Jumat, 07 Oktober 2011

Sinema Wajah Indonesia: Undangan Kuning

setelah sekian lama..aahh...akhirnya kembali bisa memposting resensi Sinema Wajah Indonesia :D, mengambil setting di Banyumas, SWI kali ini mendapuk Kirana Larasati sebagai pemeran utama. Here the story..

Cerita dibuka dengan rencana pernikahan Ulfah, putri Pak Makbur dan ibu Halimah. Pak makbur merupakan salah seorang pejabat pemerintahan daerah yang tinggal di dusun. Dengan statusnya yang pejabat ditambah status putrinya yang baru saja menyandang gelar dokter yang sekaligus menjadi dokter pertama di desa tempatnya tinggal, ia merasa perlu menyelenggarakan pesta pernikahan putrinya secara besar-besaran. Selain mengundang warga desa setempat, ia pun mengundang sejumlah koleganya dari kalangan elit pemerintahan kabupaten serta tokoh berada serta berpengaruh lainny. Ia banyak mengundang mereka yang konon dekat dengan Bupati.

Permasalahan berawal ketika Pak Makbur menginginkan agar resepsi dibagi dalam dua sesi, yakni: pagi dan sore. Sesi pagi khusus untuk warga desa di sekitar tempat tinggal pak Makbur yang sekaligus merupakan tetangganya, sementara sesi sore diperuntukkan bagi para tamu undangan khusus (pejabat dan sejenisnya). Menjadi lebih bermasalah ketika undangannya pun bahkan dibedakan ke dalam dua warna; merah dan kuning. Undangan merah khusus untung tamu undangan di pagi hari yakni warga desa setempat, sedangkan yang kuning bagi tamu undangan khusus. Makanya, ketika ia sendiri mendapat undangan berwarna merah (yang ia sendiri anggap undangan kelas dua), ia malah mengabaikannya (karena dianggap tidak begitu penting).

Sebenarnya Ulfah, sang pengantin, sebenarnya kurang setuju dengan ide ayahnya yang membeda-bedakan tamu undangan dengan memberikan dua jenis undangan yang berbeda serta membagi resepsi dalam dua sesi. Namun, pada akhirnya sebagai anak ia manut saja dengan kemauan ayahnya. Terlebih setelah ayahnya meyakinkan bahwa pembedaan seperti itu sudah mulai umum dilakukan oleh ornag-orang berada. Alasannya sih, untuk mengantisipasi membludaknya tamu undangan, padahal alasan yang jauh lebih pokok sepertinya lebih pada gengsi sebagai pejabat dan sejenisanya.

Warga setempat yang pada akhirnya mengatahui ihwal pembedaan undangan serta waktu resepsi bagi mereka dan para pejabat put menjadi geram. Banyak diantara mereka yang merasa harga dirinya diinjak-injak dan bakhirnya memilih untuk memboikot resepsi pernikahan putri orang penting di kampungnya tersebut dengan mengancam tidak akan hadir dalam resepsi tersebut. Celakanya, banyak diantara warga yang kontra akan keputusan pak makbur. Mereka protes, mengapa mereka yang jelas-jelas tetangganya harus dibeda-bedakan dengan mereka yang sekedar “rekan” nya. Diantara warga yang ikut memboikot itu ialah ibunda Sulis (Early Ashi) serta istri Pak RT.

Mengetahui rencana pemboikotan yang akan dilakukan oleh warga, Pak makbur sempat kalangkabut. Karenanya ia meminta batuan dari beberapa warga yang masih “waras”, seperti Sulis (Kiran Larasati) gadis desa setempat yang cerdas dan bepikiran terbuka serta para tokoh desa setempat seperti Pak RT dan Pak Ustad. Ia meminta ketiganya untuk meberikan pengertian pada warga serta mebujuk mereka untuk mengurungkan niat mereka memboikot resepsi putrinya nanti. Bahkan ia meminta Sulis untuk menjadi penerima tamu di kedua resepsinya. Mereka bertiga pun kemudian dengan kompak memberikan pengertian pada warga lainnya bahwa perbedaan undangan dan waktu resepsi bukanlah suatu masalah yang mesti dibesar-besarkan. Mereka mengatakan bahwa perbedaan itu lebih karena faktor efektivitas, bukannya gengsi. Warga pun setelah mendapat “pencerahan” dari ketiganya secara perlahan namun pasti mengubur niatnya untuk memboikot acara resepsi pernikahan putri Pak Makbur tersebut.

Hari H pun tiba. Sesuai rencana resepsi dibagi ke dalam dua sesi: pagi dan sore. Resepsi pagi meski sempat diwarnai “kericuhan” warga yang saling berdesakan saat hendak memasuki arena resepsi, namun secara keseluruhan acaranya berlangsung lancar. Semua warga yang diundang berobondong-bondong hadir, bahkan beberapa warga desa yang mendapat undangan kuning pun memilih hadir di pagi hari bersama warga lainnya. Menjelang sore, para tamu pagi yang masih ada di area resepsi diminta segera meniggalkan lokasi karena akan dibereskan dan dipersiapkan untuk resepsi sore. Warga pun kemudian bubar, sementara petugas segera mempersiapkan kebutuhan untuk resepsi sore.

Sore hari pun tiba. Mempelai beserta kedua orang tuanya sudah kembali siap di pelaminan. Pun Sulis yang telah berganti kostum, sudah siap menerima tamu kembali di kloter kedua, di sore hari. Area undangan sudah rapi kembali, bahkan kali ini dekorasinya jauh lebih mewah. Makanan pun telah tersaji denga rapi di meja. Tak lupa satu set gamelan yang dipersiapkan untuk mengiringi para tamu yang hadir juga telah siap di salah satu sudut area pelaminan. Namun, menjelang waktunya belum satu kursi pun terisi, kontras dengan kondisi di luar yang telah disesaki warga yang penasaran menyaksikan seberapa meriahnya resepsi sore, bagi para tamu berundangan kuning, para pejabat atau tokoh penting.

Hari semakin sore, dan belum satu undangan pun yeng menampakkan batang hidungnya di lokasi undangan. Semua yang ada di sekitar, tak terkecuali Pak Makbur mulai resah. Setelah sekian lama, akhirnya ada tanda-tanda kedatangan tamu, aba-aba pun segera diberikan, dan orkes pun mulai berdendang. Namun, sayang yang datang hanya kurir yang diamanahi mengantar kado dari beberapa undangan. Beberapa waktu berselang, yang dinanti pun tiba, tiga pasang undangan tampak mengisi kursi yang telah bersarung putih. Sayangnya, sampai sekian lama tidak ada satu undangan lagi pun yang hadir. Malah, semakin banyak saja kado yang mampir tanpa sang tuan. Pak Makbur dan semua yang ada disitu kecuali warga—yang menjadi keheranan—pun mulai resah.

Akhirnya pada satu kesempatan, ia paham juga mengapa banyak sekali undangan yang tidak hadir. Rupanya berdasarkan informasi dari seorang kurir tahulah ia bahwa kebanyakan undangan yang rata-rata merupakan kolega dekat bupati lebih memilih hadir pada acara serupa yang diadakan bupati yang amat kebetulan dilaksanakan bertepatan dengan resepsi pernikahan anaknya. Ia pun sadar akan undangan merah yang pernah diterimanya beberapa hari yang lalu. Bergegas ia meninggalkan pelaminan dan berlari dengan senewen ke dalam rumah untuk mencari undangan merah yang sempat diabaikannya dulu. Ia pun tersedu dan menyesal telah mengabaikan undangan itu hanya karena undangan tersebut berwarna merah sehingga dianggapnya tidak penting. Ia merasa begitu sembrono sehingga memilih hari yang keliru: bertepatan dengan hajatan Bupati yang notabene jauh lebih penting bagi para undangan. Halimah, sang istri pun, sudah tidak ammpu lagi membujuknya untuk kembali ke pelaminan. “kasihan anak kita, Ulfah, bujuknya”. Setelah cukup puas meratapi kebodohannya, ia pun mau ke pelaminan setelah menyadario bahwa masih ada harapan untuk meningkatkan jumlah tamu undangan yang hadir, yakni mereka dari desa utara.

Akan tetapi, bagai jatuh tertimpa tangga, ternyata tak lama setelah ia kembali ke pelaminan, serombongan tukang ojek mebawa bnyak kado pun berhamburan ke lokasi pernikahan. Mereka membawakan kado sekaligus membawa berita buruk bahwa jembatan yang menghubungkan desa mereka dengan desa utara terputus sehingga tidak memungkinkan mereka yang rata-rat a bermobil untuk lewat karenanya hanya kado dan ucapan selamat yang mereka bisa berikan tanpa mampu hadir. Pak Makbur yang akhirnya mengetahui musibah itu berusaha tegar di depan putrinya. Tiga pasang undangan yang telah hadir pun akhirnya memilih pulang setelah menunggu sekian lama. Warga di sekitar yang menyaksikan peristiwa itu sekaligus mengatahui fakta ketidahadiran para undangan pun berinisiatif mengisi kursi-kursi yang tak kunjung berpenghuni sedari tadi.

Tangis Ulfah pun meledak menyaksikan pemandangan tersebut. Para warga yang telah berganti kostum dengan pakaian sehari-harinya (daster, kaus oblong, dsb) berbondong-bondong mengisi kursi seraya menatap kea rah pelaminan. Tangisan Ulfah tak kunjung mereda, bahkan semakin menguat. Sampai pada stu titik, akhirnya ia yang merasa malu dan sedih memilih berlari meninggalkan pelaminan, disusul robohnya pertahanan sang ayah. Akhirnya pelaminan pun hanya tinggal menyisakan besan Pak Makbur yang kebingungan dengan serangkaian fenomena tersebut. Warga pun kemudian segera meninggalkan tempat itu dan bubar setelah kepergian Ulfah dan Pak Makbur. Resepsi sore pun menjadi kacau balau. Entah berapa kerugian secara materi yang diderita oleh Pak Makbur untuk katering, sewa tenda dan dekorasi, serta biaya sewa orkes gamelan berikut sound sistemnya. Namun kerugian materil itu tidaklah seberapa dibanding kerugian moril yang ditanggunggya.

*Moral Values*
Jadi, pesan moralnya yang terakndung dalam kisah ini yakni bahwa dalam kehidupan bermasyarakat mungkin saja ada tingkatan sosial yang berbeda dari segi penghasilan dan pendidikan. Namun, bukan berarti perbedaan itu mesti dibesar-besarkan, atau malah dikentarakan. Toh pada dasarnya semua manusia sama nilainya di hadapan Sang Khalik. Kita, sebagai manusia kadang kala terlalu sombong ketika dititipi sedikit harta yang berlebih saja. Melalui tokoh Pak Makbur, kita diajak untuk tidak merendahkan orang lain hanya karena status sosialnya. Terlena dengan status sosial, merasa perlu membedakan mereka dari kalangan elit dan non elit yang berakhir kekecewaan. Dalam cerita tersebut, tentu akan lain bila pak Makbur hanya menyelenggarakan satu kali respsi. Sekalipun para tamu undangan kuning tidak bisa hadir, masih ada para tamu berundangan merah yang hampir 100% merupakan tetangga di desanya sendiri akan tetap memenuhi area pernikahan. Juga bila saja Pak Makbur tidak menganggap remeh undangan merah yang diterimanya, tentu ia bisa memilih hari lain yang berbeda agar memungkinkan seluruh tamu undangan untuk hadir. Pesan moral lainnya, apa pun status sosial tetangga kita, tentangga tetaplah tetangga, selayaknya keluarga kedua yang akan menadi pihak pertama yang menolong kita di kala susah. Maka, sinngkat kata, mari tumbuhkan rasa saling menghormati antar sesame, terutama pada tetangga kita. Sebeda apa pun status sosial kita, kita tetap sama-sama makhluk Tuhan, dan sama-sama warga Negara dengan hak yang sama. ^^

2 komentar:

Anonim mengatakan...

sungguh tayangan ysng bagus.penuh pesan moral tanoa menggurui..saya suka dengan resensinya..syang hanya tahu di youtube cuplikan tayangnya.waktu itu niat mau nonton..malah dari sctv ada perubahan jam tayang.
maaf itu aktor yg jadi pak makbur siapa ya...mirip pak imam tantowi?
makasih

Pebzna mengatakan...

waduh..saya lupa siapa..itu udah cukup lama kan ya..hehe