Project, dll
Sutradara     : Sony Gakoasak
Skenario       : Armantono
Produser       : Chand Parwez Servia
Produksi        : Starvision
Sinopsis         :
Adalah Delisa, bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Umu Salamah-Abi Usman.  Seperti  Delisa, ketiga kakaknya pun perempuan semua: Fatimah si sulung serta Aisyah dan Zahra yang kembar.  Delisa sangat susah dibangunkan sebagaimana terekam di pembuka film ketika ketiga saudaranya beramai-ramai membangunkannya.  Delisa mengeluh pada Uminya perihal kesulitan bangun pagi yang dibalas pertanyaan “Delisa berdoa dulu gak sebelum tidur?” oleh Uminya.  “berdoa Umi, ya Allah ……..” jawabnya.  “Tuh kan, Delisa malas menghafal Umi” seru Aisyah yang kemudian diceritakan sering berseteru dengan sang adik.  “Kan, sama saja Umi berdo’a dalam bahasa Indonesia dan Arab” bela Delisa.  “Iya, tapi tetap beda” kata Umi sambil tersenyum.  Dari sana terungkap bahwa Delisa masih kesulitan dalam menghaafal do’a dalam bahasa Arab padahal beberapa hari lagi ia akan menghadapi tes bacaan shalat di sekolahnya.  Untuk meningkatkan motivasi sang anak, Umi menjanjikan hadiah kalung bila Delisa mampu lulus tes bacaan shalat.

Delisa yang ikut membeli kalung memilih sendiri kalung hadiahnya di toko Koh Acan.  Pulang ke rumah, ia dengan riang dan penuh kegirangan menunjukkan kalung tsb pada ketiga kakaknya yang kecuali Aisyah ikut senang.  Berdua mereka sempat rebut masalah kalung sebelum dering telepon yang ternyata dari sang abi yang sedang berada di atas kapal layar di tengah lautan menelepon.  Saat ketiga saudaranya yang lain bergegas dan bahkan saling berebut untuk  berbincang dengan abinya, Aisyah malah lari dan menangis di ruangan lain, umi Salamah yang melihat mengejar dan mengajaknya bicara.  Pada sang Umi, ia mengaku bahwa ia iri pada Delisa yang diberikan kalung yang jauh lebih indah dari miliknya dan dibalas sang Umi dengan sepucuk nasihat untuk tidak menginginkan sesuatu yang bukan hak kita yang berakhir dengan anggukan Aisyah.

Tepat tanggal 24 Desember 2004 Umi Salamah mengantar Delisa untuk tes hafalan shalat di sekolahnya.  Keduanya nekat berangkat meski bebrapa saat sebelumnya gempa cukup besar baru saja mengguncang wilayah Lhok Nga.  Dengan membawa calon kalung berliontin huruf “D” untuk Delisa, keduanya mantap berangkat walaupun sebelumnya Umi sempat khawatir setelah Zahra menangis dan ketakutan.  Di sekolah, tibalah giliran Delisa melaksanakan tes.  Dengan berbekal nasihat ustad Rahman seputar kekhusyuan yang dilandasi fokus, Delisa memejamkan mata sambil berusaha fokus sehingga ia tak peduli pun terpengaruh dengan suasana sekitar.  Bhakan saat getaran keras kembali terasa sampai-sampai menimbulkan luruhan bahan bangunan yang disusul terjangan air yang menyapu daerah pesisir Lhok Nga khususnya, dan daerah pesisir Aceh Timur umumnya.  Ustad Rahman, teman-teman Delisa berikut orang tuanya panic dan berusaha sekuat mungkin mnyelamatkan diri, sementara Umi Salamah berusaha sekuat tenaga menuju ke arah Delisa yang masih juga khusyuk.  Aceh dilanda Tsunami! Kabar Tsunami tersebut segera menyebar ke seluruh penjuru dunia tidak terkecuali di kapal tempat Abi Usman bekerja.  Tanpa menunda, segera ia pulang ke kampung halamannya guna mencari kabar keberadaan sanak keluarganya. 

Tidak lama setelah insiden bencana alam yang sangat  besar ini bala bantuan dari berbagai penjuru dunia mulai berdatangan termasuk pasukan Amerika dengan kapal laut besarnya dimana kapten Smith yang akhirnya menemukan Delisa di suatu bukit berada.  Pasca ditemukan, ia segera dilarikan ke rumah sakit dan berada di bawah perawatan Dr. Sophie.  Sempat tidak sadarkan diri selama beberapa waktu, ia akhirya siuman.  Ditemani Smith dan Sophie, ia mendapati kenyataan bahwa sebelah kakinya buntung! “waah..kaki Delisa terbawa air” serunya, tenang tanpa rasa takut dan air mata.  Malahan orang-oorang dewasa yang mengelilinginya yang tak sanggup menahan tangisnya.  Selama beberapa hari ke depan, ia dirawat dan ditemani oleh kapten Smith yang bahakan telah menganggap Delisa sebagai anaknya dan Dr. Sophie yang sangat ramah dan menyayangi Delisa.  Mereka dengan sabar memabantu Delisa belajar berjalan menggunakna tongkat, membecakan cerita, dan kegiatan-kegiatan lain uuntuk Delisa.

Sementara itu, Abi usman yang telah berhasil mencapai Lhok Nga dengan menumpang pada pasukan pemasok bantuan mendapati tempat bermukimnya telah luluh lantak, ia hanya bisa menemukan sisa ayunan yang biasa terpajang di teras rumah dan dimainkan anak-anaknya.  Dan, ia pun kemudian hanya bisa menangis sambil memeluki sisa ayunan itu.  Malam harinya ia mengunjungi tenda pengunngsian dan mendapati sejumlah kerabat yang dikenalinya termasuk  Abi-nya Umam dan Koh Acan yang masing-masing membawa kabar duka seputar penemuan dan penguburan jenazah Fatimah serta Aisyah dan Zahra.  Adapun Umi Salamah, katanya belum ada kabar.  Begitupun Delisa.  Lengkap sudah kesedihan Abi Usman mendapati kabar kematian tiga akan gadisnya dan ketidakjelasan nasib anak bungsu serta istri yang dicintainya.  Bukan hanya Abi usman yang banyak kehilangan.  Umam, teman Delisa yang dikenal badung mesti kehilangan kakak-kakanya dan Uminya, malah kawan karib Delisa lainnya ikut terenggut nyawanya bersama keluarganya. 

Keesokan harinya, gambar tulisan tangan Delisa saat ditanyai seputar kerabatnya oleh Sophie di Rumah Sakit dipajang di papan pengumuman.  Abi-nya Umam yang melihatnya segera memberitahukan abi Usman perihal hal tersebut.  tanpa meunggu lama, segera ia menuju rumah sakit.  Secercah kelegaan membuncah tatkala ia menyaksikan putri bungsunya masih bisa bernafas dan tersenyum kepadanya.  Delisa dan Abi Usman pun berpelukan disaksikan Smith dan Sophie.  Semalaman abi Usman menemani Delisa sampai ia dinyatakan bisa pulang.  Dengan digendong di pundak sang ayah, Delisa pun akhirnya kembali menyaksikan situasi desanya yang telah jauh berubah.  Ia yang telah mengetahui ihwal keberadaan kakak-kakak serta kebelumjelasan nasib sang bunda, ditambah perihal kaki yang ia anggap terbbawa air ternyata memang sengaja dipotong akibat kakinya terluka dan membusuk.  Tanpa banyak mengeluh, ia manut ketika sang ayah mengajaknya kembali ke rumah yang hanya tinggal puing dan menyisakan satu foto sang ibu.  Tak lama akhirnya di bekas rumahnya itu berdiri sebuah bangunan  sangat sederhana yang lebih layak desebut pondok daripada rumah tanpa penutup di bagian depannya tempat bagi ayah anak yang kini sebatang kara ini berteduh.

Abi Usman mulai berperan sebagi ayah sekaligu ibu bagii Delisa.  Ia memasak, mencuci baju, dan mengurusi semua keperluan delisa.  Berkali-kali Delisa memilih makan masakan dapur umum yang dianggap lebih layak makan dibanding buatan ayahnya yang tak karuan.  Berkali-kali pula ia membandingkan masakan abi dan uminya yang dinilai kalah jauh.  Berkali-kali berusaha, berkali-kali dibandingkan, kontan suatu waktu ia tak kuasa membentak sang anak sampai-sampai ia ngambek dan melarikan diri ke kamp pengungsian.  Disana, ia kemudian diberi semangkuk mie koh Acan yang sangat Lezat bahkan dengan isengnya ia mengumumkan tentang kelezatan mie koh Acan yang mengundang perhatian para pengungsi lainnya. 

Delisa di tengah berbagai keterbatasan, penderitaan, kehilangan yang menimpanya, Delisa masih belum kehilangan senyum dan keceriaannya sebagi anak kecil.  Ia masih bisa bermain bola dengan riangnya meski harus memakai tongkat,  ia tak pernah lupa mengunjungi pemakaman masal tempat kakak-kakaknya dimakamkan sambil menceritakan sejumlah hal pada mereka.  Ia masih rajin mengafal bacaan shalatnya.  Ia masih bisa tersenyum manis pada semua orang tanpa mengeluhkan nasibnya.  Ia begitu tegar dan tabah hingga suatu waktu air matanya tak mmampu terbendung tatkala menndapati masa tugas Smith dan Sophie telah berakhir sehingga mereka harus segera kembali ke negara asalnya masing-masing.  Di masa perpisahan, Sophie, sempat memberikan kalung berinisial ‘s’ yang ditolak Delisa dengan alasan “’S’ di kalung itu untuk Sophie, bukan untuk Delisa” katanya, dan akhirnya Sophie pun hanya memberinya cokelat.  Delisa melampiaskan rasa kecewanya di pantai, ia meneriakkan akumulasi kekesalan, kemerahan, kekecewaan, dan kesedihanya ditengah deburan ombak.  Malamnya badannya panas sampai-sampai membuat abi Usman panic dan bergegas membawanya ke dokter.  Semua  orang yang mendengar kabar sakitnya Delisa berdatangan ke rumah sakit sampai-sampai memenuhi ruangan tempatnya dirawat.  Hal tersebut membuktikan bahwa semua orang menyayanginya, dan hal itu akhirnya mengembalikan senyum, semangat, keceriaan, dan kepercayaan Delisa bahwa masih banyak orang yang menyayanginya.

Hari berlalu, Delisa bersiap mengahadapi tes bacaan shalat yang sempat tertunda itu.  Suatu hari, ia malah mendapat sepaket cokelat kiriman Sophie yang disertai fotonya yang telah berjilbab.  Hubungannya dengan Umam yang jahil itu pun makin menghangat.  Masakan sang abi mulai bisa dimakannya, “kurang garam saja, bukan tidak enak”, katanya.  Hari H tes bacaan shalat pun tiba dan Ust Rahman mengumumkan bahwa nilai ujiannya sempurna.  Delisa dan abi Usman pun mengucap syukur.  Umi salamah pun akhirnya  akhirnya ditemukan kangsung oleh Delisa dengan sebagian besar badannya terkubur di tengah lautan pasir di pantai sambil memegang erat kalung berliontinkan huruf “D”  milik Delisa.  Sayang, ketika ditemukan ia tak lebih dari jasad yang mulai membeku.  Akhirnya, Delisa dan abi-nya menjadi benar-benar sebatang kara.  Di penghujung film, mereka berjalan bergandengan di tepi pantai mendekati deburan riak ombak sambil merenungkan kejadian yang telah menimpanya. “Abi, kita pindah saja, Delisa benci pantai” pinta Delisa.   Selanjutnya ia menjelaskan perihal bencana besar yang ia tuding sebagi biang kerok perenggut keluarganya saat ditanya alasan oleh sang abi.  Dengan bijak sang abi berusaha menerangkan bahwa semua yang mereka alami adalah ujian untuk meningkatkan derajat hidup dan keimanan mereka menjadi lebih dan lebih tinggi.  Sang anak pun kemudian digendong dan diputarnya sebelum ersama-sama mereka menyanyikan lagu kasih ibu.


*****
My Own Review
Well, sebelum nonton film ini, penulis lebih dahulu nonton film Garuda di Dadaku 2, yang diluar ekspektasi penulis mampu memancing air mata penulis.  Makanya, ekspektasi penulis terhadap film ini jauuuuuuuuuuh bakal lebih mengahru biru dan semakin mengobok-obok perasaan penulis pun menguras air mata secara genre-nya saja sudah melodrama gitu plus latar belakang ceritanya yang Tsunami Aceh.  Tapi ehh tapi sejak film diputarkan di awal sampai akhir, seingat penulis hanya beberapa tetes air mata yang menyeruak dari mata penulis di satu adegan.  Adegan itu pun bukan saat adegan yang melibatkan Delisa sebagai sang tokoh utama, namun saat temannya yang badung, Umam, “tobat” di atas makam kakak-kakanya.  Di luar itu entah mengapa sekalipun adegannya sudah sangat-sangat mengahru biru dan membuat penulis terenyuh, namun mata ini sama sekali tidak basah, aneh!  Secara umum penulis sih suka ya apalagi ada aa Reza-nya, namun ada beberapa hal yang sangat-sangat menganggu terutama masalah spesial efek yang masih kasar sehingga kentara sekali ketidaknyataannya.  Berikut hal-hal yang mengganggu sekalligus memancing tawa penulis:
·  Spesial efek pas Tsunami, dari mulai reruntuhan bangunan sampai pas air menerjang, bersa lagi nonton soinetron di salah satu TV swasta dh yang suka ngehadirin spesial efek model begitu.
·    Spesial efek pas kapal induk Amerika yang membawa kapten Smith ceritanya akan merapat ke pelabuhan, aduh maak keliatan yah itu lautnya Cuma efek..hehe
·         Bahasa Inggrisnya Abi Usman, gak begitu ganggu sih tapi lucu aja
·    Tulisan tes bacaan shalat di papan tulis sekolah Delisa “TEST Bacaan Shalat”, kata “TEST”-nya itu loh, emaak English sekali..(gaatau deh ada yang juga merhatiin atau gak, tapi kayaknya ga dehh..)
·   Pasangan Reza Rahardian-Nirina! Bukan karena penulis gak suka sama mbak Nirina, hanya saja bagi penulis keduanya kurang pas dipasangkan, tapi untungnya mereka gak pernah dipertemukan dalam satu scene yaa jadi penulis masih bisa enjoy nontonin aa Reza-nya. haha

Tapi, jangan khawatir disamping hal-hal yang sangat menggangu itu, penulis juga punya donk hal-hal yang  bikin penulis  kesengsem yaitu:
·       Soundtrack lagu ibu-nya Rafly, uhh…mendayu-dayu sekali.
·      Setting daerah tempat tinggal Delisa di Lhok Nga, terutama rumah Delisa-nya, apalagi pas di malam hari..indahnya, kecil, sederhana namun hangat dan bersahaja.  (masih kebayang adegan pas ibu dan keempat abnaknya duduk-duduk di teras rumah di tengah malam yang cerah.
·  Pastinya tokoh abi Usman, emm….lebih tepatnya pemeran abi Usmannya. Heheh


Umm…apalagi yaa, yang ganggu udah, yang bikin suka udah, sekarang ganggu sih gak ya tapi bikin iri adalah si Cantiq tuh, kalau boleh milih mau jadi siapa di film ini, penulis akan lantang memilih kaarakter DELISA! Kenapa? Biar bisa dihujani ciuman dari Abi Usman! Hahaha.

Well, overall, di luar efek-nya yang jujur ya masih sangat belum bagus sehingga ganggu, film ini layak tonton.  Dari delisa kita bisa belajar makna Ketegaran dan ketabahan.  Tegar kehilangan sebelah kakinya, tegar kehilangan keluarga yang dicintainya, tegar kehilangan tempat tinggalnya.  Meskipun Tsunami telah merenggut banyak hal mulai dari sebelah kakinya, Tiur sahabatnya, ketiga kakak dan Uminya, tempat tinggalnya, semangat para tetangganya juga warga Aceh, namun Delisa tidak pernah kehilangan senyum dan semangatnya untuk terus menghafal bacaan shalatnya.  “Wah, kaki Delisa terbawa air”  ucapnya polos tanpa meneteskan setitik air mata pun ketakutan..

Tidak ada komentar: