Tampilkan postingan dengan label Movie Review :D. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Movie Review :D. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 April 2013

Maraton Movies: MADRE &TAMPAN TAILOR

tabloid Bintang Indonesia dok
Hari itu adalah kali ketiga (kalau ingatan penulis belum seterganggu kata hasil cek pemeriksaan kesehatan beberapa hari lalu) penulis melaksanakan aktivitas marathon film.  Yups, betul sekali, sesuai namanya marathon film itu ya penulis nonton dua film berturut-turut di hari yang sama.  Capek? Paling matanya aja ya karena harus fokus ke layar besar selama paling tidak 3 jam (anggap aja lagi nonton film Bollywood).  Pertama kali maraton film itu sekitar 2005 (entah sebelum, pas, atau sesudahnya *lupa*) dan yang dimaratonkan adalah film “Doraemon the Movie” dilanjut “Apa Artinya Cinta”.  Kedua kalinya saat berturut-turut menyaksikan “Transformer 2” dan “Rumah Dara .  Dan yang terbaru sekitar sepekan yang lalu saat penulis akhirnya memutuskan untuk memarantonkan dua film-nya bang Vino GB yang entah apa pun motifnya tayang berbarengan, “Madre” dan “Tampan Tailor”.  Penulis sih sudah tidak akan lagi membahas dua marathon film sebelumnya, hanya akan fokus pada marathon film yang terakhir.  Kenapa? Ya karena yang lalu biarlah berlalu (baca: udah pada lupa), mari fokus pada yang terakhir yang jadi asyik dibahas karena kedua film yang dimaratonkan seperti yang sudah diungkap di awal sama-sama dibintangi oleh bang Vino GB, salah satu aktor dalam negeri favorit penulis (apalagi pas amasih lajang #loh).  Ya, berhubung dibintangi oleh pemeran yang sama, otomatis perbandingan tak akan terelakkan.  Tapi jangan khawatir penulis sih bakal berusaha memaparkan secara terpisah dahulu sebelum mempertemukan mereka kembali di akhir *hyaa..sami sareng*.  So please enjoy this!

#MADRE#

Cantik & Ganteng, tapi sayang kurang bisa dinikmati kebersamaanya ^^
Agak sedikit berbeda tapi masih berhubungan dari dan dengan “Perahu Kertas” yang penulis baca setelah mendengar kabar produksi film-nya, untuk ‘Madre’ yang sama-sama ditulis mbak Dewi Lestari ini penulis sudah baca bahkan sebelum hingar bingar produksi film-nya menggaung di kolom berita.  Tapi, tak bisa dipungkiri, bahwa awal perkenalan penulis dengan novelet ini pun tak terlepas dari perkenalan penulis dengan “Perahu Kertas”.  Syukurnya adalah, penulis tidak cukup terlambat untuk mengenali dan lalu melahap kisah ‘Madre’ versi tulisannya. Dan ketika muncul kabar tentang produksi film dari novel yang disebut-sebut best of, karuan saja rasa penasaran penulis menanjak hingga level BANGET.  Apalagi setelah terungkap bahwa yang cast-ya bang Vino GB dan teteh Laura Basuki giliran antuasiasme yang menguat hingga level BANGET.  Belum lagi lokasi syuting-nya yang ternyata tidak jauh dari lokasi tempat penulis sempat intens beraktivitas tahun lalu, kan makin membuat pengen segera menikmati film-nya—yang ternyata tayang Maret ini, yang berarti berbulan-bulan lamanya sejak rasa penasaran dan antusias ini menguat.  POKOKNYA ALL ABOUT MADRE MADE ME SO SO SO CURIOUS!

Dan hasilnya? Jreng..jreng..jreng…My curiosity, to be honest, turn into a disappointmentWhy? Let you find after the synopsisWell, seperti bukunya, “Madre” rasa audio-visual ini berpusat pada kisah Tansen (Vino GB), seorang ahli waris dari ‘Tan de Baker’, sebuah toko roti klasik milik mendiang kakeknya yang sudah tidak lagi beroperasi selama belasan tahun.  Berkat setoples biang roti bernama ‘madre’ yang dijaga dengan sangat telatennya oleh Pak Hadi (Didi Petet), rekan sekaligus sahabat sang kakek, ia pun bisa terhubung dengan Meilan Tanuwidjaja (Laura Basuki), pemilik toko roti modern “Fairy Bread”, yang sudah sejak lama mengagumi bahkan terobsesi dengan madre. 

Perkenalannya dengan madre memberi banyak warna baru dalam hidup Tansen yang sebelumnya hanya terfokus pada laut, pantai, dan ombak.  Ya, sebelum bertemu madre ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di pulau Dewata, bersahabat dengan ombak dan kedamaian (baca: rutinitas monoton).  Tapi, madre membuat hidupnya berubah 180°.  Mengenal pak Hadi dkk, Mei, membuatnya tertahan di Bandung dan malah menjadi pembuat roti.  Sempat hendak menjual harta terbesarnyaa. “Madre”, pada Mei, toh akhirnya ia memiliki ikatan mendalam dengan ‘Madre’ dan apa-apa yang berkaitan dengan ‘Madre’ yang belakangan diketahuinya berarti ibu dan bahkan dijaganya bak ibu sungguhan.

Selebihnya? ya sebagaimana yang terkisah di bukunya.  Hanya saja ada sejumlah tokoh tambahan semisal James (Framly), yang calon suami Mei di versi film-nya ini.  Kehadiran tokoh baru sih sepengrasaan penulis yang penikmat film ini tidaak terlalu memberi efek apa gimanaaa gitu.  Kan, durasi munculnya pun hanya sekian menit saja.  Jadi, ada tau tidak ada pun rasanya tidak terlalu berpengaruh. Eh ada deng sedikit, soalnya versi bukunya mah sih konfliknya cenderung tidak meledak-ledak, ya jadi kurang unsur dramatisasi nya kali kalau itu tokoh James gak muncul. Mungkin.

Secara keseluruhan jujur saja penulis rada kecewa dengan hasil akhir film ini.  Jalan ceritanya sebenarnya tidak banyak yang berbeda dari bukunya, adapun beberapa yang berbeda ya hanya penyesuaian-penyesuaian saja dengan versi audio-visual.  Chemistry Vino-Laura bagi penulis pribadi kurang terasa hangat kecuali durasi filmnya diperpanjang 30 menit mungkin ya.  Entah sih, mungkin karena adegan romantis-nya nanggung. Lagi-lagi mungkin.  Tapi iya ah, penulis rada bingung sama fokus ceritanya.  Mau tentang jatuh bangun usaha roti, kurang kerasa maksimal.  Mau mengumbar romantisme, kok kayak ditahan-tahan.  Jadi? Penulis sih kurang dibikin sengiler roti buatan Tansen, seterkagum sama badan jenjangnya Laura Basuki, dan sebetah mendengarkan “Jodoh pasti Bertemu”-nya Afgan sama film-nya sendiri.  Meski demikian, penulis sih tetap merekomendasikan film ini.  


~~~

#TAMPAN TAILOR#



Ini film rada ajaib sih kalau bagi penulis.  kenapa? Soalnya kan kalau ‘Madre’ penulis sudah tau dan mengantisipasi sejak berbulan-bulan sebelumnya.  Eh film ini tiba-tiba saja link trailer-nya di RT sama akun twitter-nya bang Vino.  Penasaran dong, ya ikutan ngeklik, dan ya-ampun-film-apa-pula-kok-ada-bang Vino-nya itu yang muncul di benak penulis.  Kece juga sih trailernya.  Ada anak kecil yang dicurigai sebagai anak-nya bang Vino, dan mbak Marsha Timothy bisa jadi berperan sebagai istrinya atau paling tidak bakal berpasangan dengan bang Vino-nya.  Dan kalau ‘Madre’ penulis yakin premiere-nya di tanggal 28, nah ‘Tampan Tailor’ ini penulis yakin gak yakin.  Wajar sih, kan ‘Madre’ promo-nya WOW BGT, nah ‘Tampan Tailor’ cenderung seadanya.  Setelah menyaksikan via youtube tempo hari, setelahnya sekali dua kali penulis saksikan trailer-nya di sela-sela komersial break di televisi swasta nasional.  Selebihnya? Ya paling dari RT-an nya bang Vino di twitter. That’s all. Untung yang mainnya bang Vino, jadi tanpa promo jor-joran pun penulis tetap ingat sih dan memasukan film-nya ke dalam list a-must-see-movie

Film ini ternyata benar adanya berfokus pada hubungan ayah-anak.  Topan (Vino GB) dan Bintang (Jefan Nathanio) terpaksa jadi tuna wisma dadakan setelah gerai ‘Tampan Tailor’ miliknya disita pihak bank.  Ya, Topan ini dulunya berprofesi sebagai penjahit dan bersama almarhumah istrinya mengembangkan butik jahit ‘Tampan Tailor’ yang merupakan gabungan dari nama Tami, sang istri, dan Topan sendiri.  Beruntung ia masih memiliki Asep (Ringgo Darman), satu-satunya kerabat yang ia miliki di Jakarta.  Menumpanglah Topan dan Bintang di rumah petak Darman yang sudah sesak oleh istri dan keempat anaknya.  Tak kunjung mendapat pekerjaan memaksa Topan mengikuti jejak Darman menjadi calo kereta api.  Apalagi Bintang, anaknya, sudah tak diperbolehkan lagi masuk sekolah setelah menunggak biaya berbulan-bulan.

Pada Bintang, Topan berkilah kalau pekerjaannya itu semacam intel yang kece badai di matanya dan bahwa ia tidak dulu sekolah karena harus libur dulu.  Bintang sendiri pada akhirnya banyak menghabiskan waktu melihat ikan di warung Prita (Marsha Timothy) pemilik kios Fotocopy sekaligus tempat penitipan anak.  Prita ini bak dewi penolong bagi pasangan ayah-anak ini.  Ia yang mengamankan Bintang saat sang ayah diinapkan di kantor polisi, juga iya yang memperkenalkan Topan pada salah satu manajer di perusahaan pembuat setelan jas.  Tak heran jika pada akhirnya Topan pun jatuh hati pada gadis berpembawaan jutek ini. 

Dan cerita pun bergulir pada perjuangan Topan dalam pekerjaannya.  Pasang surut hubungannya dengan Prita.  Dan, tentu saja, keeratan ikatan ayah-anak antara Topan dan Bintang yang cukup mendominasi cerita.  Overall, kisahnya menyentuh walaupun gak sampai bikin penulis meneteskan air mata.  Chemistry Vino sama yang jadi anaknya terjalin sangat baik.  Kisah asmara Topan dengan Prita pun sungguh diberi porsi yang wajar, tidak berlebihan.  Ya kalau chemistry Vino-Marsha nya sendiri sih gausah dibahas, udah suami istri beneran juga kan ya gimana gak dapet.  Penampilan Ringgo Darman sebagai Asep dengan keluarga ajaib-nya pun cukup memberi warna tersendiri.  Secara keseluruhan film ini berhasil menyajikan satu tontonan yang seenak dan serapi melihat jas jahitan Topan.  Satu-satunya yang patut disayangkan adalah promo film-nya yang terbilang minim.  Untung cast-nya menjual, jadi ya kalaupun penontonnya sepi gak pake level BANGET.



*****
Madre vs Tampan Tailor: When Promotion is the Main Cast

Oke. Berhubung dua-duanya film bang Vino, jadi sah-sah aja dong ya kalau penulis mau ngebandingin? Sah? Sah! *ala ijab Kabul*.  Nih, kalau dari segi tema cerita, sebenarnya “Madre” lebih potensial sih untuk dikembangkan.  Tema kuliner-nya cukup fresh lah untuk ukuran film Indonesia.  Kalau tema yang diangkat di ‘Tampan Tailor’ cenderung lebih lumrah.  Fokus hubungan ayah-anak kan udah sempat dimunculkan di beberapa film Indonesia semisal ‘King’ dan banyak lainnya.  Nah, tapi kalau dari segi penceritaannya penulis lebih suka dan lebih engaged sama ‘Tampan Tailor’.  ‘Madre’ bagi penulis kurang ada letupan-letupan yang bisa bikin ceritanya lebih menggigit dan lebih lezat, malah cenderung datar karena serba nagging *bagi penulis lho ya*.  Dari segi chemistry-nya, gak ada yang salah sih dengan duet Vino-Laura, hanya saja jalan cerita yang kurang berpihak pada intensitas dan porsi kebersamaan keduanya tidak membuat chemistry mereka terjalin dengan cetar membahana dan kurang terpampang nyata.  Sayang.  Sementara chemistry Vino-anaknya sangat terbangun erat dengan porsi kebersamaan yang intens di hampir sepanjang film.  Apalagi? Hmmh..dari ‘Madre’ penulis rada terganggu dengan rambut gimbalnya Tansen, kecentilan kurang wajar-nya bu Qory, figuran yang nampak sangat kefiguranannya di sekitar Tan de Baker Bakery, ketidakjelasan penyelesaian akhir hubungan Mei-James, kenanggungan porsi keintiman Tansen-Mei.  Tapi sangat suka dengan soundtrack “Jodoh Pasti Bertemu” nya Afgan yang kece, Laura Basuki nya yang shining, dan…udah deh kayaknya.  Nah sedangkan di ‘Tampan Tailor’ penulis cukup terganggu dengan apa ya…rasanya hampir tidak ada kecuali keheranan pas Prita tiba-tiba muncul siang bolong pesen kopi di kios sekitar stasiun dengan menyisakan pertanyaan lah-itu-kiosnya-siapa-yang-jaga-? Emang-kiosnya-deket-ke-stasiun-ya-?, promonya yang minim dan emang kurang niat sama soundtrack-nya yang juga memakai lagu yang sudah available, bukan khusus diciptakan untuk kebutuhan film. Jadilah soundtrack yang apa adanya, sekalipun sah-sah saja. Kesimpulannya adalah bahwa promo jor-joran tidak jadi jaminan bahwa filmnya seWAH promonya.  Dan jangan sampai film bDarman rada terlewatkan justru karena promo yang minim dan kurang niat.  Dua-duanya sungguh disayangkan.  Suka atau tidak pada akhirnya sangat bergantung pada selera masing-masing.  Saya, apa yang saya ungkapkan dan tuangkan di sini, ya itulah selera saya, berdasarkan apa yang saya rasakan selama menikmati kedua film tersebut secara marathon. Anda ya silakan dengan selera Anda.   Yang satu selera ya terima kasih, yang beda selera ya tak masalah.  Yang masih bingung dan jadi penasaran ya buruan aja gih ke bioskop terdekat sebelum pada turun layar! :)

Nih spesial untuk kalian :))

Rabu, 23 Januari 2013

Sang Pialang: Mahalnya Kepercayaan Orang Terdekat



Awal pekan lalu, penulis dibuat kaget dengan tweet-nya bang Vino GB tentang rilis film terbarunya yang ternyata dibintangi juga oleh Velove Vexia.  Padahal penulis tahunya film teranyar bang Vino yang bakal rilis itu ya ‘Madre’ yang entah kapan tanggal rilis pastinya.  Penasaran, akhirnya penulis pun mencari sinopsis dan melihat trailer-nya.  Aneh! Rasa penasaran yang menggebu malah jadi kelelep sampe palung terdalam *lebay*.  Tapi iya, begitu baca sinopsisnya penulis jadi teringat sama film-film sejenis Bila, SKUT, dan film-film lain yang bercerita tentang pesakitan, (inginnya) menguras air mata, dan pastinya berujung kematian salah satu tokohnya.  Jenis drama yang entah kenapa kurang menarik perhatian penulis.  Padahal secara poster—disamping faktor bang Vino-nya—film ini cukup menarik perhatian penulis lho dibanding satu film lain yang dijadwalkan rilis di tanggal yang sama, Sang  Pialang.  Secara poster, film besutan Asad sebenarnya kurang menarik bagi penulis, tapi pas liat yang mejeng di posternya tidak ada alasan untuk tidak menjadwalkan menonton film ini.  Dan, akhirnya tanpa ragu di premiere kedua film tersebut, akhirnya penulis dengan seorang teman akhirnya memilih menonton film pertamanya mas Abimana di tahun 2013 ini. 
***
 
"main saha itu rumusnya cuma dua: insting dan timing"
                                               "sebenernya SUJU itu wajib militer gak sih?"

Mahesa (Abimana) adalah seorang broker di Barata Sekuritas, perusahaan pimpinan Rendra (Pierre Gruno) yang sekaligus ayah dari rekan sekaligus sahabatnya, Kevin (Christian Sugiono).  Meski bersahabat karakter mereka cenderung bertolak belakang: Mahesa yang lurus nan konservatif; Kevin ambisius di tengah kemodernannya.  Tiga orang alinnya menggenapi lingkaran persahabatan mereka: (Mario Irwinsyah), (Alblen), dan satu-satunya perempuan Analea (Kamidia Radisti).  Kelimanya bergerak di bidang yang serupa tapi tak sama (yang jelas gaji yang mereka dapet per bulannya nampak bejibun ya dari gambaran ngelunch di restoran-nongkrong di cafe mulu-rutin clubbing-belanja merk).  Bahkan Analea terlibat cinta segitiga dengan Mahesa dan Kevin.

Prestasi Mahesa yang menuai pujian dari bosnya yang tak lain ayah Kevin, menanamkan rasa iri pada diri sahabatnya itu.  Belum lagi perihal Analea yang sering kali begitu jelas memberikan kode pada Mahesa yang malah terlalu naif untuk menyadarinya.  Makanya Kevin sampai rela menghalalkan segala cara untuk mengangkat posisinya di mata rekan-koleganya, dan terutama sang ayah.  Bahkan Analea yang sudah lelah meksimal dengan ketidakpekaan seorang Mahesa rela diresmikan sebagai sepasang kekasih dengan Kevin.  Dan, ya, dalam tempo sebentar saja ia sudah bisa membeli jam tangan baru, menghadiahi tas ternama untuk Analea, hingga promosi jabatan, yang sayangnya diraih dengan cara yang kurang bersih tadi.

Sementara itu, posisi Mahesa yang sedang agak menurun menyebabkannya kehilangan seorang bawahan yang beralih ke kevin.  Belum lagi sang ayah masuk rumah sakit setelah mendengar kalau nilai saham yang dibelinya anjlok terus menerus.  Maklum saja, butuh waktu lama bagi Mahesa untuk meyakinkan sang ayah agar mau menginvestasikan uangnya di bursa saham, ketimbang di bisnis jual-beli tanah sebagaimana kebiasaanya.  Keluarga Mahesa, terutama ayahnya, yang digambarkan sebagai muslim taat memang meragukan kehalalan bisnis saham yang dianggapnya menyerupai judi.  Dan dalam hal ini Mahesa yang di kantor merupakan seorang broker ulung pun sering kali tak bisa berkutik.

Ternyata api akan selalu menimbulkan asap, itulah yang terjadi pada Kevin.  Ia kelabakan saat salah seorang nasabahnya ingin menarik seluruh uang yang memang merupakan hakknya.  Ia berada di masa kritis.  Apalagi hubungannya dengan Mahesa tengah bermasalah sejak ayah sahabatnya tersebut masuk rumah sakit.  Pun dengan Analea yang kecewa berat setelah mendapati Kevin mencuri data milik perusahaanya. Melapor apalagi mengadu pada ayahnya pun hanya akan merusak kepercayaan yang sudah diidam-idamkannya sejak lama itu.  Sementara itu, Pak (Ferry Salim) terus mendesak supaya uangnya segera dicairkan... Apakah Kevin mampu mengatasi masalah ini sendirian?  Apakah Mahesa, Analea, dan dua sahabatnya yang lain akan membantunya? Bagaimana reaksi ayah Kevin? Saksikan akhir kisah empat sekawan ini hanya di bioskop terdekat kesayangan Anda. Yuk nonton sana yang penasaran. ;D


***
Filmnya asik sih, seger gitu liat tampilan fresh nan trendy para tokohnya sebagai para eksekuti muda yang bergelimang gaji pula.  Asik pula liat tempat kongkownya macam restoran dan kafe yang cozy nan ekslusif.  Pusing juga dijejali kerlap kerlip lampu diskotik di beberapa scene. Tapi disegerin lagi matanya oleh tongkrongan para tokoh yang so pasti berjenis mewah.  Rumah Kevin, apartemennya...semua bikin mata ngiler!  Iya bikin ngiler, iya bikn, ngiri, tapi juga bikin mikir: buset dah ini gajinya sebulan pada berapa ya.  Menggiurkan! 

Film Sang Pialang ini sesuai judulnya mau mengangkat tema tentang bisnis saham yang menggiurkan di satu sisi, tapi penuh resiko di sisi lain. Penulis sebagai penonton awam seenggaknya jadi tahu oh gitu toh yang namanya bursa saham.  Cuma kalau ditanya ngerti enggak? Jawabannya absolutely enggak.  Penulis cuma tahu (bukan ngerti) kalau main saham itu rumusnya Cuma dua: insting sama timing.  Beli saham perusahaan yang serba positif review-nya, kalau harga lagi terjun jangan panik, sabar, tahan dulu aja sahamnya, tunggu sampai naik lagi baru dijual.  Dan satu lagi: jangan main-main dengan dana nasabah kalau gak mau senasib sama Kevin! Hii.  That’s all, no more.

Di luar persahaman yang penulis dapet dari film ini adalah tentang mahalnya kepercayaan dari orang terdekat.  Sebagaimana menimpa tokoh Mahesa dan kevin.  Jika Mahesa digambarkan susah minta ampun meyakinkan ayahnya tentang prospek pekerjaan di dunia saham dan sejumlah keuntungan bersaham ria, maka Kevin kesulitan mendapat kepercayaan sebagai broker unggulan dari ayahnya.  Disamping itu tokoh Mahesa hadir sebagai sosok wise yang berusaha mengedepankan kejujuran di tegah arus pekerjaan yang tidak menentu. Kevin sendiri bukan murni antagonis, hanya caranya merebut simpati sang ayah yang membuat ia menghalalkan segala cara.  Memnag di situlah dilemanya, pendekatan pada keluarga yang notabene lingkungan terdekat kita, justru pada prakteknya menjadi bagian tersulit. Sepakat. 

Konflik asmara antara Kevin-Analea-Mahesa mampu  memberi warna tersendiri beserta tingkah memancing tawa dari dua sahabat mereka yang lain.  Bertebarannya #kode dari Analea untuk Mahesa di sepanjang film salah satu yang bikin penulis mesem-mesem sendiri.  Ada ya sosk setiis Mahesa.  Ketidakpekaan maksimal.  Tapi ya di sisi lain mungkin memang Mahesa diciptakan sebagai tipe lelaki yang tidak suka mengumbarkan keromantisannya.  Untung, satu adegan di penghunjung film bisa jadi penebus semua ketidakpekaan Mahesa di sepanjang durasi sebelumnya. 

Jujur aja pas nonton film ini, konsentrasi penulis sedang tidak penuh.  Ada lah sesuatu hal yang menganggu keasyikan menonton penulis.  Tapi tenang saja, itu semua bukan berasal dari dalam film ini, tapi faktor eksternal kok.  Chemistry kedua tokoh utamanya, plus satu tokoh pemanis, dan dua tokoh pelengkap bagi penulis terbangun manis.  Dan kalau ditanya tokoh favorit dan scene favorit iyu pokonya yang meilbatkan dua sejoli sahabat Mahesa lainnya.  Kehadiran tokoh lain sebagai penopang cerita juga menurut penulis pada porsinya kecuali kemunculan beberapa tokoh cameo yang sambil lalu saja.   

Secara keseluruhan, yap, film ini sangat bisa dinikmati.  Hey, ini Indonesia bung.  Mau tema apapun, tetep unsur dramanya nomor satu.   Tapi paling gak ini bukan drama pengumbar air mata.  Yang ada malah mata kita dimanjain sama yang bling bling.  Selamat menikmati film-nya. :D


Rabu, 16 Januari 2013

Gending Sriwija: Aksi Kolosal di Awal 2013


“tidak selamanya adat menjawab kebutuhan” Dapunta Hyang

“masalah perampok, masa ya harus dibereskan oleh angkatan perang?” Sri Ratu

Alkisah di suatu Kedatukaan di ranah Sumatera Selatan memimpin seorang Raja bernama Dapunta Hyang (Slamet Rahardjo) yang beristrikan Sri Ratu (Jajang C. Noer) dan memiliki dua orang putra bernama Awang Kencana dan Purnama Kelana.  Kepemimpinan Dapunta Hyang tengah diuji dengan merajalelanya praktek korupsi dan pejabat yang juga korup.  Belum lagi masalah pemberontakan dan perampokan oleh komplotan pimpinan Ki Goblek (Mathis Mutchus), semakin merunyamkan suasana di kedatukan Bukit Jurai.  

Dapunta Hyang yang sudah berusia lanjut hendak menyerahkan tahta kedatukan Bukit Jurai pada lanang-nya (anak lelaki-red).  Sesuai adat, sudah semestinya tampuk kerajaan jatuh ke tangan Awang Kencana (Agus Kuncoro) sebagai anak lelaki tertua.  Adapun Purnama Kelana (Syahrul Gunawan) sebagai anak kedua seara otomatis menadampingi Awang sebagai patih.  Sayangnya semua menjadi runyam tatkala sang ayah ragu untuk memberikan restu pada sang lanang tertua, ia justru lebih merestui lanang bungsunya sebagai calon pewaris tahta.  Hal yang tentu saja ditolak keras oleh Awang dan juga Sri Ratu. 

Sebagai seorang ayah ia sangat mengenal perangai kedua lanangnya yang sangat bertolak belakang.  Jika Awang Kencana lebih berjiwa pendekar, maka Purnama Kelana lebih berjiwa cendekiawan.  Saat Awang memilih mendalami ilmu bela diri, Purnama justru memilih menuntut ilmu bahkan hingga ke negeri Cina.  Di mata sang ayah, calon penerusnya mestilah dari kalangan cendekiawan, bukan pendekar yang cenderung lebih mengutamakan otot dibanding otak. 

Belum usai polemik mengenai restu sebagai raja, Dapunta Hyang tak lama kemudian justru ditemukan terbunuh.  Purnama menjadi tersangka utama setelah kalung pemberian Dawangi, sahabat sekaligus wnita yang mencintainya, miliknya ditemukan di dekat jenazah sang ayah.  Ia pun dijebloskan ke dalam penjara.   Namun berkat bantuan dari sahabatnya dari Cina dan tabib istana, ia pun akhirnya mampu melarikan diri.  Di tengah pelariannya, ia terkena busur panah pengawal yang membuntutinya atas perintah Awang yang menyadari konspirasi pelarian sang adik.  Beruntung, ia hanya terluka oleh busur panah dan diselamatkan oleh Malini (Julia Perez), yang ternyata putri Ki Goblek.  

Sementara itu, Sang Ratu mengambil alih kepemimpnan sementara Kedatukan Rawa Jurai hingga 100 hari ke depan.  Setelahnya, akhirnya Awang lah yang memimpin kerajaan sebagai satu-satunya lanang Dapunta Hyang yang masih hidup (Purnama dianggap sudah wafat-red).  Bahkan ia pun meminang Dawangi untuk menjadi permaisurinya.  Dalam kepemimpinannya ia mengedepankan kekuatan fisik dan mulai memasok senjata api dari Cina.  Ia mulai tertarik pada senjata api setelah senjata tersebut membutakan salah satu matanya.  Ya, dalam sebuah penyerangan oleh kelompok pimpinan ki Goblek, ia dilumpuhkan oleh sebuah tmbakan yang menembus salah satu matanya.  Sejak itu pulalah dendamnya pada gerombolan ki Goblek makin membara.

Ki Goblek sendiri masih akan meneruskan usaha-usahanya untuk menjatuhkan rezim kedatukan Bukit Jurai, yang penguasanya dianggap tidak beus mengurus rakyat, serakah. Makanya saat tahu bahwa orang yang ditolong putrinya adalah salah satu putra mahkota kerajaan, ia beserta komplotannya hendak menghakimi kalau saja Purnama tidak menjelaskan bahwa ia pun berada di pihak yang besebrangan dengan Awang, kakaknya.  Disana, ia yang tak diauhkan berkarib dengan Bian, adik Malini, yang diarahkan menjadi seorang terpelajar seperti dirinya.  Kecerdasannya dalam bersiasat pun akhirnya mulai diakomodir oleh kelompok ki Goblek.  Bahkan hubungannya dengan Malini pun makin hari makin mencair.  Sayang sebuah penghianatan menghancurkan segalanya …..

Siapakah sang pengkhianat yang sebenarnya? Apa mungkin Purnama Kelna terlibat di dalamnya?  Bagaimana nasib Kedatukan Raja Jurai di bawah kekuasaan Awang Kelana? Bagaimana pula nasib Sri Ratu, Dawangi, dan Malini?  Apa sebenarnya Gending Sriwijaya? Kalau penasaran silakan segera kunjungi bioskop terdekat kesayangan para pengunjung yang budiman.  Buruan lho, keburu turun layar!  Soalnya penulis pun kelewatan menyaksikan “Demi Ucok” padahal cuma baru berlayar seminggu doang di studio-studio di kota penulis ini *curcol*.




~~~
Well, nonton film ini sebenernya penasaran dengan pemilihan cast-nya terutama Julia Perez yang biasanya main di film yang you-know-how sama Sharul Gunawan yang bahkan ini kali pertama penulis liat aksinya di layar emas.  Kalau untuk Agus Kuncoro sendiri ya sudah tidak asing sih apalagi di film-film besutannya mas Hanung (ini pula yang bikin penasaran).  Tapi, kiprahnya sebagai pemeran utama seingat penulis sih baru di sini ya, kan doi lebih banyak main sebagai pemeran pendukung.  

Adapun cast lainnya macam Slamet Rahardjo, Jajang C. Noer, Early Ashi, Teuku Rifnu Wikana, Yatty Surachman, dll sih ya udah sering penulis nikmati juga ya di banyak film lokal yang penulis tonton dalam beberapa tahun ini.  Dan ya, penulis sih gak kecewa dengan penampilan para cast.  Jupe ya mau-mau nya tampil dekil dengan gigi roges plus dipukul tendang pula sama lawan mainnya.  Sahrul Gunawan...hem, bagian perut yang membesar ya dibiarkan begitu saja secara memang karakternya digambarkan sosok terpelajar, bukan pendekar.  Agus Kuncoro, berhasil bikin penulis keki sama karakter Awang yang dimainkannya.

Ada sejumlah pesan moral yang dimunculkan film ini sepenangkapan penulis yang penikmat (bukan pengamat ya) film ini.  Semuanya diejawantahkan melalui sejumlah konflik yang muncul di sepanjang film berdurasi dua jam lebih ini (tumben ya durasi film lokal panjang beud).  Mulai dari konflik internal keluarga mengenai kecemburuan kakak-beradik hingga maraknya praktek korupsi di kalangan pejabat pemerintahan Kedatukan Raja Jurai sebagai konflik terbesar.  Belum lagi konflik asmara yang melibatkan Awang-Dawangi-Purnama-Malini.  Ada lagi konflik tentang pengkhianatan dan kesetiaan.  Dan ya semuanya mendapat porsinya masing-masing dengan latar belakang yang sama-sama jelasnya (bagi penulis).   

Menariknya lagi melihat sejumlah pertentangan dari karakter tokoh-tokohnya.  Awang yang cenderung berjiwa pendekar, sementara Purnama lebih berjiwa cendekiawan.  Jika Dapunta lebih bersifat terbuka terhadap tradisi, sebaliknya Sri Ratu masih sangat memegang teguh tradisi.  Meski demikian Sri Ratu digambarkan sebagai seorang yang teguh dalam memegang prinsip.  Bagaimana ketika ia harus menjebloksan anaknya sendiri ke penjara, kekekeuhnya mendukung Awang sebagi anak tertua untuk mengisi posisi raja sesuai adat.  Namun, di sisi lain, ia pun orang pertama yang menentang rencana pemberantasan para perampok dengan melibatkan pasukan perang yang dianggapnya terlalu berlebihan.  Pun dengn tokoh-tokoh wanita lainnya yang digambarkan memiliki keteguhan hati macam Malini, Nyi Goblek, hingga Dawangi yang masih kukuh mempercayai bahwa Purnama tidak bersalah.  

Sejujurnya penulis ini bukan penggemar genre kolosal ataupun action, tapi sekalipun begitu toh penulis yang pecinta drama sejati ini bisa menikmati film ini.  Meski agak aneh, tapi kehadiran scene animasi-nya juga cukup mencuri perhatian (kebayang sih kalau adegan ngaben, membalsem dibuat real sesusah apa).  Sebenarnya ending-nya juga cukup ketebak, tapi ya proses menuju endingnya paling tidak gak sampe bikin penulis terkantuk-kantuk (kayak ada tuh film yang rillis 1-2 bulan ke belakang) walaupun durasinya terhitung panjang.  Duet Syahrul Gunawan-Jupe yang awalnya sempet penulis ragukan juga ternyata berhasil tampil dengan chemistry yang baik.  Kalaupun ada yang agak menganggu ya itu sih kostumnya Sri Ratu yang agak aneh aja ya di beberapa sceneOverall, ini adalah film pembuka yang menyenangkan dan sama sekali tidak mengecewakan bagi penulis. Bravo Mas Hanung dan tim! Jaya terus perfilman Indonesia. :)

Sabtu, 06 Oktober 2012

Perahu Kertas Part 2: ketika hati (itu) dipilih



“hati itu dipilih, bukan memilih”
Ini kisah penghabisan Kugy-Keenan yang dibiarkan menggantung di akhir kisah PK 1 Agustus lalu.  Buat penonton PK 1 dan terutama pembaa novelnya, tentu jadi film yang paling ditunggu di Oktober ini.  Bukan, bukan uma di Oktober ini, melainkan ditunggu sepanjang tahun ini.  Dan hasilnya? Well, bagi pembaca novelnya tidak akan menemukan kejutan di endingnya--tapi pasti penasaran dengan eksekusi endingnya; nah bagi penonton PK 1 bagaimanapun endingnya yang jelas mereka memang butuh kejelasan akan nasib Kugy, Keenan, Remi dan Luhde. 

Dibuka reuni pasukan kura-kura ninja di nikahan Noni-Bimo, diteruskan dengan sejumlah adegan dengan porsi besar untuk keempat tokoh sentralnya.  Bukan pasukan kura-kura ninja ya, tapi dua orang pasukan kura-kura ninja ditambah pasangan mereka kini, yap Remi dan Luhde.  Pasa reuni, Kugy-Keenan kembali intens.  Bahkan Kugy sampai rela mematikan handphone-nya sampai-sampai membuat Remi khawatir setengah mati demi menikmati ‘penculikan yang indah’ bersama Keenan ke sebuah pantai di Jawa Barat.  Belum lagi proyek dongeng-gambar baru mereka.  Kugy menjadi tak fokus pada pekerjaannya di Advocado hingga Remi terpaksa harus ‘mengundurkan diri’ sebagai atasannya.

Puncaknya adalah ketika Kugy-Luhde bertemu seara tak sengaja saat Kugy tengah dalam perjalanan berlibur bersama Avoado di Bali.  Keduanya baru saling sadar setelah berpisah.  Dan semenjak itu seuanya tak lagi sama.  Baik Kugy ataupun Luhde menyimpan kepahitannya masing-masing.  Bagi Kugy semakin kompleks tatkala hatinya remuk, tiba-tiba Remi ‘membalut’ lukanya dengan cincin.  Akhirnya, mengasingkan diri menjadi pilihan utamanya setelah kembali ke Jakarta.  Dari Remi, Keenan, dan semuanya.  Luhde sendiri mulai merasa bahwa hatinya tidak dipilih Keenan sekali pun lelaki pujaannya itu menyatakan bahwa hati-nya memilihnya.  “Hati itu dipilih, De; bukan memilih,” terngiang olehnya nasihat Pak Wayan yang ternyata memiliki masa lalu kelam dalam urusan asmara bersama ibu Keenan, Lena. 

Hati dua wanita terpaut pada satu hati pria yang sama tapi yang satu terikat pada yang lain sementara yang satu merasa pertautannya rapuh.  Sementara sang pria yang dimaksud, akhirnya tahu dan juga mengakui akan satu hati tapi sudah terikat pula pada hati yang lain dan berusaha memantapkan pada yang telah terikat.  Satu pria lagi? Pada akhirnya ia mengerti akan semua kesamaran yang mewarnai hubungannya dengan Kugy.  Semua, keempatnya memekuri kepeddihan hatinya masing-masing.  Namun demikian, sepahit apa pun, mereka mesti memilih, dan pada akhirnya akan bagaimana pilihan mereka? Pada siapakah hati mereka masing-masing bertaut?  Hati siapakah yang akhirnya saling dipilih?  Hanya di bioskop terdekat kesayangan Anda akan menemukan jawabannya, so buruan gih!



***

Buat yang udah nonton, gimana endingnya? Awesome? Unpredictable? Memorable? Atau malah forgettable? Well…buat penulis sendiri yang baca novelnya plus nonton part 1 nya, ya memang PK 2 menjadi wajib tonton demi menggenpi kepenasaran.  Jujur, di PK 1 penulis agak dibut bosan dengan alur yang enderung lambat, bagi penulis.  Ditambah interaksi Kugy-Keenan nya yang minim.  Dan harapan terbesar penulis  di PK 2 ini to be honest ya adegan Kugy-Keenan nya dibikin massif. Terpenuhinkah? A bit.  Ya, a bit.  Memang interaksi keduanya lebih banyak, tapi kadarnya sedikit bertambah banyak dari yang pertama, tidak sangat banyak.  Tidak jauh beda dengan interaksi Kugy-Remi dan Keenan-Luhde. Eksekusi adegan terakhirnya (antara  pemeran utama) juga tidak semanis ataupun semeriah dan sesumringah di novel.  Tak ada adegan angkat mengangkat, meskipun ukup membekas. Jika bagian ini dibuat lebih manis psti bakal semakin membekas.  Tapi, suguhan ending lain pada beberapa karakter ukup bisa jadi penawar akan semua itu, so sweet.  Buktinya? Penulis aja sambil kepengen buat barang sekali lagi hadir di bioskop demi menyaksikan adegan penghabisan ini.  Kenapa? Soalnya memang momen itu yang penulis tunggu dari overall film-nya.  Udah ahh penulis sedang enggan berpanjang lebar, intinya silakan tidak akan rugi merogoh koek Anda demi menyaksikan kisah perintaan bernuansa lain ini.  Oh, ya, sebagai pembaca novelnya meskipun ada beberapa adegan yang dirubah sampai-sampai mebuat unsur dramatisnya berkurang—seperti pas proses Keenan tahu perasaan Kugy dari Noni, pertemuan di Rnca Buaya, adegan terakhir—tapi karena yang menulis ksenario adalah penulis novelnya sendiri, jadi tidak sebegitu menganggunya dan malah penulis menikmati PK & PK 2 arahan Hanung Bramantyo ini sebagai satu sajian visual yang menarik. :D

Senin, 09 Juli 2012

Cinta di Saku Celana


Pemain        : Donny lamsyah, Ramon Y. Tungka, Lukman Sardi, Dion Wiyoko, Gading  Marten, Joanna Alexandra
Sutradara      : Fajar Nugros
Produksi         : PT. Kharisma Starvison Plus
Sinopsis
Judul yang terasa terlalu rame dan biasa untuk sebuah produksi Film layar lebar.  Kalau berpatokan pada judul tanpa memperhatikan jajaran cast, rasanya penulis tidak berminat menontonnya.  Thanks GOD I saw it with its posters, so I have no reason for not watching this movie.  Donny Alamsyah sebenarnya sudah cukup jadi magnet utama bagi penulis untuk menyaksikan film ini.  Apalagi ia ditemani oleh Ramon Y. Tungka dan Lukman Sardi yang juga masuk dalam jajaran aktor favorit penulis.  Sebagai bonus, ada Dion Wiyoko dan Gading Martin juga.  Dan you know what? All of them except Dion Wiyoko ‘fight’ for a Joanna Alexandra!

Yap, CDSC berkisah tentang Ahmad, seorang pegawai pos cerdas tapi lajang yang tengah mengejar sang cinta.  Ia menganggap cinta-nya ialah bening, seorang gadis yang sering berkirim kabar melalui kartu pos dengan sang tunangan.  Berawal dari kebiasaan, lama-lama muncul benih-benih cinta di hati Ahmad.  Apalagi mereka sering bertemu di rel kereta api.  Ia sadar jika Bening telah ada yang memiliki, tapi berkat dorongan sahabatnya yang sangat ahli dalam urusan merebut wanita meskipun otaknya dangkal, akhirnya Ahmad pun pantang menyerah.  Lewat saran ibu panti tempatnya dulu tinggal, ia pun memeberanikan setahap lebih maju dengan mengirimi sang gadis surat karena ia belum berani melakukan pendekatan langsung.

Sial baginya surat yang diselipkan di dompet tsb raib bersama dompet-dompetnya tepat saat ia akan menyerahkan surat tersebut.  kejadian ini mnegantarnya bertemu Gubeng, pencopet kelas kakap dengan wilayah operasi stasiun dan sekitarnya.  Ia meinta Gubeng mencurikan hati Bening.  Sayang, Gubeng ternyata malah ikutan jatuh hati pada Bening dan masuk penjara (baca: tobat).  Dari sana ia malah mesti berurusan dengan pengusaha Loundry yang mengaku kini menjadi pemilik si cinta.  Makin sial lagi karena ternyata laundry tsb merangkap sebagai tempat penjualan narkoba yang telah diincar lama oleh polisi.  Diboyonglah ia kesana.
Belum cukup, dari kantor polisis ia diboyong ke satu tempat dan disana telah menunggu pemilik si Cinta betulan, sang tunangan.  Maka, menyerahlah Ahmad dan segala upayanya merebut hati bening menjadi sia-sia.  Upaya yang bagaimana? Upaya yang bahkan untuk Benig menyadari sosok dan kehadirannya saja pun tidak.  Tidak ada usaha nyata selain mengamati bening, merekammnya, dan lalu melamunkannya.  Lalu, benarkan bening itu sang Cinta-nya Ahmad?  Atau justru ada orang lain?  tonton sendiri aja eeaa *alay dikit*.



***

Well, nonton film ini, em…banyak bikin penulis senyam senyum sendiri menyaksikan kekonyolan para pelakonnya, dan…tentu saja menikmati kegantengan seorang Donny Alamsyah, sepuasnya!  Okay, it’s not so Donny ya kalau gak ada berantemnya.  Dan, ya, sekali pun film ini lebih menjurus ke genre komedi agak romantisan dikit, tetep ya ada adegan baku hantam yang bikin make up lebam menghiasi wajah tampang doi as lead role.  PUAS.  Itu deh satu kata yang bisa penulis gambarkan untuk film ini. Eits…tapi PUAS nya disini lebih kepada kepuasan menyaksikan a Donny Alamsyah dengan muka tampan bersihnya tanpa luka-luka yang sampai bikin matanya petet, bibir dower atau apalah. 

Selain itu yang juga penulis suka dari film ini yaitu reuni-nya Ramon Y. Tungka dan Joanna Alexandra yang pernah dipasangkan di film-nya Hanung Bramantyo, Catatan Akhir Sekolah, 7 tahun silam.  Coba aja aseli reunion, yah meskipun sekilas, tetep membekas deh.  Berseliwerannya sejumlah bintang yang mendapat porsi sebagai cameo dengan credit title as “special appearance” macam Agus Kuncoro, Endhita, Masayu Anastasia, Luna Maya, Imey Liem, Yatty Surachman, sampai Hanung Bramantyo yang Cuma dicatut nama-nya doang juga jadi nilai jualan lain dari film ini.  Yang jelas film ini bagi penulis, sangatlah renyak.  Tidak njelimet tapi juga kurang layak dikatakan biasa.  Unik, begitulah kiranya yang tepat.  Kekurangan mah ya pasti ada, tapi ah silakan dinilai sendiri.  Pokonya penulis mengikuti film ini dengan tanpa beban dan sangat menikmatinya.  J

Kamis, 14 Juni 2012

Soegija: It's Not Really About Him!



Film teranyar dari ayah dan mertua sutradara terpuji dan terbaik versi FFB dan FFI ini berkisah tentang semangat perjuangan dan nlai-nilai kemerdekaan dan kemanusiaan dari seorang Soegija.  Siapa Soegija? Beliau merupak uskup katholik pribumi pertama di Indonesia.  Beliau diangkat menjadi uskup di tahun 1940 di masa-masa kritis jelang kemerdekaan.  Belum sembuh betul dari tekanan Belnada, rakyat malah dibuat makin menderita saat Jepang mengambil alih kekuasaan.  Adik dipaksa berpisah dengan kakaknya, ibu dipisahkan secara paksa dengan anaknya.  Belum lagi mereka yang tersisa di Semarang akhirnya terpaksa mengungsi ke Yogya yang saat itu menjadi Ibu Kota sementara demi keamanan dan keselamatan, tak terkecuali sang uskup.

Perang belum juga usai.  Ternyata di Yogya suasana malah dalam beberapa hal memburuk.  Sebenarnya keadaan sempat membaik pasca kekalahan Jepang atas sekutu yang dilanjutkan dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia.  Akan tetapi semuanya menjadi sia-sia dan malah berujung dengan peperangan pasca pengkhianatan Belanda melalui Agresi Militernya di tahun 1947dan 1949.  Barulah setelah ada perjanjian gencatan senjata, dan Belanda pun berangsur-angsur meninggalkan Indonesia, seperti kata Soegija, kini tinggal berjuang mempertahankan dan mengisi kemerdekaan melelui politik. 

Lalu bagaimana dengan mereka yang terpisahkan?  Mariyem (Annisa) yang terpisah dari mas-nya, Maryono (M Abbe. ) harus tegar menghadapi kenyataan bahwa mas-nya yang sempat menjanjikan akan pulang untuk mneyaksikannya jadi perawat ternyata sudah terbujur kaku.  Sedang Ling Ling (Andrea Reva) yang dipidahkan dari ibunya (Olga Lidya) lebih beruntung karena bisa berkumpul kembali dengan sang bunda setelah terpisah selama lima tahun. 

Selain tokoh-tokoh di atas, Romo Soegija dikelilingi oleh sejumlah tokoh lainnya.  Ada Targimin, asisten setianya.  Ada seorang penyiar radio yang sangat setia dan up to date mnginformasikan kejadian terkini.  Ada pula Hendrick, seorang wartawan asing asal belanda yang menginap di Hotel Asia milik wanita Jawa  Berbeda dari rekan senegarnya Robert yang sangat menikmati peperangan dan tergabung dalam pasukan belanda yang menduduki Semarang-Yogyakarta, ia jutru berpihak pada pribumi bahkan jatuh hati pada Mariyem.  Sementara Robert yang cenderung tak punya hati bisa tesentuh juga olah tangisan seorang bayi mungil.  Masih ada Banteng, pejuang yang memiliki masalah mental sehingga tak memiliki kecerdasan sebagaimana remaja seusianya (bahkan oleh anak kecil pun kalah).

Kehadiran tokoh-tokoh pendamping sang Romo berikut konfliknya membatasi frekuensi kehadiran sang romo.  Alhasil, judul “Soegija” yang sejatinya menjadikan tokoh yang dicatut namanya sebagai judul film ini sebagai pusat utama, jadi seperti pendapat kebanyakan penonton yang sudah melihat  film ini bhawa judulnya menjadi terasa kurang pas.  Tokoh Romo Soegija bagi penulis pribadi ya, disini, hadir tak ubahnya peran Pak Haji di “Islam KTP”, iya perannya penting tapi bukan yang utama.  IMHO ya itu.

Di luar itu dari sisi teknis, gambar, detail make up, kostum, dan setting sangat terasa nyata.  Sangat layak diapresiasi.  Ya, kalaupun kita tidak akan mengenali sosok Soegija secara detail lewat film ini, paling tidak kita ngeh dengan siapa itu Soegija.  Dan, sepertinya bung Garin memaksa kita untuk penasaran dengan tokoh ini dan lantas mendalaminya sendiri, dengan membaca biografinya misalkan.  Who knows.   Intinya, tidak bosan-bosan penulis menghimbau, gih nonton buruan cepetan soon pergi ke BIOSKOP terdekat kesayangan Anda! J


Minoritas di antara (Bukan) Mayoritas
Aroma pas nonton film ini itu…wiiw BGT.  Hari itu hari ahad kan jadi crowded-nya uwow BGT lah.  Penulis nonton yang jam  7 malem, dan beli tiket jam 5.30.  dan, betapa kagetnya pas mau pilh bangku, tinggal tersisa 5-6 jajar terbawah!  Padahal itu sampai O apa P gitu.  Penulis akhirnya memilih duduk di J.  dari A-I, semua penuh dan hanya menyisakan dua bangku kosong, itu pun terpisah.  Sedangkan penulis nonton berempat.  Hemm..sebenernya penulis dan dua teman sudah tiba sejak jam 5, tapi kami menunggu satu teman lain makanya baru beli tiket jam segitu, dan…untung kami tidak menunda lebih lama lagi *batin penulis dalam hati*. 

Belum cukup!  Pas nonton masuk studio nih ya, berhubung penulis mampir dulu ke kamar mandi yang saking crowded-nya itu bioskop sampai menjalar ke kamar mandi segala *aihh*.  Nah pas masuk itu 70% bangku bioskop udah ada penghuninya, dan ketika ditilik-tilik, hey….nampaknya ini sebagian besar penonton adalah rombongan keluarga, sekolah, dan lain-lain.  Iyap! Kan, meskipun ditidak-tidak, bahwa itu bukan film biopic layaknya Sang Pencerah, tapi judul Soegija itu mau tak mau ya menjadi daya tarik sendiri bagi kalangan tertentu, kembali seperti halnya sang Pencerah.  Pokoknya nuansa-nya mengingatkan saat penulis menonton sang Pencerah bersama rombongan keluarga, sekitar 20 orang-an saat itu.  Ada yang salah? Tentu saja sama sekali tidak.

Akan tetapi yang menarik adalah, mengacu pada sub judul di atas, bahwa penulis jadi merasa seperti minorotas dinatara minoritas, yang itu kurang begitu nyaman.  Mohon maaf, tidak ada unsur SARA sama sekali disini.  Sekali lagi TIDAK ADA UNSUR SARA!  Maksud penulis adalah kan sebegaimana kita ketahui bahwa muslim menjadi agama mayoritas disusul kristiani di negeri ini.  Nah, berhubung identitas kemusliman seseorang bisa dengan mudah teridentifikasi dari jilbab-nya, jadi mengidentifikasi muslim diantara non muslim tidak akan sesulit mengidentifikasi non muslim di antara muslim.  Jadi, atmosfer pas masuk studio kemarin memang rada-rada aneh ya, berasa semua mata memandang *aahh…itu mah emang dasar penulisnya yg ke-GR-an*.   Dan penulis sempat curi-curi pandang dan  rasanya tidak menemukan lagi yang berkerudung selain penulis dan dua teman penulis lainnya entah jika terselubung.

 Tapi no offense ya, sedari awal penulis memutuskan nonton film ini sama sekali tidak ada pikiran macam-macam.  Motifnya murni sebagai pecinta film Indonesia yang cinta dan mendukung penuh film Indonesia berkulitas.  Jadi sekali lagi no offense ya, hanya ingin berbagi sedikit pengalaman saat menonton film ini saja, that’s all.