30
April, hanya sedikit postingan di bulan ini dengan satu postingan tertunda
yaitu: Resensi Sanubari Jakarta. nampaknya ia akan dibarengkan saja dengan
Modus Anomali.
April,
bulan yang entah mengapa ingin segera dilalui, dan ketika sekarang sudah berada
di penghujung april, keinginan ini seakan bersambut.
April,
terlalu banyak hal yang menuntut perhatian lebih sehingga hal lain rasanya
cukup terabaikan.
April,
semakin menuju penghujung semakin banyak hal yang dituntut, yang harus
difikirkan, dan harus dipenuhi.
April,
tantangan, tugas baru, pengalaman baru serta berbagai cerita baru menyertaimu.
April,
kepergianmu ku nanti untuk berganti dengan Mei yg semoga memberi berbagai
cercahan peluang baru, semangat baru, harapan baru, sekaligus sumber kemakmuran
dan kedigdayaan baru.
April,
tanpamu takkan ada Mei, jadi kulepas kepergianmu dengan satu kata: "Terima
Kasih untuk semua pelajaran dan pengalaman berarti selama 30 hari ini... semoga
semua suka duka dalam masa 30 hari itu menggiring ku pada berbagai peluang
manis dan menjanjikan di Mei esok" aamiin! :)
Peringatan:
REVIEW ini mengandung SPOILER, jadi yang masih
pengen menyimpan rasa penasarannya disarankan untuk tidak membaca
postingan ini. :D
Rabu
kemarin penulis baru saja menyaksikan film Indonesia terbaru berjudul
“HI5TERIA”. Film horor minus adegan dan
tampilan esek-esek berikut tanpa kemunculan mbak kunti, mas pocong, dkk. Baca beberapa reviews, hasilnya banyak yang
manyambut positif. Meskipun digarap oleh
lima sutradara muda, namun ada nama Upi Avianto di kursi produser sekaligus
mentor kelimanya. Hasilnya? Begini nih kurang lebih “HI5TERIA” yang
terbagi dalam lima segmen cerita ini berkisah….
1 # Pasar Setan
Director : Andrianto Dewo
Cast : Tara Basro, Dion Wiyoko,
Mengisahkan
tentang Sari yang tersesat di hutan saat tengah dalam pendakian bersama sang
kekasih, Jaka. Sari akhirnya suatu hari
bertemu dengan Zul yang terpisah dari dua teman pendakinya yang lain. zul yang iba pada Sari akhirnya bersedia
membantu Sari mencari Jaka. Di tengah pencarian, sampailah mereka ke hutan
terlarang yang bisa membawa kita masuk ke dimenasi waktu yang lain. Sari yang sempat memasukinya udah
memperingati Zul untuk segera meninggalkan tempay itu, namun Zul yang penasaran
malah terus menerobos masuk. Akhirnya
kejadian yang dialami Sari pun terjadi pada Zul. Ia tersedot dalam dimensi waktu yang berbeda,
bahkan dengan Sari. Dia akhir kisah, di
papan penumuman orang hilang di pos pendakian Gunung Dieng dipasang foto Zul
yang diinfokan hilang sejak 2011 tepat di bawah foto lusuh Sari yang tertulis
hilang sejak 1990. Ada apakah sebenarnya
di hutan terlarang tersebut?
2 # Wayang Kulit
Director : Chairunnisa
Cast : Maya Ontos, Sigi Wimala
Synopsis :
Wayang
kulit masih mengmbil daerah Jawa sebagai latar belakang. Adalah Nicole, seorang turis yang tertarik
meliput kisah wayang kulit yang semuanya diperankan perempuan secara tidak
sengaja menemukan konde milik Sigi, salah seorang sinden yang selalu memegangi
pipinya. semenjak itu, ia mulai dihantui
sejumlah teror dari suara-suara misterius juga bayangan dari wayang dengan kuku
tajam yang seolah hendak menerkamnya.
Ditambah lagi, ia sempat tertusuk oleh konde tersebut. Hingga satu hari di tengah pertunjukan wayang
lainnya, ia yang dilanda kecemasan akhirnya memberanikan diri mendekati sisi
‘panggung’ yang diambt tatapan marah sang dalang. Rupanya tusuk konde itu benar-benar membawa
masalah, ketika ia mengejar Sigi yang berlari ke hutan, didapatinya bekas luka
menganga di pipi kiri sang sinden. Belum
usai kekagetannya, sebuah pukulan dari belakang menghilangkan
kesadarannya. Ketika sadar ia sudah terjebak di rumah si dalang
yang memburunya. Sekuat tenaga ia
berusaha berontak dan keluar dari rumah yang gelap dan bau amis itu, namun
sia-sia bahkan ketika sudah keluar pun
ia tetap harus berhadapan dengan orang yang selama ini ia percayai. Selamatkan ia?
3 # Kotak Musik
Director : Billy ChristianNicholas Yudi
Cast : Luna Maya, Kris Hatta
Synopsis :
Suatu
malam, Farah dan koleganya Rio sedang menjalankan misi berburu hantu di sebuah
bangunan tua. Di tengah-tengah misinya,
Farah mendapati seorang nenek gendut yang berjalan ke arah mereka dan masuk ke
satu ruangan yang menyisakan boneka dan kotak musik yang menarik perhatian
Farah. Rupanya apa yang dilihat Farah
itu tidak dilihat oleh Rio, pun tidak nampak di layar. Namun, Farah yang seorang dosen lulusan
terbaik dari salah satu universitas ternama di luar negeri, menganggap
bahwa itu tidak lebih dari halusinasi
yang mempengaruhi pikiran seseorang.
Maklum saja, ia merupaka seorang yang tidak percaya dengan keberadaan
hantu. Hal ini terbukti dari tulisan
best seller nya dengan judul “There Is No Ghost”. Padahal ini sangat kontras dengan kenyataan
bahwa ia sesungguhnya memiliki kemampuan melihat mereka yang berada di alam
lain. Namun, ego intelektualitas dan logikanya lahh yang membuatnya
mennafikan kekuatannya itu. Perlahan
namun pasti Farah pun tak mampu mengelak lagi dengan “kemampuan istimewa”-nya
semenjak ia membawa pulang Kotak Musik dan Boneka lusuh tempo hari. Akankah Farah “menyerah” untuk (akhirnya)
menerima kemampuannya?
4 # Palasik
Director : Nicholas Yudifar
Cast : Imelda Therine, Poppy Sovia
Synopsis :
Alkisah
suatu waktu di masa lampau, hidup seorang wanita muda yang tengah hamil besar
mendengarkan musik dengan syhadu di suatu senja yang tenang. Tiba-tiba ia yang seorang diri terganggu
dengan kelebatan-kelebatan aneh. Ia pun
bergegas menutup pintu. Namun, saat
pintu hampir saja tertutup sang wanita menjerit sejadi-jadinya, dan adegan pun
beralih ke masa sekarang. Vina yang
tengah hamil besar diajak sang suami yang duda satu anak berlibur ke villa
milik rekan kerjanya bersama-sama sang anak tiri. Villa tua yang terletak di tengah-tengah
hutan ini nampak asri dan tenang sehingga sangat cocok dijadikan tempat melarikan
diri sejenak dari hiruk pikuk Jakarta.
Villa yang dijaga seorang bisu tersebut semakin lama semakin menimbulkan
banyak keanehan bagi Vina. Terlebih
setelah ia secara sengaja tidak sengaja masuk ke satu kamar yang sedari awal
telah diperingatkan terlarang dimasuki.
Di ruangan yang gelap gulita tersebut, ia dalam remang-remang cahaya
korek api menemukan satu buku usang yang ternyata berisi tentang satu ilmu
kanuragan yang disebut Palasik (asal Padang).
Selain itu tergantung pula satu
lukisan pengantin dalam busana adat Padang dengan muka sang istri
tersamarkan. Semakin keanehan menjadi,
semakin penasaran ia sampai akhirnya satu fakta tak terduga menyesakannya. Rupanya keanehan dan berbagai ancaman itu
justru datang dari orang terdekatnya yang ia sadari setelah untuk kesekian kali
masuk ke ruangan terlarang itu. ia pun
sadar bahwa di villa itu ia sesungguhnya sedang bertaruh nyawa. Siapakah sebenarnya yang menginar nyawa
Vina? Dan untuk apa?
5 # Loket
Director : Harvan Agustriansyah
Cast : Ichi Nuraini, Bella Esperance
Synopsis :
Seorang
gadis muda penjaga loket mendapat tugas jaga shift malam di suatu parkiran
gedung yang sangat sepi dan kelam.
Setelah berjibaku membenarkan lampu yang nyala-mati, ia pun mesti
kembali berjibaku mengurusi palang yang tiba-tiba macet. Di tengah usahanya, ia merasakan sejumlah hal
yang menaikkan bulu kuduknya. Keheningan
dan dinginnya malam makin meniutkan nyalinya, apalgi usahanya membetulkan
palang pun masih belum berhasil. Putus
asa, ia pun kkembali masuk ke dalam loket.
Ditemani satu computer usang yang
sudah mulai sering eror, tiba-tiba ia merasa ada yang melempari kaca loket
dengan kerikil. Sekali, dua kali, hingga
setelah sekian kali ia pun penasaran dan bergegas keluar loket menari sumber
lemparan. Ternyata di luar ia malah
menangkap sesosok bayangan wanita yang seperti tengah bermain petak umpet
bersamanya. Mendapati banyangan tersebut
hilang dengan segera, ia pun kembali ke loket.
Lampu tiba-tiba mati, sebuah mobil yang dikendarai perempuan yang
dilihatnya mmelaju ke arahnya, palang masih belum mau terbuka. Ia yang ketakutan berusaha meminta
pertolongan melalui hand phone dan walky talky, sayang semuanya
sia-sia. Si perempuan yang ternyata
telah berumur tersebut sudah tidak ada di mobil, dan dimulailah mimpi buruk si
gadis. Dalam satu titik ketika ia
kehilangan kesadarannya, tiba-tiba ia terbangun dan mendapati sosoknya yang
tengah bertransaksi dengan satpam setempat.
ia pun mengikuti sosok tersebut hingga mendapati sosoknya tengah
terlibat sesuatu dengan wanita yang menerornya tadi? Apa yang sebenarnya terjadi?
***
Terhitung
sejak Rumah Dara, penulis yang sebenarnya anti film horor atau thriller dan
sejenisnya mulai memberanikan diri untuk menyaksikan genre tersebut dengan satu
syarat yang mutlak mesti terpenuhi: TIDAK SEORANG DIRI. Ya, kalau untuk genre film lain penulis bisa
saja memaksakan nonton seorang diri, akalu untuk tipe ini: AMPUUUUN!
Anyway,
ini film oke BGT lah efek horornya,
kalau pinjem kata-ka temen sih gini “tuh kan horor Indonesia itu mistis BGT,
mending horor Barat deh”. Penulis aja ya
nulis ini sambil nginget lagi adegan filmnya, dan hii…masih kerasa lah efek horornya!
Buat yang ngaku pecinta horor buruan gih ke bioskop terdekat sebelum
terlambat! However, ini film Indonesia
loh, yang masa tayangnya…um….gak akan lebih dari satu minggu aja kalau filmnya
gak laku. Gak laku disini in term of
quantity ya not quality!
O,ya,
seperti biasa ada sejumlah unique things dari film ini yang kali ini bakal
penulis jadiin penutup resensi yang gak kelar-kelar sejak minggu lalu ini…heu
·Di “Wayang Kulit”, pas adegan tangan
Nicole ketusuk itu darahnya entah efek kamera apa gimana jadi lebih nampak
oranye dibanding merah selayaknya darah.
Jadi kayak tinta magentanya itu loh printer infus…. Heu
·Setting villa di “Palasik” reminds me of setting “Rumah Dara”. Entah kenapa berasa yakin kalau itu emang
rumah yang sama kayak rumahnya bu Dara.
Meskipun di “Palasik” sudut pengambilan gambar rumahnya diambil dari
sisi depan juga (yang jadi malah mirip rumah “The Perfect House” kalau tampak
depan), tapi tetep penulis yakin itu rumah yang sama sama tempat pencacagan
tamunya Ibu Dara itu. Nah, apalagi salah
satu cast-nya Imelda Therin, si anak
bungsunya bu Dara yang suka mancing para ‘mangsa’ itu loh, makin berasa
nostalgia “Rumah Dara”! Bedanya
sekarang, doi yang dulu pemangsa, kini jadi yang dimangsa!
·Among five, the most impressive one
for me is the first “Pasar Setan”. Gak
ada penampakan aneh, gak ada ceceran darah, gak ada suara misteius, tapi terjebak
di satu waktu dan tempat yang sama sendirian seterusnya bener-bener waw.
·The unique thing is that those five
stories are directed by five young and talented directors. The fact that only one among five directors
who is the girl, and she direct a women-movie “Wayang Kulit”. Women-movie because almost all of the main
cast are women except one.
Enam
laga tersisa, namun peluang memuncaki klasmen sudah hampir dipastikan
tertutup. Okelah tambahan 24 angka bisa
mengatrol perolehan poinnya sekaligus menjaga keunggulan atas dua rival
sekotanya. Tapi, rasanya menggeser
“Setan Merah” dari puncak klasmen adalah misi yang mustahil. Selisih 18 poin hanya mungkin terlampaui jika
skenario terburuk menimpa tim asuhan Sir Alex Ferguson tersebut: minimal imbang
atau bahkan kalah di enam laga sisa, yang akan sangat sulit menjadi
mungkin!
Target
yang jauh lebih realistis bagi tim ini adalah mengamankan posisi di tiga besar
hingga musim kompetisi 2011/2012 ini berakhir.
Yang juga cukup realistis paling berusaha mengkudeta tim sekota pemuncak
klasmen saat ini di peringkat dua dengan satu catatan saja: MAKSIMALKAN ENAM LAGA SISA! Bukan rahasia lagi kalau tim asa London Utara
ini punya penyakit kambuhan yang sering kali jadi penghamabat terbesar dalam
upaya menghentikan puasa gelar selama tujuh tahun: INKONSISTENSI. Jika boleh berandai-andai, ada dua hal yang
ingin diulangi: andai tim ini tidak
jorok membuang poin di awal-awal paruh musim pertama dan andai tim ini bisa
memasukan satu gol di San Siro. Tentu,
jika keduanya menjadi nyata saat itu, kini akan lain ceritanya. Masih ada dua ajang perburuan gelar
tersisa bagi tim ini.
Tapi, the game must go on, right?!? Percayalah, akan ada masa ketika tim ini pada
akhirnya mampu mengakhiri puasa gelarnya dengan sempurna, seperti: dapat treble tanpa terkalahkan (kalau tanpa
kebobolan terlalu mengawang-ngawang ya itu) di ketiga kompetisi tersebut. ketiga gelar tersebut bersal dari pertama kompetisi tertua di
negaranya, kedua kompetisi liga domestik, serta kompetisi level benua tempatnya
tinggal dengan mengalakan tim-tim yang pernah mengalahkannya di ajang ini seperti
dua tim belang masing-masing asal
Spanyol dan Italia.
*harapan—bukan khayalan ya—tingkat tinggi!*
Kembali
ke masa kini, kemenangan susah payah atas tim barunya Samir Nasri musim ini
semalam menjadi modal penting bagi tim ini buat paling tidak ajeg di posisi
tiga. Andai saja pekan lalu tren positif
tim berkostum merah-putih ini tidak dipatahkan QPR, kemungkinan mengkudeta duo
Manchester masih cukup kuat. Tapi, yang
lalu biarlah berlalu, kembali ke topik awal yang penting saat ini bagi tim ini
ialah fokus meraih poin penuh di enam laga pamungkas. Masih ada derby penting melawan tim
sekota. Tiga tim satu kota berebut dua
tempat tersisa ona Champion, barangsiapa tidak fokus, hemm…hampir dipastikan
harus rela turun kasta ke Liga Eropa, termasuk tim ini. Jadi sekali lagi sekaligus menutup posting
ini dua pesan saja bagi tim ini: BE FOCUS
AND CONSISTENT, GUNNERS! GO GUNNERS GO!J
Donny
Alamsyah, Donny Alamsyah, Donny Alamsyah, Iko Uwais…..Joe Taslim! Itu tuh kata-kata yang bakal terlontar kalau
penulis ditanya seputar “The Raid”. Film
aksi Indonesia yang udah heboh sangat di pra pemutaran perdananya di Indonesia
ini rilis sehari lebih cepat di AS sana.
“Untuk menghindari aksi pembajakan” kata si produser. Film yang diakui secara internasional ini
diproduksi oleh produser yang sama dengan film Merantau tiga tahun silam. Bintang utamanya pun, Iko Uwais, merupakan
bintang film yang sayangnya agak mengecewakan di pasaran. Karena itu pulalah dalam film ternyarnya ini,
Rio sang produser mengganti strategi pemasarannya dengan terlebih dahulu
menjajakan film ini di berbagai festival film internasional. Hasilnya? Sony Picture dan Mike Shinoda ikut
trelibat dalam distribusi dan pembuatan scoring
film arahan Gareth Evans.
Fakta
di atas tentu menajadi umpan yang pas untuk memancing perhatian bukan hanya
penonton tanah air, tetapi juga dunia.
Khusus untuk penonton dalam negeri sebenarnya penulis gak begitu
surprise ya mengetahui sambutan hangat yang mereka berikan. Secara ya itu dia promosinya yang udah
gila-gilaan duluan yang bikin para pemirsa tanah air ya mau gak mau dipaksa melek dan akhirnya
melirik film ini. Film arahan Gareth
Evan yang asli Australia ini kembali memasang Iko Uwais sebagai aktor utama setelah
di Merantau. Bahkan Iko pun akan kembali
bermain di film arahan Evan lainnya yang direncanakan beeredar tahun
depan. Maklum saja, berdasarkan info
dari sejumlah sumber yang penulis baca, kisah-nya bang Iko ini akan dijadikan
trilogi. Filmnya boleh berbeda, tapi
genre ceritanya pasti action lagi.
Ya,
sepertinya itulah benang merah film triloginya Evan, sang sutradara. Seperti “Merantau” yang sarat adegan bela
dirinya, The raid pun hampir 99% nya berisi adegan laga. Hanya di awal, tengah, dan akhir film saja
penonton dibiarkan bernafas lega.
Sisanya? Mungkin lain cerita bagi
mereka pecinta film action, tapi bagi penonton tipikal penulis yang ya lebih
menikmati jenis drama film ini jelas sangat memacu adrenalin. Saking gak nahan sama kekerasan yang tersaji
di layar bioskop, penulis sambil nyubitin teman di sebelah penulis yang
dianugerahi sang Maha Pencipta dengan tubuh yang jika ia dicubiti pasti tidak
akan begitu berasa. Kurang dari lima
menit, letusan peluru, pertarungan tangan kososng, pengeroyokan, cipratan
darah, gerakan silat, teriakan-teriakan, hembusan nafas terengah-engah, dll bergantian ‘meneror’ para
penonton. Dan, terror itu baru berhenti
didua-satu menit terakhir! Lima menit
plus dua menit berarti hanya tujuh menit dari keseluruhan 109 menit yang tanpa
adegan kekerasan. Sisanya? Hemm…dah
berasa nonton film horor aja kali saking
berulang kali menutup muka dan memejamkan mata sepanjang film.
Dari
banyak resensi atau ulasan yang penulis baca, hampir semuanya mengapresiasi
film ini dengan positif apalagi dari sisi teknis. Sayangnya tidak sedikit diantara mereka yang
merasa film ini secara penceritaan cukup mengecewakan. Kenapa? Ceritanya dianggap terlalu dangkal
atau kurang kuat. Memang siih tidak
sedikit pula yang memaklumi bahwa porsi penceritaan yang kurang kuat ini
terlunasi oleh adegan laganya yang begitu pol dan nyata. Penulis sendiri cukup sepakat ya kalau inti
ceritanya itu terlalu sederhaa untuk berkembang sebegitu jauh. Bayangkan ya, ada 20 polisi elit, masuk ke
markas gembong narkoba di apartemen tak teurus yang semua penghuninya bersedia
melakukan apapun demi si bos mafia yang notabene tuan rumah demi masih tetap
bisa tinggal disitu.
Kebayang
gak sih, apartemen 15 lantai yang pastinya dihuni banyak orang walau terlihat
sepi, dikepung oleh hanya dua puluh orang pasukan elit dibawah komando satu kapten
pengecut yang enggan membuka dalang penggerebakan pun menolak menambah
pasukan? Sekalipun mereka dibekali oleh
seperangkat senjata canggih, namun terbukti jumlah yang juah lebih sedikit
hanya mengantar mereka menyerahkan nyawanya cepat atau lambat. Jangan heran ya kalau pada akhirnya sepanjang
film fokus mereka bukan lagi pada bagaimana memburu sang target utama, namun
lebih kepada bagaimana untuk bisa kembali keluar dari tempat yang bak neraka
itu hidup-hidup.
Adalah
Rama yang bergabung dengna tentara elit dibawah pimpinan Jaka yang pagi itu
mendapat misi khusus menyerbu marka gembong narkoba terkemuka Tama dibawah perintah
sang komandan (Pierre Gruno). Misi yang
memaksanya meninggalkan sang isteri yang tengah hamil 7 bulan dan sang ayah
yang sudah mulai renta. Misi pertamanya
sebagai anggota baru sekaligus misi personalnya untuk membawa ‘pulang’ sang
kakak seperti janjinya pada sang ayah.
Awalnya semua berjalan lancar,
mereka berhasil melumpuhkan penjaga di bawah untuk menyelundup ke dalam
apartemen. Namun, misi nekat mereka
mulai berubah menjadi mimpi buruk setelah seorang anak penghuni apartemen yang
kedapatan berkeliarn di koridor saat
mereka mulai merasuk ke lantai lima apartemen itu lari dan memencet tombol yang
terhubung ke monitor di ruangan Tama.
Sejak saat itu, satu persatu kawannya terbunuh. Jika tidak sigap ia kapanpun bisa menjadi
korban berikutnya.
Semua
pasukan yang tersisa tidka lebih dari setengah jumlah awal mereka pun sebisa
mungkin menyelamatkan diri. Hampir tidak
ada sudut aman tersisa di gedung tua itu.
setiap lantai tak luput dipasangi
monitor yang tentu saja membuat langkah mereka menjadi sangat-sangat terbatas. Bahkan, Rama mesti berpisah dengan sang komandan yang pada akhirnya
bernasib serupa anak buahnya. Ia mesti
melumpuhkan banyak orang baik dengan senjata atupun tangan kosong hingga di
tengah kondisi terburuknya ia pun bertemu dengan sang kakak yang sudah
menghilang enam tahun belakangan dan ternyata menjadi tangan kananya Tama. Pertemuan ini pun tak luput dari intaian
kamera Tama yang mejadi sangat murka. Ia
pun tak segan menjatuhi hukuman pada Raka, sang anak emas melalui tangan Mad
Dog, tangan kananya yang lain.
Rama
yang berhasil bernafas lebih panjang karena diselamatkan Raka akhirnya
mendapati sang kakak tengah berada di ujung maut. Akhirnya brdua mereka pun terlibat
pertarungan tangan kosong dengan Mat
Dog. Sementara itu sersan Piere dan
salah satu rekan Rama yang masih bertahan hidup berhasil masuk ke kamar
pribadinya Tama. sayang setelah berhasil
mengikat Tama, ia malah menembak rekan Rama hingga tewas dan menggunakan Tama
sebagai alat untuk mengeluarkannya hidup-hidup dari gedung mematikan itu. Duo kakak beradik Raka-Rama akhirnya bisa
melumpuhkan Mat Dog denga satu tusukan di leher, sementara Tama pun akhirnya
tewas diterjang peluru Piere. Tanpa
kesulitan berarti, Rama, yang telah mengetahui bahwa Piere lah yang paling
bertanggung jawab atas tewasnya sang komandan dan rekan-rekannya yang lain,
dengan bantuan Raka berhasil melumpuhkan sersan Piere. Berempat dengan satu rekannya yang terluka
parah di perut, Rama akhirnya berhasil keluar dari gedung itu hidup-hidup. Janji pada sang isteri untuk segera kembali
pun terpenuhi, sayang janjinya pada sang ayah urung terwujud karena sang kakak
lebih memilih untuk tetap tinggal di
gedung neraka itu lantaran “udah ngrasa pas” katanya.
Begitu
menjelang gerbang Raka teriak “buka pintu!”,
“lu ikut balik sama gue!” kata Rama
“sekarang
gue bisa aman, tapi apa elu bisa ngejamin keselamatan gue di luar sana!?” balas
Raka
“ada
gue, polisi, yang bisa ngelindungin elu!” jawab Rama berusaha meyakinkan
Raka
menghentikan iringan langkahnya, membiarkan Rama yang tengah menggiring Piere
diikuti langkah pincang rekannya menjauh.
“kayak
yang elu bilang dengan seragam itu, tempat ini udah pas buat gue Ram!” katanya
setengah berteriak.
Rama
hanya bisa menelan ludah sambil terus berjalan tanpa pernah menatap lagi ke
belakang; Raka pun segera balik badan sesaat setelah meneriakan pendiriannya
pada sang adik.
Begitu
Rama dkk keluar dari gerbang, barisan cast pun mulai bermunculan di layar,
ruang bioskop yang semula gelap pun perlahan mulai bercahaya, danpuluhan (mungkin sampe ratusan) penonton pun
menarik nafas lega setelah dijebak dalam baku hantam di sepanjang seratus menit
durasi film.Kalau penulis sendiri
langsung bersyukur “akhirnya credit title juga…ffyuuh….”.
Capek
ya ternyata dibombardir adegan yang beda sekali sama film drama yang
mandayu-dayu (ya eyalah, lo pikir!?!).
Tapi penulis terpaksa mesti setuju ya kalau unsur drama nya kurang,
maksudnya semua terasa ujug-ujug tanpa tedeng aling-laing. Gak jelas siapa dalangnya, gimana asal muasal
keterlibatan Raka dalam gembongnya Tama, kenapa para penghuni apartemen kayak
udah terlatih untuk siap perang dan membekali senjata baik sekedar senjata
tajam sampai senjata api, gimana gedung yang sudang usang namun masih berlokasi
di sisi jalan raya ini luput begitu saja dari pengewasan aparat berwajib? Siapa sebenarnya Tama? Semuanya misteri bagi penulis perbadi sih..
Tapi
ya kemurahatian penulis skenario dan sutradara yang membiarkan dua kakak beradik Raka-Rama tetap
hidup sudah cukup membayar segalanya. Chemistry Donny-Iko sebagi kaka beradik
bagi penulis sih udah klop ya. Asik lah
liat mereka berdua di layar, meskipun porsi adegan mereka tidak terlalu banyak,
tapi diantara yang sedikit itu I really
love it. Tokoh lain yang mencuri
perhatian penulis itu si Komandan Jaka yang diperankan Joe Taslim.
Meskipun di beberapa ulasan aksinya banyak dikritik, tapi penulis pribadi sih menikmati aksi si komandan. Mimiknya pas marahin si sersan gak tau diri
setelah jadi pihak yang paling bertanggung jawab atas melayangnya nyawa anak
buahnya wih kayak bener-bener nunjukin jiwa
pemimpinnya ya. Belum lagi sekalipun
si sersan itu sumber petaka, tapi tanggung jawabnya sebagai pimpinan malah
membuatnya tetap pasang badan buat si sersan.
Ada
satu fenomena unik yang penulis tangkap dari film model begini. Si tokoh utama itu rata-rata digambarkan
sebagai tokoh pendatang baru, entah baru ditugaskan atau baru
dipindahtugaskan. Selain itu selalu
diceritakan sedikit latar belakang si tokoh yang umumnya sudah berkeluarga atau
minimal kekasih yang tengah dalam kondisi hamil. Jadi, selalu ada motivasi lebih dari sang
tokohh untuk membuktikan kapasitasnya sekaligus bertahan hidup. dan, itu pun terjadi di The Raid ini. Di adegan pembuka digambarkan silih
bergantian Rama yang tengah shalat dan berlatih, kemudian ia yang baru beres
shalat tengah malam menghampiri istrinya yang terbaring di tempat tidur. Ia mengelus perut sang istri lalu mencium
keningnya sambil berucap “Aku cinta kamu, sayang” “Maafin aku, aku janji akan segera
pulang”. Nah, di tengah-tengah kondisi
kritis doi keingetan si isteri yang lagi ngelus-ngelus perutnya sambil senyum
deh yang bikin semangatnya kayak di-charge
lagi.
Anyway,
ini postingan yang awalnya tidak niat panjang-panjang, malah sepertinya udah di
luar batasan. Jadi, mari kita simpulkan
saja ya. Secara keseluruhan ya ini film
jaminan mutu deh terlepas dari unsur penceritaan yang bagi sebagian besar
kritikus dinilai kurang kuat. Maka dari
itu, bagi yang belum sempat ataupun mnyempatkan diri mampir ke bioskop buat
menyaksikan film ini, buruan deh.
Sekalipun film ini gak akan bernasib senahas film Indonesia lainya yang
gak bertahan lebih dari seminggu, tapi bukan tidak mungkin film ini akan segera
lenyap dari layar bioskop sebelum Anda sempat menyaksikannya. Bbanyak Film yang mengantri untuk ditayangkan
bung, ada Titanic yang tayang ulang pula!
Ahh…buruan lah sebelum kalian semenyesal penulis yang tidak sempat
menyaksikan Mata Tertutup. Yuuk…dukung
FILM INDONESIA BERKUALITAS! J