Pemain : Chantiq Shrgill, Reza Rahardia,
Nirina Zubir, Alfatir Muchtar, Mike Lewis, Billy Boedjanger, Joe P. Project,
dll
Sutradara : Sony Gakoasak
Skenario : Armantono
Produser : Chand Parwez Servia
Produksi : Starvision
Sinopsis :
Adalah
Delisa, bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Umu Salamah-Abi Usman. Seperti
Delisa, ketiga kakaknya pun perempuan semua: Fatimah si sulung serta
Aisyah dan Zahra yang kembar. Delisa
sangat susah dibangunkan sebagaimana terekam di pembuka film ketika ketiga
saudaranya beramai-ramai membangunkannya.
Delisa mengeluh pada Uminya perihal kesulitan bangun pagi yang dibalas
pertanyaan “Delisa berdoa dulu gak sebelum tidur?” oleh Uminya. “berdoa Umi, ya Allah ……..” jawabnya. “Tuh kan, Delisa malas menghafal Umi” seru Aisyah
yang kemudian diceritakan sering berseteru dengan sang adik. “Kan, sama saja Umi berdo’a dalam bahasa
Indonesia dan Arab” bela Delisa. “Iya,
tapi tetap beda” kata Umi sambil tersenyum.
Dari sana terungkap bahwa Delisa masih kesulitan dalam menghaafal do’a
dalam bahasa Arab padahal beberapa hari lagi ia akan menghadapi tes bacaan
shalat di sekolahnya. Untuk meningkatkan
motivasi sang anak, Umi menjanjikan hadiah kalung bila Delisa mampu lulus tes
bacaan shalat.
Delisa
yang ikut membeli kalung memilih sendiri kalung hadiahnya di toko Koh
Acan. Pulang ke rumah, ia dengan riang
dan penuh kegirangan menunjukkan kalung tsb pada ketiga kakaknya yang kecuali
Aisyah ikut senang. Berdua mereka sempat
rebut masalah kalung sebelum dering telepon yang ternyata dari sang abi yang
sedang berada di atas kapal layar di tengah lautan menelepon. Saat ketiga saudaranya yang lain bergegas dan
bahkan saling berebut untuk berbincang
dengan abinya, Aisyah malah lari dan menangis di ruangan lain, umi Salamah yang
melihat mengejar dan mengajaknya bicara.
Pada sang Umi, ia mengaku bahwa ia iri pada Delisa yang diberikan kalung
yang jauh lebih indah dari miliknya dan dibalas sang Umi dengan sepucuk nasihat
untuk tidak menginginkan sesuatu yang bukan hak kita yang berakhir dengan
anggukan Aisyah.
Tepat
tanggal 24 Desember 2004 Umi Salamah mengantar Delisa untuk tes hafalan shalat
di sekolahnya. Keduanya nekat berangkat
meski bebrapa saat sebelumnya gempa cukup besar baru saja mengguncang wilayah
Lhok Nga. Dengan membawa calon kalung
berliontin huruf “D” untuk Delisa, keduanya mantap berangkat walaupun
sebelumnya Umi sempat khawatir setelah Zahra menangis dan ketakutan. Di sekolah, tibalah giliran Delisa
melaksanakan tes. Dengan berbekal
nasihat ustad Rahman seputar kekhusyuan yang dilandasi fokus, Delisa memejamkan
mata sambil berusaha fokus sehingga ia tak peduli pun terpengaruh dengan
suasana sekitar. Bhakan saat getaran
keras kembali terasa sampai-sampai menimbulkan luruhan bahan bangunan yang
disusul terjangan air yang menyapu daerah pesisir Lhok Nga khususnya, dan
daerah pesisir Aceh Timur umumnya. Ustad
Rahman, teman-teman Delisa berikut orang tuanya panic dan berusaha sekuat
mungkin mnyelamatkan diri, sementara Umi Salamah berusaha sekuat tenaga menuju
ke arah Delisa yang masih juga khusyuk.
Aceh dilanda Tsunami! Kabar Tsunami tersebut segera menyebar ke seluruh
penjuru dunia tidak terkecuali di kapal tempat Abi Usman bekerja. Tanpa menunda, segera ia pulang ke kampung
halamannya guna mencari kabar keberadaan sanak keluarganya.
Tidak
lama setelah insiden bencana alam yang sangat
besar ini bala bantuan dari berbagai penjuru dunia mulai berdatangan
termasuk pasukan Amerika dengan kapal laut besarnya dimana kapten Smith yang
akhirnya menemukan Delisa di suatu bukit berada. Pasca ditemukan, ia segera dilarikan ke rumah
sakit dan berada di bawah perawatan Dr. Sophie.
Sempat tidak sadarkan diri selama beberapa waktu, ia akhirya
siuman. Ditemani Smith dan Sophie, ia
mendapati kenyataan bahwa sebelah kakinya buntung! “waah..kaki Delisa terbawa
air” serunya, tenang tanpa rasa takut dan air mata. Malahan orang-oorang dewasa yang
mengelilinginya yang tak sanggup menahan tangisnya. Selama beberapa hari ke depan, ia dirawat dan
ditemani oleh kapten Smith yang bahakan telah menganggap Delisa sebagai anaknya
dan Dr. Sophie yang sangat ramah dan menyayangi Delisa. Mereka dengan sabar memabantu Delisa belajar
berjalan menggunakna tongkat, membecakan cerita, dan kegiatan-kegiatan lain uuntuk
Delisa.
Sementara
itu, Abi usman yang telah berhasil mencapai Lhok Nga dengan menumpang pada
pasukan pemasok bantuan mendapati tempat bermukimnya telah luluh lantak, ia
hanya bisa menemukan sisa ayunan yang biasa terpajang di teras rumah dan
dimainkan anak-anaknya. Dan, ia pun
kemudian hanya bisa menangis sambil memeluki sisa ayunan itu. Malam harinya ia mengunjungi tenda
pengunngsian dan mendapati sejumlah kerabat yang dikenalinya termasuk Abi-nya Umam dan Koh Acan yang masing-masing
membawa kabar duka seputar penemuan dan penguburan jenazah Fatimah serta Aisyah
dan Zahra. Adapun Umi Salamah, katanya
belum ada kabar. Begitupun Delisa. Lengkap sudah kesedihan Abi Usman mendapati
kabar kematian tiga akan gadisnya dan ketidakjelasan nasib anak bungsu serta
istri yang dicintainya. Bukan hanya Abi
usman yang banyak kehilangan. Umam,
teman Delisa yang dikenal badung mesti kehilangan kakak-kakanya dan Uminya,
malah kawan karib Delisa lainnya ikut terenggut nyawanya bersama keluarganya.
Keesokan
harinya, gambar tulisan tangan Delisa saat ditanyai seputar kerabatnya oleh
Sophie di Rumah Sakit dipajang di papan pengumuman. Abi-nya Umam yang melihatnya segera
memberitahukan abi Usman perihal hal tersebut.
tanpa meunggu lama, segera ia menuju rumah sakit. Secercah kelegaan membuncah tatkala ia
menyaksikan putri bungsunya masih bisa bernafas dan tersenyum kepadanya. Delisa dan Abi Usman pun berpelukan
disaksikan Smith dan Sophie. Semalaman
abi Usman menemani Delisa sampai ia dinyatakan bisa pulang. Dengan digendong di pundak sang ayah, Delisa
pun akhirnya kembali menyaksikan situasi desanya yang telah jauh berubah. Ia yang telah mengetahui ihwal keberadaan
kakak-kakak serta kebelumjelasan nasib sang bunda, ditambah perihal kaki yang
ia anggap terbbawa air ternyata memang sengaja dipotong akibat kakinya terluka
dan membusuk. Tanpa banyak mengeluh, ia
manut ketika sang ayah mengajaknya kembali ke rumah yang hanya tinggal puing
dan menyisakan satu foto sang ibu. Tak
lama akhirnya di bekas rumahnya itu berdiri sebuah bangunan sangat sederhana yang lebih layak desebut
pondok daripada rumah tanpa penutup di bagian depannya tempat bagi ayah anak
yang kini sebatang kara ini berteduh.
Abi
Usman mulai berperan sebagi ayah sekaligu ibu bagii Delisa. Ia memasak, mencuci baju, dan mengurusi semua
keperluan delisa. Berkali-kali Delisa
memilih makan masakan dapur umum yang dianggap lebih layak makan dibanding
buatan ayahnya yang tak karuan.
Berkali-kali pula ia membandingkan masakan abi dan uminya yang dinilai
kalah jauh. Berkali-kali berusaha, berkali-kali
dibandingkan, kontan suatu waktu ia tak kuasa membentak sang anak sampai-sampai
ia ngambek dan melarikan diri ke kamp pengungsian. Disana, ia kemudian diberi semangkuk mie koh
Acan yang sangat Lezat bahkan dengan isengnya ia mengumumkan tentang kelezatan
mie koh Acan yang mengundang perhatian para pengungsi lainnya.
Delisa
di tengah berbagai keterbatasan, penderitaan, kehilangan yang menimpanya,
Delisa masih belum kehilangan senyum dan keceriaannya sebagi anak kecil. Ia masih bisa bermain bola dengan riangnya
meski harus memakai tongkat, ia tak
pernah lupa mengunjungi pemakaman masal tempat kakak-kakaknya dimakamkan sambil
menceritakan sejumlah hal pada mereka.
Ia masih rajin mengafal bacaan shalatnya. Ia masih bisa tersenyum manis pada semua orang
tanpa mengeluhkan nasibnya. Ia begitu
tegar dan tabah hingga suatu waktu air matanya tak mmampu terbendung tatkala
menndapati masa tugas Smith dan Sophie telah berakhir sehingga mereka harus
segera kembali ke negara asalnya masing-masing.
Di masa perpisahan, Sophie, sempat memberikan kalung berinisial ‘s’ yang
ditolak Delisa dengan alasan “’S’ di kalung itu untuk Sophie, bukan untuk
Delisa” katanya, dan akhirnya Sophie pun hanya memberinya cokelat. Delisa melampiaskan rasa kecewanya di pantai,
ia meneriakkan akumulasi kekesalan, kemerahan, kekecewaan, dan kesedihanya
ditengah deburan ombak. Malamnya
badannya panas sampai-sampai membuat abi Usman panic dan bergegas membawanya ke
dokter. Semua orang yang mendengar kabar sakitnya Delisa
berdatangan ke rumah sakit sampai-sampai memenuhi ruangan tempatnya
dirawat. Hal tersebut membuktikan bahwa
semua orang menyayanginya, dan hal itu akhirnya mengembalikan senyum, semangat,
keceriaan, dan kepercayaan Delisa bahwa masih banyak orang yang menyayanginya.
Hari
berlalu, Delisa bersiap mengahadapi tes bacaan shalat yang sempat tertunda
itu. Suatu hari, ia malah mendapat
sepaket cokelat kiriman Sophie yang disertai fotonya yang telah berjilbab. Hubungannya dengan Umam yang jahil itu pun
makin menghangat. Masakan sang abi mulai
bisa dimakannya, “kurang garam saja, bukan tidak enak”, katanya. Hari H tes bacaan shalat pun tiba dan Ust
Rahman mengumumkan bahwa nilai ujiannya sempurna. Delisa dan abi Usman pun mengucap
syukur. Umi salamah pun akhirnya akhirnya ditemukan kangsung oleh Delisa
dengan sebagian besar badannya terkubur di tengah lautan pasir di pantai sambil
memegang erat kalung berliontinkan huruf “D”
milik Delisa. Sayang, ketika
ditemukan ia tak lebih dari jasad yang mulai membeku. Akhirnya, Delisa dan abi-nya menjadi
benar-benar sebatang kara. Di penghujung
film, mereka berjalan bergandengan di tepi pantai mendekati deburan riak ombak
sambil merenungkan kejadian yang telah menimpanya. “Abi, kita pindah saja,
Delisa benci pantai” pinta Delisa. Selanjutnya ia menjelaskan perihal bencana
besar yang ia tuding sebagi biang kerok perenggut keluarganya saat ditanya
alasan oleh sang abi. Dengan bijak sang
abi berusaha menerangkan bahwa semua yang mereka alami adalah ujian untuk
meningkatkan derajat hidup dan keimanan mereka menjadi lebih dan lebih
tinggi. Sang anak pun kemudian digendong
dan diputarnya sebelum ersama-sama mereka menyanyikan lagu kasih ibu.
*****
My Own Review
Well,
sebelum nonton film ini, penulis lebih dahulu nonton film Garuda di Dadaku 2,
yang diluar ekspektasi penulis mampu memancing air mata penulis. Makanya, ekspektasi penulis terhadap film ini
jauuuuuuuuuuh bakal lebih mengahru biru dan semakin mengobok-obok perasaan
penulis pun menguras air mata secara genre-nya saja sudah melodrama gitu plus
latar belakang ceritanya yang Tsunami Aceh.
Tapi ehh tapi sejak film diputarkan di awal sampai akhir, seingat
penulis hanya beberapa tetes air mata yang menyeruak dari mata penulis di satu
adegan. Adegan itu pun bukan saat adegan
yang melibatkan Delisa sebagai sang tokoh utama, namun saat temannya yang
badung, Umam, “tobat” di atas makam kakak-kakanya. Di luar itu entah mengapa sekalipun adegannya
sudah sangat-sangat mengahru biru dan membuat penulis terenyuh, namun mata ini
sama sekali tidak basah, aneh! Secara
umum penulis sih suka ya apalagi ada aa Reza-nya, namun ada beberapa hal yang
sangat-sangat menganggu terutama masalah spesial efek yang masih kasar sehingga
kentara sekali ketidaknyataannya.
Berikut hal-hal yang mengganggu sekalligus memancing tawa penulis:
· Spesial efek pas Tsunami, dari mulai
reruntuhan bangunan sampai pas air menerjang, bersa lagi nonton soinetron di
salah satu TV swasta dh yang suka ngehadirin spesial efek model begitu.
· Spesial efek pas kapal induk Amerika
yang membawa kapten Smith ceritanya akan merapat ke pelabuhan, aduh maak
keliatan yah itu lautnya Cuma efek..hehe
·
Bahasa Inggrisnya Abi Usman, gak
begitu ganggu sih tapi lucu aja
· Tulisan tes bacaan shalat di papan
tulis sekolah Delisa “TEST Bacaan Shalat”, kata “TEST”-nya itu loh, emaak
English sekali..(gaatau deh ada yang juga merhatiin atau gak, tapi kayaknya ga
dehh..)
· Pasangan Reza Rahardian-Nirina!
Bukan karena penulis gak suka sama mbak Nirina, hanya saja bagi penulis
keduanya kurang pas dipasangkan, tapi untungnya mereka gak pernah dipertemukan
dalam satu scene yaa jadi penulis masih bisa enjoy nontonin aa Reza-nya. haha
Tapi,
jangan khawatir disamping hal-hal yang sangat menggangu itu, penulis juga punya
donk hal-hal yang bikin penulis kesengsem yaitu:
· Soundtrack lagu ibu-nya Rafly,
uhh…mendayu-dayu sekali.
· Setting daerah tempat tinggal Delisa
di Lhok Nga, terutama rumah Delisa-nya, apalagi pas di malam hari..indahnya,
kecil, sederhana namun hangat dan bersahaja.
(masih kebayang adegan pas ibu dan keempat abnaknya duduk-duduk di teras
rumah di tengah malam yang cerah.
· Pastinya tokoh abi Usman, emm….lebih
tepatnya pemeran abi Usmannya. Heheh
Umm…apalagi
yaa, yang ganggu udah, yang bikin suka udah, sekarang ganggu sih gak ya tapi
bikin iri adalah si Cantiq tuh, kalau boleh milih mau jadi siapa di film ini,
penulis akan lantang memilih kaarakter DELISA! Kenapa? Biar bisa dihujani
ciuman dari Abi Usman! Hahaha.
Well,
overall, di luar efek-nya yang jujur ya masih sangat belum bagus sehingga
ganggu, film ini layak tonton. Dari
delisa kita bisa belajar makna Ketegaran dan ketabahan. Tegar kehilangan sebelah kakinya, tegar
kehilangan keluarga yang dicintainya, tegar kehilangan tempat tinggalnya. Meskipun Tsunami telah merenggut banyak hal
mulai dari sebelah kakinya, Tiur sahabatnya, ketiga kakak dan Uminya, tempat
tinggalnya, semangat para tetangganya juga warga Aceh, namun Delisa tidak
pernah kehilangan senyum dan semangatnya untuk terus menghafal bacaan
shalatnya. “Wah, kaki Delisa terbawa
air” ucapnya polos tanpa meneteskan
setitik air mata pun ketakutan..