Selasa, 10 Februari 2009

peranan Anggaran Pendidikan Terhadap Problematika Pendidikan di Indonesia

Pendidikan bisa dijadikan sebagai alat pengukur kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki kualitas pendidikan yang baik. Negara-negara maju seperti Jepang telah berhasil membuktikan bahwa dengan kualitas pendidikan yang sangat baik bisa menjadikan mereka sebagai Negara yang produktif. Siapa yang tak kenal Jepang, dengan produk elektronik dan otomotifnya yang tersohor telah menjadikannya sebagai Macan Asia. Reputasinya di dunia internasional pun tak diragukan lagi. Semua itu tak lepas dari kepedulian pemerintah Jepang yang teramat tinggi di bidang pendidikan.

Sementara, Selama ini sector pendidikan di Indonesia cenderung tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Bangunan-bangunan sekolah yang sudah tak layak huni, buku pelajaran yang terus menerus berganti, biaya sekolah yang tak kunjung murah (meskipun sudah disubsidi dengan BOS), juga rendahnya kesejahteraan guru menjadi permasalahan-permasalahan yang melatarbelakangi masih rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, dari berbagai masalah tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa “aktor” utama dari berbagai problematika di atas tak lain adalah soal anggaran pendidikan itu sendiri. Selama ini anggaran pendidikan Indonesia masih yang terendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, seperti India yang sudah bisa mengratiskan biaya sekolah. Seharusnya sesuai dengan yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 Ayat 4, bahwa pemerintah harus mengalokasikan dana sekurang-kurangnya 20% untuk anggaran pendidikan. Namun, selama ini anggaran yang dialokasikan justru tak lebih dari 10%. Hal itulah yang kemudian menjadi bahan tuntutan para pendidik dan orang-orang yang bergelut di bidang pendidikan.

Kita sering kali terlalu terfokus pada pembenahan infrastruktur seperti rekontruksi bangunan sekolah yang sudah hampir ambruk, juga pergantian sistem pendidikan (kurikulum) yang sebenarnya kurang jelas arahannya, dengan alasan mencari system yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia ini. Padahal sesungguhnya hal yang paling mendasar yang mesti kita benahi adalah kualitas pendidikannya itu sendiri. Hal ini tentu tak lepas dari peranan para pendidik. Pendidik yang berkualitas akan mampu menghasilkan murid-murid yang berkualitas pula, yang cakap, intelek, dan mempunyai daya saing.
Permasalahnya saat ini adalah rendahnya minat para calon mahasiswa untuk meneruskan profesi mulia sebagai seorang pendidik (guru). Hal ini mempengaruhi tidak hanya kuantitas pendidik itu sendiri, tetapi juga kualitasnya secara keseluruhan. Rendahnya kesejahteraan guru memang menjadi faktor utama yang menyebabkan kurangnya minat terhadap profesi yang luhur tesebut. Imbasnya, jumlah tenaga pendidik di Indonesia menjadi semakin berkurang saja, yang secara tidak langsung mempengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia sendiri. Terutama bagi sekolah yang berada di daerah terpencil. Jarang ada orang yang bersedia menempuh jarak puluhan kilo demi mengajar siswa pedalaman, dengan gaji yang tak seberapa. Ada pun relawan yang bersedia adalah mereka yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan. Setidaknya, jangan biarkan mereka menajdi generasi yang buta huruf. Bagaimanapun mereka tetap bagian dari bangsa Indonesia yang berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Dan bukannkah hal tersebut sudah menjadi tugas pemerintah, sejalan dengan salah satu tujuan luhur bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD I945, yaitu unttuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Selain permasalahan tadi, selama ini pemerintah Indonesia cenderung mengukur mutu pendidikan di Indonesia dengan berorientasi kepada hasil belaka, tanpa memedulikan proses. Contoh nyatanya adalah pelaksanaan Ujian Nasional. Pendidikan yang ditempuh selama bertahun-tahun hanya ditentukan dalam tiga hari. Jika berhasil memenuhi standar nilai yang ditetapkan pemerintah maka ia lulus, tetapi jika tidak ia terpaksa harus mengulang atau terpaksa menantongi ijazah dari “almamater “ yang lain jika ia memilih mengikuti ujian susulan paket. Pemerintah pun setiap tahunnya selalu menaikan nilai standar lelulusan UN, dari kisaran 3 hingga tahun ini berada di angka 5,5, belum lagi penambahan jumlah mata pelajaran yang diUNkan. Pemerintah berargumen bahwa hal tersebut dilakukan semata untuk peningkatan kualitas pendidikan Indonesia, agar bisa sejajar dengan Singapura dan Malaysia yang standar kelulusannya berkisar di atas 7. Jika memang kualitas pendidikan di Indonesia diukur dari kuantitas lulusan dan nilai UN, maka berbanggalah pemerintah Indonesia.

Secara kuantitas jumlah lulusan di Indonesia memang cukup membanggakan, tetapi secara kualitas yang sesungguhnya sangat diragukan. Dengan sistem yang demikin, pemerintah justru menjerumuskan rakyatnya ke dalam lembah kemunduran intelektual. Betapa tidak, demi memenuhi standart nilai UN, banyak sekolah, terutama swasta, yang melakukan berbagai cara bahkan cara yang sama sekali tidak halal agar semua murid sekolah tersebut lulus UN. Mereka melakukan hal yang ekstrim namun sudah lumrah, yakni guru sekolah yang bersangkutan memberi bocoran pada siswanya. Maka tidak heran jika banyak sekolah swasta yang secara kualitas dibawah sekolah negeri tetapi mampu menjadi sekolah dengan nilai rata-rata UN tertinggi. Kita pun tentunya tidak bisa menyalahkan pihak sekolah begitu saja. Karena bagaimanapun mereka hanya tidak ingin melihat siswanya gagal. Jelaslah bahwa peningkatan standar nilai tersebut semata-mata hanya demi pemenuhan target pemerintah guna mengimbangi Negara tetangga saja, tanpa memerhatikan kondisi real pendidikan di Indonesia itu sendiri. Jika demikian apakah layak disebut berkualitas?

Kabar yang selama ini ditunggu pun tiba. Pada bulan Agustus 2008 yang lalu, dalam pidato kepresidenannya, orang nomor satu di negeri ini akhinya mengumumkan bahwa anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN akan direalisasikan di tahun 2009. Banyak pihak, tetutama yang bersinggungan langsung dengan dunia pendidikan menyambut baik kabar ersebut, namun tak sedikit pula yang meragukannya.

Keraguan banyak pihak tak lain adalah mngenai pemanfaatannya, yang dikhawatirkan jika memang bernar terealisasi akan banyak dikorupsi oleh pihak yang berwenang (mengingat korupsi bukanlah hal yang asing di negeri tercinta ini), disamping hal tersebut hanya semata pemenuhan tuntutan Mahkamah Konstitusi, terkait pengalokasian anggaran pendidikan tersebut. Maka dari itu, Depdiknas mengajukan peyediaan Lembaga Pengawas, dalam hal ini KPK, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan perguruan Tinggi (PT) untuk mengawasi keluar-masuknya anggaran. Diakui juga oleh Mendiknas, Bambang Sudibyo, bahwa tambahan dana sekitar 46,1 triliun kepada Depdiknas dari sebelumnya sekitar 154,2 triliun atau meningkat hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya, jadi totalnya mencapai 224 triliun bukanlah hal yang mudah untuk dikelola. Belum adanya program yang jelas membuat dana sebanyak itu akan menjadi mubadzir saja saat ini karena bagaimanapun ketidakpastian program jelas mempengaruhi pengelolaannya. Sebetulnya anggaran sebanyak itu tidak hanya milik Depdiknas, namun dialokasikan juga untuk Departemen Agama.

Adapun rencana pemanfaatannya sendiri, yakni untuk peningkataan anggaran bagi program wajib belajar sembilan tahun, sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, penelitian, besiswa pendidikan bagi peraih medali di olimpiade, juga kesejahteraan guru. Berkaitan dengan hal yang disebut terakhir, dengan dipenuhinya anggran pendidikan sebesar 20% dari APBN 2009 tersebut, pemerintah berencana akan menaikan gaji guru dan pensiunan sebesr 15% di tahun 2009 ini. Gaji guru golongan terendah akan dinaikan sebanyak 2,5 kali dari 842,6 ribu rupiah per bulan pada tahun 2004 menjadi 1.854 juta rupiah per bulan di tahun 2009. Disamping itu, perbaikan bangunan-bangunan sekolah yang sudah tidak layak huni pun, baik swasta maupun negeri juga menjadi prioritas utama pemanfaatan anggara tersebut.

Namun, hingga saat ini hal-hal di atas belum dapat terealisasi dengan optimal, seperti peningkatan gaji ruru sebanyak 15% tersebut belum bisa dinikmati. Saat ini, hal tersebut memang masih bisa dimaklumi mengingat program tersebut merupakan program yang baru sehingga belum efektif. Akan tetapi jika hal tersebut terus menerus bibiarkan, akan menimnulkan pertanyaan tersendiri, kemanakah larinya dana sebesar 224 triliun tersebut? Maka dari itu pemerintah, dalam hal ini Depdiknas harus benar-benar membuat sebuah program yang jelas, berkualitas dan terarah sehingga pengelolaan dana tersebut bisa berjalan dengan baik. Tidak lupa pula Depdiknas harus melalukan transparasi dana terhadap masyarakat demi menghindari peluang korupsi yang terbuka lebar, sehubungan dengan melimpahnya dana pendidikan tahun ini.

Bukan rahasia lagi jika para pejabat di negeri ini memang hobi “mengalihsakukan” uang rakyat, dan untuk hal yang satu itu Indonesia mencetak suatu “prestasi” tersendiri dengan masuk ke jajaran 10 negara terkorup di dunia! Untuk itu, transparansi dari depdiknas juga pengawasan yang ketat dari lembaga pengawas yang tadi menjadi teramat penting. Semua hal di atas semata untuk peningkatan mutu pendidikan di Indonesia sehingga bisa bersaing dengan Negara lain.

Di saat pemerintah bersiap merelisasikan 20% anggaran pendidikan dari APBN 2009, DPR jusstru mensahkan UU Badan Hukum Pendidikan, yang menuntut komersialisasi lembaga pendidikan, universitas. Hal ini memungkinkan lemabaga pendidikan memungut biaya yang lebih besar kepada mahasiswanya. Dengan BHP, maka lembaga pendidikan menjadi seperti badan usaha, yang mana bisa mendapat modal dari mana saja, dan disini objek utamanya adalah mahasiswa itu tadi. Universitas bisa dengan leluasa menaikan pungutan terhadap para siswa dan mahasiswa. Hal ini dinilai akan sangat mendiskriminasi mereka, para mahasiswa yang perekonomian keluarganya kurang. celah bagi mereka untuk bisa bersaing di dunia kampus menjadi semakin sempit saja, bahkan tidak menutup kemungkinn untuk tak menyisakan celah sama sekali. Jadi dalam bahasa kasarnya, nantinya kampus adalah tempat bagi mereka yang beruang saja, bukan lagi mereka yang berilmu. Selain itu, UU tersebut juga dinilai sebagai bentuk lepas tangan pemerintah terhadap biaya pendidikan. Tidak heran seak disahkannya UU tersebut, pro dan kontra menyeruak, berbagai unjuk rasa oleh mahasiswa pun digelar di berbagai kota sebagai aksi penolakan terhadap UU tersebut.

Anggaran 20% pun belum jelas realisasinya, titambah lagi dengan UU BHP. Akan seperti apa nasib pendidikan Indonesia nantinya? Kita hanya bisa berharap bahwa apapun program pemerintah terhadap pendidikan ini nantinya memang akan memberikan dampak yang baik terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia. Semoga seluruh anak-anak bangsa Indonesia nantinya bisa mencicipi pendidikan yang layak. Bagaimanapun mereka merupakan aset bangsa yang nantinya akan menggantikan kita untuk membangun Negara ini. Mari secara bersama-sama kita benahi pendidikan di Indonesia.