Minggu, 12 Februari 2012

Malaikat Tanpa Sayap: Antara Keluarga dan Pujaan Hati




Sutradara: Rako Prijanto
Produksi: Starvision
Pemain: Adipati Dolken, Maudy Ayunda, Surya Saputra, Ikang Fawzi, Geccha Qheagavet, Kinaryosih
Sinopsis:
Kisah dibuka oleh keluarga Vino yang amburadul pasca kebangkrutan yang menimpa ayahnya.  Pindah ke rumah kontrakan sangat sangat sederhana, ditinggal kabur sang ibu yang belakangan diketahui lari dengan kekasih gelapnya, ayah yang tak lagi punya pekerjaan dan tentu saja uang, dan adik perempuan kecil yang mengalami kecelakaan hingga mesti dioperasi mewarnai kehidupan seorang Vino yang tak lagi berstatus orang berada. 

Di tengah kebimbangan muncul sosok bang Agus yang menawarinya ‘Bisnis Besar’ berupa donor organ dalam yang harganya sanggup membiayai operasi Wina, sang adik, serta menebus rumah gedong lamanya yang telah disita.  Tuhan Maha Adil, bersama kebimbangan ada kenyamanan yang diperolehnya ari seorang gadis bernama Mura, yang ditemuinya suatu kali di rumah sakit.  Di saat ia telah menyepakati perjanjian pendonoran, menerima setengah bayaran yang tidak sedikit, sosok Mura mengembalikan semangat sekaligus menggoyahkan ‘janjinya’ untuk mendonorkan jantungnya via bang Agus.  

Sempat menghindar dengan tak mengangkat telepon dan pindah rumah, toh ia tetap tidak bisa lari dari bang Agus yang bahkan mengintervensinya dengan membocorkan identitas orang yang akan menerima donornya yang tak lain adalah Mura, sang pujaan hati.  Seketika rasa takut bercampur rasa khawatir berbalut kebimbangan mengisi hari-hari Vino.  Belum lagi saat teman dekatnya di sekolah mengahkiminya sebagai anak yang kurang perhatian dengan orang tua dan sekolah, juga ketika sang ayah akhirnya mengetahui jika putra sulungnya,  Vino, suah tak lagi bersekolah.

Vino masih bimbang, namun Mura sudah tak bisa lagi menunggu lebih lama, maka ia pun dengan gemetar menanatangani surat kesediaan pendonoran jantung.  Bang Agus memberinya sebotol obat yang akan membutanya tak sadarkan diri karena over dosis.  Sebelumnya ia telah membuat semaam surat wasiat untuk sang Ayah dan Mura, juga meminta maaf an memperlakukan ayahnya dengan sangat baik.  Hal yang pasca kebangkrutan sang ayah sudah tidak pernah ia lakukan.  

Namun, hal yang tidak teruga pun terjadi.  Di waktu ketika Vino sedang menjemput sang ajal, sang ayah pun ditembak tepat di dada oleh kekasih gelap sang ibu saat memperebutkan Wina.  Berdua, mereka di larikan ke rumah sakit.  Di detik-detik menjelang operasi, sang ayah yang ternyata masih bernafas memohon pada sang makelar donor organ tubuh yang tak lain bang Agus itu untuk mengganti jantung sang anak dengan jantungnya, toh golongan darah mereka sama-sama A resus Negatif!  Rupanya sang ayah kadung menemukan surat wasiat anaknya semalam sebelumnya hingga ia pun tahu rencana sanga anak tersebut. Dan, akhir bahagia pun menghampiri Mura dan Vino, yang pada akhirnya masih bisa sama-sama menikmati hidup.  Meski demikian, sekali lagi Tuhan Maha Adil, kenyataan manis itu mesti disertai kenyataan pahit bahwa Vino dan sang adik mesti kehilangan sang ayah selamanya.  

***
Penulis pertama kali melihat thriller film ini di beberapa stasiun TV langsung tertarik, ditambah jajaran cast yang buat penulis sih segar-segar.  Eits….tapi, nanti dulu, aa yang mengganjal!  Dari thriller-nya film ini nampaknya tidak akan jauh beda dari melodrama mellow nan temaram ala sutradara SUNNI atau yang juga memasang sang bintang utama, “Putih Abu dan Sepatu Kets”, atau film penuh tangisan ala kebanyakan film-nya Dinda Hauw.  Apalagi isu filmnya seputar donor organ tubuh yang artinya pasti bakal ada tokoh yang penyakitan kayak….film-film yang udah disebutin tadi itu tuh..*uupps.  Ditambah lagi ada Surya Saputra-nya *yang disini ternyata sadap deh peran plus mainnya, feel-nya ikut kerasa walaup tanpa derasnya aliran air mata*. Makanya, untuk mengikis ganjalan itu, penulis  akhirnya berselancar mencari tahu lebih jauh seputar resensi dan crew film ini.  Dan, #jrengjrengjreng, yeay, untung yang duduk di bangku sutradara bukan sutradara yang penulis khawatirkan! Hehe.  Nama Rako Prijanto yang karya pertamanya, Ungu Violet, sempat penulis saksikan seperti jaminan bagi penulis sebelum memutuskan menonton film ini sekalipun mesti seorang diri!  Dan, film ini menjadi film kedua diantara sekian film-nya Rako yang penulis tonton.

Well, yah ekspektasi penulis gak jauh-jauh amat lah ya sama eksekusinya *ceileh  so iyeh nih gue, haha*.  Ceritanya cukup bisa ketebak meskipun endingnya menawarkan satu twist yang ya okelah cukup bikin sedikit mengucap “wow, oh..ternyata gitu toh..”  Jujur emang agak kaget gimana juga pas tau jika sang ayah yang akhirnya meregang nyawa dengan cara yang gak tau ya meskipun masuk akal tapi ada sedikit kesan dipaksakan dengan ujug-ujug pacar si istri nembak itu loh.  Terus ya neng Mura-nya itu bener bener muncul sebagai pelengkap yang yah memang melengkapi *apalagi dengan kecantikannya ya*.  Yang penulis suka dari film ini adalah pesennya, bukan, bukan seputar isu donor organ tubuh, tapi lebih ke hubungan orang tua-anaknya.  Melalui tokoh Vino, kita diajak untuk merenung kalau ternyata kadang kita lebih cenderung mengkhawatirkan dan memedulikan teman atau sahabat atau kekasih kita iibanddingkan keluarga kita sendiri.  Lihat saja adegan saat Vino ditegur temannya yang merasa ia kurang memeulikan ayahnya.  Kan, si Vino lebih cenderung fokus sama Mura, gimana biar cewek ideal *cantik, kayak, cerdas* kayak doi bisa punya harapan hidup yang lebih panjang ketimbang mikirin gimana ntar perasaan bapaknya *kan emaknya udah ngacir ya* pas ditinggal si Vino, egois gak tuh? Padahal di satu scene Vino dengerin curhatan bapaknya Mura tentang betapa seihnya perasaan seorang ayah yang mesti ngeliat anaknya lahir, tumbuh, dan harus pergi mendahuluinya.  Pan kuduna si Vino  mikir ya perasaan babehnya gakan jauh beda.  Terus juga ya tentang bagaimanapun orang tua butuh dihargai oleh anak, tidak ada orang tua, khususnya ayah, yang rela harga dirinya diinjak anaknya sendiri meski ia nampak tak bereaksi dari luar tapi sesungguhnya hatinya bak tersayat.  Nih si Vino kan mentangg-mentang dia bisa nyari duit jadi kayak mendikte bapaknya gitu *gak sopan banget gak sih*.  Wajar donk kalo pas adiknya udah keliatan mulai gak ngehargain bapaknya dengan minta bang Vino aja yang dateng ke undangan orang tua di TK-nya soalnya takut dikata-katain lagi gara-gara papa-nya sopir taksi, ya meledak lah si papa.

gimana hayoh Chemistry nya menurut yang udah pada nonton? yang jelas Mura-nya manisk sekali yaa...
Itu barangkali ya pesen yang membekas di benak penulis.  Pokonya adegan antara bapak-anak itu selalu berhasil mengundang air mata penulis buat keluar, most of them.  Adegan abang-adeknya juga menyentuh.  Malah adegan Vino-Mura nya sih kata penulis mah, kemanisan sampai bikin ngilu *loh*.  Penulis justru kasian sama tokoh ibunya Vino yang udah karakternya dikit, dibikin bener-bener jadi sosok yang gak penting tapi sekalinya dateng bikin heboh.  Dan, tokoh penulis adalah Wina, adiknya  Vino! Gak tau kenapa ya suka aja sama aktingnya anak ini, pas nangis, pas lagi sebel, pas ngangenin si Tasya.  Selain Wina penulis juga suka ya sama tokoh calo yang diperanin mas Agus Kuncoro, jahatnya itu loh gak sadis, gak maen fisik, tapi mental *sadaap*!  

Selain itu ada sejumlah dialog yang penulis suka nih dari film ini, kayak misalnya..
  • “Kadang, otak itu bisa nyaring lagi mana yang mesti diinget mana yang gak” (Vino, scene2 awal) 
  • “Kematian gak punya jam, tapi tahu kapan harus datang” (Mura, scene tengah2) 
  • “orang tua mana yang gaka akan sedih kalau dia harus menyaksikan anaknya lahir, tumbuh, untuk kembali pergi mendahuluinya” (papa Mura, scene2 akhir)
Overall, yah, meski alurnya cenderung lambat ya, tapi twist di detik-detik menjelang credit title muncul di layar bioskop  cukup maksa yang sudah terkantuk-kantuk untuk kembli melek.  Film yang bersoundtrackan “Malaikat Juga Tahu”-nya mbak Dewi “Dee” Lestari ini secara umum *bagi penulis* masuk kategori film manis dengan happy ending.  Gak heran sih, kan kayaknya dipersiapkan menyambut valentine juga.  Kisah cinta remajanya juga gak berlebihan kok.  Buat para kaum adam pasti puas lah liatin manisnya si Maudy Ayunda sepanjang film ini, kan meski penyakitan tapi cantik dan kayak, jadi gimana mau gak keurus n bening, betul?  Udah gitu ceritanya bijak dan cerdas pula #whataperfectrole.  Oke, buat para visitors, silakan segera kunjungi bioskop terdekat, lumayan lah film ini bakal ngajarin kita #sesuatu. :)

Tidak ada komentar: