Tampilkan postingan dengan label Me My Self and I. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Me My Self and I. Tampilkan semua postingan

Rabu, 27 Agustus 2014

(Tergoda) Mantan Terindah, (Oh) No Way!

Hi, visitors, postingan ini barangkali bisa terhitung telat. Ya memang, penulis pun niat awal nya ngepost dari pekan lalu, cuman karena satu dan sejumlah alasan jadi tertunda deh.  Ya walaupun sedikit telat, tapi isisnya masih relevan kok (menurut penulis..hehe).  So, please enjoy, as usual. :)

*****

Hasil imbang lawan Besiktas di leg pertama play off Liga Champion menyusul kemenangan dramatis atas Cristal Palace di laga perdana EPL musim 2014/2015 seolah menegaskan bahwa Arsenal belum sebegitu kuat sekalipun telah disuplai dengan sejumlah amunisi anyar.  Menariknya, mantan bintang dan kapten Arsenal yang konon ditolak untuk kembali merapat ke Emirates malah membantu tim yang kini bersedia dengan senang hati menampungnya di Stamford Bridge sana  meraih hasil positif di sejumlah pertandingan yang telah mereka lakoni.  Baik di laga pra musim, begitu pun di laga perdana EPL musim ini.  Menyambangi kandang lawannya yang merupakan tim promosi, Burnley, ia bahkan sukses menyumangkan 2 assists yang menghantar tim nya duduk nyaman di puncak klasmen sementara setelah menyegel kemenangan meyakinkan 1-3.  Hal ini tentu saja membuat banyak pihak kemudian mengkritisi keputusan manajemen Arsenal yang ogah diajak ‘balikan’ oleh sang mantan.

Banner bertuliskan “Cesc is Blue” pun akhirnya terpampang nyata di kandang Burnley sana. A bit disgusting, but that’s not more our business.  “He’s a professional player who has possibility to play in any clubs that he is suitable and required most,” said Opa.   I did agree with him.   Lagi pula sebetulnya menurut penulis both red and blue are truly in his heart since he’s originally Catalan’s soccer academy ‘product’ (IYKWIM).  Sayangnya  klub yang dicintainya forever ever after tersebut eh ternyata malah menyia-nyiakan (talenta) nya (lagi).  So what should we do? Save him again? He’s the one who chose to leave us.  Yes, I and You, we know that he’s no longer in relationship.  He’s available now.  He’s ready to re-start a new relationship with anyone else, and we’re top on his list.  People said that was what so called loyalty, he’s still faithful enough to us.  However, do we (really) need to re-unite a.k.a CLBK?

CLBK mungkin memang bukan hal yang baru dalam dunia sepakbola profesional.  Tidak sedikit pemain yang sudah melalang buana ke sejumlah klub memutuskan untuk kembali mengajukan ‘rujuk’ ke klub lamanya.  Bisa jadi memang passion pribadi sang pemain terhadap ti, atau memang termaktub dalam klausul kontrak pemain yang bersangkutan.  Flamini contohnya.  Hijrah dari Emirates di tahun 2008, dan kembali ke sana di musim lalu.  Tidak tangung-tanggung proses ‘rujuk’ yang diamini kedua belah pihak ini berlangsung mulus bahkan tanpa mengeluarkan sepeser biaya pun.  Tapi, tidak selamanya CLBK menjadi solutif dan berlangsung mulus tanpa adanya kesepakatan dari kedua belah pihak.  Toh tidak ada jaminan tidak akan putus lagi bukan setelah CLBK? Ah..time passing by, and we already found somebody to be loved again so deeply.  Maybe he’s not as awesome as we expeced yet.  But then, loves need time to grow up.  We’re still on that process to grow our love and prevent it better than ever.  Kayak mas Wasit yang sakit banget sampai trauma menikah gegara dikhianatin mantan kesayangannya dan akhirnya terobati setelah bertemu Mawar. #eeaa.

Jadi, jujur saya pribadi sih sependapat dengan sang arsitek tim, opa Wenger, bahwa tidak ada yang harus disesali dengan keputusannya untuk menolak ajakan ‘rujuk’ sang mantan anak emas didikannya.  Adapun penampilam impresif nya bersama tim nya cukuup membuat saya terusik, namun tidak tergoda sama sekali untuk CLBK dengan sang mantan.  Toh baru 1-2 pertandingan ini.  Begitu pun di kubu kami dengan sejumlah pemain yang masih dikritisi, termasuk pengganti sang mantan yang belakangan banyak dibanding-bandingkan kualitas nya dengan si mantan itu sendiri. Hello, people, he’s not even joining us after world cup. Just wait and see for him to shine so so so brightly very very soon. Too early to be compared for both of them right now.  I mean less than 5 matches is not reliable yet to be compared

Well, mantan itu, apalagi seorang Cesc Fabregas yang sangat layak dinobatkan sebagai salah satu mantan terindah yang pernah kami miliki memang memiliki daya pikat yang sulit dinafikkan begitu saja.  Kontribusi nya yang begitu besar dan nyata saat kami tengah mesra-mesra nya sungguh tak mudah dan terlalu tak layak dilupakan begitu saja.  Saya pun jujur saya di masa awal kecintaan saya terhadap Arsenal salah satunya adalah adanya faktor Cesc yang muda namun sudah luar biasa.  Bagaimanapun, pada masa nya dulu ia hampir berhasil mempersembahkan gelar yang diidam-idamkan kami semua.  Sayang, mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.  Kita, ia dan kami, belum berjodoh untuk mengecup trofi bersama-sama rupanya. Dan pada akhirnya setelah sekian lama dipertahankan toh ia memutuskan untuk tetap pergi juga tepat setahun setelah menjadi kampiun pada gelaran Piala Dunia di Afrika Selatan sana.  

Saat kepergiannya itulah yang menurut sang professor yang patut disesali.  Tapi, apa pun itu, keputusan sudah dibuat, bubur pun tak mungkin kembali jadi nasi.  Toh kami udah berusaha mempertahankan nya selama mungkin, tapi perpisahan yang menohok hati pun tak bisa terhindarkan. Perpisahan memilukan itu biarlah menjadi kisah yang menghiasi lembaran sejarah kita berdua.  Bukan untuk dilupakan begitu saja tentunya, tapi untuk dikenang sebagai memori indah.  Show must go on, right? Jadi perpisahan tersebut mungkin memang sudah menjadi jalan yang terbaik untuk kita. Gracias, Cesc! Good luck to you wherever you are.  Probably we’re not in a romantic relationship as before, but we still remain good friend for each other forever and ever. :)

Rabu, 13 Agustus 2014

A Personal Confession: Being Thankful to How I Am Today


As usual, I have to make a prolog for almost of my postings.  Well, this one also need too just like others.  Why? I frequently laughed to myself every time I re-red my postings.  Sometimes I think that became too emotional or sensitive.  And probably so does with this one will lead me to laugh again later on.  Ahh..it just what I want to share with you guys, so just enjoy this as my personal postings. J
***

At this age, middle 20s, not graduated yet nor married yet. Problem? Not really for me, but yes for many people around me. Being asked and forced to do both so badly is such a common-but-tiring thing. Who said I don’t care? I want them so badly too. Unfortunately, in my opinion, God doesn’t allow me to reach both altogether recently. Why? Asking God’s decision is not a wise way.  Thus, I do believe that God has written this for several reasons that soon will be revealed beautifully.

Form my sake, being forced for the first issue is acceptable. I do realize that it’s too long for me to finish my under-graduate program.  Besides, I have to focus in many other things except my study-thingy.  Furthermore, I really miss to start studying and doing study-tasks again in new atmosphere. I’m constantly dreaming about leaving my hometown to continue my study that is going to be impossible if only I’ve finished my under-graduate program.  Hemm.. ’acceleration’ term sounds very interesting for me then. But, still, the main requirement to graduate first should be fulfilled.

On the contrary, the second one seems debatable for me. That’s too much for now one.  First of all, I’m not even reach my bronze age *CMIIW*.  Second of all, I’m not ready yet to share my life with someone. So classic? Maybe yes, but that’s the fact.  I still can’t imagine how to deal with sharing anything together with ‘stranger’.  That’s why earlier I told that I need to leave not only my house, but also my town in order to deal with that case, hopefully.  Another reason is that I don’t think I’m capable enough for now on to take care of somebody else.  The biggest evidence is the fact that I’m not graduated yet till now.  You don’t need any evidence, do you?! Above all, I still need some times to be available and useful for others while searching for precious experiences and continuously learning to be a much better person.

Well, I confess that sometime I got so jealous when I found my friend got married and had child. But I never jealous with those who just hanging around with what so-called their special friend.  Marital relationship is much more convincing than just ‘illegal’ romantic-relationship that seems delusional for me.  However, what to do when God doesn’t allow yet and so do I (not ready yet).  The best thing that I can do is praying and trying to upgrade myself so I can be a much better person to be a worthy-partner of life-to be for my future spouse and a qualified ancestor for my precious offspring. Aww. 

In addition, the fact that I start my job without having a proper certificate yet seems very frustrating once.  Even though not so many people stated objections straightly, but I felt really uncomfortable of that fact to them.  Aside of that, it’s also quite difficult for me to focus on such a particular activity due to my never-ending-deadline of graduation.  I admit that being a teacher is not my interest from the beginning, but by the time, I find it really interesting and challenging.  Being a qualified educator is not as easy as it looks like.  Not only how smart we are literally, but also how smart we manage a learning process (dealing with material, students, sitting arranging, media, evaluation, lesson plan, etc).  People might title is not everything, it’s not always that worthwhile; but still it’s necessary.

To conclude, I have no objections when people being worried of my study.  But, I’m really sorry that people being so curious or even feel pity for my romance life *halah* is no need for me, at least for these few years.  For the first occasion, I do realize how important to finish what I’ve started.  Moreover, it’s an honor to make my parents happy (and perhaps proud as ‘oh..finally my sweet girl finished her study’ ckck).  For that reason I do promise to relief everyone around me by finishing it as very very soon as possible.  However, for the second one, I can’t make any promise on fast mode.  I just can ask people to patiently wait a little longer for the next few years. I don't think to make it as fast as possible, unless He leads me to do so. J


Selasa, 03 September 2013

My Passion, My Profession #1

Saya baru sadar bahwa saya telah jatuh cinta dengan dua aktivitas yang kelak bisa jadi menjadi profesi yang saya tekuni…

A Passionate & Professional Translator (To Be)

Beberapa pekan ke belakang, tepatnya 10 hari jelang 1 Syawal 1434 H, saya secara resmi mengerjakan project terjemahan lagi setelah sekian lama (entah berapa bulan, tidak sampai menahun kok ;p).  Tanpa banyak negosiasi apa pun di muka, kecuali durasi (saat itu saya tengah disibukkan dengan project lain yang cukup menguras fikiran, akhirnya muncullah kesepakatan deadline: 2 pekan.  Belasan lembar, Indonesia-Inggris, tema terjemahan seputar cabang ilmu pengetahuan sosial membuat 2 pekan itu dinilai proporsional. 

Pekan pertama berlalu begitu saja, karena ternyata di hari-hari menjelang 1 Syawal yang saya fikir waktu saya relatif fleksibel, eh malah sama hectic-nya seperti 2 pekan sebelumnya.  Bahkan hal ini terjadi hingga malam takbiran!  Esoknya, lebaran, dan sehari setelahnya sungguh bukan waktu yang kondusif untuk mengerjakan sutu project.  Mood lebaran itu ya mood bercengkrama dengan hangat bersama keluarga besar, berkunjung ke sana ke mari, icip-icip kue lebaran, syukur-syukur masih masuk list penerima angpao.   Akhirnya pekan pertama dari deadline 2 pekan pun berlangsung sama sekali tidak efektif.

Pekan kedua di depan mata. Oke, bagaimanapun sebagai seseorang yang mencoba profesional saya harus patuh pada ‘kontrak’ 2 pekan yang disepakati di awal.  Niat sudah  100% (hanya belum sampai 200%), tapi selalu ada ini itu sehingga -2 hari awal kinerja penulis baru mencapai sekitar 20%-nya saja.  Suasana libur lebaran yang (masih) didukung kehadiran sanak famili di rumah juga sedikit banyak mempengaruhi.  Hingga puncaknya adalah rencana bepergian ke luar provinsi bersama keluarga inti untuk mengantar kepulangan adik saya ke kota tempatnya menimba ilmu sekarang: suatu kota di tengah-selatan pulau Jawa.  Celakanya, saya selalu tak kuasa menafikkan pesona kota tersebut, saya selalu larut dalam godaan-nya.  Lebih celaka lagi karena jarak tempuhnya yang mencapai seharian.  Baru 20% lho!  Belum lagi saya ini terikat komitmen moral terhadap diri saya dan kedua orang tua saya yang mengeluarkan status tahanan kota pada saya yang belum kunjung menuntaskan studi sarjana-nya.  Dengan sedikit kompromi yang tidak alot-alot amat, akhirnya saya dan orang tua saya (yang syukurnya tidak terlalu strict dengan aturan yang dirancang mereka sendiri) mencapai kesepakatan dengan embel-embel: syarat dan ketentuan berlaku.  Persis seperti pembelaan saya terhadap status tahanan kota saya pada keduanya (like parents, like child ;p).

Dengan segala kemungkinan resiko dan konsekuensi atas pilihan sadar saya untuk plesir ke luar provinsi yang cukup memakan waktu di tengan deadline project, saya memantapkan hati untuk menjalankan keduanya dengan seimbang.  Ya, ada resiko-resiko yang mau tidak mau saya tempuh, seperti: membebani tas cangklong dengan notebook beserta baterai-nya, bergadang selama beberapa malam, menjadi satpam di kontakan adik (yang kami inapi saat itu) tatkala seluruh rombongan disibukkan dengan tur keliling objek wisata di sekitar kota tersebut.  Ya, sedari awal, saya sudah berusaha menjaga komitmen untuk ikut-demi-menikmati-suasana-kotanya, bukan ikut-demi-menikmati-objek-wisata nya.  Jadi, all is well for me, sekalipun harus stay home seharian. 

Kembali ke project saya *ala mr. 4 mata*.  Di sanalah waktu yang saya manfaatkan maksimal untuk merampungkan 80% dari total 100% porsi project saya.  Dengan semangat ‘man jadda wa jada’, saya kerahkan seluruh kekuatan dan kemampuan saya demi menjaga etika professional-to-be saya.  Dengan berbekal sebatang modem milik adik yang alhamdulillah sekali kuota nya masih bersahabat untuk diajak bekerja siang-malam, pagi-sore *ala restoran padang di rest area—halah*, alhamdulillah beberapa hari di sana project saya sudah menyentuh angka 80%.  Alhamdulillah yang diteruskan dengan astaghfirulloh…masih 20% to goDeadline semakin mendekat, jadwal pulang pun sudah di depan mata: alamak..ya masakan saya harus mengerjakan project ini di mobil? Waktu kami pulang itu sore, artinya perjalanan malam! Hey, can I make it effectively? I guess not!  

Di tengah kepenatan oleh deadline yang disokong kelelahan karena begadang dan bercengkrama dengan layar notebook sehari-semalaman, tiba-tiba muncullah ‘hidayah’ dari si empunya project.  Beliau (oke, si empunya project ini jauh lebih senior dan berpengalam dari segi keilmuan nya dari saya, hanya sepertinya beliau sedikit bermasalah dengan bahasa, makanya …) dengan penuh kebijaksanaan memberikan ‘injury time’ untuk project yang saya kerjakan ini selama 2880 menit (baca: 2 hari).  Itu rasanya ALHAMDULILLAH sekali, setidaknya bisa saya bereskan saat sudah tiba kembali di kota yang sudah saya tinggali sedari brojol ke dunia ini.  Saya rasa beliau menangkap radar-lebaran sehingga akhirnya memberi sedikit kelonggaran pada deadline, sesuai lah dengan jatah tanggal merah di kalender *hihiw*. 

Dan…alhamdulillah, tepat sehari sebelum peluit deadline ditiupkan, project yang saya kerjakan sudah terdaftar di sent item e-mail saya.  Rasanya itu legaaaa.  Meskipun sempat merasa terbebani dan keteteran saat mengerjakan 20% pertama, di fase 60% untuk menggenapi menjadi 80% saya, sekalipun hampir bekerja sepanjang waktu, ternyata amat menikmati apa yang saya kerjakan.  Yang sedikit mengganggu hanya rasa lelah dan pegal yang sesekali mampir.  Tapi, di luar itu, all is well *again*.  Everything is running well in its own path.  Tanpa sadar saya sudah melibatkan hati saya terhadap project ini sehingga hambatan-hambatan seperti technical terms dan lain-lain bisa diatasi dengan…cukup tenang.  Meskipun terkesan terburu-buru, tapi saya mengerjakannya dengan seksama kok, dengan mengacu pada banyak sources yang tentu saja relevan dengan topiknya.  Special thanks to mr. google for the journal link, serta kamud digital to help me in checking the correct words in term of its context.  And also for my sister’s modem, and last but not least for my beloved notebook that was strong enough to fight night and day. Thanks all! :*


What I’m actually trying to say (baca: INTINYA), selama dalam proses pengerjaan project yang bisa saya kategorikan sebagai titik balik untuk karier profesional saya ke depannya ini (bahasa gaulnya: project ini telah membantu mendewasakan saya—menuju tahap yang lebih profesional), saya sadar betapa sebetulnya saya mencintai aktivitas ini.  Saya rasa ini ada passion terselubung yang jika diasah terus dan diseriusi bisa menjadi sesuatu dalam rekam jejak kehidupan saya.  Dan karena kecintaan saya ini pula yang sepertinya merontokan keraguan dan beban di awal.  Well, nampaknya yang paling pas mewakili gambaran kisah di atas itu lirik lagu kemenangan-nya mbak Joy Tobing “Semua karena cinta, tak mampu diriku dapat berdiri tegak, terima kasih cinta”.  So, to make all is well we need to do it with passion that comes up because of love. And thanks GOD to make me realize that I do love translating activity so well. #IMO

Selasa, 09 April 2013

Balada Anak Perempuan Tertua (di Awal 20-an)



“Sok aja kamu pilih: mau lulus dulu atau nikah dulu!” begitulah penawaran yang sekonyong-konyong ibu saya berikan.

Dalam hati saya hanya menghela nafas panjang.  Tentu kalau memang itu adalah tawaran yang berujung pilihan yang mesti saya pilih ya saya tahu pasti jawabannya adalah yang pertama.  Kenapa? Ya karena memang itulah prioritas saya saat ini.  Memang sih beberapa tahun ke belakang saya juga mempunyai hasrat untuk menikah di usia muda, tapi tetap dengan satu syarat prinsipil: terlaksana setelah saya lulus, paling tidak beres sidang.  Nah, kalau ternyata hingga saat ini skripsi saya pun masih tertahan di bab-bab awal, ya tentu saja hasrat menjadi pengantin muda pun mesti dienyahkan dahulu.  Paling tidak sampai studi sarjana saya tutup buku. 

Dan jika ternyata ibu saya malah sudah menyibukkan diri dengan pertanyaan ‘kapan-ya-kita-menikahkan-si-teteh-?’ setiap habis menghadiri pernikahan saudara atau anak kolega-koleganya atau Bapak, saya sih belum begitu khawatir.  Toh, masih sebatas pertanyaan-pertanyaan dengan level sindiran sedang, tingkat paksaan atau tuntutan hampir tidak ada.  Lagipula, secara pribadi ya syukurnya bahwa hari ini saya masih bisa menjadikan studi saya yang belum beres sebagai tameng.  Ahh..jadi teringat seorang teman yang berkisah kalau ia sengaja menunda menuntaskan studi demi mengantisipasi banyaknya ‘proposal’ yang ditujukkan pada orang tua-nya. 

Bersyukur juga jika ternyata sampai hari ini sekalipun saya banyak berada di lingkungan yang mendukung untuk dipertemukan dengan calon pendamping hidup saya kelak, namun belum pernah ada yang benar-benar nyantol.  Adapun beberapa orang yang saya kagumi (baca: kecengan), tidak sedikit diantaranya yang kini sudah menikah.  Dan, kembali, bagi saya itu adalah cara Tuhan untuk tetap menjaga hati saya hingga tiba saatnya saya dipertemukan dengan seseorang yang sudah ditakdirkan-Nya untuk dipasangkan dengan saya.  Kini, harapan saya adalah supaya waktu untuk masa indah itu tiba ya paling tidak setelah prioritas saya di tahun ini terlaksana. 

Untuk alasan-alasan itu lah saya tidak akan gentar dan merasa tersudut ketika topik pembicaraan sudah mengarah pada topic seputar pasangan hidup.  Terus terang bukannya hendak masa bodoh, tapi saya hanya ingin fokus pada prioritas saya dulu saja.  Tidak ada salahnya memang menyambil.  Namun bagi saya hal-hal berkaitan dengan pasangan hidup ini bukan hal yang sederhana.  Butuh kesiapan mental terutama untuk itu.  Dan saya rasa mental saya belum begitu siap. Banyak sih contoh kawan-kerabat saya yang juga menikah di usia muda, dan masih kuliah, dan lancar-lancar saja.  Tapi tolong diingat lain mereka, lain saya kan.  Terbukti, terbentur dengan organisasi saja dalam pandangan orang tua saya, saya ini sulit fokus, apalagi dengan hal sebesar pernikahan.  Dan, sekali lagi, itulah yang saya yakini sebaga jalan Tuhan bagi saya.

Pada akhirnya, menikah dan pernikahan adalah hal yang jadi impian hampir semua orang termasuk saya.  Namun saya termasuk yang percaya bahwa semua ada masanya.  Dan itu bagi saya bukan dalam waktu sekarang-sekarang ini.   Jadi, jangan mencoba mengintimidasi saya dengan dengan pertanyaan seputar topik tersebut yang mungkin bisa saja sensitif, tapi ya belum akan menyiksa hati dan pikiran saya paling tidak hingga sukses menjalani sidang.  Lastly, for my beloved mommy, trust me that I’ll have finished my study in this middle year and please pray for me to let it be true.  And I promise you when the great and possible opportunity come to me, I’m going to make your dream about me comes true. J

Sabtu, 19 Januari 2013

Pesan Bahagia Pembawa 'Kepiluan'


Siang menjelang sore tadi mendapat satu pesan singkat dari sebuah nomor asing yang isinya:

Dia     : Hai Feb, apa kabar? Ini Siti (nama samaran, red). Gimana skripsinya udah sampai mana? Ada di rumah hari apa aja
(kalau udah nanya ada di rumah kapan aja berarti mau ngasihin sesuatu yang penting secara langsung.  Nah justru kalimat ketiga atau pertanyaan keduanya yang ukup menohok tentang skripsi.  Eh tapi dalam hal ini pertanyaan ini sebenernya cuma semacam penyedap yang dijawab atau tidak pun tak masalah)

Saya   : Alhamdulillah baik. Baru mulai bimbingan..hehe. Di rumahnya tergantung, bisa hari apa aja ada. Hehe..kenapa mau ngasih undangan ya?
(saya langsung tembak aja sih ke maksud nanya jadwal keeradaan saya di rumahnya, soalnya udah lama gak ada kontak dan tiba-tiba ngajak ketemu ya apalagi kalau bukan terkait kartu undangan—info terakhir ya doi memang berenana berkeluarga di tahun ini)

Dia     : Kok tau? Hehe..Iya nih insya Allah walimahan-nya nanti tanggal 2 Februari.
(tuh kan…exactly accurate! Udah ketebak sih maksud dari sms doi kesana..dan ya congratulation!)

Setelahnya masih berlanjut sms-an tentang jadwal janjian yang dipindah ke masjid dekat almamater kami dulu.  Masjid bersejatrah sih itu.  Tempat kami janjian kalau mau kemana-mana bareng.  Eh ada satu sms lagi deh yang cukup menarik setelahnya, yaitu tentang calonnya.  Mastiin aja dsih iya sama yang waktu itu atau…kan jodoh itu who-knows-yaa ;p.

Saya   : Wh..sama yang waktu itu kan?
Dia     : Iya, sama yang waktu itu.
(Syukurlah………………)
***
Saya dan teman saya ini dulunya karib semasa masih bersergam putih abu.  Kami sama-sama tergabung dalam satu organisasi di sana.  Bahkan sebenarnya kami  sudah bersama-sama sejak masih berseragam putih-biru, sekelas malah, tiga tahun pula.  Tapi, saat itu kami tidak begitu akrab walaupun dia adalah sohib saya shalat bareng semasa duduk di kelas satu (kan kelas satu sekolah siang jadi shalat dzuhur+ashar nya di sekolah). Nah, baru deh memasuki masa putih-abu, walaupun gak sekelas, kami justru malah jadi akrab.  Saya, dia, dan tiga teman lainnya pada akhirnya mampu bertahan di organisasi yang kami ikuti hingga akhir.  Awalnya sih bejibun, Cuma biasa seleksi alam terjadi pada teman-teman kami lainnya sehingga hanya menyisakan kami berlima perempuan dan seorang lelaki.  Meski begitu, namun toh hikmahnya kami jadi akrab satu sama lain. 

Selepas kelulusan, kami mengambil jalan masing-masing.  Empat orang dari kami, termasuk saya, melanjutkan studi ke perguruan tinggi.  Sementara seorang lainnya lebih memilih bekerja.  Namun, nasib saya ternyata tidak seberuntung ketiga kawan saya yang lain karena saya terpaksa menunda studi saya selama setahun setelah tidak lolos ke jurusan manapun saat mengikuti SPMB.  Ya, akhirnya saya terpaksa turun jabatan sebagai ‘junior’ nya karib-karib saya.  Walaupun tidak kuliah saya pun tidak bekerja, hanya mengambil bimbel dan meneruskan kursus bahasa.  

Di tahun kedua setelah kelulusan kami, teman saya yang bekerja itu ternyata mendahului kami untuk naik pangkat sebagai istri.  Ia dipersunting oleh seseorang yang saya sendiri kurang paham jelas pertalian awal keduanya (lewat mana atau siapa dipertemukannya karena ia agak pelit bercerita).  Jadi, kami (yang masih berstatus lajang) tinggal berempat.  Dan, tahun lalu (lupa tepatnya kapan) seorang lagi dari kami menyusul si teman yang bekerja tadi.  Tinggalah kami bertiga.  Sampai akhirnya…pesan singkat tadi jadi semacam sinyal kalau kini, saya dan seorang teman lainnya, akan resmi menjadi minoritas di antara kami berlima.  Ya, kami akan tinggal hanya berdua yang status nya masih sama-sama aja: lajang.

Dan itu sih sebenernya yang mengiringi kebahagiaan saya untuk sang teman yang mengirimi pesan singkat itu tadi.  Bukan suatau ketakutan ataupun sesuatu yang menakutkan memang.  Hanya saja ada semaam perasaan “Yah…ditinggalin lagi deh”.  Yakan namanya sudah berkeluarga mah sedikit banyak ada perbedaan.  Makanya, setelah beres berbalas pesan dengn sang teman yang calon manten, saya segera menghubungi satu-satunya teman saya yang sejauh ini masih akan setia menemani saya dalam keminoritasan kami.  Ya, begini sih jawabannya ketika saya meminta kepastian bahwa ia tdak akan tega membiarkan saya menjadi minoritas seorang diri:

Dia     : Tenang, iya ditemenin kok (sambil nunggu)
(Hyaaaa…yang dalam kurungnya itu loh mengisyaratkan bahwa saat ini mungkin tidak, tapi akan dalam waktu-yang saya-rasa-tidak-akan-terlalu-jauh)

Ya, bisa dikatakan mungkin ini sejenis kegalauan penulis yang ‘ditinggalkan’ satu demi satu oleh teman-teman karib penulis semasa berseragam putih abu.  Tentu ada semacam kesedihan karena bagaimanapun nantinya setelah resmi, intensitas pertemuan kami akan berkurang.  Ya sedih juga mendapati nasib bahwa jreng jreng saya alamat menjadi penutup perubahan status kami.  Kan, dulu, semasa masih pada hijau kami sempat beberapa kali membahas masalah siapa-ganti status-duluan.  Bercandaan sih, tapi di setiap resepsinya kami selalu berkelakar “hayo..siapa lagi habis ini?” “terus siapa lagi?” “Habis itu?”.  Bahkan pernah sekali waktu dengan konyolnya kita saling lempar-lemparan untuk jadi yang terakhir berganti status.  Nah, ketika teman ketiga sudah pasti pergantian statusnya, kami kan berlima, so kemungkinan untuk menjadi yang terakhir itu ya peluangnya 50/50.  Itu sih yang bikin “oh…no!” alesannya? Ya itu loh kadung sama-sama ogah jadi yang terakhir! Hehe.

Hemm..sebenernya saya sih sudah gak begitu peduli mau terakhir, mau sebelum terakhir, karena pada akhirnya kembali pada jodoh-siapa-yang-tahu.  Ya siapapun nanti mau saya dulu mau teman saya dulu yang jelas kami selalu saling mendo’akan yang terbaik tentunya bagi kami semua.  Semoga teman yang akan merubah status lajang dari mayoritas menjadi minoritas ini dilanarkan prosesi pernikahannya, dan setelahnya bisa menjadi keluarga sakinah dengan mawwadah warahmah.  Dan semoga kami berdua pun bisa segera menggenapi status mereka supaya tidak ada lagi minoritas di antara kami.  :)

Sabtu, 03 November 2012

Like Mother, Like Daughter!


Welcome November!
Ha! Setelah rada kurang produktif di bulan kemarin dikarenakan terbentur ini itu hewir pokoknya, bulan ini sih, meskipun ini tanggal 3, ya penulis niatnya pengen jauh lebih produktif daripada bulan yang lalu. Dan, awal produktivitas penulis dibuka oleh posstingan yang-bagi-penulis menyenangkan ini.. Happy reading, all.. J
A bit spoiler: jangan terlalu percaya sama judulnya! ;p

Like Mother, Like Daughter!
Dalam suatu obrolan antara penulis dan ibunda penulis, terungkaplah satu fenomena menarik nan bombastis! Iya, bombastis!  bagaimana tidak, beliau tanpa tedeng alaing tiba-tiba memproklamirkan suatu pernyataan yang tidak pernah penulis duga sebelumnya. Apa itu? ada deh (hehe..maaf ya belum saatnya dipublish sodarah-sodarah ;p) yang jelas sesuatu yang sangat penulis aminkan.  Kaget juga sih, jadi berasa kayak ada di program gak nyangka apa sebagainya.  Ya, walaupun diawali dengan todongan yang menohok hati, tapi akhirnya itu loh..bikin senyum-senyum sendiri. 

Apa yang penulis alami ini, kalau menurut teorinya Bang Ipho, sang maestro otak kanan, adalah apa yang disebut menyamakan visi dengan orang tua tercinta.  Ya, meskipun penulis tergolong yang jarang bercerita mengenai hal-hal yang terlampau pribadi dengan orang tua, tapi ternyata ya namanya orang tua feeling-nya secara ajaib selalu nyambung gitu ya sama anaknya. Subhanallah. Jadi ya tanpa penulis sebutkan, tanpa ada rembugan, ternyata kami sudah sevisi! Wow! Amazing!  Dan, yaa karenanya penulis sih mengucap syukur atas  kesamaan visi ini sehingga tidak aka nada do’a dan harapan yang tak kunjung terwujud karena adanya ketidaksevisian antara do’a penulis dan do’a ibunda penulis.  Kalaupun belum terwujud dalam waktu dekat, ya mungkin hanya tinggal masalah waktunya saja.  Ya, pada akhirnya semoga harapan kami, do’a kami, bisa besinergi sehingga bisa benar-benar terwujud….secepatnya.  aamiin. Wallahu’alam. J

Selasa, 28 Februari 2012

It's All About Her This-Year-Wishes


Ini adalah kisah mengenai seorang gadis, mengenai harapan, cita-cita, serta prioritasnya di tahun ini, pasca tanggal penting dalam hidupnya. Tanggal yang menjadi alarm baginya untuk serius menyusun dan tentu saja melaksanakan targetan-targetannya tersebut.  Penasaran? Beginilah kisahnya….

Tiga hari yang lalu gadis ini genap berusia 22 tahun.  Sebuah sudut di rumah sakit umum terbesar di kotanya tinggal mmenjadi saksi bisu kehadirannya di dunia ini.  Terlahir sebagai anak pertama dari pasangan yang telah menikah selama dua tahun sekaligus cucu perempuan pertama (dari tiga cucu) dari pihak sang bunda dan cucu keempat dari pihak sang ayah (dua lelaki, satu perempuan), bayi perempuan mungil sepanjang 51 cm dan seberat 3 kg ini kemudian diberi nama Febriyani Nuril Akmaliyah.  Febriyani diambil dari bulan kelahirannya (febri untuk Februari, Yani sebagai indikasi anak perempuan *sotoy*), Nuril diambil dari gabungan nama depan orang tuanya sebetulnya namun masih menyandang arti dari Nur itu sendiri yang adalah cahaya, dan Akmaliyah diambil dari bahasa Arab seperti halnya Nur yang berarti sempurna.  Jadi jika disimpulkan Febriyani Nuril Akmaliyah bisa jadi berarti ‘Anak Perempuan yang lahir di bulan Februari dengan Cahaya Kesempurnaan ‘ atau Peremepuan dengan Cahaya Sempurna yang lahir di bulan Februari’ (100% interpretasi sendiri tnapa mengacu kemanapun, jadi jangan asal percaya! Haha).  Jika demikian adanya, (sudah sempurnakah) si gadis?


Belum, tentu saja belum dalam hal-hal tertentu dan tidak untuk beberapa hal.  Secara konkrit sama sekali tidak sempurna, secara abstrak masih berproses menuju kesempurnaan.  Memang, sebagai wanita si gadis pastilah cantik *kan tidak mungkin ganteng*, namun dibandingkan dengan gadis seumurannya si gadis secara tampilan konkrit kalah menarik.  Tak apalah, mungkin kesempurnaan itu sesuai namannya terpancar melalui cahaya yang secara abstrak muncul dari apa yang menurut orang disebut sebagai aura *SOTOY ABIS SUMPAH, #ABAIKAN!*.  Apa pun itu, si gadis memang sedang berproses menuju pribadi yang berkali lipat lebih baik seiring dengan semakin berkurangnya jatah tinggalnnya di dunia ini.  Meskipun yang konkrit dirasa sulit untuk diperbaiki, namun toh sangat banyak yang bisa ia perbaiki bagi yang abstrak.

Kini di usianya yang sudah memasuki fase dewasa awal berdasarkan teori psikologi, tentu kedewasaan dalam arti seutuhnya menjadi salah satu resolusinya di tahun ini.  Dewasa dari segi karakter, emosi, pribadi dan tentu saja finansial yang pada akhirnya terangkum dalam harapan atau yang dikenal sebagai “birthday-wish”nya si gadis di tahun ini. 

Dimulai dari finansial.  Di usianya yang memasuki tahun keduan di dasawarsa ketiganya ini, si gadis masih didukung secara finansial oleh orang tuanya.  Baik si gadis maupun orangtuanya belum mempermasalahkan mengingat statusnya yang masih mahasiswa.   Si gadis ini pada awalnya memang tidak ngotot untu lulus sesegera mungkin dan justru mengamini pendapat seorang temannya tentang lulus pada waktu yang tepat; namun seiring waktu kesadarannya untuk segera memberi hadiah terindah atas jerih payah orang tua membiayai kita hingga detik ini pun akhirnya tak terelakan lagi mengingat adik kedua dari empat adiknya akan masuk kuliah di tahun ajaran baru ini yang berarti beban biaya orang tuanya pun akan semakin membengkak.  Carannya? LULUS ASAP!  Jadi ya itu, akhirnya wisuda di penghujung tahun ini pun masuk dalam daftar prioritas si gadis di tahun ini meskipun ia hingga berita ini diturunkan bahkan masih belum kepikiran mau mengangkat apa untuk (setidaknya) proposalnya!


Kedua, dari segi pribadi.  Selain sebagai seorang mahasiswa yang bergelut dengan kegiatan akademik seperti mengerjakan tugas, hadir di kelas, dan segala tetek bengeknya dan aktivis yang bergelut dengan aktivitas peryarikayannya mulai dari rapat, merancang hingga melaksanakan sejumlah program, berikut kunjungan daerah, si gadis ini tentu saja masih berstatus sebagai anak yang masih menjadi hak orang tuanya dan memiliki kewajiban terhadap orang tuanya sepenuhnya.  Karenanya, si gadis kini mulai berpikir untuk segera mandiri sebagai seorang pribadi dengan berganti status dari anak menjadi calon orang tua dan dari siswa menjadi calon guru.  Caranya? Melaksanakan sunah rasul dan segera mengajar!  Yap, rasanya ini sudah the right time for getting the right one juga the rigt time for spreading and sharing out my knowledge.  Sesuai apa yang diharapkan sekaligus juga doa barangkali dari sang bunda yang ingin si sulung segera lulus supaya segera memulai kehidupan baru sebagai pendamping seseorang, si gadis pun sangat mengamini harapan itu sekali pun sampai detik ini si mr. right itu masih sangat sangat sangat misteri bagi si gadis yang masih suka galau *kadang pengen segera, sering kali ditinjau ulang untuk segera*.  Makanya, kemandirian dalam hal ini bakal jadi prioritas di kala si gadis setidaknya telah melewati tahapan disang skripsi, yah semacam urusan setelah selangkah menuju LULUS KULIAH.  



Untuk perubahan status yang kedua yang sebenarnya sudah menjadi hasratnya sejak beberapa tahun terakhir namun terlalu banyak kendala sudah sangat ingin diaplikasikannya di tahun ini.  Dan, Alhamdulillah, kesempatan itu terbuka di awal bulan depan yang meskipun sama sekali tidak profit *hanya dihonor seongkoseun*, tapi disambut dengan sangat hangat dan terbuka oleh si gadis sebagai ajang pemanasan dan pengasahannya sebelum terjun secara resmi ke medan yang sesungguhnya smester depan.  Ke depan, mudah-mudahan mengajar bisa segera menjadi profesi yang akan engahntarkan si gadis meraih kemandirian dari segi finansial.

Dari segi emosi dan karakter, ya penulis ini sebetulnya tipe pecinta kedamaian dan pengalah di luar meskipun tak jarang bisa meledak-ledak juga kalau di rumah.  Dengan orang lain penulis paling enggan menuai konflik yang kadang tanpa diundang pun tercipta dengan sendirinya dalam kehidupan bersosialisasi mengingat banyaknya pribadi dan karakter yang tentu saja berbeda satu sama lain yang terlibat disana.  Bahkan si gadis cenderung rela terkorbankan perasaannya demi terciptanya perdamaian.  Kasarnya, si gadis lebih rela dia yang meafkan orang lain daripada mesti orang lain yang memaafkannya yang menurutnya belumm tentu semudah yang pertama.  Tapi, jangan salah, plis si gadis bukan 100% malaikat, ia pun sama seperti yang lain bisa merasakan marah dan kesal.  Bahkan ia pun bisa meledak-ledak, di rumahnya!  Tapi ya gimana mungkin karena rumah dan keluarga itu ya tempat semua orang bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri karena seburuk apa pun mereka tetap bisa menerima dan memaffkan kita. 

Si gadis contohnya, semarah apa pun ia pada keempat adiknya, akan sangat-sangat mudah baginya untuk menghapuskan bahkan melupakan kemarahannya serta memaafkan adik-adiknya.  Bukan tidak pernah juga si gadis kesal pada kedua orangtuanya yang meski bisa sampai perang dingin beberapa hari tapi di batinnya ia segera langsung menyesali kekesalan atau sikap kesalnya pada kedua orangtuanya—hanya soal gengsi saja yang tidak membuatnya segera kembali normal.  Karenanya, besar harapan si gadis di usianya yang sekarang ini ia sudah jauh lebih mampu mengatur emosinya terutama terhadap keluarga tercintanya serta mulai menunjukkan karakter agar memudahkan untuk mulai menjadi subjek bukan dominan sebagai objek lagi di lingkungan sosialnya.


Begitulah harapan, cita-cita, sekaligus prioritas si gadis di tahun ini yang jika dirangkum maka prioritas utamanya ada di menyelesaikan studi yang nantinya akan berimbas pada kemandirian baik secara pribadi dengan menemukan si mr. right juga secara finansial dengan berkesempatan menjadi pendidik yang sesungguhnya dengan didukung kematangan emosional dan karakter yang kuat.  Semoga seluruh harapan dan cita-cita si gadis terkabul ya, untuk itu mari doakan bersama-sama supaya semuanya itu tercapai..aamiin!