Akhirnya bulu tangkis
berhasil menyumbang lima dari tujuh emas yang diperebutkan pada cabor Bulu
Tangkis SEA Games XXVI. Setelah sempat
kehilangan emas perdana pada partai beregu putri, akhirnya tim putra menuntaskan
kepenasaran akan perolehan medali emas SEA Games. Indonesia mengungguli
Malaysia 3-1 di final beregu putra yang diselenggarakan 15 November lalu.
Poin Indonesia diperoleh
melalui dua tunggal dan satu ganda.
Simon sukses merebut poin pertama bagi Indonesia setelah mengalahkan Daren
Liew dengan straight set di partai pertama.
Sayang di partai kedua, Malaysia berhasil menyamakan kedudukan setelah Wah Lim Khim/Goh Wei Shem berhasil
mempercundangi M. Ahsan/Bona Septano dalam tiga set. Beruntung, TommySugiarto yang bermain sebagai
tunggal kedua berhasil mengatasi perlawanan Mohammad Arif melalui pertandingan
dua set. Markis Kido/Hendra Setiawan
yang bermain di partai keempat menjadi penentu kemenangan setelah tanpa
kesulitan berarti berhasil menerkuk ganda Malaysia Mak Hee Cun/Ong Soon Hook dua
set langsung. Kemenangan peraih emas
Olimpiade Beijing ini mem perbesar keunggulan Indonesia menjadi 3-1 atas
Malaysia sekaligus memastikan emas pertama dari cabang olah raga bulu tangkis
bagi kontingen Ondonesia di ajang SEA Games XXVI Palembang. Telur pun terpecahkan!
4
Emas dari Nomor Perorangan
Gelar pertama dari beregu
putra itu kemudian diikuti empat gelar lainnya di nomor perorangan melalui
Tunggal Putra (MS) dan tiga nomor Ganda (Putra, Putri, Campuran). Di final yang digelar tanggal 19 November
lalu ini, Indonesia sebenarnya menempatkan semua wakilnya di nomor final,
bahkan dua partai diantaranya terjadi sesama pemain Indonesia, namun sayang
harapan untuk menyapu bersih gelar pupus setelah gelar tunggal putri berhasil
dicuri Singapura.
All Indonesia Final! :))
Dua partai final pertama
dibuka oleh pertarungan sesama pemain Indonesia. Uniknya dua partai ini bukan hanya
mempertandingkan duel ganda, melainkan juga duel senior-junior. Anekke/Nitya yang merupakan pemain penganti
ganda utama Indonesia, Greysia Polii/Meiliana Jauhari yang cedera, berhasil
menyempurnakan penampilan impresifnya sejak awal babak penyisihan beregu. Di final mereka sukses menghempaskan
perlawanan seniornya Vita Marisa yang berpasangan dengan pemain muda Nadya
Melati dua set langsung. Partai lain
yang juga mempertandingan All-Indonesia-Final yakni ganda putra. Uniknya, partai ini lebih dari sekedar
pertarungan senior-junior, namun lebih jauh pertandingan ini bisa diilang
perang saudara antara abng-adik. Markis
Kido/Hendra Setiawan yang sedang mengemban misi perburuan gelar keempatnya di
ajang SG ditantang sang adik Bona Septano yang berpasangan dengan M. Ahsan di
partai kedua. Tanpa perlawanan berarti
akhirnya sang junior berhasil mengalahkan seniornya dalam dua set.
Sementara partai ketiga
mempertandingkan sektor Ganda Campuran, dimana Tontowi/Liliyana yang diunggulkan
di tempat pertama berhasil mengatasi perlawanan ganda Thailand Sudket
Prapakamol/Saralee Thoungtongkam dua set langsung. Partai keempat mempertemukan Firdasari,
tunggal andalan Indonesia, berhadapan dengan tunggal Singapura Fu Mingtian,
yang sayangnya berkesudahan emas bagi Singapura melalui pertandingan ketat tiga
set. Firda yang bermain menekan di babak
pertama mengalami penurunan permainan di babak kedua yang berlanjut hingga
babak penentuan karena cedera otot yang tiba-tiba dialaminya sekalipun ia telah
berusaha semaksimal mungkin memberikan perlawanan di set penentu itu. Beruntung, kekalahan Firda tsb tidak
mempengaruhi performa sang juara bertahan tunggal putra SEA Games, Simon
Santoso. Di final, ia berhasil
mempertahankan gelarnya setelah mengalahkan tunggal Thailand Tanongsak
Saensomboonsuk dengan stright set.
Juara
Umum
Dengan tambahan empat gelar
dari nomor perorangan itu, total cabor bulu tangkis Indonesia menyumbang lima
emas bagi kontingen Indonesia di ajang SEA Games XXVI, Palembang. Perolehan lima emas tersebut melampaui target
empat emas yang dicanangkan oleh PBSI sebelum perhelatan SEA Games ini. Selain itu perolehan lima medali emas ini
mengantar Indonesia menjadi juara umum di cabor ini, pasalnya Indonesia hanya
kehilangan dua dari tujuh emas yang diperebutkan, yakni di nomor beregu putri dan
tunggal putri.
Hasil mayor ini tentu saja
menjadi jawaban tersendiri bahwa badminton Indonesia masih sangat besar
sumbangsihnya bagi dunia olah raga Indonesia.
Hasil mayor Indonesia mesti diakui tidak diperoleh melalui perjuangan
yang begitu susah payah mengingat beberapa pemain unggulan dari Malaysia dan
Thailand tidak ambil bagian di ajang SG kali ini. Namun demikian, Indonesia pun melahirkan
calon pemain unggulan masa depan semisal Anekke/Nitya dan Tommy Sugiarto. Keduanya memang bukan pemain baru sebenarnya,
namun selama ini prestasi interansional yang masih terbatas dan usia mereka
yang relatif masih muda membuat mereka kalah menonjol dengan para seniornya. Semoga SEA Games ini merupakan langkah awal
bagi para atlet muda kita, atlet masa depan, menapaki awal kesuksesan karier
olah raga mereka.
Titel juara umum cabor
Badminton SEA GAMES XXVI ini sekali lagi menjadi pertanda bahwa Indonesia masih
sangat berpeluang dan mampu berprestasi di cabang ini sekalipun saat ini
prestasinya di level kejuaraan internasional sedang mengalami penurunan. Selamat pada para pasukan bulu tangkis
Indonesia, semoga prestasi ini bisa dipertahankan bahkan bila mungkin
ditingkatkan bukan hanya di SEA GAMES mendatang, melainkan juga di level yang
lebih tinggi seperti ASIAN GAMES hingga Olimpiade. Selamat atas kesuksesannya saaat ini, jangan
berhenti berprestasi hingga batas tetes keringat terakhir, MAJU TERUS BULU
TANGKIS INDONESIA! J
Seperti sudah menjadi tradisi bahwa tim bulu
tangkis Indonesia selalu menyumbang medali sejak keikutsertaannya dalam multi
event baik dari skala regional terkecil seperti SEA GAMES (SG) hingga sekala
terbesar Olimpiade.Meski hanya sekeping,
namun itu tadi, selama ini cabor yang telah menelurkan banyak atlet kelas dunia
belum pernah absen menumbangkan medali emas.Bukan bermaksud menganaktirikan cabor lain, hanya saja memang
berdasarkan fakta sejarah membuktikan bahwa hingga saat ini memang baru bulu
tangkis yang mampu konsisten membuat Indonesia Raya berkumandang hingga level
Olimpiade.Adapun cabor Perahu Naga yang
Berjaya di ASIAN GAMES (AG) Guang Zhou dua tahun lalu dengan tiga emas nya,
masih belum mengukir prestasi di Olimpiade, mungkin di Olimpiade London tahun
depan, kita doakan saja.
Kembali ke bulu tangkis, terakhir di ajang
serupa (SG Laos) Indonesia berhasil memperoleh
dari 7 emas yang diperebutkan, satu tahun sebelumnya di Olimpiade
Beijing, satu emas berhasil dipersembahkan pasangan Markis Kido/Hendra Setiawan
di ganda putra setelah mengalahkan ganda Cina Cai Yun/Fu Haifeng, dan prestasi
membanggakan keduanya kembali diulangi di AG Guang Zhou setelah di final mampu
mengetasi perlawanan ketat ganda Malaysia Koo Kien Kiet/Tan Boon Heong. Memang saat ini prestasi bulu tangkis kita
tengah terpuruk (meski berat mengatakannya, namun memang itulah kenyataannya),
terbukti dengan sedikitnya gelar yang mampu diraih dari ajang super series
dalam beberapa tahun terakhir, terkhusus tahun ini. Belum lagi mandeknya prestasi kita di ajang
kejuaraan beregu baik Thomas, Uber, ataupun Sudirman Cup. Sedah berapa lama Thomas hengkang dai bumi
pertiwi ini? Sudah berapa dekat usaha kita untuk kembali “mencuri” Uber ke
tanah air? Dan kapan kita mampu memulangkan Piala Sudirman, yang sejak diraih
pertama kali tahun 1989 lalu dan hijrah dua tahun kemudian, belum juga kembali
ke tanah air ini?
Beruntung, dengan semakin terpuruknya
kondisi bulu tangkis tanah air yang disebabkan oleh beberapa faktor termasuk
faktor utama yang terus menjadi momok sejak dulu : REGENERASI, setidaknya para
atlet bulu tangkis kita masih mampu berbicara banyak di ajang multi event yang
sarat gengsi. Iya, ajang multi event
bukan lagi semata untuk membuktikan seberapa tangguh dan hebatnya seorang
atlet, lebih jauh menyinggung gengsi antar bangsa. Memang, dalam dunia olah raga, sportivitas
amat dijunjung tinggi karenanya meski bersaing satu sama lain, unsur
kebersamaan dan perdamaian tetaplah menjadi isu utama yang diusung dalam ajang
tersebut.
Kesempatan meraih emas pertama di cabor
bulu tangkis, sayang sekali akhirnya mesti dikubur dalam-dalam setelah tim
beregu putri kita yang diunggulkan di tempat kedua dipaksa mengakui keunggulan unggulan
pertama Thailand 3-1. Sempat menyamakan
kedudukan 1-1 di partai kedua melalui ganda Anneke/Nitya yang sukses
menghempaskan perlawanan Duanganong Aroonkesorn/Kunchala Voravichitchaiku dalam straight set, Indonesia akhirnya
mesti takluk setelah Vita/Lili gagal membendung perlawanan Savitree Amitrapai/Saralee Thoungthongkam di
poin-poin terakhir yang mendebarkan setelah di partai sbelumnya Inthanon,
tunggal masa depan Thailand yang tengah bersinar, berhasil mempecundangi
tunggal kita, Firdasari, dalam tiga set.
Di satu sisi kegagalan ini bisa dimaklumi mengingat lawannya, Thailand,
diunggulkan di tempat teratas. Akan tetapi
di sisi lain kekalahan ini menjadi menyakitkan mengingat Indonesia yang mesti
diunggulkan di tempat kedua sesungguhnya diuntungkan dengan statusnya sebagai
tuan rumah yang tentu saja mendapat dukungan penuh penonton yang sering kali
menjadi “musuh” lain bagi tim lawan. Sangat
disayangkan para pemain putri kita tidak bisa memanfaatkan dukungan yang
teramat besar dari para supporter Indonesia tsb.
Terlepas dari kegagalan tim putri kita,
mari kita berharap target 4 dari 7 emas yang disediakan di cabor tepak bulu ini
bisa tercapai, termasuk salah satunya disumbangkan para pahlawan kita di beregu
putra, sekaligus menegaskan kembali dominasi Indonesia di ranah bulu tangkis
Asia Tenggara. Apalagi, di SG kali ini,
Malaysia tidak diperkuat para pemain utamanya seperti Lee Chong Wei (LCW) dan
Koo Kien Kiet/Tan Boon Heong yang fokus pada Olimpiade London tahun depan. Maka, akan sangat tidak wajar dan sulit untuk
dimaklumi jika kemudian Indonesia kembali gagal menyumbangkan emas di sektor
putra ini. Apalagi keuntungan Indonesia
di sini berlipat tidak hanya karena pemain inti Malaysia tidak hadir, tetapi
juga karena status Indonesia sebagai tuan rumah, sebagaimana di tim putri. Pokoknya, tim beregu putra Indonesia WAJIB MENANG
dan MENYUMBANG EMAS no matter what!
Anneke/Nitya yang bermain bagus di beregu
Jika satu emas sudah pasti diraih melalui
beregu putra ini, tiga peluang emas lainnya tentu akan diperjuangkan dari sektor
perorangan. Tiga sektor yang menurut
penulis berpeluang mempersembahkan emas menilik dari hasil pertandingan di
beregu dan lawan yang ambil bagian yaitu ganda putra, ganda putri, dan ganda
campuran. Ganda Putra Indonesia dengan
M. Ahsan/Bona Septano serta juara Olimpiade dan AG-nya, Markis Kido/Hendra
Setiawan sepertinya sangat berpeluang meraih emas andai saja bisa bermain
konsisten dan mengeluarkan kemampuan terbaik, bahkan peluang untuk menciptakan
all-Indonesia-final bisa terjadi seandainya hasil drawing tidak mempertemukan
mereka dalam satu pool. Untuk di sektor
putrinya, sebenarnya Indonesia akan menghadapi lawan tangguh ganda Thailand dan
Malaysia, namun menilik permainan Anekke/Nitya di beregu kemarin penulis cukup
optimis mereka mampu menghasilakan prestasi terbaik sekaligus menaikkan kembali
pamor dan moral sektor Ganda Putri Indonesia dengan syarat mereka mampu
memepertahankan permainan mereka seperti kemarin. Sementara di Ganda Campuran, penulis rasa,
Tontowi/Liliyana masih cukup tangguh jika bermain dalam kondisi normal, adapun
lawan terberatnya adalah ganda nomor satu Thailand.
Inthanon, tunggal masa depan Thailand
Sementara dua emas tersisa, setelah satu
emas resmi menjadi milik Thailand, bisa jadi menjadi milik Thailand lagi dan atau
Malaysia. Di tunggal putri, emas seharusnya menjadi milik Ithanon
Ratchanok, kalaupun ada perlawanan pasti berasal dari para pemain tuan rumah yang tentu ingin mempersembahkan yang terbaik di depan publik sendiri. Sedangkan di tunggal putra, penulis tidak
begitu bisa memprediksikan siapa yang akan meraih emas, para tunggal Indonesia
sangat berpeluang merebut emas disini, namun tunggal negara lain seperti Malaysia,
Thailand, dan bahkan Vietnam pun juga berpeluang menyabet emas di sektor
ini. Tapi, ya semua itu hanyalah
prediksi penulis dari kaca mata seorang pecinta sekaligus pengamat amatir bulu
tangkis. Adapun hasil di lapangan nanti
akan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk faktor non teknis semacam
penonton, mental pemain, stamina, kondisi lapangan (arah angin), dan faktor non
teknis lainnya.
Bagaimanapun hasil akhirnya nanti, berapa
total emas yang akan diraih Indonesia dari cabor spesialis penyumbang emas di
multi event internasional ini dan siapa yang akan meraihnya, tidak lagi menjadi
begitu penting asal cabor ini kembali menyumbang emas. Okay, total emas yang diperebutkan di cabor
ini memang hanya tujuh, jauh lebih sedikit dibanding cabor lain semacam
atletik, renang, dayung, serta bela diri yang memperebutkan puluhan keeping emas. Artinya, maksimal cabor ini hanya akan mampu
menyumbang tujuh (enam mengingat satu sudah remi milik Thailand) dari 155 emas
yang ditargetkan, artinya hanya sekitar 3-4% saja kontribusinya terhadap
perolehan emas total Indonesia nantinya.
Bandingkan dengan sepatu roda yang menyapu bersih 12 emas, taekwondo
yang berhasil mengumpulkan 10 emas (dua kali lipat dari target yang hanya 5),
pun cabor lain seperti Dayung yang semakin banyak menyumbang medali hingga hari
keempat SG ini. Namun, satu hal yang
mesti dicatat, belum lengkap rasanya bila dari sekian emas yang berhasil diraih
Indonesia tidak ada satu pun yang disumbangkan dari cabor BULU TANGKIS. Bagaimanapun, emas dari cabor ini bukan lagi
semata demi memperkaya raihan emas Indonesia, melainkan lebih jauh lebih kepada
mempertahankan tradisi. Sekali lagi, tanpa
emas dari cabor bulu tangkis, raihan emas Indonesia, bagai penulis pribadi,
tidaklah lengkap. Maka, ayo dukung bulu
tangkis Indonesia agar bisa mempersembahkan yang terbaik dan meraih hasil
maksimal di ASG ini, AYO INDONESIA BISA!
J
Emas
pertama Badminton yang diharapkan mampu disumbangkan oleh tim beregu Putri
Indoneisa akhirnya harus kandas setelah Ganda Kedua, Vita Marisa/Liliyana
Natsir menyerah dari ganda Thailand Savitree Amitrapai/Saralee
Thoungthongkam21-19,
16-21, 24-22 di partai keempat. Dalam
tiga partai sebelumnya, Thailand memimpin 2-1 melalui dua tunggalnya Prontip
dan Inthanon yang masing-masing mengalahkan Lindaweni dan Firdasari, sementara
kemenangan Indonesia disumbangkan ganda pertama Anneke Agustine/Nitya
Khrisninda Maheswari yang mengalahkan Duanganong Aroonkesorn/Kunchala
Voravichitchaiku dengan straight set. Kekalahan
yang cukup menyesakkan bagi pecinta Badminton Indonesia, terkhusus mereka yang
hadir dan memebrikan dukungan langsung di ISTORA, terlebih setelah Vita/Lili
sempat mendapat beberapa kali kesempatan game point.
Tim Bulu tangkis Putri Thailand Memamerkan Medali Emasnya
Kekalahan
ini bagi penulis pribadi sebagai pecinta badminton tentu sama sekali tidak
menyenangkan, namun untuk dikatakan menyakitkan pun sebenarnya tidak terlalu
karena pada dasarnya hasil ini untuk saat ini bisa dikatakan sebagai hasil terbaik.
Sedari awal, Indonesia memang diunggulkan di tempat kedua di bawah
Thailand, sang peraih emas. Penentuan
posisi unggulan ditentukan oleh akumulasi peringkat para pemainnnya. Jika kemudian kita berada di peringkat kedua,
artinya secara keseluruhan peringkat pemain kita berada di bawah pemain
Thailannd. Fakta ini sedikit banyak membuktikan bahwa hari ini
prestasi Badminton Indonesia, khususnya di sektor putri, belum bisa kembali
setangguh dahulu bahkan tidak lebih tangguh dari era Piala Uber lalu. Postingan ini penulis buat sama sekali bukan
untuk kepentingan provokasi atau lebih jauh untuk menebar pesimisme serta
bentuk sinisme pada Badminton Indonesia.
Pasangan Senior, Vita Marissa/Liliyana natsir yang kembali berpasangan setelah cukup lama "berpisah"
Sungguh,
penulis adalah salah satu pecinta badminton Indonesia yang telah tersihir oleh
permainan para atlet sejak era Taufik Hidayat baru menginjak usia sweet
seventeen. Penulis masih ingat betapa
antusianya penulis menyaksikan partai menegangkan antara aa Opik dengan pemain Cina
di partai kelima set ketiga Thomas Cup, partai penentuan yang akhirnya
Alhamdulillah dimenangkan aa Opik sehingga lagu Indonesia Raya pun
berkumandang. Ada sebuncah kebahagiaan
yang mengaliri dada ini, aahh…betapa membahagiakannya masa-masa itu. Kalau tidak salah ingat, saat itu tahun 1998,
ketika penulis masih duduk di kelas 3 SD.
Opik, yang kala itu masih sangat muda, tengah on fire on fire nya hingga
ia meraih emas di Olimpiade Athena 2004 dan ASIAN GAMES Doha 2006. Penulis pun masih terngiang masa-masa
kejayaan ganda campura Nova/Lili, mulai dari awal mereka dipasangkan hingga
mencapai masa jayanya dan kini telah “diceraikan” dan punya pasangan
masing-masing. Lili, yang dulu sempat
main di ganda putri juga, kini hanya fokus di ganda campuran berpasangan dengan
pemain muda Tontowi Ahmad. Sementara
Nova, kini telah “rujuk” dengan pasangan lamanya, Vita Marisa. Pun begitu dengan regenerasi di sector ganda
putra mulai dari era Chandra Wijaya/Sigit Budiarto, Alvent Yulianto/Luluk
Hadiyanto, Markis Kido/Hendra Setiawan, hingga era Mohammad Ahsan/Bona Septano.
Kembali ke hasil Final Badminton Beregu Putri SG XXVI, hasil ini bagi
penulis pribadi menjadi suatu bukti shahih bahwa badminton, olah raga
kebanggaan masyarakat Indonesia, kini tengah mengalami penurunan prestasi yang
jika dibiarkan akan membuat badminton Indonesia, terutama di sector putri,
semakin terpuruk.Apalagi kini banyak
negara-negara Asia dan bahkan Eropa yang sudah mulai menyeriusi cabor yang satu
ini.Belum lagi Cina yang semakin
superior dan makin sulit ditembus oleh negara lain disertai massif dan rapatnya
regenerasi pemain badminton Cina.Jangankan
dalam wilayah yang luas semisal Asia atau Dunia, untuk skala dan regional lebih
sempit, di tingkat ASEAN ini saja, kita sekarang ini sudah mulai terlewati oleh
Malaysia dan Thailand.
Tim Beregu Putri Thailand, peraih emas bulu tangkis beregu putri
Yah,
meskipun emasnya meleset dan berganti oleh perak, namum bagi penulis hal ini
patut disyukuri. Bagaimanapun
sebagaimana telah disinggung berulang kali di atas oleh penulis, kita tidak
boleh menutup mata bahwa kini prestasi Badmintonn kita, khususnya di sector
putri sedang menurun. Sekali lagi, ini
bukan bentuk sinisme atau pesimisme penulis.
Sebaliknya, postingan ini dibuat sebagai bentuk kepedulian penulis akan
prestasi Badminton tanah air sebagai cabor andalan Indonesia sekaligus favorit
bersama sepak bola. Bagi penulis
kekalahan beregu putri kali ini bukan untuk diratapi terlalu lama atau bahkan
dicaci maki, sama sekali bukan.
Kekalahan ini mesti dijadikan evaluasi bagi PBSI sebagai Pembina
langsung Badminton tanah air serta penyadaran bagi rakyat Indonesia bahwa olah
raga ini mulai pudar kejayaannya sehingga penting bagi seluruh pihak untuk
bekerjasama antara PBSI, atlet, masyarakat, serta media demi kembalinya kejayaan Badminton tanah air. AYO INDONESIA BISA! J
Tidak
terasa, Sea Games, hajatan Olah Raga terbesar se-Asia Tenggara akan dibuka
seara resmi hari ini di Stadion Jaka Baring Palembang. Dalam penyelengaraannya yang ke-XVIII ini
Indonesia memang terpilih menjadi tuan rumah bersama ibu kota, Jakarta. Kepercayaan ini tentu saja tidak disia-siakan
oleh pemerintah Indonesia terbukti dengan sigapnya Indonesia untuk berbenah
dengan merenovasi hingga membangun sejumlah venue pertandingan dan banyak
fasilitas lain termasuk wisma atlet. Yang
terakhir malah paling ramai diperbincangkan beberapa waktu yang lalu. Bukan, bukan masalah sudah berapa persen
bangunan tersebut selesai dan siap guna, bukan pula seputar fasilitas penunjang
yang disediakannya, namun masalah dibalik pembuatannya yakni kasus korupsi yang
melibatkan sejumlah nama termasuk mantan Putri Indonesia yang kini mejadi
politikus Angelina Sondakh dengan aktor utamanya mantan Bendahara Partai
Demokrat, M. Nazaruddin, yang bahkan sempat kabur hingga Kolombia dan ditangkap
disana. Sungguh ironis, di tengah
semakin dekatnya multi-event dua tahunan regional ASEAN ini digelar, bukannya
seberapa jauh persiapan atlet kita demi meraih prestasi maksimal dan
mengharumkan nama bagsa di negeri sendiri ataupun persiapan venue dan fasilitas
penunjang lainnya, publik justru dijejali berita seputar kasus korupsi wisma
atlet yang semakin hari semakin banyak aktor yang dilibatkan sampai-sampai
merembet ke isu pembubaran KPK!
Wisma Atlet Palembang yang penuh kontroversi itu..
Tapi,
yasudah lah ya, untuk saat ini lupakan dulu Nazaruddin, lupakan dulu kasus
Wisma Atlet, mari kita fokus pada persiapan para atlet dan target prestasi yang
akan dicapai. Sebagai tuan rumah, tentu
saja Indonesia menargetkan menjadi juara umum atau minimal menembus tiga besar
(target yang wajar dan relaistis serta sering kali berhasil diwujudkan tuan
rumah meski kadang terasa agak *ajaib*).
Dan, hal itu sangat mungkin diwujudkan oleh Indonesia sejalan dengan
jargonnya “Ayo Indonesia Bisa!”
Terget
juara umum dinilai Rita Subowo, ketua KONI-KOI Pusat, dinilai sangat
realistis. Dan, masih menurutnya, Indonesia
menargetkan mendulang emas dari sejumlah cabang olah raga yang dinilai
potensial sebagaimana dikutip dari situs vivanews.com berikut:
"Itu target yang
sangat realistis. Banyak cabang olahraga yang potensial medali emas bagi
Indonesia. Kami punya Angkat Besi, kami juga kuat di Badminton, Paragliding.
Open Water Swimming juga bagus. Terus kami juga punya Karate, Taekwondo, Wushu,
Pencak Silat dan ada beberapa cabang lain yang memang di atas kertas
diunggulkan,"
Sementara
target perolehan emasnya, Indonesia menargetkan mampu menguasi seperempatnya,
masih sebagimana yang dikatakan oleh Ibu Rita Subowo masih di laman
vivanews.com:
"Keseluruhan itu
ada 545 medali. Paling tidak, kita harus dapat 25 persen atau lebih dari
keseluruhan jumlah tersebut. Jadi kita kira-kira harus mendapatkan sekitar
145-150 medali emas untuk bisa berada di posisi aman menjadi juara umum,"
ujar Rita.
Bila diamati
berdasarkan target yag dicanangkan Indonesia menurut Ibu Rita tersebut, Indonesia
masih bertumpu pada cabag-cabang olah raga unggulan seperti Badminton, pencak
silat, serta angkat besi. Di luar
ituyang rutin mneyumbangkan emas biasanya dari cabang bola Voli, baik indoor
ataupun autdoor (voli pantai). Selain itu,
jangan lupakan cabang perahu naga dan olah raga dayung (kano. Kayak, dll) yang
mecatat prestasi gemilang di ASEAN GAMES Guang Zhou tahun lalu. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah
sekarang ini prestasi Indonesi di cabang unggulan, terutama di badminton tengah
menurun.
Maskot Remi Sea Games XXVI (sambil promo Komodo..hehe)
Prestasi badminton
Indonesia kini tidaklah sekuat dua tiga tahun ke belakang. Bukti sahihnya, hingga saat ini Indonesia
belum mampu lagi eraih gelar juara Super Series setelah terakhir meraihnya
melalui pasangan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir (Ganda Campuran) di Singapore
Open beberapa bulan ke belakang. Belum lagi
ancaman dari negara-negara seperti “Malaysia” sang musuh bebuyutan, Thailand
yang sedang berkembang pesat di sektor putrinya, hingga Vietnam yang mulai
menggeliat di kancah internasional terutama di sector tunggal putranya, tentu akan
cukup mempersulit Indonesia dalam perebutan medali emas. Meski demikian, Indonesia tetap berpeluang
besar mendulang banyak emas di cabang olah raga kebanggaan masyarakat Indonesia
ini. Dipungkiri atau tidak, saat ini
masyarakat masih memandang bulu tangkis sebagai cabang olah raga andalan
penyumbang emas di multi-event seperti ini maka tentu saja mereka akan berharap
banyak pada olah raga yang bermodalkan raket dan shuttlecock ini.
Selain itu,
masyarakat juga sedang menaruh harapan besar pada cabang sepak bola yang sudah
mulai dimainkan sejak tanggal 7 November lalu.
Di pertandingan perdananya, Indonesia yang tergabung di Grup kuat
bersama Thailand, Singapura, Malaysia, berhasil mengatasi perlawanan satu-satu
nya tim lemah di grup ini, Kamboja 5-1. Kemenangan
besar tersebut member secercah asa pada masyrakat Indonesia akan prestasi yang
akan diukir oleh tim asuhan Rahmad Darmawan ini. Siang ini saja, mereka akan melakoni
pertandingan kedua melawan Singapura yag dipertandingan perdananya melawan Malaysia
hanya bermain imbang 0-0 dan unggul 2-1 atas Kamboja di pertandingan
terakhirnya. Seharusnya, Indonesia bisa
bicara banyak mengingat secara stamina dan jadwal bertanding Indonesia relative
lebih diuntungkan mengingat Singapura baru saja hanya memiliki jeda waktu
istirahat satu hari sementara Indonesia tiga hari. Yah, kita do’akan saja semoga kali ini, di
rumah sendiri, timas U23 tidak mengulangi kenangan pahit TIMNAS Senior di ajang
Piala AFF akhir tahun lalu. Aamiin! :D
Di samping kedua
cabor tersebut, masyarakat Indonesia tentu masih menaruh harapan di cabor Voli
yang terakhir masih bisa menyumbangkan emas.
Dan, seperti yang telah disinggung di atas jangan lupakan cabor Perahu
Naga dengan tiga emasnya di Asean Games tahun lalu. Bahkan kini, tidak hanya di sector putra, sektor
putrinya pun diharapkan mampu menyumbangkan emas mengingat China yang menjadi
saingan utama meraka di Asean Games lalu, tidak mungkin terlibat disini. Cabor lain ynag juga sangat diharapkan bahkan
ditargetkan mendulang emas tentunya adalah cabang olah raga bela diri, terutama
Pencak silat, yang asli berasal dari Indonesia.
Tak lupa sektor angkat besi pun digadang-gadang akan menyumbang emas
terutama dari sektor putra dengan mengandalakan Eko Yuli sebagai lifter
andalannya.
Secara keseluruhan
Sea Games kali ini diikuti oleh seluruh negara ASEAN yang berjumlah 11 negara
(Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura,
Thailand, dan Vietnam) yang berlomba-lomba megumpulka medali emas terbanyak
dari sekitar 545 medali emas yang diperebutkan dari 44 cabang olah raga yang
dipertandingkan. Dengan sistem dua kota
yang menjadi tuan rumah ini menyebabkan ke-44 cabor itu dibagi menajdi 24 cabor
dipertandingkan di Jakarta, dan 22 lainnya di Palembang.
Stadion Jaka Baring, Venue Utama sekaligus Lokasi Pembukaan
Meski baru, akan
dibuka secara remi mala mini (11/11/11), namun dua cabor yakni sepak bola dan
sepak takraw telah memulai pertandingannya sejak beberapa hari lalu dan
kemarin. Olah raga kano dan kayak pun
sudah mulai bertanding, bahkan memperebutkan medali! Peluang yang amat sangat baik bagi kontingen
Indonesia untuk meraih emas pertama. Hem..jadi
penasaran negara manakah yang akan berhasil menjadi pemecah telur sang medali
emas? Mari bersama kita nantikan. Penasaran pula akan seberapa dan sebagaimana
spektakulernya pembukaan Sea Games XXVI malam nanti? Mari kita sama-sama
menjadi saksi dari perhelatan yang digelar di Stadion Jakabaring, Palembang
nanti malam. Mari bersama doakan yang
terabik bagi kontingen Indonesia, target juara umum sama sekali tidak
mengada-ngada dan sangat di depan mata, maka mari teriakan bersama “AYO,
INDONESIA BISA!” J
Adalah Arief (Sayev
Muhammad Billah), seorang pelajar SMP asal Madura terendus memiliki bakat
khusus di bidang Sains oleh ibu gurunya, Bu Tari (Revalina S. Temat). Arief tinggal bersama ayahnya (Lukman Sardi)
yang bekerja sebagai supir truk, sementara ibunya Salamah (Helmalia Putri)
sudah tujuh tahun ini merantau ke Singapura sebagai TKW. Sehari-hari, demi membantu bapaknya mencari
penghasilan Arief bekerja paruh waktu di bengkel dekat pasar sepulang sekolah.
Suatu hari, bu
Tari menawarinya mengikuti olimpiade sains.
Arief menolak dengan alasan nanti ia tidak bisa bekerja: Arief lebih
memilih bekerja ketimbang mengikuti olimpiade sains! Namun, bu Tari pun Tidak Menyerah begitu
saja. Ia mengiming-imingi Arief dengan
beasiswa yang mebuatnya tak perlu bekerja lagi.
Arief, yang awalnya bergeming pun, akhirnya menyerah juga pada ajakan
sang guru. Bahkan ia pun ditawari
bergabung dengan FUSI, lembaga Science yang dikelola oleh dua rekan Tari asal
JakartaPak Tio dan Mbak Desi (Ferry Salim dan Feby Febiola) yang senantiasa
menggojlok mereka yang berbakat di bidang science untuk disertakan dalam
Olimpiade Science Dunia. Arief, seperti
halnya dulu, masih saja menolak ajakan itu, namun setelah mencuri dengar
percakapan antara bu Tari dan Pak Tio yang menyinggung-nyinggung
Singapura—tempat Salamah, ibunda Arief bekerja—ia pun segera berubah
fikiran. Dengan berbekal bakat dan restu
serta dukungan orang-orang sekitarnya—termasuk sang Ayah yang awalnya sempat
tidak mengizinkan—ia pun “hijrah” ke Jakarta bersama Pak Tio.
Di Jakarta ia
telah “ditunggu” rekan-rekan sesama pecinta dan ahli science lainnya. Disana, ia mesti bersaing dengan mereka yang
rata-rata merupakan siswa sekolah menengah atas sehingga ia sempat merasa
minder. Malah ia pun sempat berniat
kabur setelah nilainya tak kunjung membaik dan posisinya tak kunjung beranjak
dari posisi buncit. Apalagi, ia pun
mendapat “serangan” psikis dari Bima (Rangga Aditya) cs, bintang di FUSI. Nemun, beruntung ia dikelilingi orang-orang
yang peduli dan baik hati padanya seperti Thamrin, Cak Kumis, Jessica, dan
Clara yang membuat ia mengurunkan niatnya.
Thamrin (Angga Putra-ALNI) merupakan orang Betawi asli yang setia kawan
dan bergabung di FUSI karena mengincar beasiswnya. Cak Kumis (Indro WARKOP) ialah pedagang
ketoprak yang berjualan di sekitar asrama FUSI dan sama-sama bersal dari
Madura. Anna (Omega Rossye), salah seorang anggota
FUSI asal Indonesia Timur, serta Clara (Dinda Hauw—Surat Kecil Untuk Tuhan) yang
tak lain gadis yang diam-diam dikagumi—atau bahkan ditaksir Arief.
Mereka
diasramakan dan selama itu pula mereka digecek pemahaman tentang Science
nya. dari puluhan anak, hanya enam saja
yang nantinya berkesempan membawa nama harum Indonesia ke kancah Olimpiade
Internasional sebagaimana yang selalu diingatkan oleh Pak Fusi. Beliau berkali-kali mengingatkan para anggota
FUSI untuk memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya hingga hari penentuan
tiba. Dan ketika hari itu pun tiba, enam
orang termasuk Bima, Clara, Jessica, dan Thamrin sebagai orang keenam yang
lolos bersama Cut Mutia (Sheina Abdat) dan Erwi (Rendy Ahmad) berhasil
menyingkirkan “pesaing” mereka lainnya termasuk Arief. Sempat kecewa, namun akhirnya terobati
tatkala bu Desy (Febby) mengabarinya bahwa ialah yang dinilai paling berhak
mendapat tiket tambahan ke Olimpiade. Ia
pun segera sujud syukur. Kesempatan
bertemu sang ibu pun kian nyata baginya.
Sesampainya di
Singapura, Arief dengan ditemani Thamrin, bergegas memisahkan diri dari
rombongan—yang sedang jalan-jalan menikmati suasana Singapura sebelum mulai
berpusing-pusing ria keesokan harinya—guna mencari sang ibu. Sayang, setelah seharian berkeliling hingga
membuat penyakit asma Thamrin kambuh, pencarian mereka tak membuahkan
hasil. Alamat yang diberikan Cak Alul (Sujiwo Tejo) ternyata sudah tidak
valid. Arief pun akhirnya memutuskan
menyerah dan fokus pada pertandingan esok hari.
Keesokan
harinya, hari “H” yang ditunggu-tunggu
pun tiba. Semua peserta olimpiade dari
berbagai negara telah siap mengerahkan kemampuan terbaiknya dalam menjawab dan
memechakan soal demi membawa nama baik negara masing-masing. Lomba yang dibagi ke dalam sesi tes tulis dan praktek ini berlangsung
menegangkan. Di satu soal praktek mereka
ditantang untuk menciptakan bunyi yang luar biasa (sekeras mungkin) dari seutas
tali. Arief, yang sempat kebingungan
secara brilian mendapat ilham untuk melakukannya dengan sarung pemberian sang
ayah yang secara sadis dikoyaknya (baca: digunting) yang kemudian ia atur
sedimikian rupa hingga menghasilkan bunyi yang menabjubkan. Tak dinyana, Arief pun dinyatakan sebagai
peraih emas Olimpiade Sains Internasional tersebut. Semua orang tanpa terkecuali bangga padanya,
seorang anak dari katakanlah daerah yang cukup pelosok, namun mampu berprestasi
secara internasional berkat dua orang: Salamah, ibunya, dan Tari, gurunya,
seperti apa yang diucapkan Arief di awal perkenalannya di layar. Itu saja? Tentu tidak, kesuksesan Arief tak
lepas dari dukungan semesta sebagaimana judul film ini.
Lalu, bagaimana
nasib Salamah? Apakah Arief akan bertemu dengan ibuu yang selama ini
dicari-carinya itu? Dan bu Tari, apakah ia masih bersemangat mencari
Arief-Arief lainnya? Pun ayahnya Arief ,
apa kabar beliau? Jika penasaran,
silakan tonton sendiri saja yaa.. :D
**my own review**
Sejak awal
membaca ulasannya di surat kabar lokal dan menyaksikan cuplikannya di sebuah
acara berita ditambah berkali-kali menykasikan trailernya di Youtube, serta
berikut memutar-mutar video klip Ost. “Mestakung” yang dibawakan oleh Golliath,
penulis sudah penasaran sekali dengan film ini.
Jajaran pemain serta jalan ceritanya membuat penulis makin
penasaran. Begitu tau jadwal taywanangnya,
penulis (seperti biasa) bergerilya mengajak (lebih tepatnya) membujuk
kawan-kawan penulis.
Reaksinya?
Beragam! Ada yang hanya sekedar “oh,
ya”, atau “film apaan itu teh?”, sampai yang apatis sekalipun “idiih apaan sih,
film Indonesia, ogah!”. Begitulah,
banyak di antara kawan-kawan penulis yang masih enggan menonton film Indonesia,
jangankan menonton ya baru disebut judulnya saja sudah pada begidig entah geli
atau apa. Yah, mereka cenderung
menstereotipekan dan kemudian mengeneralisasi film Indonesia, padahal gak semua
film Indonesia itu gak layak tonton kan, gak semua film Indonesia itu cuma
obral anggota tubuh, dan gak semua film Indonesia itu kayak yang mereka (yang
kumengaku anti film Indonesia) fikirkan.
Hey, come on guys, Indonesia also has GOOD MOVIE to watch.
Dan, “Mestakung”
ini adalah salah satunya. Dalam “Mestakung”
tokoh Arief yang memang diangkat dari kisah nyata seorang juara Olimpiade
Fisika asal Madura dihadirkan sebagai satu tokoh yang memotivasi penonton bahwa
ketika semesta mendukung, kita bisa mewujudkan impian dan cita-cita kita.
Secara
keseluruhan film ini memang layak tonton, terutama bagi mereka yang
berkecimpung di dunia pendidikan. Namun,
ada beberapa hal yang membuat penulis kurang nyaman saat menonton film ini. Bagi penulis, kisah Arief di Madura hingga
kahirnya sampai di Jakarta terlalu lama dan bertele-tele (hampir menghabiskan
waktu satu jam) ditambah lagi kebanyakan adegannya beratmosfer serius sehingga
sangat berpotensi membuat bosan
penonton, termasuk penulis. Malahn ya
penulis sampai hampir tertidur saking terjebak dalam alur yang lambat dan
panjang serta sepi sisipan dialog atau adegan yang mengundang tawa(heu, mungkin
juga faktor capek kali ya soalnya sebelumnya abis nganter temen cari-cari sepatu dulu). Nah, baru deh pas Arief pindah ke Jakarta
untuk bergabung dan tinggal di Asrama FUSI bersama siswa yang berprestasi di
Sains lainnya, tempo cerita mulai mengingkat.
Kehadiran tokoh
Thamrin jadi daya tarik sendiri bagi penulis.
Ia, bagi penulis, membuat cerita jadi lebih hidup. Karakternya yang jenaka sering kali memancing
tawa penonton. Bukan, bukan dengan
adegan slapstick, tapi melalui dialog dan mimik wajahnya. Tanpanya, “Mestakung” akan sepi. Pokonya, karakter favorit penulis di film ““Mestakung””
ini ya Thamrin. Selain Thamrin, tokoh
yang juga rada mencuri perhatian penulis yaitu tokoh Cut Mutia dan tokoh yang
dimainkan oleh Rendy Ahmad (Ikal “Sang Pemimpi”). Wajah manis Cut Mutia, yang
dari namanya sepertinya berasal dari Aceh dan berjilbab, cukup mencuri
perhatian penulis walaupun porsi dan kemunculannya tidak sebanyak tokoh Clara
Anabela (Dinda Hauw—Surat Kecil Untuk Tuhan).
Pun begitu dengan Rendy Ahmad, meski perannya tidak besar—berperan
sebagai sohib Bima, “musuh” Arief—, namun penampilan comebacknya ini bagi penulis cukup menarik. Coba keduanya diberi peran lebih besar,
sepertinya akan lebih menarik. Tapi,
mungkin karena faktor perannya yang bersifat pendukung, pesonanya tidak sekuat
saat memerankan Ikal, belum lagi gayanya juga emm…Ikal is the best lah! Tapi, dinanti deh film Rendy Ahmad selanjutnya.
Sayang beribu
sayang, dengan kualitas cerita dan pemain yang dimilikinya, “Mestakung”
sepertinya mesti menerima kenyataan pahit dengan durasi tayang film ini di
bioskop. Bayangkan, baru satu minggu, di
salah satu bioskop yang (memang) hanya berkapasitas tiga studio di kota tempat
penulis tinggal, film ini sudah turun
layar dan diganti dengan film Indonesia lain bergenre thriller yang premiere pas seminggu pasca “Mestakung”
naik layar. Bahkan di beberapa biokop yang memiliki 5-6 studio pun
film ini sudah tidak ditaynagkan lagi, walhasil di minggu kedua penayangannya
film ini hanya didapati di satu bioskop saja di kota tempat tinggal penulis
ini, dan itu pun dengan jam tayang yang hanya dua kali dalam sehari (yang
seharusnya sampai 4-5 kali tayang perharinya). Makanya, penulis ngebet ngajakin temen-temen penulis nonton film ini
sebelum benar-benar turun layar sama sekali di minggu ketiga penayangannya
menurut prediksi penulis. Padahal, teman
seangkatannya masih bertahan sampai sekarang di semua bioskop di kota penulis
ini, malahan di Koran-koran posternya saja masih mentereng diantara film-film
lain yang kebanyakan adalah film Hollywood.
Entah ya mengapa apresiasi penonton Indonesia sepertinya amat minim
terhadap film ini. Seklai lagi, sayang
sungguh sayang.
Selain animo
masyarakat Indonesia yang masih kurang apresiatif dengan film Indonesia dan
cenderung menstereotipekan serta mengeneralisasikan fiml Indonesia sebagai film
yang termasuk kelas B yang kalau menurut penulis merupakan efek dari
dibombardirnya bioskop Indonesia oleh film-film horror berbumbu komedi seks
kemarin-kemarin, faktor lain yang membuat film ini sepi penonton barangkali
pemilihan waktu tayang yang kurang atau bahkan tidak pas. Memang, film ini merupakan film motivasi yang
bisa dinikmati oleh seluruh umur dan bisa dikategorikan sebagai film keluarga,
namun secara lebih khusus film ini sangat cocok dinikmati bersama keluarga dan
terutama untuk anak-anak usia sekolah.
Naah, andai film ini diputar saat liburan sekolah, tentu potensi untuk
menghimpun penontonnya pun (mungkin) akan jauh lebih banyak.
Di luar jumlah
penonton yang cukup mengecewkan (yang berimbas pada masa penayangannya itu
tadi), “Mestakung” sebenarnya menawarkan banyak kesan mulai dari haru-biru nya
hubungan ayah-anak, Arief dan Muslat, semangat pantang menyerahnya Arief demi
meraih juara Olimpiade (pas adegan diumumkannya Arief sebagai peraih Olimpiade
Sains Internasional, tanpa tertahan beberapa buliran air mata merembes saja
dari mata ini), kejenakaan Thamrin, kebijaksanaan cak Kumis, kewibawaan bu Tari
dan pak Tio, kesongongan Bima di awal, ke-innocent-an Clara dan Cut Mutia,
serta sosok Salamah yang benar-benar dirindukan Arief membawa penonton terlarut.
Sebagi penutup,
film ini mengajarkan pada kita untuk tidak menyerah pada impian dan tidak
menyia-nyiakan kesempatan, terlebih ketika kita memiliki bakat tersendiri
disana. Kita juga diajarakn untuk tidak
mudah putus asa dan menanamkan keyakinan bahwa ketika semesta mendukung yang
tentu saja diiringi oleh usaha dan keyakinan kuat, maka taka ada yang tak
mungkin dalam hidup ini, sebagaimana penggalan lirik lagu “Semesta Mendukung”,
Ost. Film ini besutan Golliath (adapun teks penuhnya dilampirkan di
bawah). Sekian resensi kali ini yang
digarap cukup lama (sstt…rahasia d apur ketauan deh! :p), semoga bermanfaat,
selamat menikmati! :D
Eehh..terakhir, benar-benar penutup, cintailah produk lokal, cintailah produk Indonesia, dan cintailah film Indonesia. Mari dukung film Indonesia dengan sudi datang ke bioskop demi menyaksikan film Indonesia, apalagi untuk film-film yang berbobot semacam ini. Sekali lagi mari saksikan film Indonesia (berkualitas0 di bioskop keyangan Anda, hidup film Indonesia! ;))
***
Lirik Lagu Goliath – “Mestakung” (OST Semesta Mendukung)
langkah tegap
kakiku, dengarkan hentakanku
kadang aku terjatuh tapi ku terus maju yeah
kejar dengan hatimu, lakukan sungguh-sungguh
apapun yang kau mau, apapun impianmu
karena di dalam hidup ini
tak ada yang tak mungkin
lihatlah kawan
bulan masih bersinar
terangi malam hidup terus berjalan
raih mimpimu bulatkanlah tekadmu
“Mestakung” semesta mendukung
karena di dalam
hidup ini
tak ada yang tak mungkin
lihatlah kawan
bulan masih bersinar
terangi malam hidup terus berjalan
raih mimpimu bulatkanlah tekadmu
“Mestakung” semesta mendukung
lihatlah kawan
bulan masih bersinar
terangi malam hidup terus berjalan
raih mimpimu bulatkanlah tekadmu
“Mestakung” semesta mendukung
lihatlah kawan
bulan masih bersinar
terangi malam hidup terus berjalan
raih mimpimu bulatkanlah tekadmu
“Mestakung” semesta mendukung
“Mestakung” semesta mendukung
“Mestakung” semesta mendukung
Video Klip "Mestakung"
Ost. "Mestakung" by Golliath
credit for: Youtube
Rabu, 02 November 2011
hai visitor..
Pertama-tama penulis ucapkan
selamat datang bulan November (apa?? November?? bulan depan berarti
Desember..lusanya, udah ganti taun..ya ampuun cepat seklai yaa waktu ini
berlalu, tidak berasa yaa visitor...heu)
Kedua, selamat (menyambut) hari
raya Idul Adha 1432 H (hayoohh siapa yang taun ini kurban? bagi-bagi yaa
dagingnya..)
Ketiga, selamat menikmati
postingan ini..hehe
*****
Well, okay, postingan ini
berisi tentang puisi yang penulis bikin di kelas translating tadi pagi.
Jadi konsep dosennya, kita diminta bikin sepuluh bait puisi dalam bahasa
Indonesia yang digubah ke dalam bahasa Inggris nantinya. "apa?
puisi? ebuseet yang bener aja" batin penulis panik. Ya, gimana
penulis bukan pujangga yang lihai merangkai kata (#eaa base jam mode on), kalo
yang iseng suka liat-liat atau sekedar mampir (secra kebetulan atau malah
sengaja) ke blog penulis ini mungkin pernah ya menemukan beberapa postingan
yang rupa dan bentuknya mirip puisi, tapi bagi penulis sendiri itu lebih
seperti ungkapan hati yang dituangkan dalam beberapa bait kalimat pendek yang
tersusun seperti puisi. Kalau para visitor jeli, disitu labelnya
"bukan syair pujangga", kenapa? karena itu tadi penulis bukan
pujangga yang pandai bermain dengan kata-kata dan bermetafor. Maka, pas
tau tugasnya adalah bikin puisi tuingggggg...........otaknya serasa ngehank,
butek, gak ada ide! Sejenak berfikir, lalu "aha! I got it"
batin penulis lagi. Ya, penulis terikat akan serangkaian kalimat yang
katakan saja itu puisi yang sempat penulis buat dan simpan di hp. Tanpa
buang waktu, segera saja cussss penulis cek hp, tapi sayang bin lebar ternyata
sudah penulis hapus! Sempat, desperate (#lebayyy), akhirnya penulis
mencoba mengingatnya, menuliskan seingatnya, lalu menggubahnya sedemikan rupa
hingga merenah dan pas sepuluh baris. Dan, beginilah bunyi puisi yang
sebetulnya mengadopsi puisi penulis yang diposting terakhir, seputar
"mengirimkan" keluhan ke "alamat" yang tepat.
***
"puisi ini seperti semacam
teguran untuk diri sendiri" buka penulis...
**INDONESIAN VERSION**
Sigh to the Lord
The creator of the universe
Sigh to the Lord
The most powerful Man ever
(And) don’t sigh to human being
Who are the Lord’s creatures as
well
Who are vulnerable and
powerless as well
He can’t answer the question of
life
Nor create the destiny
As powerful as Lord to do so
Silakan cermati, dan
terjemahkan ke Bahasa Indonesia, dak ada unsur puitis-puitisnya deh. Tapi, satu hal yag pasti dan penulis
banggakan yakni bahwa puisi ini 100% bikinan penulis sendiri! Dan, puisi ini emang bener didedikasikan buat
diri penulis sendiri sebagai teguran khususnya, juga bagi para pembaca dan
pendengan secara umum. Puisi ini berawal
dari keprihatinan penulis ketika manusia (khususnya penulis) berada di masa
sulit dan butuh seseorang sebagai tempat mengeluh, malah memilih mengeluh pada
makhluk yang bahkan tidak lebih kuasa dari kita sebagaimana Tuhan, yang Maha
Kuasa. Semoga menginspirasi atau
setidaknya menghibur. Terima kasih telah
berkunjung….. :)