Senin, 30 April 2012

Good Bye April...

30 April, hanya sedikit postingan di bulan ini dengan satu postingan tertunda yaitu: Resensi Sanubari Jakarta. nampaknya ia akan dibarengkan saja dengan Modus Anomali.

April, bulan yang entah mengapa ingin segera dilalui, dan ketika sekarang sudah berada di penghujung april, keinginan ini seakan bersambut.

April, terlalu banyak hal yang menuntut perhatian lebih sehingga hal lain rasanya cukup terabaikan.

April, semakin menuju penghujung semakin banyak hal yang dituntut, yang harus difikirkan, dan harus dipenuhi.

April, tantangan, tugas baru, pengalaman baru serta berbagai cerita baru menyertaimu.

April, kepergianmu ku nanti untuk berganti dengan Mei yg semoga memberi berbagai cercahan peluang baru, semangat baru, harapan baru, sekaligus sumber kemakmuran dan kedigdayaan baru.

April, tanpamu takkan ada Mei, jadi kulepas kepergianmu dengan satu kata: "Terima Kasih untuk semua pelajaran dan pengalaman berarti selama 30 hari ini... semoga semua suka duka dalam masa 30 hari itu menggiring ku pada berbagai peluang manis dan menjanjikan di Mei esok" aamiin! :)

 *** 

ini ada bonus lirik of the month! 
"... Dan biarkan aku padamu
memendam sejuta harapan aku padamu
rasa ini tulus padamu
takkan berhenti sampai nanti ku mati
  
biarkan aku jatuh cinta 
pesona ku pada pandangan saat kita jumpa 
biarkan akau kan mencoba
tak perduli kau berkata tuk mau atau tidak.."

Sabtu, 14 April 2012

HI5TERIA


Peringatan: REVIEW ini mengandung SPOILER, jadi yang masih  pengen menyimpan rasa penasarannya disarankan untuk tidak membaca postingan ini. :D


Rabu kemarin penulis baru saja menyaksikan film Indonesia terbaru berjudul “HI5TERIA”.  Film horor minus adegan dan tampilan esek-esek berikut tanpa kemunculan mbak kunti, mas pocong, dkk.   Baca beberapa reviews, hasilnya banyak yang manyambut positif.  Meskipun digarap oleh lima sutradara muda, namun ada nama Upi Avianto di kursi produser sekaligus mentor kelimanya.  Hasilnya?  Begini nih kurang lebih “HI5TERIA” yang terbagi dalam lima segmen cerita ini berkisah….

1 # Pasar Setan
Director         : Andrianto Dewo
Cast               : Tara Basro, Dion Wiyoko,
Mengisahkan tentang Sari yang tersesat di hutan saat tengah dalam pendakian bersama sang kekasih, Jaka.  Sari akhirnya suatu hari bertemu dengan Zul yang terpisah dari dua teman pendakinya yang lain.  zul yang iba pada Sari akhirnya bersedia membantu Sari  mencari Jaka.  Di tengah pencarian, sampailah mereka ke hutan terlarang yang bisa membawa kita masuk ke dimenasi waktu yang lain.  Sari yang sempat memasukinya udah memperingati Zul untuk segera meninggalkan tempay itu, namun Zul yang penasaran malah terus menerobos masuk.  Akhirnya kejadian yang dialami Sari pun terjadi pada Zul.  Ia tersedot dalam dimensi waktu yang berbeda, bahkan dengan Sari.  Dia akhir kisah, di papan penumuman orang hilang di pos pendakian Gunung Dieng dipasang foto Zul yang diinfokan hilang sejak 2011 tepat di bawah foto lusuh Sari yang tertulis hilang sejak 1990.  Ada apakah sebenarnya di hutan terlarang tersebut?

2 # Wayang Kulit
Director         : Chairunnisa
Cast               : Maya Ontos, Sigi Wimala
Synopsis        :
Wayang kulit masih mengmbil daerah Jawa sebagai latar belakang.  Adalah Nicole, seorang turis yang tertarik meliput kisah wayang kulit yang semuanya diperankan perempuan secara tidak sengaja menemukan konde milik Sigi, salah seorang sinden yang selalu memegangi pipinya.  semenjak itu, ia mulai dihantui sejumlah teror dari suara-suara misterius juga bayangan dari wayang dengan kuku tajam yang seolah hendak menerkamnya.  Ditambah lagi, ia sempat tertusuk oleh konde tersebut.  Hingga satu hari di tengah pertunjukan wayang lainnya, ia yang dilanda kecemasan akhirnya memberanikan diri mendekati sisi ‘panggung’ yang diambt tatapan marah sang dalang.  Rupanya tusuk konde itu benar-benar membawa masalah, ketika ia mengejar Sigi yang berlari ke hutan, didapatinya bekas luka menganga di pipi kiri sang sinden.  Belum usai kekagetannya, sebuah pukulan dari belakang menghilangkan kesadarannya.  Ketika  sadar ia sudah terjebak di rumah si dalang yang memburunya.  Sekuat tenaga ia berusaha berontak dan keluar dari rumah yang gelap dan bau amis itu, namun sia-sia  bahkan ketika sudah keluar pun ia tetap harus berhadapan dengan orang yang selama ini ia percayai.  Selamatkan ia?

3 # Kotak Musik
Director         : Billy ChristianNicholas Yudi
Cast               : Luna Maya, Kris Hatta
Synopsis        :
Suatu malam, Farah dan koleganya Rio sedang menjalankan misi berburu hantu di sebuah bangunan tua.   Di tengah-tengah misinya, Farah mendapati seorang nenek gendut yang berjalan ke arah mereka dan masuk ke satu ruangan yang menyisakan boneka dan kotak musik yang menarik perhatian Farah.  Rupanya apa yang dilihat Farah itu tidak dilihat oleh Rio, pun tidak nampak di layar.  Namun, Farah yang seorang dosen lulusan terbaik dari salah satu universitas ternama di luar negeri, menganggap bahwa  itu tidak lebih dari halusinasi yang mempengaruhi pikiran seseorang.  Maklum saja, ia merupaka seorang yang tidak percaya dengan keberadaan hantu.  Hal ini terbukti dari tulisan best seller nya dengan judul “There Is No Ghost”.  Padahal ini sangat kontras dengan kenyataan bahwa ia sesungguhnya memiliki kemampuan melihat mereka yang berada di alam lain.  Namun,  ego intelektualitas dan logikanya lahh yang membuatnya mennafikan kekuatannya itu.  Perlahan namun pasti Farah pun tak mampu mengelak lagi dengan “kemampuan istimewa”-nya semenjak ia membawa pulang Kotak Musik dan Boneka lusuh tempo hari.  Akankah Farah “menyerah” untuk (akhirnya) menerima kemampuannya?

4 # Palasik
Director         : Nicholas Yudifar
Cast               : Imelda Therine, Poppy Sovia
Synopsis        :
Alkisah suatu waktu di masa lampau, hidup seorang wanita muda yang tengah hamil besar mendengarkan musik dengan syhadu di suatu senja yang tenang.  Tiba-tiba ia yang seorang diri terganggu dengan kelebatan-kelebatan aneh.  Ia pun bergegas menutup pintu.  Namun, saat pintu hampir saja tertutup sang wanita menjerit sejadi-jadinya, dan adegan pun beralih ke masa sekarang.  Vina yang tengah hamil besar diajak sang suami yang duda satu anak berlibur ke villa milik rekan kerjanya bersama-sama sang anak tiri.  Villa tua yang terletak di tengah-tengah hutan ini nampak asri dan tenang sehingga sangat cocok dijadikan tempat melarikan diri sejenak dari hiruk pikuk Jakarta.  Villa yang dijaga seorang bisu tersebut semakin lama semakin menimbulkan banyak keanehan bagi Vina.  Terlebih setelah ia secara sengaja tidak sengaja masuk ke satu kamar yang sedari awal telah diperingatkan terlarang dimasuki.  Di ruangan yang gelap gulita tersebut, ia dalam remang-remang cahaya korek api menemukan satu buku usang yang ternyata berisi tentang satu ilmu kanuragan yang disebut Palasik (asal Padang).  Selain itu tergantung pula  satu lukisan pengantin dalam busana adat Padang dengan muka sang istri tersamarkan.  Semakin keanehan menjadi, semakin penasaran ia sampai akhirnya satu fakta tak terduga menyesakannya.  Rupanya keanehan dan berbagai ancaman itu justru datang dari orang terdekatnya yang ia sadari setelah untuk kesekian kali masuk ke ruangan terlarang itu.  ia pun sadar bahwa di villa itu ia sesungguhnya sedang bertaruh nyawa.  Siapakah sebenarnya yang menginar nyawa Vina?  Dan untuk apa?

5 # Loket
Director         : Harvan Agustriansyah
Cast               : Ichi Nuraini, Bella Esperance
Synopsis        :
Seorang gadis muda penjaga loket mendapat tugas jaga shift malam di suatu parkiran gedung yang sangat sepi dan kelam.  Setelah berjibaku membenarkan lampu yang nyala-mati, ia pun mesti kembali berjibaku mengurusi palang yang tiba-tiba macet.  Di tengah usahanya, ia merasakan sejumlah hal yang menaikkan bulu kuduknya.  Keheningan dan dinginnya malam makin meniutkan nyalinya, apalgi usahanya membetulkan palang pun masih belum berhasil.  Putus asa, ia pun kkembali masuk ke dalam loket.  Ditemani satu computer  usang yang sudah mulai sering eror, tiba-tiba ia merasa ada yang melempari kaca loket dengan kerikil.  Sekali, dua kali, hingga setelah sekian kali ia pun penasaran dan bergegas keluar loket menari sumber lemparan.  Ternyata di luar ia malah menangkap sesosok bayangan wanita yang seperti tengah bermain petak umpet bersamanya.  Mendapati banyangan tersebut hilang dengan segera, ia pun kembali ke loket.  Lampu tiba-tiba mati, sebuah mobil yang dikendarai perempuan yang dilihatnya mmelaju ke arahnya, palang masih belum mau terbuka.  Ia yang ketakutan berusaha meminta pertolongan melalui hand phone dan walky talky, sayang semuanya sia-sia.  Si perempuan yang ternyata telah berumur tersebut sudah tidak ada di mobil, dan dimulailah mimpi buruk si gadis.  Dalam satu titik ketika ia kehilangan kesadarannya, tiba-tiba ia terbangun dan mendapati sosoknya yang tengah bertransaksi dengan satpam setempat.  ia pun mengikuti sosok tersebut hingga mendapati sosoknya tengah terlibat sesuatu dengan wanita yang menerornya tadi?  Apa yang sebenarnya terjadi?
***
Terhitung sejak Rumah Dara, penulis yang sebenarnya anti film horor atau thriller dan sejenisnya mulai memberanikan diri untuk menyaksikan genre tersebut dengan satu syarat yang mutlak mesti terpenuhi: TIDAK SEORANG DIRI.  Ya, kalau untuk genre film lain penulis bisa saja memaksakan nonton seorang diri, akalu untuk tipe ini: AMPUUUUN!

Anyway, ini film oke  BGT lah efek horornya, kalau pinjem kata-ka temen sih gini “tuh kan horor Indonesia itu mistis BGT, mending horor Barat deh”.  Penulis aja ya nulis ini sambil nginget lagi adegan filmnya, dan hii…masih kerasa lah efek horornya! Buat yang ngaku pecinta horor buruan gih ke bioskop terdekat sebelum terlambat!  However, ini film Indonesia loh, yang masa tayangnya…um….gak akan lebih dari satu minggu aja kalau filmnya gak laku.  Gak laku disini in term of quantity ya not quality!

O,ya, seperti biasa ada sejumlah unique things dari film ini yang kali ini bakal penulis jadiin penutup resensi yang gak kelar-kelar sejak minggu lalu ini…heu
  • ·        Di “Wayang Kulit”, pas adegan tangan Nicole ketusuk itu darahnya entah efek kamera apa gimana jadi lebih nampak oranye dibanding merah selayaknya darah.  Jadi kayak tinta magentanya itu loh printer infus…. Heu
  • ·   Setting villa di “Palasik” reminds me of setting “Rumah Dara”.  Entah kenapa berasa yakin kalau itu emang rumah yang sama kayak rumahnya bu Dara.  Meskipun di “Palasik” sudut pengambilan gambar rumahnya diambil dari sisi depan juga (yang jadi malah mirip rumah “The Perfect House” kalau tampak depan), tapi tetep penulis yakin itu rumah yang sama sama tempat pencacagan tamunya Ibu Dara itu.  Nah, apalagi salah satu cast-nya Imelda Therin, si anak bungsunya bu Dara yang suka mancing para ‘mangsa’ itu loh, makin berasa nostalgia “Rumah Dara”!  Bedanya sekarang, doi yang dulu pemangsa, kini jadi yang dimangsa!

  • ·       Among five, the most impressive one for me is the first “Pasar Setan”.  Gak ada penampakan aneh, gak ada ceceran darah, gak ada suara misteius, tapi terjebak di satu waktu dan tempat yang sama sendirian seterusnya bener-bener waw.
  • ·    The unique thing is that those five stories are directed by five young and talented directors.  The fact that only one among five directors who is the girl, and she direct a women-movie “Wayang Kulit”.  Women-movie because almost all of the main cast are women except one.

Kamis, 12 April 2012

GGG! :)


Enam laga tersisa, namun peluang memuncaki klasmen sudah hampir dipastikan tertutup.  Okelah tambahan 24 angka bisa mengatrol perolehan poinnya sekaligus menjaga keunggulan atas dua rival sekotanya.  Tapi, rasanya menggeser “Setan Merah” dari puncak klasmen adalah misi yang mustahil.  Selisih 18 poin hanya mungkin terlampaui jika skenario terburuk menimpa tim asuhan Sir Alex Ferguson tersebut: minimal imbang atau bahkan kalah di enam laga sisa, yang akan sangat sulit menjadi mungkin! 

Target yang jauh lebih realistis bagi tim ini adalah mengamankan posisi di tiga besar hingga musim kompetisi 2011/2012 ini berakhir.  Yang juga cukup realistis paling berusaha mengkudeta tim sekota pemuncak klasmen saat ini di peringkat dua dengan satu catatan saja:  MAKSIMALKAN ENAM LAGA SISA!  Bukan rahasia lagi kalau tim asa London Utara ini punya penyakit kambuhan yang sering kali jadi penghamabat terbesar dalam upaya menghentikan puasa gelar selama tujuh tahun: INKONSISTENSI.  Jika boleh berandai-andai, ada dua hal yang ingin diulangi:  andai tim ini tidak jorok membuang poin di awal-awal paruh musim pertama dan andai tim ini bisa memasukan satu gol di San Siro.  Tentu, jika keduanya menjadi nyata saat itu, kini akan lain ceritanya.  Masih ada dua ajang perburuan gelar tersisa  bagi tim ini.

Tapi, the game must go on, right?!?  Percayalah, akan ada masa ketika tim ini pada akhirnya mampu mengakhiri puasa gelarnya dengan sempurna, seperti:  dapat treble tanpa terkalahkan (kalau tanpa kebobolan terlalu mengawang-ngawang ya itu) di ketiga kompetisi tersebut.  ketiga gelar tersebut  bersal dari pertama kompetisi tertua di negaranya, kedua kompetisi liga domestik, serta kompetisi level benua tempatnya tinggal dengan mengalakan tim-tim yang pernah mengalahkannya di ajang ini seperti dua tim belang masing-masing asal  Spanyol dan Italia.  *harapan—bukan khayalan ya—tingkat tinggi!*

Kembali ke masa kini, kemenangan susah payah atas tim barunya Samir Nasri musim ini semalam menjadi modal penting bagi tim ini buat paling tidak ajeg di posisi tiga.  Andai saja pekan lalu tren positif tim berkostum merah-putih ini tidak dipatahkan QPR, kemungkinan mengkudeta duo Manchester masih cukup kuat.  Tapi, yang lalu biarlah berlalu, kembali ke topik awal yang penting saat ini bagi tim ini ialah fokus meraih poin penuh di enam laga pamungkas.  Masih ada derby penting melawan tim sekota.  Tiga tim satu kota berebut dua tempat tersisa ona Champion, barangsiapa tidak fokus, hemm…hampir dipastikan harus rela turun kasta ke Liga Eropa, termasuk tim ini.  Jadi sekali lagi sekaligus menutup posting ini dua pesan saja bagi tim ini: BE FOCUS AND CONSISTENT, GUNNERS! GO GUNNERS GO! J

Selasa, 10 April 2012

The Raid

Donny Alamsyah, Donny Alamsyah, Donny Alamsyah, Iko Uwais…..Joe Taslim!  Itu tuh kata-kata yang bakal terlontar kalau penulis ditanya seputar “The Raid”.  Film aksi Indonesia yang udah heboh sangat di pra pemutaran perdananya di Indonesia ini rilis sehari lebih cepat di AS sana.  “Untuk menghindari aksi pembajakan” kata si produser.  Film yang diakui secara internasional ini diproduksi oleh produser yang sama dengan film Merantau tiga tahun silam.  Bintang utamanya pun, Iko Uwais, merupakan bintang film yang sayangnya agak mengecewakan di pasaran.  Karena itu pulalah dalam film ternyarnya ini, Rio sang produser mengganti strategi pemasarannya dengan terlebih dahulu menjajakan film ini di berbagai festival film internasional.  Hasilnya? Sony Picture dan Mike Shinoda ikut trelibat dalam distribusi dan pembuatan scoring film arahan Gareth Evans. 

Fakta di atas tentu menajadi umpan yang pas untuk memancing perhatian bukan hanya penonton tanah air, tetapi juga dunia.  Khusus untuk penonton dalam negeri sebenarnya penulis gak begitu surprise ya mengetahui sambutan hangat yang mereka berikan.  Secara ya itu dia promosinya yang udah gila-gilaan duluan yang bikin para pemirsa tanah air ya  mau gak mau dipaksa melek dan akhirnya melirik film ini.  Film arahan Gareth Evan yang asli Australia ini kembali memasang Iko Uwais sebagai aktor utama setelah di Merantau.  Bahkan Iko pun akan kembali bermain di film arahan Evan lainnya yang direncanakan beeredar tahun depan.  Maklum saja, berdasarkan info dari sejumlah sumber yang penulis baca, kisah-nya bang Iko ini akan dijadikan trilogi.  Filmnya boleh berbeda, tapi genre ceritanya pasti action lagi. 

Ya, sepertinya itulah benang merah film triloginya Evan, sang sutradara.  Seperti “Merantau” yang sarat adegan bela dirinya, The raid pun hampir 99% nya berisi adegan laga.  Hanya di awal, tengah, dan akhir film saja penonton dibiarkan bernafas lega.  Sisanya?  Mungkin lain cerita bagi mereka pecinta film action, tapi bagi penonton tipikal penulis yang ya lebih menikmati jenis drama film ini jelas sangat memacu adrenalin.  Saking gak nahan sama kekerasan yang tersaji di layar bioskop, penulis sambil nyubitin teman di sebelah penulis yang dianugerahi sang Maha Pencipta dengan tubuh yang jika ia dicubiti pasti tidak akan begitu berasa.  Kurang dari lima menit, letusan peluru, pertarungan tangan kososng, pengeroyokan, cipratan darah, gerakan silat, teriakan-teriakan, hembusan nafas  terengah-engah, dll bergantian ‘meneror’ para penonton.  Dan, terror itu baru berhenti didua-satu menit terakhir!  Lima menit plus dua menit berarti hanya tujuh menit dari keseluruhan 109 menit yang tanpa adegan kekerasan.  Sisanya? Hemm…dah berasa nonton film horor aja  kali saking berulang kali menutup muka dan memejamkan mata sepanjang film.

Dari banyak resensi atau ulasan yang penulis baca, hampir semuanya mengapresiasi film ini dengan positif apalagi dari sisi teknis.  Sayangnya tidak sedikit diantara mereka yang merasa film ini secara penceritaan cukup mengecewakan.  Kenapa? Ceritanya dianggap terlalu dangkal atau kurang kuat.  Memang siih tidak sedikit pula yang memaklumi bahwa porsi penceritaan yang kurang kuat ini terlunasi oleh adegan laganya yang begitu pol dan nyata.  Penulis sendiri cukup sepakat ya kalau inti ceritanya itu terlalu sederhaa untuk berkembang sebegitu jauh.  Bayangkan ya, ada 20 polisi elit, masuk ke markas gembong narkoba di apartemen tak teurus yang semua penghuninya bersedia melakukan apapun demi si bos mafia yang notabene tuan rumah demi masih tetap bisa tinggal disitu.

Kebayang gak sih, apartemen 15 lantai yang pastinya dihuni banyak orang walau terlihat sepi, dikepung oleh hanya dua puluh orang pasukan elit dibawah komando satu kapten pengecut yang enggan membuka dalang penggerebakan pun menolak menambah pasukan?  Sekalipun mereka dibekali oleh seperangkat senjata canggih, namun terbukti jumlah yang juah lebih sedikit hanya mengantar mereka menyerahkan nyawanya cepat atau lambat.  Jangan heran ya kalau pada akhirnya sepanjang film fokus mereka bukan lagi pada bagaimana memburu sang target utama, namun lebih kepada bagaimana untuk bisa kembali keluar dari tempat yang bak neraka itu hidup-hidup. 

Adalah Rama yang bergabung dengna tentara elit dibawah pimpinan Jaka yang pagi itu mendapat misi khusus menyerbu marka gembong narkoba terkemuka Tama dibawah perintah sang komandan (Pierre Gruno).  Misi yang memaksanya meninggalkan sang isteri yang tengah hamil 7 bulan dan sang ayah yang sudah mulai renta.  Misi pertamanya sebagai anggota baru sekaligus misi personalnya untuk membawa ‘pulang’ sang kakak seperti janjinya pada sang ayah.  Awalnya semua berjalan lancar,  mereka berhasil melumpuhkan penjaga di bawah untuk menyelundup ke dalam apartemen.  Namun, misi nekat mereka mulai berubah menjadi mimpi buruk setelah seorang anak penghuni apartemen yang kedapatan berkeliarn di koridor  saat mereka mulai merasuk ke lantai lima apartemen itu lari dan memencet tombol yang terhubung ke monitor di ruangan Tama.  Sejak saat itu, satu persatu kawannya terbunuh.  Jika tidak sigap ia kapanpun bisa menjadi korban berikutnya. 

Semua pasukan yang tersisa tidka lebih dari setengah jumlah awal mereka pun sebisa mungkin menyelamatkan diri.  Hampir tidak ada sudut aman tersisa di gedung tua itu.  setiap  lantai tak luput dipasangi monitor yang tentu saja membuat langkah mereka menjadi sangat-sangat terbatas.  Bahkan, Rama mesti berpisah  dengan sang komandan yang pada akhirnya bernasib serupa anak buahnya.  Ia mesti melumpuhkan banyak orang baik dengan senjata atupun tangan kosong hingga di tengah kondisi terburuknya ia pun bertemu dengan sang kakak yang sudah menghilang enam tahun belakangan dan ternyata menjadi tangan kananya Tama.  Pertemuan ini pun tak luput dari intaian kamera Tama yang mejadi sangat murka.  Ia pun tak segan menjatuhi hukuman pada Raka, sang anak emas melalui tangan Mad Dog, tangan kananya yang lain.

Rama yang berhasil bernafas lebih panjang karena diselamatkan Raka akhirnya mendapati sang kakak tengah berada di ujung maut.  Akhirnya brdua mereka pun terlibat pertarungan tangan kosong dengan  Mat Dog.  Sementara itu sersan Piere dan salah satu rekan Rama yang masih bertahan hidup berhasil masuk ke kamar pribadinya Tama.  sayang setelah berhasil mengikat Tama, ia malah menembak rekan Rama hingga tewas dan menggunakan Tama sebagai alat untuk mengeluarkannya hidup-hidup dari gedung mematikan itu.  Duo kakak beradik Raka-Rama akhirnya bisa melumpuhkan Mat Dog denga satu tusukan di leher, sementara Tama pun akhirnya tewas diterjang peluru Piere.  Tanpa kesulitan berarti, Rama, yang telah mengetahui bahwa Piere lah yang paling bertanggung jawab atas tewasnya sang komandan dan rekan-rekannya yang lain, dengan bantuan Raka berhasil melumpuhkan sersan Piere.  Berempat dengan satu rekannya yang terluka parah di perut, Rama akhirnya berhasil keluar dari gedung itu hidup-hidup.  Janji pada sang isteri untuk segera kembali pun terpenuhi, sayang janjinya pada sang ayah urung terwujud karena sang kakak lebih memilih untuk tetap tinggal  di gedung neraka itu lantaran “udah ngrasa pas” katanya.

Begitu menjelang gerbang Raka teriak “buka pintu!”,
“lu ikut balik sama gue!” kata Rama
“sekarang gue bisa aman, tapi apa elu bisa ngejamin keselamatan gue di luar sana!?” balas Raka
“ada gue, polisi, yang bisa ngelindungin elu!” jawab Rama berusaha meyakinkan
Raka menghentikan iringan langkahnya, membiarkan Rama yang tengah menggiring Piere diikuti langkah pincang rekannya menjauh.
“kayak yang elu bilang dengan seragam itu, tempat ini udah pas buat gue Ram!” katanya setengah berteriak.
Rama hanya bisa menelan ludah sambil terus berjalan tanpa pernah menatap lagi ke belakang; Raka pun segera balik badan sesaat setelah meneriakan pendiriannya pada sang adik.
Begitu Rama dkk keluar dari gerbang, barisan cast pun mulai bermunculan di layar, ruang bioskop yang semula gelap pun perlahan mulai bercahaya, dan  puluhan (mungkin sampe ratusan) penonton pun menarik nafas lega setelah dijebak dalam baku hantam di sepanjang seratus menit durasi film.  Kalau penulis sendiri langsung bersyukur “akhirnya credit title juga…ffyuuh….”.

Capek ya ternyata dibombardir adegan yang beda sekali sama film drama yang mandayu-dayu (ya eyalah, lo pikir!?!).  Tapi penulis terpaksa mesti setuju ya kalau unsur drama nya kurang, maksudnya semua terasa ujug-ujug tanpa tedeng aling-laing.  Gak jelas siapa dalangnya, gimana asal muasal keterlibatan Raka dalam gembongnya Tama, kenapa para penghuni apartemen kayak udah terlatih untuk siap perang dan membekali senjata baik sekedar senjata tajam sampai senjata api, gimana gedung yang sudang usang namun masih berlokasi di sisi jalan raya ini luput begitu saja dari pengewasan aparat berwajib?  Siapa sebenarnya Tama?  Semuanya misteri bagi penulis perbadi sih..

Tapi ya kemurahatian penulis skenario dan sutradara yang  membiarkan dua kakak beradik Raka-Rama tetap hidup sudah cukup membayar segalanya.  Chemistry Donny-Iko sebagi kaka beradik bagi penulis sih udah klop ya.  Asik lah liat mereka berdua di layar, meskipun porsi adegan mereka tidak terlalu banyak, tapi diantara yang sedikit itu I really love it.  Tokoh lain yang mencuri perhatian penulis itu si Komandan Jaka yang diperankan Joe  Taslim.  Meskipun di beberapa ulasan aksinya banyak dikritik, tapi penulis  pribadi sih menikmati aksi si komandan.  Mimiknya pas marahin si sersan gak tau diri setelah jadi pihak yang paling bertanggung jawab atas melayangnya nyawa anak buahnya wih kayak bener-bener nunjukin jiwa  pemimpinnya ya.  Belum lagi sekalipun si sersan itu sumber petaka, tapi tanggung jawabnya sebagai pimpinan malah membuatnya tetap pasang badan buat si sersan. 

Ada satu fenomena unik yang penulis tangkap dari film model begini.  Si tokoh utama itu rata-rata digambarkan sebagai tokoh pendatang baru, entah baru ditugaskan atau baru dipindahtugaskan.  Selain itu selalu diceritakan sedikit latar belakang si tokoh yang umumnya sudah berkeluarga atau minimal kekasih yang tengah dalam kondisi hamil.  Jadi, selalu ada motivasi lebih dari sang tokohh untuk membuktikan kapasitasnya sekaligus bertahan hidup.  dan, itu pun terjadi di The Raid ini.  Di adegan pembuka digambarkan silih bergantian Rama yang tengah shalat dan berlatih, kemudian ia yang baru beres shalat tengah malam menghampiri istrinya yang terbaring  di tempat tidur.  Ia mengelus perut sang istri lalu mencium keningnya sambil berucap “Aku cinta kamu, sayang”  “Maafin aku, aku janji akan segera pulang”.  Nah, di tengah-tengah kondisi kritis doi keingetan si isteri yang lagi ngelus-ngelus perutnya sambil senyum deh yang bikin semangatnya kayak di-charge lagi. 

Anyway, ini postingan yang awalnya tidak niat panjang-panjang, malah sepertinya udah di luar batasan.  Jadi, mari kita simpulkan saja ya.  Secara keseluruhan ya ini film jaminan mutu deh terlepas dari unsur penceritaan yang bagi sebagian besar kritikus dinilai kurang kuat.  Maka dari itu, bagi yang belum sempat ataupun mnyempatkan diri mampir ke bioskop buat menyaksikan film ini, buruan deh.  Sekalipun film ini gak akan bernasib senahas film Indonesia lainya yang gak bertahan lebih dari seminggu, tapi bukan tidak mungkin film ini akan segera lenyap dari layar bioskop sebelum Anda sempat menyaksikannya.  Bbanyak Film yang mengantri untuk ditayangkan bung, ada Titanic yang tayang ulang pula!  Ahh…buruan lah sebelum kalian semenyesal penulis yang tidak sempat menyaksikan Mata Tertutup.  Yuuk…dukung FILM INDONESIA BERKUALITAS! J