Jumat, 30 Desember 2011

Hafalan Shalat Delisa


Pemain         : Chantiq Shrgill, Reza Rahardia, Nirina Zubir, Alfatir Muchtar, Mike Lewis, Billy Boedjanger, Joe P. Project, dll
Sutradara     : Sony Gakoasak
Skenario       : Armantono
Produser       : Chand Parwez Servia
Produksi        : Starvision
Sinopsis         :
Adalah Delisa, bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Umu Salamah-Abi Usman.  Seperti  Delisa, ketiga kakaknya pun perempuan semua: Fatimah si sulung serta Aisyah dan Zahra yang kembar.  Delisa sangat susah dibangunkan sebagaimana terekam di pembuka film ketika ketiga saudaranya beramai-ramai membangunkannya.  Delisa mengeluh pada Uminya perihal kesulitan bangun pagi yang dibalas pertanyaan “Delisa berdoa dulu gak sebelum tidur?” oleh Uminya.  “berdoa Umi, ya Allah ……..” jawabnya.  “Tuh kan, Delisa malas menghafal Umi” seru Aisyah yang kemudian diceritakan sering berseteru dengan sang adik.  “Kan, sama saja Umi berdo’a dalam bahasa Indonesia dan Arab” bela Delisa.  “Iya, tapi tetap beda” kata Umi sambil tersenyum.  Dari sana terungkap bahwa Delisa masih kesulitan dalam menghaafal do’a dalam bahasa Arab padahal beberapa hari lagi ia akan menghadapi tes bacaan shalat di sekolahnya.  Untuk meningkatkan motivasi sang anak, Umi menjanjikan hadiah kalung bila Delisa mampu lulus tes bacaan shalat.

Delisa yang ikut membeli kalung memilih sendiri kalung hadiahnya di toko Koh Acan.  Pulang ke rumah, ia dengan riang dan penuh kegirangan menunjukkan kalung tsb pada ketiga kakaknya yang kecuali Aisyah ikut senang.  Berdua mereka sempat rebut masalah kalung sebelum dering telepon yang ternyata dari sang abi yang sedang berada di atas kapal layar di tengah lautan menelepon.  Saat ketiga saudaranya yang lain bergegas dan bahkan saling berebut untuk  berbincang dengan abinya, Aisyah malah lari dan menangis di ruangan lain, umi Salamah yang melihat mengejar dan mengajaknya bicara.  Pada sang Umi, ia mengaku bahwa ia iri pada Delisa yang diberikan kalung yang jauh lebih indah dari miliknya dan dibalas sang Umi dengan sepucuk nasihat untuk tidak menginginkan sesuatu yang bukan hak kita yang berakhir dengan anggukan Aisyah.

Tepat tanggal 24 Desember 2004 Umi Salamah mengantar Delisa untuk tes hafalan shalat di sekolahnya.  Keduanya nekat berangkat meski bebrapa saat sebelumnya gempa cukup besar baru saja mengguncang wilayah Lhok Nga.  Dengan membawa calon kalung berliontin huruf “D” untuk Delisa, keduanya mantap berangkat walaupun sebelumnya Umi sempat khawatir setelah Zahra menangis dan ketakutan.  Di sekolah, tibalah giliran Delisa melaksanakan tes.  Dengan berbekal nasihat ustad Rahman seputar kekhusyuan yang dilandasi fokus, Delisa memejamkan mata sambil berusaha fokus sehingga ia tak peduli pun terpengaruh dengan suasana sekitar.  Bhakan saat getaran keras kembali terasa sampai-sampai menimbulkan luruhan bahan bangunan yang disusul terjangan air yang menyapu daerah pesisir Lhok Nga khususnya, dan daerah pesisir Aceh Timur umumnya.  Ustad Rahman, teman-teman Delisa berikut orang tuanya panic dan berusaha sekuat mungkin mnyelamatkan diri, sementara Umi Salamah berusaha sekuat tenaga menuju ke arah Delisa yang masih juga khusyuk.  Aceh dilanda Tsunami! Kabar Tsunami tersebut segera menyebar ke seluruh penjuru dunia tidak terkecuali di kapal tempat Abi Usman bekerja.  Tanpa menunda, segera ia pulang ke kampung halamannya guna mencari kabar keberadaan sanak keluarganya. 

Tidak lama setelah insiden bencana alam yang sangat  besar ini bala bantuan dari berbagai penjuru dunia mulai berdatangan termasuk pasukan Amerika dengan kapal laut besarnya dimana kapten Smith yang akhirnya menemukan Delisa di suatu bukit berada.  Pasca ditemukan, ia segera dilarikan ke rumah sakit dan berada di bawah perawatan Dr. Sophie.  Sempat tidak sadarkan diri selama beberapa waktu, ia akhirya siuman.  Ditemani Smith dan Sophie, ia mendapati kenyataan bahwa sebelah kakinya buntung! “waah..kaki Delisa terbawa air” serunya, tenang tanpa rasa takut dan air mata.  Malahan orang-oorang dewasa yang mengelilinginya yang tak sanggup menahan tangisnya.  Selama beberapa hari ke depan, ia dirawat dan ditemani oleh kapten Smith yang bahakan telah menganggap Delisa sebagai anaknya dan Dr. Sophie yang sangat ramah dan menyayangi Delisa.  Mereka dengan sabar memabantu Delisa belajar berjalan menggunakna tongkat, membecakan cerita, dan kegiatan-kegiatan lain uuntuk Delisa.

Sementara itu, Abi usman yang telah berhasil mencapai Lhok Nga dengan menumpang pada pasukan pemasok bantuan mendapati tempat bermukimnya telah luluh lantak, ia hanya bisa menemukan sisa ayunan yang biasa terpajang di teras rumah dan dimainkan anak-anaknya.  Dan, ia pun kemudian hanya bisa menangis sambil memeluki sisa ayunan itu.  Malam harinya ia mengunjungi tenda pengunngsian dan mendapati sejumlah kerabat yang dikenalinya termasuk  Abi-nya Umam dan Koh Acan yang masing-masing membawa kabar duka seputar penemuan dan penguburan jenazah Fatimah serta Aisyah dan Zahra.  Adapun Umi Salamah, katanya belum ada kabar.  Begitupun Delisa.  Lengkap sudah kesedihan Abi Usman mendapati kabar kematian tiga akan gadisnya dan ketidakjelasan nasib anak bungsu serta istri yang dicintainya.  Bukan hanya Abi usman yang banyak kehilangan.  Umam, teman Delisa yang dikenal badung mesti kehilangan kakak-kakanya dan Uminya, malah kawan karib Delisa lainnya ikut terenggut nyawanya bersama keluarganya. 

Keesokan harinya, gambar tulisan tangan Delisa saat ditanyai seputar kerabatnya oleh Sophie di Rumah Sakit dipajang di papan pengumuman.  Abi-nya Umam yang melihatnya segera memberitahukan abi Usman perihal hal tersebut.  tanpa meunggu lama, segera ia menuju rumah sakit.  Secercah kelegaan membuncah tatkala ia menyaksikan putri bungsunya masih bisa bernafas dan tersenyum kepadanya.  Delisa dan Abi Usman pun berpelukan disaksikan Smith dan Sophie.  Semalaman abi Usman menemani Delisa sampai ia dinyatakan bisa pulang.  Dengan digendong di pundak sang ayah, Delisa pun akhirnya kembali menyaksikan situasi desanya yang telah jauh berubah.  Ia yang telah mengetahui ihwal keberadaan kakak-kakak serta kebelumjelasan nasib sang bunda, ditambah perihal kaki yang ia anggap terbbawa air ternyata memang sengaja dipotong akibat kakinya terluka dan membusuk.  Tanpa banyak mengeluh, ia manut ketika sang ayah mengajaknya kembali ke rumah yang hanya tinggal puing dan menyisakan satu foto sang ibu.  Tak lama akhirnya di bekas rumahnya itu berdiri sebuah bangunan  sangat sederhana yang lebih layak desebut pondok daripada rumah tanpa penutup di bagian depannya tempat bagi ayah anak yang kini sebatang kara ini berteduh.

Abi Usman mulai berperan sebagi ayah sekaligu ibu bagii Delisa.  Ia memasak, mencuci baju, dan mengurusi semua keperluan delisa.  Berkali-kali Delisa memilih makan masakan dapur umum yang dianggap lebih layak makan dibanding buatan ayahnya yang tak karuan.  Berkali-kali pula ia membandingkan masakan abi dan uminya yang dinilai kalah jauh.  Berkali-kali berusaha, berkali-kali dibandingkan, kontan suatu waktu ia tak kuasa membentak sang anak sampai-sampai ia ngambek dan melarikan diri ke kamp pengungsian.  Disana, ia kemudian diberi semangkuk mie koh Acan yang sangat Lezat bahkan dengan isengnya ia mengumumkan tentang kelezatan mie koh Acan yang mengundang perhatian para pengungsi lainnya. 

Delisa di tengah berbagai keterbatasan, penderitaan, kehilangan yang menimpanya, Delisa masih belum kehilangan senyum dan keceriaannya sebagi anak kecil.  Ia masih bisa bermain bola dengan riangnya meski harus memakai tongkat,  ia tak pernah lupa mengunjungi pemakaman masal tempat kakak-kakaknya dimakamkan sambil menceritakan sejumlah hal pada mereka.  Ia masih rajin mengafal bacaan shalatnya.  Ia masih bisa tersenyum manis pada semua orang tanpa mengeluhkan nasibnya.  Ia begitu tegar dan tabah hingga suatu waktu air matanya tak mmampu terbendung tatkala menndapati masa tugas Smith dan Sophie telah berakhir sehingga mereka harus segera kembali ke negara asalnya masing-masing.  Di masa perpisahan, Sophie, sempat memberikan kalung berinisial ‘s’ yang ditolak Delisa dengan alasan “’S’ di kalung itu untuk Sophie, bukan untuk Delisa” katanya, dan akhirnya Sophie pun hanya memberinya cokelat.  Delisa melampiaskan rasa kecewanya di pantai, ia meneriakkan akumulasi kekesalan, kemerahan, kekecewaan, dan kesedihanya ditengah deburan ombak.  Malamnya badannya panas sampai-sampai membuat abi Usman panic dan bergegas membawanya ke dokter.  Semua  orang yang mendengar kabar sakitnya Delisa berdatangan ke rumah sakit sampai-sampai memenuhi ruangan tempatnya dirawat.  Hal tersebut membuktikan bahwa semua orang menyayanginya, dan hal itu akhirnya mengembalikan senyum, semangat, keceriaan, dan kepercayaan Delisa bahwa masih banyak orang yang menyayanginya.

Hari berlalu, Delisa bersiap mengahadapi tes bacaan shalat yang sempat tertunda itu.  Suatu hari, ia malah mendapat sepaket cokelat kiriman Sophie yang disertai fotonya yang telah berjilbab.  Hubungannya dengan Umam yang jahil itu pun makin menghangat.  Masakan sang abi mulai bisa dimakannya, “kurang garam saja, bukan tidak enak”, katanya.  Hari H tes bacaan shalat pun tiba dan Ust Rahman mengumumkan bahwa nilai ujiannya sempurna.  Delisa dan abi Usman pun mengucap syukur.  Umi salamah pun akhirnya  akhirnya ditemukan kangsung oleh Delisa dengan sebagian besar badannya terkubur di tengah lautan pasir di pantai sambil memegang erat kalung berliontinkan huruf “D”  milik Delisa.  Sayang, ketika ditemukan ia tak lebih dari jasad yang mulai membeku.  Akhirnya, Delisa dan abi-nya menjadi benar-benar sebatang kara.  Di penghujung film, mereka berjalan bergandengan di tepi pantai mendekati deburan riak ombak sambil merenungkan kejadian yang telah menimpanya. “Abi, kita pindah saja, Delisa benci pantai” pinta Delisa.   Selanjutnya ia menjelaskan perihal bencana besar yang ia tuding sebagi biang kerok perenggut keluarganya saat ditanya alasan oleh sang abi.  Dengan bijak sang abi berusaha menerangkan bahwa semua yang mereka alami adalah ujian untuk meningkatkan derajat hidup dan keimanan mereka menjadi lebih dan lebih tinggi.  Sang anak pun kemudian digendong dan diputarnya sebelum ersama-sama mereka menyanyikan lagu kasih ibu.


*****
My Own Review
Well, sebelum nonton film ini, penulis lebih dahulu nonton film Garuda di Dadaku 2, yang diluar ekspektasi penulis mampu memancing air mata penulis.  Makanya, ekspektasi penulis terhadap film ini jauuuuuuuuuuh bakal lebih mengahru biru dan semakin mengobok-obok perasaan penulis pun menguras air mata secara genre-nya saja sudah melodrama gitu plus latar belakang ceritanya yang Tsunami Aceh.  Tapi ehh tapi sejak film diputarkan di awal sampai akhir, seingat penulis hanya beberapa tetes air mata yang menyeruak dari mata penulis di satu adegan.  Adegan itu pun bukan saat adegan yang melibatkan Delisa sebagai sang tokoh utama, namun saat temannya yang badung, Umam, “tobat” di atas makam kakak-kakanya.  Di luar itu entah mengapa sekalipun adegannya sudah sangat-sangat mengahru biru dan membuat penulis terenyuh, namun mata ini sama sekali tidak basah, aneh!  Secara umum penulis sih suka ya apalagi ada aa Reza-nya, namun ada beberapa hal yang sangat-sangat menganggu terutama masalah spesial efek yang masih kasar sehingga kentara sekali ketidaknyataannya.  Berikut hal-hal yang mengganggu sekalligus memancing tawa penulis:
·  Spesial efek pas Tsunami, dari mulai reruntuhan bangunan sampai pas air menerjang, bersa lagi nonton soinetron di salah satu TV swasta dh yang suka ngehadirin spesial efek model begitu.
·    Spesial efek pas kapal induk Amerika yang membawa kapten Smith ceritanya akan merapat ke pelabuhan, aduh maak keliatan yah itu lautnya Cuma efek..hehe
·         Bahasa Inggrisnya Abi Usman, gak begitu ganggu sih tapi lucu aja
·    Tulisan tes bacaan shalat di papan tulis sekolah Delisa “TEST Bacaan Shalat”, kata “TEST”-nya itu loh, emaak English sekali..(gaatau deh ada yang juga merhatiin atau gak, tapi kayaknya ga dehh..)
·   Pasangan Reza Rahardian-Nirina! Bukan karena penulis gak suka sama mbak Nirina, hanya saja bagi penulis keduanya kurang pas dipasangkan, tapi untungnya mereka gak pernah dipertemukan dalam satu scene yaa jadi penulis masih bisa enjoy nontonin aa Reza-nya. haha

Tapi, jangan khawatir disamping hal-hal yang sangat menggangu itu, penulis juga punya donk hal-hal yang  bikin penulis  kesengsem yaitu:
·       Soundtrack lagu ibu-nya Rafly, uhh…mendayu-dayu sekali.
·      Setting daerah tempat tinggal Delisa di Lhok Nga, terutama rumah Delisa-nya, apalagi pas di malam hari..indahnya, kecil, sederhana namun hangat dan bersahaja.  (masih kebayang adegan pas ibu dan keempat abnaknya duduk-duduk di teras rumah di tengah malam yang cerah.
·  Pastinya tokoh abi Usman, emm….lebih tepatnya pemeran abi Usmannya. Heheh


Umm…apalagi yaa, yang ganggu udah, yang bikin suka udah, sekarang ganggu sih gak ya tapi bikin iri adalah si Cantiq tuh, kalau boleh milih mau jadi siapa di film ini, penulis akan lantang memilih kaarakter DELISA! Kenapa? Biar bisa dihujani ciuman dari Abi Usman! Hahaha.

Well, overall, di luar efek-nya yang jujur ya masih sangat belum bagus sehingga ganggu, film ini layak tonton.  Dari delisa kita bisa belajar makna Ketegaran dan ketabahan.  Tegar kehilangan sebelah kakinya, tegar kehilangan keluarga yang dicintainya, tegar kehilangan tempat tinggalnya.  Meskipun Tsunami telah merenggut banyak hal mulai dari sebelah kakinya, Tiur sahabatnya, ketiga kakak dan Uminya, tempat tinggalnya, semangat para tetangganya juga warga Aceh, namun Delisa tidak pernah kehilangan senyum dan semangatnya untuk terus menghafal bacaan shalatnya.  “Wah, kaki Delisa terbawa air”  ucapnya polos tanpa meneteskan setitik air mata pun ketakutan..

Sabtu, 17 Desember 2011

Weird Day 2nd Edition!


“aku terjatuh,
aku terjatuh tadi
di atas aspal..”

Penggalan lirik lagu yang setengah dimodif tadi kayaknya cocok ya ngegambarin apa yang penulis alamin hari ini.  Bayangkan yaa, di tengah hari yang cerah menjelang tengah hari, tanpa hujan tanpa badai topan, penulis yang lagi fokus sms’an sambil melewati korodor salah satu gedung fakultas di kampus penulis ujug-ujug gudubrak sambil diikuti kata “aduhh..”!  Jatoh donk gue! Emaaaaaak! Sesaat setelah jatuh dan mengaduh sedikit, yang penulis pikir adalah “aduuh, kok mesti jatoh sih!?” sambil celingak celinguk kiri-kanana liat reaksi dan ekspresi orang sekitar yang secara otomatis emang pasti mengarah ke penulis. Emaaaaaak…malu Marisol! Itu yaaa Cuma puluhan detik tapi berasa pas lagi dalam posisi duduk abis gudubrak itu the time is stopping and everybody just look at me!  Pengen di-pause deh tuh momen yaa, terus direwind biar pada lupa pernah ada kejaadian kayak gitu.  Bener deh ya kalo udah kayak gitu mah, urusan sakit nyeri dan tetek bengeknya jadi nomor dua soalnya bab pertama so pasti seputar masalah kemaluan.  Gussti….mana penulis seorang diri pula! Udah laah bener-bener kayak orang kehilangan arah deh, jalan seorang diri sambil sms’an tiba-tiba bruuk jatoh, ahh gak BGT lah!  Udah gitu ya jatohnya itu loh make pake acara gudubrak segala soalnya penulis lagi pegang tas jinjing yang isinya empat buku yang dua diantaranya cukup tebel, jadi berisik dah tuh sampai bikin efek suara gudubrak itu tadi! Huhu.  Kadung malu, dan biar gak makin Nampak bodoh, sebelum ada seseorang di sekitaran situ yang tergugah hatinya untuk membantu membangunkan penulis, penulis buru-buru bangun aja.  Bangun, jalan dikit, benerin sepatu, terus lanjutin sms’an biar seolah menimbulkan kesan everything is okay, and nothing to be worried about!  Ajiipnya ya hand phone penulis masih utuh digenggaman loh, gak kelepas sama sekali! Hoho.  Untunglah, gak kebayang deh kalo tuh hp ikutan terbang, dan pastinya akan berhamburan which is will make me stay there any longer!  Jadi yah, disela-sela ketidakberuntugan masih saja selalu ada hal yang menguntungkannya!   Tapi aslinya deh, I have no idea why I fell down to the stone!  It’s so weird and of course embarrassing anyway.  Meski gak menimbulkan efek yang parah seperti  patah tulang atau luka sobek (lebaaaaaaay!), penulis Cuma menderita sedikit luka gores di kaki, lebam di sekitr tangan (yang dipake buat nahan bobot tubuh penulis coba biar jatohnya gak anggun! Hoho.  Hemm..abis jatoh langsung sms temen deh, dan pas ketemu merekanya tuh act out as if I have serious injury,   pas udah pulang ke rumah sih pas dicek lagi emang bener gada yang serius kok, yang sobek juga Cuma dikit aja yang di deket jari kelingking kaki kiri, paling tambahan yang gak ketauan di bawah lutut sebelah kiri bagian kanan (nah loh, bingung bingung deh! Hoho), jempol kanan bagian pinggir atas sebelah kiri (bayangin aja ndiri yaa), sama di tulang yang agak menonjol di kaki kanan.  Hemm…dari jeis dan posisi lukanya bisa disimpulkan kalau saat jatuh, yang bermasalah adalah kaki kiri sehingga jatuh kea rah kiri dengan tumpuan kaki kiri, jadi kaki kiri yang agak lebih parah dari kaki kanan (tapi parah disini jangan byangin sampe keseleo, patah, apalagi sampai bunting ya!).  Intinya adalah, jatuhnya penulis itu #SESUATU lah, di siang bolong, gak hujan gak da badai, di tengah suasana yang sunyi, ahh mantap narik perhatian banyak orang yang make me very embarrassed!   Semoga itu yang terakhir deh berkonyol-konyol ria kayak gitu, meskipun penulis yakin sebenernya sang aspal bahagia kejatuhan darajelita seperti penulis, tapi cukup deh, kecuali sang aspal melapisi dirinya dengan kasur misalnya, jangankan sekedar jatuh, tidur pun penulis bersedia!  Finally penuli singinmenghimbau pada semua pengunjung Whatch Out Your Feet, unless you’ll be another me! J
 *****

My First Guiding Time!
Hari kemarin itu sekaligus menjadi hari pertama penulis sebagai guide di pameran yang diadakan di salah satu Museum paling bersejarah di kota Bandung, Museum Konfrensi Asia Afrika.  Mengambil tema Gerakan Non-Blok yang banyak dipertanyakan relevansinya pasca perang dingin berkhir sehingga cenderung dilupakan orang, pameran akhir tahun ini menjadi program penutup di Museum tersebut di tahun 2011 ini.  Peran penulis sendiri yakni sebagi volunteer atau relawan bagian guiding yang bakal kebagian jadwal “manggung” at least seminggu sekali.  Sebelum memulai tugas kemarin, pada pembukaan hari rabu yang lalu, penulis sempatkan mein kesana, buat liat-liat sekaligus observasi!  Naah, kemarin baru deh giliran penulis yang sebenranya.  Besar harapan ditempatkan di panel tokoh2 pendiri GNB yang dalam keyakinan penulis sudah relative cukup terkuasai dibanding panel lain, eehh..penulis malah kebagian spot di panel KTT dan situasi ruang pers nya!  Bodornya adalah saat penulis kedatangan pengunjung dari jurusan Sejarah salah satu universitas negeri berbasis islam di timur Bandung sana dan seorang mahasiswa HI dari satu universitas di arah jalanan menuju Sumedang sana.  Kalau anak Sejarah, mereka smabil ngerekam gitu, entah ya buat apa.  Naah, yang anak HI itu secara GNB sangat berkaitan dengan politik luar negeri which is makanan sehari-hari mereka, jadi he knows more than I know!  Tapinya, ada beberapa fakta yang konon menurutnya doi baru tau saat itu semisal pemrakarsa utama GNB itu adalah Tito, yang selam ini doi anggap adalah Soekarno.  Agak gimana juga ya khawatir tipikal makhluk iseng yang dengan pengetahuan lebihnya akan sok tahu dan ngetes-ngetes kita, ehh..ternyata doi  pengunjung yang budiman lah meskipun sempat melontarkan beberapa pertanyaan yang dalam kapasitas penulis sebagai orang yang katakanlah awam akan politik luar negeri dan situasi internasional di masa silam belum layak memberikan jawaban, salah-salah malah menjerumuskan.  Ada juga tiga nak SMA yang subhanallah tanp paksaan datang kesana meski pas dijelasin yaa gitu deh kemana-mana, gak bisa fokus, tapi gapapa deh yang penting udah ada kesadaran.  O,y, kalau pas anak Sejarah itu yang sedikit memalukan adalah pas penulis bilang kalu salah satu manusi yang ada dgambar itu adalah Nelson Mandela, dan serentak mereka bilang: BUKAN!  Malu deh tuh, tapi gapapa deh, manusia, penulis juga jadi tau deh, dan untungnya mereka pengunjung pertama jadi penulis gakan mungkin mnyesatkan yang lainnya..hehe.  hemm..masih sekitar 4-5 kalian lagi penulis nge-guide, tar penulis cerita-cerita lagi deh yaa pengalamannya sekaligus upload fot0-fotonya deh..wait for me yaa! J

Rabu, 14 Desember 2011

A Weird Day Jilid 1


hari ini adalah hari yang sungguh aneh bagi saya, yuuk liat nih timeline nya...

#pagi hari
dimulai ketika saya tiba di kampus dan mendapati bahwa teman2 masih asik bersenda gurau di luar lab, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 09.20 wib dimana kelas--yg mana menurut rencana akan menggelar UTS--seharusnya sudah dimulai sekitar setengah jam sebelumnya. Dan setelah hampir 20 menit menunggu datangla kabar bahwa sang dosen tidak akan hadir yang disusul kabar terbaru kalau si bapaknya ada di jurusan ternyata! Karena kadung bete, akhirnya anak-anak memutuskan cap cus, bahkan hampir semua memilih turun lewat gedung A (sementara kita ada di gedung C) demi menghindari berpapasan sama sang dosen, parah! Sambil menunggu teman yang masih di kost-an, kita makan dulu deh di satu tempat yang cukup jauh dari kampus, gak nymape satu kilo sih, tapi alamak nanjaknya itu sukses memeras keringat kita. Sesampainya di tempatb makan, buseeet ada kali lima belas menit kita celingak-celinguk sampai makananya datang. Dan, apa donk pas baruuuu aja tuh makanan mejeng di hadapan kita, tiba-tiba atu dari dua orang temen yang lagi makan bareng ngasih info yang cukup nge-BT-in: dosen yg mau kita kacangin itu ternyata ada da bahkan maksa supaya kita ngisi daftar hadir UTS berikut ngambil soal UTS-nya yang ternyata take home! konon, sang dosen sempet "ngamuk" cuma I don't know how. Makin gak BGT pas mau ngambil soal yang katanya dititip di ruang kepala lab ya, ternyata eehh ternyata yang muncul malah dosen yang bersangkutan! jiper kan men, gila takut iya aja beliau ngamuk, dan kita juga kenan buntutnya (Loh!?). Hemm...sempet masang muka serem ehhh masih lempeng-lempeng aja deh tuhujungnya sang dosen. Happy Ending deh buat semua: dosen dapet absen, kita gak kena mauk sang dosen!


# pas jam 12 siang
Penulis yang hendak menuju sau tempat menyemmpatkan mampir dulu ke Koperasi Mahasiswa di kampus buat membeli cappuccino untuk mengusir kantuk di tengah hari apalagi dalam suasan gerimis yang mengundang kantuk begitu.  Sebenarnya penulis ngidam minum cappuccino  itu sudah semenjak beberapa hari yang lalu, sayang penulis selalu kesorean jadi suka keburu tutup deh.  Eehh..pas hari itu,, udah optimis bakal ada dan gak mungkin tutp di suasan ajam makan siang, penulis malah harus menerima kenyataan yang biking nngenes: mati lampu jadi blendernya gak bisa dipake!  Eittss…tapi gak diblender pun gak maslah, dishake aja pake es, sama segernya kok, akhirnya jadilah dishake.  Pas udah beres, penulis kan minta kersek ya sama aa tukang cappuccino nya, tapi doi malah nyuruh mintanya di kasir aja entah ya lagi riweuh sepertinya.  Pas minta ke teteh kasir dikasih yang ukuran sedeng dong, padahal maksud penulis kresek kecil buat membalut si cappuccino, atuh kalau yang gede mah gimana makenya coba, BT lah pokonya.  Berakhr? Belum donks karena tenyata pas dicobain tuh cappuccino di angkot, hemm…hampi tawar mamen!  Kayaknya airnya over volume deh, jadi gitu lah unsur manisnya hampiiiiiiiiiiir ilang, Cuma orang-oarang penuh pengahyatan kayak penulis kayaknya yang masih bisa meraba dan merasakan sisi manisnya.  Teman penulis yang sempat mencicipi pun enggan saat ditawari untuk yang kedua kalinya.

#1 jam kemudian
Sekitar pukul 13.00, penulis akhirnya tiba di tempat tujuan, yaitu salah satu Museum di bilangan Asia Afrika yang di hari itu sedang premiere Pameran Akhir Tahun bertema Gerakan Non-Blok.  Penulis sebenarnya menjadi salah satu tim pemandu, tapi vbelum kebagian bertugas, jadi ceritanya main sekkaligus observasi kesana.  Pas mau masuk, eehh dihadang bapak satpam yang bilang kalau pameran baru buka lagi dari jam istirahatnya pas pukul 14.00. gak jadi masuklah kita, padahal penulis udah kebelet pipis! Huhu.  Akhirnya dengan alasan mau liat jadwal, penulis dan seorang teman yang datang bersama dipersilakan masuk deh.  Setelah liat jadwal dan pipis, akhirnya kami berdua plus seorang teman yang sudah lebih dulu tiba disana, cap cus deh ke salah satu super market besar di kota Bandung ini buat nemenin sang temen beli seperangkat blazer buat acara table manner keesokam harinya. 

#menjelang sore
Pas udah beres nganter temen menemukan  apa yang doi cari dan malah penulis pun tanpa diduga menemukan satu blous yang meraik mata akhirnya bikin tiga lembar sepuluh ribuan melayang, tadinya penulis yang sempat ingin balik lagi ke pameran mengurungkan niat karena si temen harus ngelesin jadi gabisa ikutan deh.  Naah, untungnya temen yang seorang lagi ternyata mau soalnya doi yang harusnya kerja kelompok segera eeh ditunda sampai jam 5-an, jadi kan lumayan tuh, liat-liat SEBENTAR di pameran bisa lah, akhirnya cuss deh kita balik lagi ke museum tadi.  Sebenarnya penulis sedikit trauma ya khawatir diusir lagi, tapi gak tuh ternyata.  Masuk di pertengahan hmpir akhir film di lorong masuk, kita langsung ngacir ngikutin rombongan anak SMA mana gitu masuk ke dalem.  Kalau anak-anak SMA itu Cuma lewat-lewat aja sambil sesekali lirik kiri-kanan atau bahkan berhenti tapi Cuma buat foto-foto, kita mah selain foto-foto, liatin panelnya, dan ini nih yang bikin lama ngobrol dulu sama guidenya! Haha.  Iya lah, namanya juga observasi, ya wawancara sikiit lah kita.  Pokonya di panel depan itu kita sampai menghabiskan waktu cukup lama lah.  Belum lagi kenyataan bahwa mereka belum sempet dikasih makan siang dan kelaparan sementara kita kebetulan bekel Tahu Sumedang, alhasil kita jadi kayak apa yaa bagi-bagi tahu sama mereka yang kelaparan.  Agak was-was juga yaa khawatir ada orang museum yang lewat kan, tar bisa-bisa disidak kit! Hehe.  Udah puas berfoto, liat-liat, dan ngobrol di empat panel awal, eehh..paaaas BGT mau lanjut ke panel berikut terus pulang, salah seorang pemandu yang adalah teman sekelas penulis ngasih kabar kalau rekan pemandu yang lain yang juga masih teman penulis kehilangan hp beberapa saat yang lalu ketika rombongan dari satu SMA masuk ke dalam pameran.  Dimulailah petualangan bak spy, mengintai siapa saja yang kira-kira dicurigai.  Ada deh tuh satu anak yang gerak-geriknya mencurigakan.  Jadi kan pas begitu sadar hp’nya lenyap itu, kan langsung deh tuh ditelponin dengan membabi buta, naah anak itu tuh seolah berusaha menenangkan hpnya yang terimpan dalam saku yang terus bergetar.  Makin curiga pas dia nya gak ngeluarin hp’nya, malah kayak sembunyi-sembunyi gitu matiinnya.  Akhirnya dengan bekerjasama dengan pihak guru pas keluar mereka digeledah satu per satu deh, sayang sang hp gak ditemuin juga.  Hemm..penulis sih entah kenapa yakin aja kalo yang ngambil hp temen penulis itu yaa si anak yang mencurigakan itu tadi. Wallahu’alam ya, semoga dapet gantinya deh tuh temen penulis dan buat yang ngmbil semoga disadarkan.  Alhasil yak arena kasus tak terduga itu, penulis makin lama deh di museum, tau-tau udah hampir jam 17.00, sementara penulis masuk jam 14.30, lumayan tuh 2 jam, padahal awalnya cuma mau 30-60 menit ja maksimal..heu.

#di malam hari yang basah
Malam itu kayaknya udah hampir jam 21.00 pas penulis turun dari angkot hedak pulang ke rumah.  Baru melangkah beberapa kali, tiba-tiba suara rebut terdengar di mulut gang: terjadi perkelahian sesame tukang ojeg!  Haduhh…udah mau adu jotos, helm mah pada melayang sana sini (lebay yang ini mah hanya untuk kepentingan dramatisasi), eeh ada motor yang terkena imbas aksi saling dorong pelaku yang bikin tuh motor hampi jatuh sampai-sampai mancing emosi sang empunya motor.  Sempet bikn dag dig dug, tapi yasudahlah.

sekian hari aneh yang tidak saia alami setiap harinya...
  

Selasa, 13 Desember 2011

Sang Penari: Budaya Berabalut Romansa dan Politik

Adalah Srintil (Prisia Nasution) yang bercita-cita menjadi ronggeng sejak kecil terlebih semenjak insiden bongkrek beracun buatan sang ayah yang menewaskan banyak orang di kampungnya, termasuk Yu Sunti (Happy Salma) Ronggeng ternama kebanggaan Dusun Dukuh Paruk di tahun 1953.  Sepuluh tahun berlalu, keinginannya menjadi Ronggeng ditentang Rasus (Oka Antara), sahabat sekaligus pujaan hatinya semenjak kecil, namun amat didukung sang kakek, Kang Karya.  Sayang, ki Reja (Slamet Rahardjo), dukun Ronggeng di desa tersebut pada awalnya menolak mempromosikan Srintil sebagai ronggeng baru di Dukuh Paruk.

Menurutnya, menjadi ronggeng tidak mudah, dibutuhkan banyak syarat termasuk “restu” dari leluhur yang dipuja di desa tersebut.  Maka, ketika Kang Karya menggelar “konser mini” di belakang rumahnya pada suatu malam untuk memperkenalkan cucunya, calon ronggeng baru, pada masyarakat Dukuh Paruk, Ki Reja yang sangat dinanti kehadirannya bukannya menampakan diri, melainkan malah menutup rapat-rapat rumahnya sehingga Srintil pun tak kunjung memulai “aksi”nya.  waktu berlalu, malam semakin larut, tak ada tanda-tanda ki Reja akan keluar rumah dan warga pun satu per satu meninggalkan “panggung”.  Srintil yang merasa amat terpukul setelah Rasus sebelumnya terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya akan pilihan Srintil menjadi ronggeng hanya bisa menangisi nasibnya dan kemudian ngibing (menari) sekenanya diiringi gendang Kang Sakum, anggota Ronngeng yang meyakini bahwa Srintil bisa menjadi Ronggeng Dukuh Paruk Baru.

Keesokan harinya, warga dibuat heboh oleh penemuan dua buah keris yang diyakini dipersembahkan oleh leluhurnya yang memilih Srintil sebagai ronggeng generasi baru di desanya.  Ki Reja pun menjadi tak ragu lagi, apalagi semenjak ia mendengar lagi tabuhan gendang Kang Sakum setelah sekian tahun lamanya.  Maka, segala persiapan dan upacara pengesahan Srintil sebagai ronggeng pun digelar dengan bantuan Nyi Reja (Dewi Irawan).  Diawali dengan menggelar malam ngibing yang kemudian disusul upacara buka kelambu dimana sang ronggeng harus menyerahkan keperawanannya pada mereka yang bisa memberikan penawaran terbaik (baca: membayar paling mahal) pada malam yang telah ditentukan.  Malam itu pun semakin dekat, Srintil yang ketakutan malah disambut sinis Rasus yang menyatakan bahwa itu adalah bagian dari resiko atas pilihannya sehingga membuatnya sedih.

Namun, hati tak bisa bohong.  Meski ia tak suka dengan pilihan Srintil yang mengantarnya menjalani resiko yang menyakitkan itu, toh ia tetap peduli dan turut merasakan kesedihan kekasih hatinya.  Ia selalu menolong srintil di masa-masa kesedihan dan kegentingan Srintil.  Keris itu sebenarnya bukan muncul tiba-tiba seperti yang difikirkan semua orang di dusun itu, namun merupakan “hasil karya” Rasus yang diam-diam memperhatikan Srintil di malam ketika ia tidak jadi menggelar “konser” tempo hari.  Nah, sekarang di saat Srintil, yang masih menunggu dua orang yang masih terlibat “negosiasi” diwarnai cekcok untuk menjadi seorang yang beruntung memerawani dirinya, bingung sekaligus ketakutan di malam Buka Kelambu-nya, Rasus kembali datang menghiburnya.  Bukan hanya menghiburnya, ia bahkan “menyelamatkan” Srintil.  Saat waktu dimana ia benar-benar harus melayani sang pemenang negosiasi tiba, ia sudah tak setakut seblumnya karena toh keperawanannya telah ia serahkan pada orang yang ia cintai beberapa saat sebelumnya.

Waktu berlalu, Srintil menjadi ronggeng ternama, dan orderan pelayananya pun meningkat.  Rasus  yang seolah mendukung sebenarnya masih tidak rela dengan pilihan Srintil.  Ia bahkan terlibat perkelahian dengan orang yang terang-terangan menghina status Srintil sebagai ronggeng yang juga bertugas sebagai pemuas nafsu di hadapan tentara sehingga ia pun ditangkap.  Pasca ditangkap, ia justru malah direkrut menjadi pegawai yang membantu menggurusi pekerjaan bak pelayan sebelum akhirnya ikut bergabung sebagai tentara dibawah komando Sersan X (Tio Pakusadewo) dan Y (Zainal Abidin Domba).  Semenjak saat itu, intensitas pertemuan Rasmus-Srintil pun menjadi berkurang.

Sementara itu, desa mereka kedatangan Bakar, seorang intelektual muda asal kota yang diam-diam menyebarkan propaganda berkedok perjuangan menegakkan nasionalisme.  Ia dengan taktisnya mempengaruhi warga bukan hanya dengan menanmkan pemikiran nasionalisme melainkan juga melakukan pendekatan budaya yang memang masih sangat ampuh dan efektif di Dukuh Paruk.  Ia berdalih kelompok ronggeng kang Reja akan mendapat job tetap setiap organisasi yang diikuti Bakar mengadakan acara dengan syarat seluruh personilnya bergabung dalam partainya.  Ki Reja yang berorientasi keuntungan mau saja manut dan ikut menuliskan namanya di daftar yang disediakan Bakar.  Srintil dan hampir semua warga Dukun paruh lainnya masuk dalam organisasi-nya Bakar.

Usut punya usut, ternyata Bakar ialah antek-antek gerakan yang sedang mengancam stabilitas nasional dan gemar melakukan pemberontakan di daerah-daerah.  Gerakan yang dikenal sangat berbahaya dan identic dengan warna merah.  Satu per satu warga Dukun Paruh menghilang.  Bakar dkk pun mundur secara perlahan setelah berhasil mencekoki warga demi menghilangkan jejak.  Beruntung, tentara telah berhasil mencium gerak-geriknya sehingga ia dan kawan-kawannya pun ditangkap dan bahkan beberapa ditembak mati karena mencoba melarikan diri.  Sayangnya, tidak hanya kawanan Bakar yang ditangkapi, tetapi seluruh warga Dukun Paruh yang dianggap sudah menjadi bagian kelompok Bakar berdasar catatan yang mereka temukan, termasuk Srintil!  Dan, lebih miris karena Rasus menjadi salah satu tentara yang menangkapi warga di desanya sendiri!

Pasca ditangkap, warga dipaksa mengaku bahwa benar mereka bagian dari kelompok Merah-nya Bakar.  Namun, tak satu pun warga yang memang tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya, mau mengaku sehingga berbagai siksaan harus mereka terima.  Rasus yang mengetahui perihal penangkapan warga kampungnya bergegas kembali ke kampungnya untuk menemui Srintil yang ternyata juga ikut ditangkap.  Disana ia hanya menemukan kang Sakum yang beringsut ketakutan di dalam rumahnya.  Darinya pula ia tahu bahwa Srintil ikut ditangkap, dan ia pun bergegas mecari Srintil.  Dengan penuh resiko dan pertaruhan jabatan akhirnya ia berhasil melacak tempat keberadaan Srintil dan berusaha menyelamatkannya.  Namun, terlambat! Srintil baru saja dinaikan ke kereta tebu untuk dikirim entah kemana.  Rasus hanya bisa meronta sambil meneriakan namanya di tengah cegatan pasukan penjaga para tahanan itu, sementara Srintil yang juga mneyadari kehadiran Rasus hanya bisa menangis.

Pasar Dawuan 1975, sebuah mobil tentara merapat dan seorang tentara yang kemudian diketahui sebagai Rasus turun di satu pojokan pasar.  Ia berjalan ke arah ronggeng yang sedang menggelar konser jalanan.  Ya, Srintil ternyata masih hidup dan ia pun masih setia menjadi RONGGENG! Namun, kali ini ia bukan lagi ronggeng yang dihormati secara status sosial dan ronggeng yang dikagumi kecantikan wajah dan tubuhnya, serta bukan pula ronggeng yang harus lagi mempersembahkan tubuhnya pada mereka yang bisa menggelontorkan uang dalam jumlah yang banyak.  Kini, ia hanyalah ronggeng jalanan yang “ngamen” di pasar di siang hari dan hanyan ditonton segelintir orang saja.  Wajahnya sudah tak sesegar dan semuda dahulu, tubuhnya sudah menjadi kurus kering, geraknya pun tak lagi selincah masa keemasannya dulu, namun dua hal yang pasti Srintil tetaplah ronggeng dan ia masih ditemani oleh alunan gendang Kang Sakum di setiap penampilannya.  Rupanya, Rasus datang untuk memberikan dua buah pahatan keris yang diberikannya belasan tahun silam sebelum Srintil menjadi Ronggeng.  Srintil yang sedang ngibing pun sempat ketakutan dan lantas cepat-cepat mengehnatikan tariannya sambil terburu-buru meminta bayaran pada para penonton.  Setelah mengambil keris itu dari Rasus, ia dengan sedikit terbirit menjauh dari Rasus bersama Kang Sakum.  Setelah merasa aman, di tengah jalan diantara padang ilalang ia berjalan sambil ngibing dengan perasaahn bahagia. 


*My own Review*
Penulis nonton film ini tepat di hari perdana pemutaran film ini, dan (as usual) seorang diri! Karena (juga seperti biasa) teman-teman penulis ogah dan kadung mestereotipkan film ini sebagai “another Indonesian Movie” which is mostly not recommended to see!  Padahal, kan, kan,kan Film ini qualified atuh! Buktinya? Noh Piala Citra.  Yap, ini film baru aja dapet penghargaan sebagai yang terbaik di kategori Film.  Sang Sutradara, Ifa Isfansyah pun dapet award di kategori Sutradara terbaik.  Belum lagi si Srintil sama nyi Reja yang masing-masing diperankan Prisia Nasution dan Dewi Irawan pun gak ketinggalan dapet penghargaan juga di kategori Pemeran Utama dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik.  Masih bisa bilang ini film gak layak tonton? Okelah, pada akhirnya semua kembali ke preferensi masing-masing.  Kan, setiap orang juga udah punyaa genre favoritnya masing-masing, so susah juga ya kalo dipaksa suka! Heuu.  Well, tapi ya wahai kalian plis lah jangan nyamain film ini kayak film terakhirnya tertalogi kisah Edward Cullen-Bella Swan yang konon (karena belum nonton dan gak—emm..belum minat denk—nontonnya) banyak adegan yang bikin penonton kayak sebagian besar temen-temen penulis mual.  Oke, dari trillernya emang ada adegan yang cukup syur dan memang di beberapa bagian begitu, tapi kita gak bisa donk ngejudge kalau film itu setipe sama film esek-sek yang rajin nampil di layar bioskop.  Kisah Srintil ini ya merepresentasikan keteguhan Srintil menjadi seorang ronggeng demi meraih self-dignity dan self-satisfaction.  Belum lagi unsur politis yang dihadirkan melalui sosok Bakar.  In short, this is one of the best Indonesian movie this year, even it has become the best, so watch it! J


Minggu, 11 Desember 2011

Piala Citra FFI 2011: Ifa Isfansyah vs Kamila Andini!



S9B dan Treeji membuka perhelatan akbar insan ferfilman tanah air dengan lagu karya C. Simanjuntak (judulnya lupa! Heheh) yang dibawakan secara duet.  Penampilan kolaborasi dua boy band tanah air itu disambung oleh lagu “Sunny” yang dibawakan oleh penyanyi yang belakangan menjadi fenomena selebritas tanah air, yap siapa lagi kalau bukan mbak Syahrini yang alhamdulillah sesuatu itu.  Setelahnya, Marsya Manopo dan Petra duet menembangkan lagu bertema olah raga (lagi-lagi lupa judulnya!).   “Melompat Lebih Tinggi”, hits So7, kemudian diperdengarkan oleh Igo yang muncul dari kerumunan atas penonton.  Ungu menyusul lewat tembang “Cinta Gila” yang sempat diwarnaia dengan insiden disfungsi microphone (sampai bikin suara Pasha-nya luplep gitu, gak puguhlah pokoknya). 

Olivia Jensen dan Tika Putri hadir membawakan katgori Pemeran Pendukung Pria Terbaik dengan nominasi Agus Kuncoro (“?”), Agus Kuncoro (Tendangan dari Langit), Hendro F. Djarot (Sang Penari), Landung Simatupang (Rindu Purnama), dan Mathias Mutchus (Pengejar Angin) yang akhirnya dipilih juri sebagai yang terbaik pada kategori ini.

Pacsa jeda pertama, giliran nominasi Kategori Pemeran Pendukung Wanita Terbaik dibacakan oleh Irwansyah dan (haha…kelewatan baca namanya!) yang adalah (The Mirror Never Lies), Dewi Irawan (Sang Penari), Enditha (“?”), Poppy Sovia (Catatan Harian si Boy), Wulan Guritno (Masih Bukan Cinta Biasa).  Akhirnya Piala Citra untuk kategori ini dimenangkan oleh Dewi Irawan yang juga sempat dinominasikan 28 tahun yang lalu malalui aktingnya sebagai Nyai di film “Sang Penari”.

Dengan bergaun abu-biru berbahan sejenis satin nan ringan yang bikijn roknya terbang-terbang ala Syahrini kemaren-kemaren, Vicky Shu yang terlihat kerepotan dengan rok bandelnya yang gak mau diam (terbang mulu) membawakan lagu berbau kucing bernada oriental disambung lagu “Pacar Kamu”. 

Tanpa jeda, Tora Sudiro hadir di atas panggung merayu sang penyanyi disusul Kinaryosih yang berlari kecil di belakangnya untuk mebacakan nominasi Penyunting Gambar Terbaik dengan nominasi Cesar David Luckmansyah (“?”, Masih Bukan Cinta Biasa, Sang Penari), Aline Jusria & Dinda Amanda (Catatan Harian Si Boy), Wawan I. Wibowo (Pengejar Angin) yang disambung dengan pembacaan kategori Pengarah Artistik Terbaik yang nominasinya yakni Ari Juwono (Catatan Harian Si Boy), Fauzi (“?”, Tendangan Dari Langit), Frans XR Paat (Batas), Eros Elin (Sang Penari).   Aline Jusria & Dinda Amanda dengan Catatan Harian Si Boy-nya dan Fauzi lewat Tendangan dari Langit berhasil menjadi yang terbaik di mata juri.

“Garuda di Dadaku” secara singkat dibawakan oleh duo host Nirina-Reza Rahardian sebagai pengantar pembacaan nominasi di kategori Pengarah Suara Terbaik dan Penata Musik Terbaik oleh Emir Mahira (Garuda di Dadaku) dan Grup 5 Elang.  Di kategori pertama Aditya dan Trisno (Kentut), Adityawan Susanto & M. Ihsan Ramadita (Masih Bukan Cinta Biasa), Ipmawan Santosa (5 Elang), Saft Daulsyah, Satrio Budiona & Trisno menajdi nominasi.  Sedangkan Adam S Permana (Rumah Tanpa Jendela), Sjuman (Rindu Purnama), Thoersi Agaswara (Masih Bukan Cinta Biasa, Surat Kecil Untuk Tuhan, The Mirror Never Lies) dinominasikan pada kategori Penata Musik TerbaikAdityawan Susanto & M. Ihsan Ramadhita (Masih Bukan Cinta Biasa) dan Thoersi Agaswara (The Mirror Never Lies) berhasil menyisihkan nominasi-nominasi lainnya di kedua kategori tersebut. 

Mbak pemilik jambul khatulistiwa dan bulu mata anti badai, Syahrini, kembali muncul menyanyikan lagu teranyarnya “SESUATU” tepat sebelum jeda kedua.
Rio Dewanto & Albert Halim (Cinta) muncul dibarengi duo host Nirina-Reza yang telah berganti kostum untuk membacakan nominasi dalam kategori Penulis Cerita Asli Terbaik dan Penulis  Skenario Terbaik dengan nominee Benni Setiawan (Masih Bukan Cinta Biasa), Hanung Bramantyo (“?”), Kamila Andini (The Mirror Never Lies), Salman Aristo (Jakarta Maghrib), Sarjono Sutrisno & M. Jusuf (Tebus) di kategori pertama .  Sedangkan pada kategori kedua, Benni Setiawan (Masih Bukan Cinta Biasa), Dirmawan Hatta & Kamila Andini (The Mirror Never Lies), Salman Aristo (Jakarta Maghrib), Salman Aristo, Ifa Isfansyah & Shanty Harmayn (Sang Penari), serta Titien Watinema (”?”) masuk sebagai nominasi. 

“Galih dan Ratna” soundtrack film “Gita Cinta dari SMA” dibawakan secara keroyokan (baca: kelompok) oleh S9B yang menyusul mbak “alhamdulillah-sesuatu” untuk tampil kedua kalinya di panggung FFI 2011 ini  sebelum memasuki jeda ketiga.

Pengarah Sinematografi Terbaik  dengan nominasi Fauzan Riza (Pengejar Angin), Gunung Nusa Pelita (Masih Bukan Cinta Biasa), Ipung Rachmat Syaiful (The Mirror Never Lies), Yadi Sugandi (“?”, Sang Penari)  yang kemudian keluar sebagai yang terbaik dengan film “?” dibacakan oleh reuni geng Cinta-AADC, Titi kamal dan Adinia Wirasti.  Kategori ini dimenangkan oleh Yadi Sugandi melalui film “?”.

Pasha Ungu setelahnya tampil membawakan lagu duet-nya bersama sang istri yang pada  kesempatan ini digantikan oleh mbak Syahrini yang tampil ketiga kalinya!  Eeh…mbak Syahrini make nganterin pembaca nominasi berikuutnya pula…dan (selalu) dengan nada lembut nan mendesahnya (gak nahaaan)!

Aktor beda generasi Kaharudin Syah dan Fachri Albar pun tampil untuk membacakan kategori Pemeran Utama Wanita Terbaik dengan nomine Dinda Hauw (Surat Kecil Untuk Tuhan), Fanny Fabriana (True Love), Gita Novalisna (The Mirror Never Lies), Prisia Nasution (Sang Penari), Salma Paramitha (Rindu Purnama).   Kembali kategori ini menjadi milik cast Sang Penari, Prisia Nasution, sebagaimana di kategori Pemeran Pendukung Wanita Terbaik.

Nigcta Gina dan Ichsan Akbar yang ternyata host off-air diberi kesempatan menampakkan diri di hadapan pemirsa di rumah untuk menghantarkan pembaca nominasi kategori Pemeran Utama Pria Terbaik oleh Titi Sjuman dan Laura Basuki yang menominasikan Alex Komang (Surat Kecil Untuk Tuhan), Emir Mahira (Rumah Tanpa Jendela), Ferdy Taher (Masih Bukan Cinta Biasa), Oka Antara (Sang Penari), Tio Pakusadewo (Tebus).  Dan, secara mengejutkan (maksudnya surprise) Emir Mahira yang memulai debutnya melalui Garuda di Dadaku berhasil menggilas para seniornya lewat aktingnya sebagai anak penderita kekurangan dalam Rumah Tanpa Jendela.

Trio Marsha, Petra dan…aahh penulis lagi ngantuk-ngantuknya nih jadi gak fokus, so entah siapa dan menyainyikan lagu apa! hohoho

Selanjutnya Slamet Rahardjo secara tunggal membacakan sekaligus mengumumkn Film Paling IsnpiratifKULDESAK” karya Riri Riza-Mira Lesmana-Nan Achnas-Rizal Mantovani.  Disambung dengan pengumuman bahwa Film “Lewat Jam Malam” karya Umar Ismail direstorasi di Singapura sehingga kualitas gambarnya jadi lebih bagus sebagaimana diumumkan oleh host.  Marcella Zalianty kemudian menyusul hadir  di panggung, juga seorang diri, membacakan penghargaan Lifetime Achievement Award kepada JB. Kristanto yang telah bersusah payah mengarsipkan film nasional yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan itu.  

Sebelum pembacaan nominasi puncak yakni kategori Film Terbaik, satu penghargaan lagi yakni Sutradara Terbaik lebih dahulu disampaikan oleh Ikra Negara dan Happy Salma dengan nomine Benni Setiawan (Masih Bukan Cinta Biasa), Hanung Bramantyo (“?”, Tendangan Dari Langit), Ifa Isfansyah (Sang Penari), Kamila Andini (The Mirror Never Lies).  Gagal di kategori Penulis Skenario Terbaik, Ifa Isfansyah akhirnya masih bisa berbangga hati karena diganjar sebagai yang terbaik berkat hasil penyutradaraannya di film Sang Penari.


Dan, Piala Citra pada kategori terakhir sekaligus puncak yaitu Kategori Film Terbaik diberikan kepada Sang Penari (Salto Films, Indika Pictures, Kompas Gramedia Production) yang berhasil menyisihkan nomine lainnya seperti (“?”, Mahaka Picture), “Masih Bukan Cinta Biasa” (Wannabe Picture), “Tendangan Dari Langit” (Sinemart Picture), “The Mirror Never Lies” (PT Karya Set Film).

*Berikut daftar lengkap peraih Piala Citra 2011*
Pemeran Pendukung Pria Terbaik
Mathias Muchus (“Pengejar Angin”)
Pemeran Pendukung Wanita Terbaik
Dewi Irawan (“Sang Penari”)
Pemeran Utama Pria Terbaik
Emir Mahira (“Rumah Tanpa Jendela”)
Pemeran Utama Wanita Terbaik
Prisia Nasution (“Sang Penari”)
Penyunting Gambar Terbaik
Alin Jusria dan Dinda Amanda (“Catatan Harian Si Boy”
Pengarah Artistik Terbaik
Fauzi (“Tendangan dari Langit”)
Pengarah Suara Terbaik
Adityawan Susanto dan M. Ihsan Ramadita (“Masih Bukan Cinta Biasa”)
Penata Musik Terbaik
Thoersi Agaswara (“The Mirror Never Lies”)
Penulis Cerita Asli Terbaik
Kamila Andini (“The Mirror Never Lies”)
Penulis Skenario Terbaik
Benni Setiawan (“Masih Bukan Cinta Biasa”)
Pengarah Sinematografi Terbaik
Yadi Sugandi (“Tanda Tanya”)
Film Paling Inspiratif
“Kuldesak” (Riri Riza – Mira Lesmana)
Lifetime Achievement Award
JB. Kristanto (Penulis Katalog Film Indonesia)
Sutradara Terbaik
Ifa Isfiansyah (“Sang Penari”)
Film Terbaik
“Sang Penari”  (Salto Films, Indika Pictures, Kompas Gramedia Productions)

Trivia of FFI 2011
  • Pas lagu “Galih dan Ratna”dikumandangkan, getarnya masih sama waktu pas penulis pertama kali denger lagu ini di Gita Cinta dari SMA versi sinetron yang dibintangi Paundrakarna dan ratna Galih beberapa tahun silam dan terutama mengingatkan penulis akan suasana  Jogja di malam hari…Yogya ohh Yogya..
  • Pas pembacaan nominasi Pengarah Sinematografi Terbaik, sang peraih Citra, Yadi Gugandi yang dinominasikan dalam dua film malah mengucapkan terima kasih pada orang-orang yang terlibat dalam produksi film yang satunya lagi bukan mereka yang terlibat di film yang ia menangi (entah lupa entah….ah entahlah…hanya Tuhan dan beliau yang tahu semuanya, tapi konyol ihh meskipun beliau dinominasikan di kedua film tsb.
  • Pas peraih Sutradara Terbaik speech ya doi say thanks sama keluarga barunya di Bintaro yang adalah keluarga sutradara kenamaan Garin Nugroho, ayah dari Kamila Andini, belahan jiwanya.  Doinya serius yaa, ehh..bang Garin nya senyum-senyum malu sambil geleng-geleng gak habis fikir sama ulah calon mantunya itu..yaa kayak orang tua yang gak habis piker sama ulah “nekat” anak muda gitu! Heu
  • Masih seputar Ifa Isfansyah – Garin Nugroho yang kalau jadi nih sama Kamila Andini maka dalam satu keluarga bakal ada TIGA SUTRADARA! Tar, pas mau bikin film gimana ya, hompimpahkah?? Hehe (piis yaaa…Cuma ngayal kok! Hoho)
  • Lagi-lagi seputar pasangan kekasih sesame sutradara Ifa Isfansyah – Kamila Andini, yang sama-sama di dominasikan di dua kategori yang sama: Penulis Skenario dan Sutradara Terbaik.
  • Masih terkait pasangan sutradara tersebut, diluar dua kategori tadi, Film keduanya “The Mirror Never Lies” dan “Sang Penari” bersaing ketat di banyak kategori (keren yaa, pacaran sih pacaran, tapi di luar hati yaa bersaing dalam karya dan prestasi yang sah-sah saja toh..hehe)
  • Duo host-nya itu loh mas Reza Rahardian sama mbak Nirina kayaknya bukan tanpa alasan atau kebetulan dipasangkan, tapi menurut penulis pribadi seperti promo implisit yang dibungkus secarta ekplisit film  teranyar yang dibintangi mereka berdua: “Hafalan Shalat Dellisa” yang bakal segera premiere di pertengahan bulan ini..(bisaan uy! Hohoho)
  • Selain Ungu sambak Syahrini, artis pengisi acaranya kurang greget uy..
  • Banyaknya bintang film remaja bahkan masih tergolong anak-anak yang dinominasikan di jajaran Pemeran Utama Terbaik semisal Emir Mahira (yang bahkan berhasil meraih Citra di kategori Pemeran Utama Pria Terbaik), Dinda Hauw (Surat kecil untuk Tuhan), dan Salma Paramitha (Rindu Purnama)! Hemm..aset tuh! Hoho
  • Naah peran yang dibawakan Emir Mahira dan Dinda hauw yang membawa mereka dinominasikan meraih Citra yakni tentang anak berkebutuhan khusus, bila Emir dari segi mental, Dinda lebih ke fisik.  
*****
No (More) Reza Rahardian? Siapa Bilang . . . ?
Bang Rezaaa……..gak masuk nominasi eehh…tiba-tiba muncul aja sama mbak Nirina sambil bawa kertas bak host gitu, eehh…jangan-jangan……..iya he is the host of tonight’s event! (woooow).  Dengan memakai setelan putih, rambut klimis, sedikit bulu di bagian dagu, ahhh…he always charming!

Surprise sekaligus bertanya-tanya sambil geleng-geleng kepala itu tuh kesan pertama penulis pas liat doi muncul bareng Nirina.  Kalo Nirina Zubir sih meski udah cukup lama vakum jadi presenter, tapi justru istri personel “Cokelat” ini kan basic-nya emang dari bidang presenting, tepatnya VJ, jadi yaa wajar-wajar aja.  Nah, ini si bang Reza, doi kan selama ini dikenal sebagai aktor serius yaa (kan sebagian besar perannya begituan) dan sangat lebih sering acting ketimbang bawain acara, dan semalem…lumayanlah yaa.  Tapi, buat penulis pribadi udah deh bang Reza fokus di dunia aktingnya aja gak usah ngambil lahan orang! Hehe

Mbak Nirina-nya aja sampai bilang gini “kamu, acting udah, sekarang…” gitu deh sambil bercanda sih emang, tapi kan tetap menyiratkan “ih Reza elo yah gak cukup gitu udah jadi aktor yang cukup sering wara-wiri di layar bioskop tanah air, sekarang mau ngambil lapak orang yah lo!?”.  Tapi da iya, udah lah biarkan lahan itu menjadi milik sang empunya, para spesialis presenter itu, bang Reza mah keep act on screen, okokok?  Hemm…di luar itu sih penulis terhibur ya dengan kemunculan aa Reza sebagai presenter karena bisa mengobati kekecewaan penulis gara-gara doi gak kebagian satu nominasi pun tahun ini.  So, REZA DOESN’T GO ANYWHERE of FFI! Ditunggu di FFI tahun depan ya Bang! Hohoho J

Jumat, 09 Desember 2011

Sinema Wajah Indonesia: Pahala Terindah


(Setelah sekian kali kelewatan nonton program SWI karena ketiduran atau sedang tidak berada di rumah, akhirnya kali ini berhasil nonton sampai tamat lagi, dan menuliskan resensinya lagi…horeeeeee! Sedikit berbeda dengan penayangan sebelum-sebelumnya, minggu ini slot tayang yang biasa di hari sabtu malam ditayangnkan kamis malam.  Anyway, gpp deh, yang penting ada..hehe)


Sutradara  : Herwin Novianto
Skenario   : Musfar Yasin
Pemain    : Slamet Rahardjo, Ratna Riantriatno, Tika Bravani
Synopsis   :
Kisah dibuka dengan adegan dua orang pasangan di usia senja berjalan menyusuri kebun jagung dan berbincang dengan riangnya, tak lama datang seseorang menghampiri serta lantas memanggil mereka pak Haji dan Bu Haji.  Di tengah jalan mereka bertemu Trisno yang sedang membujuk Seruni, gadis desa yang baru lulus Aliyah, untuk menjadi TKW.  Tak jauh mereka bertemu dengan ibunda Yanti, TKW yang sudah enam bulan tak brkabar dengan keluarganya, yang sedang membetulkan antena dengan alasan barangkali ada berita seputar Yanti anaknya.

Bu Haji bermimpi pak Haji memintanya melamarkan Seruni untuk memberikannya keturunan yang tak bisa dipenuhi oleh sang istri.  Meski hanya sebuah mimpi, akhirnya lamaran itu pun terjadi di kehidupan nyata.  Bu Haji benar-benar melamarkan Seruni untuk Pak Haji.  Pak Haji yang awalnya menolak dengan alasan sulit berlaku adil akhirnya setuju juga demi mendapatkan keturunan yang shaleh yang dipercayainya akan memberikan doa yang menghantar orang tuanya ke surga.

Tanpa menunggu lama, pernikahan yang telah atas restu bu Haji sang istri tua ini pun dilangsungkan.  Sebelum menjalani malam pertama, bu Haji mengajak Seruni untuk berbagi tugas.  Ia mengajak Seruni membuat perjanjian kalau anak pertama mereka lahir maka hak asuh menjadi milik bu Haji, semntara Seruni jatahnya nanti anak kedua.  Selain itu, Seruni diberi tugas menyapu halaman, mencuci, bersih-bersih rumah hingga mengantar makanan ke sawah, sedangkan bu Haji bertugas memasak karena menurutnya Pak Haji tipe pemilih masakan sehingga masakan Seruni belum tentu cocok untuknya.  Seruni yang istru muda dan jauh lebih muda hanya manggut dan terpaksa setuju tanpa bisa protes.

Dalam perjalanannya baik pak Haji maupun Seruni sama-sama menikmati peran dann kebersamaan mereka sebagai suami istri.  Bu Haji mulai gerah apalagi setelah mengetahui bahwa Seruni sering berkeluh kesah pada Pak Haji.  Tidak cukup sampai disitu semakin bermasalah ketika sang suami lebih sering mampir ke kamar istri muda dibanding seranjang dengannya.  Bahkan bapak sampai melanggar jadwal yang ditentukan dengan dalih biar segera punya anak maka mesti memanfaatkan kesempatan sekecil apa pun.  Kecemburuan bu Haji makin menjadi tatkala hubungan suami dan istri mudanya itu kian menghangat hingga Seruni keasyikan “bermain” bersama Pak Haji di sawah sampai-sampai melalaikan tugasnya di rumah seperti mencuci yang membuat sang istri tua Berang.

“Aku mengizinkanmu menikah dengan Pak haji bukan karena aku suka padamu, sama sekali titak! Tapi akau melakukan semua ini karena aku mencintai dan menyayangi Bapak” ujarnya saat menyambut Bapak dan Seruni yang baru saja tiba dari sawah seraya menyambut dengan seember baju kotor. 

Tak berapa lama kemudian, Seruni dinyatakan positif hamil dan membahagiakan seisi rumah tak terkecuali Bu Haji.  Bahkan bu Haji jadi melunak pada Seruni dengan kehamilan anak pertama yang diwanti-wanti menjadi “milik” bu Haji.  Ia bahkan tak segan mengambil alih tugas Seruni yang disuruhnya banyak-banyak istirahat.  Seruni hampir tak diizinkan beraktivitas terutama aktivitas yang berat oleh bu Haji.  Tidak berhenti sampai disitu, bu Haji pun mengatur asupan makanan, pendeknya menjadi protektif.  Saking perhatian berlebih pada Seruni, ibu sampai-sampai hampir melupakan Bapak.

Seruni yang diatur-atur begitu lama-lama menjadi gerah dan mulai malakukan pemberontakan-pemberontakan kecil dengan menolak makan sebanyak porsi yang disediakan ibu hingga merubah perjanjian pengasuhan anak pertama yang semula menjadi hak ibu.  Bapak mencoba bersikap sebijak mungkin menghadapi perebutan hak asuh anak yang dikandung Seruni dengan berkata bahwa masalah pengasuhan mereka memang rumit tapi jangan dirumit-rumitkan.  Bahkan Bapak meminta perjanjian yang senantiasa  diungkit oleh kedua istrinya tsb untuk dibatalkan dan mengajak mereka untuk mengasuh anak mereka kelak bersama-sama.  Keduanya bersikeras, Seruni mengancam tidak akan melahirkan anak mereka (cukup konyol juga nih Seruni, keliatan lah sisi ABABIL nyaa…secara tamatan Aliah which is still under 20); Ibu yang kecewa memilih pergi ke luaar rumah.   Bapak jadi stres (kesian udah sepuh tapi masih dipusingin masalah perempuan..ckckck).

Atas nama keadilan dan rasa sayang pada kedua istrinya, Bapak akhirnya membuat keputusan bahwa jika yang lahir laki-laki maka ibu yang berhak mengasuhnya; sebaliknya jika perempuan menjadi milik Seruni.  Keputusan yang disepakati keduanya sekaligus merupakan win win solution (si Bapak pinter yaaa..heu)!  Tak lama setelahnya Seruni melahirkan bayi perempuan sehingga hak asuh tetap berada di tangan sang ibu kandung.  Kemesraan Seruni, yang jarang memberikan kesempatan pada bu Haji untuk sekedar menimang bayinya yang menurut Pak Haji karena Seruni tengaha asik-asiknya bermain dengan sang anak, dengan bayinya membuat bu Haji sedih.  Upayanya mengingatkan Seruni untuk banyak makan sayur supaya ASI nya banyak, kontrol ke Puskesmas agar cepat pulih, minum obat penambah darah agar tidak lesu, serta cuci tangan dahulu sebelum memegang bayi justru ditafsirkan lain oleh Seruni.

Suatu malam, Seruni yang amat kelelahan akhirnya rela memberikan kesempatan pada bu Haji.  Kesempatan emas yang tidak disia-siakn bu Haji untuk mencurakhan buncahan kasih sayangnya yang sempat tertunda.  Keadilan itu memang sulit, tapi berbagi dengan adil akan membawa suatu keindahan.  Pak Haji mengurungkan niatannya membangun pondok penampungan calon TKW dan mengalihkan modalnya untuk meminjami modal usaha warga setempat.   

Ternyata potongan kisah pernikahan Pak Haji dan Seruni serta proses kehidupan pra nikah, pembagian tugas, kehamilan Seruni, bayi perempuan Seruni, dan semuahal terkait hubungan Pak Haji – Seruni ternyata tak lebih dari mimpi atau khayalan bu Haji semata (sempet loading juga pas disini).  Setelahnya mereka memang mendatangi rumah  Seruni yang sependengaran mereka akan bekerja di Taiwan atau Arab.  Mereka memang menyambangi rumah Seruni tapi tidak untuk melamarkannya sebagai calon istri Bapak, tetapi melamarnya untuk menjadi anak mereka dan melanjutkan pendidikannya.  Baik Seruni maupun ayahnya menyambut baik rencana pasangan yang telah mengidamkan kehadiran anak sejak lama ini.  Sebagai taanda terima kasih dan pesetujuannya, diciumnya kedua tangan orang tua barunya. 

Sebagai penutup, kedua insan yang pemurah ini sebagiamana adegan awal berjalan menyusuri jalanan desanya, sawahnya, kebunnya, hingga akhirnya berhenti di suatu bukit sambil berpegangan tangan membelakangi senja yang mulai menghiasi langit di belakangnya.  Duhh…so sweet….


*Review*
Such an unpredictable plot! Edan lah bisa-bisanya si bu Haji ngayal sejauh itu! Tapi, anyway, meksi khayalan namun pesannya sama sekali tak semu.  Isu poligami yang dibalut dengan apologi kebutuhan akan hadirnya anak di tengah-tengah kehidupan pernikahan mereka menjadi tema besar sinema ini.  Pahala Terindah mengacu pada kerelaan bu Haji sebagai istri tua memngizinkan Pak Haaji (suaminya) untuk menikah lagi denga gadis yang lebih pantas menjadi anaknya.  Meski tekesan mudah secara teori, namun kenyataannya berbuat adil dalam praktek poligami sama sekali tidak mudah.  Pokonya mah ahh…plotnya bener-bener penuh kejutan sekali, jempol deh!   Dinanti saja judul selanjutnya! J