Sabtu, 08 Oktober 2011

A Memory of an Old Friend





Namanya umum, sangat umum bila tidak ingin disebut pasaran. Aahh..tidak usahlah tahu siapa namanya karena akan ada 1001 nama serupa di dunia ini. Meski demikian, sifatnya tak seumum namanya. Tidak begitu spesial, namun agak berbeda dengan makhluk bejenis kelamin pria cilik (baca: anak lelaki) seumurannya. Ia teman skelasku di masa SD. Bukan hanya sekelas, menginjak kelas lima kami mulai ‘dipesatukan’ dalam satu meja yang sama (baca: sebangku). Bukan mauku, pun maunya duduk dalam satu bangku. Kami hanya menerima hasil jadi dari ‘panitia’ pengatur tempat duduk. Kami berbagi tempat duduk selama ahh..aku lupa satu atau dua tahunan, yang jelas tidak lebih dari itu. Meski kami duduk di bangku yang sama secara acak, namun ku rasa itu takdir (ya memang yah wong udah kejadian! Hehe)!

Takdir yang ‘mempersatukan’ kita! Setelah mulai duduk bersama ada banyak hal yang kuketahui sekaligus kupelajari dari sosoknya. Sebelum kami diperstukan, aku dan mungkin juga ia tak begitu saling memperhatikan satu sama lain. Buktinya aku tak begitu bisa mengingat segala sesuatu tentang dirinya sebelum kami menjadi teman sebangku. Yah..sosoknya baru bisa terekam setelah kami ‘terjebak’ di satu bangku yang sama, setelah masa-masa kebersamaan kami.

Usut punya usut terkuaklah bahwa kami memiliki satu mata pelajaran fvorit yang sama: IPS! Yaa..bisa dibilang kami layaknya maestro IPS di kelas kami (bukan bermksud sombong hanya membeberkan fakta). Dari mulai ibu kota Negara, mata uang, nama-nama Raja Islam, Hindu, Budha, hingga tokoh-tokoh di era pergerakan perjuangan nasional merupakan hal-hal yang akrab bagi kami sekaligus menyenangkan untuk diselami. Berani menyebut maestro karena pada masa itu IPS yang penuh hafalan merupakan mata pelajaran yang cenderung dihindari oleh kebanyakan siswa di kelas kami bahkan seluruhnya kecuali kami. Pokonya IPS itu mengasyikan bagi kami. Bahkan aku berani bertaruh bahwa IPS kami jauuuuuuuh lebih baik daripada temanku sang juara kelas abadi (selalu ranking1 dari kelas 1-6). Saking cintanya kami dengan IPS, tak jarang terjadi persaingan terselubung di antara kami semisal dalam kuis.

Sampai suatu hari ada seleksi olimpiade tingkat SD. Saat diadakan seleksi tingkat SD, masing-masing kelas diminta mengirimkan 1 wakilnya untuk kemudian menjadi wakil di tingkat kecamatan. Ingin rasanya aku berpartisipasi, yaahh…itung-itung mengetes kemampua IPS-ku. Namun sayangnya, wali kelasku lebih mempercayainya. Memang meski kami sama-sama maestro toh selalu ada yang the best of the best, dan harus kuakui he’s a little bit better than me (only a little)! Lagipula aku pun tak mau ambil resiko untk kalah dan gagal dan bisa saja jadi cemoohan teman sekelas dan tentu saja ia. Maka meski tak rela kuikhlaskan juga kesempatan itu untuknya, walau ada sebersit keirian toh ku diam-diam tetap mendoakannya. Bagaimanapun suksesnya sukses kita (sekelas) semua, pikirku. Sayangnya ia gagal melewati tahap seleksi di kompleks SD sehingga tak bisa melanjutkan ke tahap berikutnya. “aahh..andai aku yang mengikuti seleksi itu…” batinku sesaat setelah mengetahui hasil seleksinya. Ada segores penyesalan dengan terpilihnya ia mewakili kelas, tanpa sadar aku bahkan seolah meragukan kemampuan IPS nya. Aku pun kemudian menjadi begitu penasaran dengan soalnya. Seberapa sulit sih sampai-samai sang maestro dari maestro IPS di kelas tak bisa mengatasinya. Besar sekali keinginanu untuk bertanya tentang soal-soalnya. Besarrrrr sekali malah! Namun aku enggan, gengsi, lebih tepatnya…tak berani!

Enggan bertanya hanya untuk mendapat jawaban yang ketus darinya. Ya, begitulah ia, acuh tak acuh. Ekspersinya datar. Ada semacam keangkuhan dalam dirinya yang dibalut dalam mimik serius tak pedulinya. Ada keenggan dari setiap jawaban ketusnya. Namun ada pula ketulusan dari senyum manisnya (eleuh, masa iya?!). Aahh..yaa meski samar toh akau masih bisa mengingat seberkas senyum manis yang beberapa kali menghiasi mukanya yang agak bulat. Lega rasanya batin ini bila ia mulai mengembangkan senyum meski hanya seulas. Ia, pada dasarnya ialah seorang yang berhati lembut, namun entah mengapa ia sepertinya lebih nyaman menampilkan sosoknya yang tak acuh bahkan cenderung kasar secara verbal. Itulah, itu yang membuatku terkadang kesal dengan sikapnya.

Selama berbagi bangku, kami jarang mengobrol secara penuh. Interaksi sehari-hari antara kami cenderung berlangsung seperlunya saja. Itupun seingatu aku yang lebih banyak memulai percakapan. Eehh..tapi sempat beberapa kali ia berceloteh, bercerita ramai tentang beberapa hal. Tentang rumah dan kakak sepupunya kalau tak salah. Di saat seperti itu ia berubah menadi sosok yang ramah dan besahabat. Aku sih sepertinya tidak pernah bercerita yaa kepadanya, malah aku lebih cenderung menjadi pendengar baginya.

Pernah satu kali ia absen selama berhari-hari dari kelas. sakit katanya. Akhirnya saat ia sudah mulai kembali masuk sekolah, meski sempat ragu kuberanian juga untuk membuka mulut sekedar bertanya ‘kenapa gak masuk?’. Belum sampai beres pertanyaan itu kuucapkan, ia dengan cepat, tenang, dan yakin berikut datar nan singkat menyerobot ‘sakit’! ooh..bener toh sakit, tapi “sakit apa?” tanyaku lagi masih penasaran. Aku lupa saat itu ia sakit apa yang jelas ia sempat menjawab pertanyaanku dan masih tetap dengan gaya yang sama. sebenarnya masih banyak yang ingin kutanyakan seperti seberapa parah sakitnya sampai berhari-hari gak masuk? Dirawat atau tidakkah ia? sudah benar-benar sehatkah ia? Yaa..pertanyaan yang menurutku wajar disampaikan oleh kawan sebangku yang erasa ujug-ujug ‘ditinggakan’ oleh kawan sebangkunya selama berhari-hari tanpa kabar pasti. Namun, itu tadi buncahan pertanyaan itu kubiarkan saja melebur bagaikan buih di lautan setelah kumendengar jawaban pertamanya. Hilang sudah nafsuku mewawancarainya! Maka, sisa hari itu pun kupilih untuk bungkam.

karena dia putih, jadi polar bear deh..heu
Sebenarnya, kami tak melulu terjebak dalam diam.  
Tak melulu terperangkap dalam keheningan. Bahkan berkali-kali kami terlibat dalam percekcokan yang sesekali melibatkan kontak fisik. Yaa..diam-diam ia memiliki sisi jahil dan jenaka. Ia sebenarnya salah satu teman dekat lelaki yang aku sukai saat itu, semacam cinta monyet lah. Ia, lelaki yang kusukai berikut dua orang lainnya tergabung dalam kelompok lelaki jahil yang kujuluki kelompok aneka satwa. Masing-masing dari mereka kujuluki dengan nama binatang, agak kasar memang tetapi sungguh tak ada niatku menghina mereka sama sekali. Just for fun! Ada monyet, lutung, hingga babi! Ia sendiri kujuluki beruang. Hemm..sejujurya sifat asli mereka tak seburuk julukan mereka, sama sekali tidak malah. Sebaliknya sifat mereka itu layaknya para idola ala drama Korea. Pintar, baik, dan tentu saja good looking (berat rasanya untuk mengatakan tampan). Namun dibalik sikap cool-nya, mereka terutama terhadapku teramat usil. Ahasil hampir saban hari di waktu istirahat waktuku dihabisakna untuk main kejar-kejaran dengan mereka .


Kejahilannya itu masih berlanjut bahkan hingga kita menjadi teman satu bangku. Memang tak separah saat di luar kelas dan ketika ia bergabung dengan kawan sepermainanya di kelompok aneka satwa itu, namun tetap saja cukup menganggu. Kejahilannya bahkan makin parah tatkala kita sudah tak lagi dipersatukan dalam bangku yang sama. Saat kami naik ke kelas 6, aturan baru pun dibuat dengan merubah pola duduk heterogen menjadi homogen. Maka, berpisahlah kami. Sialnya, nasib masih ‘mendekatkan’ kami. Betapa tidak, bangkuku dan bangkunya saling besebrangan sehingga ia masih bisa dengan begitu leluasa menganguku! Yaa..meski telah berpisah, ulah jahilnya belum juga surut. Ia goyangkan ujung bangku tempatku duduk sampai-samapi teman sebangkuku protes memintaku untuk mebuat ia berhenti memainkan bangku kami. Aku telah berusaha, namun sia-sia! Ia tetap saja dengan kejahilannya, aku hanya bisa diam sambil mrngutuknya dalam hati seraya menyiapkan diri mendengar ocehan teman sebangku barukku yang merasa terganggu oleh ulahnya dan kediamanku.

Aku kadang tak paham dengan sikapnya yang heterogen itu. Terkadang ia begitu menyebalkan, terkadang begitu cuek, terkadang baik, terkadang begitu jahil, terkadang begitu jenaka. Makin tak paham dengan sikapnya padaku. Saat kita begitu dekat ia lebih banyak “menyia-siakan”ku, namun saat kita sudah terpisah bangku, ia justru sering ‘menggodaku’ dengan sejuta kejahilannya. Aahh..sikapmu sungguh membuatku bingung, sungguh. Hem..atau mungkin itu ya yang disebut dengn rindu itu baru terasa setelah kehilangan!

Ia tergolong anak lelaki yang pandai di kelas. Selain IPS, ia pun berbakat dalam banyak mata pelajaran lain seperti Matematika. Ia tergolong siswa gemilang. Sayang beribu sayang memasuki pertengahan kelas enam entah mengapa dan apa kesalahannya yang sebenarnya ia beserta beberapa teman sekelas lain menjadi objek penderita dari rezim yang berkuasa di kelas saat itu. ia begitu sering dibully, disakiti secara mental dan mungkin saja fisik oleh mereka. Berbagai ancaman hingga celaan ia terima. Tak jarang emosinya terpancing juga. Sialnya kelas saat itu sering kali dalam keadaan status quo (ditinggalkan wali kelas yang entah kemana) sehingga rezim yang berkuasa saat itu dengan mudahnya mengisi kekosongan itu. Dan malangnya, masa-masa seperti itu mereka manfaatkan betul untuk menguliti para objek penderita, termasuk dirinya. Yang lebih membutaku prihatin pernah satu kali ia sampai ditampar dan didamprat guru agama saat berkelahi dengan salah seorang anggota rezim yang berkuasa karena ialah yang dituduh sebagai pihak yang mencari gara-gara. Padahal, jelas-jelas ia justru sang korban, ya ia korban!


Aku iba padanya, aku hanya bisa berdoa semga kebenaran segera terungkap, semoga ia kuat. Dalam hati aku mengutuk diriku yang begitu ciut untuk menyuarakan kebenaran, untuk membelanya, saingan IPS ku, mantan teman sebanguku! Aku mengutuk diriku yang sedemikian lemah, aku mengutuk diriku yang hanya bisa berteriak memaki sang penguasa rezim dalam hati sedang mulut diam mebisu,aku mengutuk kediamanku! Aku pun ingin sekali berteriak ‘hey…ia sama sekali tidak salah, bukan salahnya!’ saat tangan guru agamaku menyentuh pipinya, mulut cadelnya mulai menceramahi sekaligus menghakiminya, namun lagi-lagi aku begitu pengecut dan memilih meyerah pada ketidakberpihakkan. Aku teringat ia pernah bercerita tentang keluarganya. Ia anak tunggal dari sepasang orang tua yang tergolong telah berumur. Orang tuanya telat memiliki anak. Ibunya pun menderita suatu penyakit yang membuatnya mesti dibantu oleh kursi roda. Rumahnya di suatu daerah di seiktar Bandung Timur, bertetangga dengan guru agama kami. Bahkan, orang tuanya dan guru kami itu konon berteman dekat sampai-sampai mereka berpesan untuk melakukan apa saja bila anaknya membuat masalah. Dan, dalih itulah yang beliau gunakan saat memarahinya. Sedih, ya jujur aku sedih. Bagaimanapun ia temanku teman sebangkuku, meskipun itu dulu.

Masa-masa sulit di kelas 6 ternyata sangat mempengaruhi hasil belajarnya. Bukti shahihny NEM terakhirnya hanya 34 atau 36 (aku lupa) yng tergolong agak rendah saat itu. padahal di latihan ujian awal nilainya sudah di atas 30 sedang aku saja masih di angka 29. Walhasil ia masuk sekolah negeri yang jaraknya relatif agak jauh bila ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi syukurlah ia masih bisa masuk sekolah negeri. Bagaimanapu ia seorang yang cerdas, sungguh sayang bila kemampuannya tak terakomodir. Selain nilainya, sikapnya pun ikut terpengaruh. Ia jadi lebih murung dan diam. Raut wajahnya seolah dipenuhi oleh aura kesuraman. Ia menjadi berbeda. Aku hampir tak mampu lagi mengenalinya.

Semenjak lulus SD aku sebenarnya cukup sering berpapasan dengannya terutama di waktu berangkat dan pulang sekolah. Arah sekolah kami sama hingga titik tertentu. Namun sayang, semnjak lulus ia menjadi begitu berbeda. Ia seolah tak mengenaliku ketika kami berpapasan. Malah penah saat aku berjalan dalam jarak yang sangat dekat dengannya, kami bahkan tak barang saling senyum sekalipun. Ingin sebenarnya ku mengmbangkan senyum, namun sirna seketika melihat ekpresi datar tak acuhnya. Setelah lulus SMP aku hampir tak pernah lagi melihatnya hingga saat digelar reuni SD kami, sekitar dua tahunan pasca lulus SMP tepatnya di kelas dua SMA. Dari sekitar empat puluhan siswa di kelas kami, kurang dari setengahnya yang hadir. Tetapi, ia pun hadir! Bahkan sempat melempar senyum dan sedikit berbasa-basi. Meski singkat, cukup nice laah.

Setelah itu, aku sempat beberapa kali sekedar melihatnya melintas dengan motor. Bahkan dalam beberapa kesempatan aku yakin ia pun melihatku sebenarnya, namun entahlah ia seperti selalu sengaja menghindarkan pandangannya dariku sekalipun ia melihatku sebetulnya. Ya, aku yakin ia melihatku, pasti! Melihatnya begitu ada sebersit kekecewaan dalam diriku. Mengapa ia sampai enggan walau hanya melihat dan memberikan sedikit senyum padaku, mantan teman sebangkunya. Tidak ada rasa sakit memang karena pada dasarnya ku padanya ialah seorang teman yang mengagumi teman yang pernah begitu dekat secara jarak dengannya. Rasaku padanya sebenarnya hanya sebatas kagum, ya, kagum akan pribadinya dan kecerdasannya. Aku memang kagum pada sosoknya di masa SD, tapi tidak yang sekarang. Rasaku padanya berbeda dengan rasaku pada teman sepermainannya. Ku rasa perasaanku ini belum bisa digolongkan sebagai perasaan suka terhadap lawan jenis, hanya kekaguman seorang teman terhadap temannya. Kagum, ya begitulah kira-kira perasaanku terhadapnya. Kuharap suatu saat nanti kami bisa bertemu lagi, bahkan mengenang masa lalu bersama, mengobrol, saling berbagi pengalaman yang lalu, yang penuh canda tawa hingga canda hina.. toh kita mungkin hanya mantan teman sebangku, tapi kan teman tetaplah teman sampai kapanpun, kan tidak ada istilah mantan teman juga toh..hehe

A Confession from a Secret Admirer




Senyumnya memaksaku tuk mengaguminya di kali pertama ku melihatnya. Dia tampan dibandingkan dengan rekan-rekan sejawatnya saat itu, namun ketampanannya toh masih dibawah lelaki idamanku di masa SD, semacam cinta monyet begitulah. Tapi yang paling menraik darinya justu pesona yang entah dari mana datangnya. Pandangan pertama saja telah mampu mebius hatiku.

Saat itu, aku tak sengaja melihatnya. Meski tak terjadi kontak mata, malah hanya ada kontak sebelah mata (dari pihakku), namun ku langsung saja merasakan satu getaran aneh yang mendesir begitu saja di rongga antara dada dan perut ini. Senyum pun tiba-tiba smerekah dari kedua sudut bibir ini tatkala ku menangkap sosoknya berkeliaran dalam jarak yang cukup jauh untuk dibilang dekat, namun tak begitu jauh pula. Sosok yang tidak tinggi, namun tak begitu pendek; tidak krempeng, namun tak juga kekar. Sosknya dalam balutan kaos oblong dan celana selutut ketika menaiki satu per satu anak tangga begitu ajeg, aahh…meski ku hanya sanggup memandangi penggunggnya.

Lamunanku akan sosoknya yang memesona tiba-tiba saja mesti diakhiri tatkala seseorang dari arah belakangku berteriak halus namun tegas dan kuat “hey..!” yang sepertinya memang ditujukan pada sosok yang sedang menapaki satu demi satu anak tangga di depan. Kontan saja ia yang merasa terpanggil memutar kepalanya dengan takzim. “hey…apa-apaan ini!?” jeritku dalam hati. Tak lama suara itu pun kembali berseru “hey, ini kata mbak Aya” serunya enteng penuh kemnangan. “apa??” pekikku masih dalam hati kaget bercampur malu dan senang. Kaget dengan ‘serangan’ tak terduga dari pihak tak terduga, malu tatkala si empunya suara menunjuk ke arahku membuatnya menyadari keberadaanku, tapi senang karena ku bisa menikmati sejenak wajah penuh karismanya. Ya karisma, ada semacam karisma yang mebikin wajah yang tampan tapi tidak terlalu dalam seleraku ini menjadi begitu menguasai seluruh ruang di kepalaku. “oh, God! What is wrong”.

Beruntung, ku masih bisa menguasai diriku untuk sekedar mengambil langkah seribu sebelum ia menyadari keberdaannku. Keputusan yang kuanggap tepat mesti terjadi di detik-detik terakhir dan tetap menyisakan penyesalan.Penyesalan karena ku tak bisa lagi menatapnya lebih lama. Yah, pemandangan yang begitu menawan itu kini hilang, sirna seketika karena ulah si empunya suara yang secara –maaf- kurang ajar menggangguku. Namun aku pun mestinya berterima kasih karena berkatnya setidaknya ku bisa menyaksikan waah tampannya meski hanya sekilas saja.

Si empunya suara tak lain ialah pamanku. Ya, paman yang baik sebetulnya, tapi tidak untuk saat itu. memang jarak ku berdiri di rumah nenekku yang bersebrangan dengan tempat ia tinggal saat ini hanya terpisah oleh jalan selebar 4-5 m jadi mudah saja untuk mengamati bahkan memanggilnya begitu saja. Apalagi dalam kondidi jalanan yan lengang dari kendaraan tanpa harus berteriak seperti para pdagang di pasar pun suara kita bisa mudah terdengar oleh orang di seberang sana.

Yang membuatku kaget serobotan pamanku yang tiba-tiba membuatku panik dan menjadi begitu tak berdaya. Oke, akau kagum, bukan lebih dari sekedar kagum karena aku sudah tertarik padanya, ya dia telah berhasil mencuri perhatianku! Tapi tidak seperti ini caranya, sungguh aku ingin menatapnya bahkan dari jarak yang begitu dekat tapi tidak saat itu, aku belum siap. Bagaimana jika persaanku yang entah apa ini bertepuk sebelah tangan? Terlalu dini memang untuk menakarnya saati tu, tapi…….

Aahh..salah satu momen yang sulit ku lupa bahkan hingga saai ini. Sayang pamanku tidak benar-benar menyeriusi menjadi semaca mak combalang bagiku dan dirinya, tak ada sesuatu yang bisa membuat kami jadi lebih dekat sejak kejadian itu meski pada akhirnya aku dan dia saling kenal. Bertahun-tahun berlalu, beberapa kali ia menyenyumiku, namun sayang kejaimannku membuat hubungan kami tak berkembang dari hanya sekedar saling membalas senyum.That’s all. Bahkan ia bisa begitu saja lebih mudah akrab dengan karbibku yang tahu (tepatnya ku beri tahu) bahwa aku tertarik padanya. Aku tak pernah lagi punya kesempatan yang dulu pernah kulewatkan itu. Aku tak pernah benar-benar berinteraksi dengannya, ku tak pernah hanya sekedar berbas-basi dengannya, ku tak pernah mempersempit arak yang 4-5 m tadi, bahkan yang ada jarak itu semakin melebar dan nyata adanya. Ku tak bisa menjadi bagian darinya. Bahkan di saat terakhir ia berada ditempatnya tinggal selama menamatkan masa sekolah menengahnya, sampai saat itu pula kami tak pernah benar-benar lebih dari sekedar berbalas senyum.

Enam tahun dalam khayalan tanpa akhir yang manis. Mengambang tanpa ada akhir yang nyata. Semua tak lebih dari kekaguman terpendam, yang masih dan sepertinya memang akan terus terpendam tanpa sempat terucap. Ku tak tahu apa ia pernah merasakan rasa yang sama denganku, namun aku pun tak begitu ingin tahu lagi. Cukup. Harus ku akhiri perasaan yang tanpa sadar telah kubiarkan tumbuh ini. Ia telah manjalani kehidupannya sendiri, pun ku. Pasca perpisahan itu sempat ku beberapa kali berumpa dengannya. Dan tiap-tiap ku tatap lagi wajah itu, sosok itu, desiran aneh itu meski halus, halus sekali masih terasa. Bahkan terakhir kali ku bertatap wajah dengannya getaran halus itu masih ada, senyumnnya masih begitu berkesan, dan kekaguman itu ternyata belum benar-benar hilang.

Pintaku hanya agar aku bisa istiqomah dengn perasaaknu. Sudah kuniatkan sejak aku tak jua bisa bercengkrama lebih jauh dengannya untuk tidak lagi memelihara perasaan yang memang sengaja tidak kubabad meski juga tak ku rawat dengan baik (dibirkan mengalir saja). Ku tak pernah senantisa mnegingatnya di setiap hariku, namun bayangankannya masih rutin mencuri-curi muncul di benakku. Ohh, andai saja rasa ini berbalas, andai ia menjadi nyata alangkah indahnya. Namun, sekali lagi ku sama sekali tak berani berharap, jangankan berharap ia akan membalas perasaanku, berharap ia mnyedari keberadaanku pun saja kini aku enggan. Biarkan semua menjadi kenangan manis bagiku yang cukup hanya aku saja yang tahu.











Jumat, 07 Oktober 2011

Sinema Wajah Indonesia: Undangan Kuning

setelah sekian lama..aahh...akhirnya kembali bisa memposting resensi Sinema Wajah Indonesia :D, mengambil setting di Banyumas, SWI kali ini mendapuk Kirana Larasati sebagai pemeran utama. Here the story..

Cerita dibuka dengan rencana pernikahan Ulfah, putri Pak Makbur dan ibu Halimah. Pak makbur merupakan salah seorang pejabat pemerintahan daerah yang tinggal di dusun. Dengan statusnya yang pejabat ditambah status putrinya yang baru saja menyandang gelar dokter yang sekaligus menjadi dokter pertama di desa tempatnya tinggal, ia merasa perlu menyelenggarakan pesta pernikahan putrinya secara besar-besaran. Selain mengundang warga desa setempat, ia pun mengundang sejumlah koleganya dari kalangan elit pemerintahan kabupaten serta tokoh berada serta berpengaruh lainny. Ia banyak mengundang mereka yang konon dekat dengan Bupati.

Permasalahan berawal ketika Pak Makbur menginginkan agar resepsi dibagi dalam dua sesi, yakni: pagi dan sore. Sesi pagi khusus untuk warga desa di sekitar tempat tinggal pak Makbur yang sekaligus merupakan tetangganya, sementara sesi sore diperuntukkan bagi para tamu undangan khusus (pejabat dan sejenisnya). Menjadi lebih bermasalah ketika undangannya pun bahkan dibedakan ke dalam dua warna; merah dan kuning. Undangan merah khusus untung tamu undangan di pagi hari yakni warga desa setempat, sedangkan yang kuning bagi tamu undangan khusus. Makanya, ketika ia sendiri mendapat undangan berwarna merah (yang ia sendiri anggap undangan kelas dua), ia malah mengabaikannya (karena dianggap tidak begitu penting).

Sebenarnya Ulfah, sang pengantin, sebenarnya kurang setuju dengan ide ayahnya yang membeda-bedakan tamu undangan dengan memberikan dua jenis undangan yang berbeda serta membagi resepsi dalam dua sesi. Namun, pada akhirnya sebagai anak ia manut saja dengan kemauan ayahnya. Terlebih setelah ayahnya meyakinkan bahwa pembedaan seperti itu sudah mulai umum dilakukan oleh ornag-orang berada. Alasannya sih, untuk mengantisipasi membludaknya tamu undangan, padahal alasan yang jauh lebih pokok sepertinya lebih pada gengsi sebagai pejabat dan sejenisanya.

Warga setempat yang pada akhirnya mengatahui ihwal pembedaan undangan serta waktu resepsi bagi mereka dan para pejabat put menjadi geram. Banyak diantara mereka yang merasa harga dirinya diinjak-injak dan bakhirnya memilih untuk memboikot resepsi pernikahan putri orang penting di kampungnya tersebut dengan mengancam tidak akan hadir dalam resepsi tersebut. Celakanya, banyak diantara warga yang kontra akan keputusan pak makbur. Mereka protes, mengapa mereka yang jelas-jelas tetangganya harus dibeda-bedakan dengan mereka yang sekedar “rekan” nya. Diantara warga yang ikut memboikot itu ialah ibunda Sulis (Early Ashi) serta istri Pak RT.

Mengetahui rencana pemboikotan yang akan dilakukan oleh warga, Pak makbur sempat kalangkabut. Karenanya ia meminta batuan dari beberapa warga yang masih “waras”, seperti Sulis (Kiran Larasati) gadis desa setempat yang cerdas dan bepikiran terbuka serta para tokoh desa setempat seperti Pak RT dan Pak Ustad. Ia meminta ketiganya untuk meberikan pengertian pada warga serta mebujuk mereka untuk mengurungkan niat mereka memboikot resepsi putrinya nanti. Bahkan ia meminta Sulis untuk menjadi penerima tamu di kedua resepsinya. Mereka bertiga pun kemudian dengan kompak memberikan pengertian pada warga lainnya bahwa perbedaan undangan dan waktu resepsi bukanlah suatu masalah yang mesti dibesar-besarkan. Mereka mengatakan bahwa perbedaan itu lebih karena faktor efektivitas, bukannya gengsi. Warga pun setelah mendapat “pencerahan” dari ketiganya secara perlahan namun pasti mengubur niatnya untuk memboikot acara resepsi pernikahan putri Pak Makbur tersebut.

Hari H pun tiba. Sesuai rencana resepsi dibagi ke dalam dua sesi: pagi dan sore. Resepsi pagi meski sempat diwarnai “kericuhan” warga yang saling berdesakan saat hendak memasuki arena resepsi, namun secara keseluruhan acaranya berlangsung lancar. Semua warga yang diundang berobondong-bondong hadir, bahkan beberapa warga desa yang mendapat undangan kuning pun memilih hadir di pagi hari bersama warga lainnya. Menjelang sore, para tamu pagi yang masih ada di area resepsi diminta segera meniggalkan lokasi karena akan dibereskan dan dipersiapkan untuk resepsi sore. Warga pun kemudian bubar, sementara petugas segera mempersiapkan kebutuhan untuk resepsi sore.

Sore hari pun tiba. Mempelai beserta kedua orang tuanya sudah kembali siap di pelaminan. Pun Sulis yang telah berganti kostum, sudah siap menerima tamu kembali di kloter kedua, di sore hari. Area undangan sudah rapi kembali, bahkan kali ini dekorasinya jauh lebih mewah. Makanan pun telah tersaji denga rapi di meja. Tak lupa satu set gamelan yang dipersiapkan untuk mengiringi para tamu yang hadir juga telah siap di salah satu sudut area pelaminan. Namun, menjelang waktunya belum satu kursi pun terisi, kontras dengan kondisi di luar yang telah disesaki warga yang penasaran menyaksikan seberapa meriahnya resepsi sore, bagi para tamu berundangan kuning, para pejabat atau tokoh penting.

Hari semakin sore, dan belum satu undangan pun yeng menampakkan batang hidungnya di lokasi undangan. Semua yang ada di sekitar, tak terkecuali Pak Makbur mulai resah. Setelah sekian lama, akhirnya ada tanda-tanda kedatangan tamu, aba-aba pun segera diberikan, dan orkes pun mulai berdendang. Namun, sayang yang datang hanya kurir yang diamanahi mengantar kado dari beberapa undangan. Beberapa waktu berselang, yang dinanti pun tiba, tiga pasang undangan tampak mengisi kursi yang telah bersarung putih. Sayangnya, sampai sekian lama tidak ada satu undangan lagi pun yang hadir. Malah, semakin banyak saja kado yang mampir tanpa sang tuan. Pak Makbur dan semua yang ada disitu kecuali warga—yang menjadi keheranan—pun mulai resah.

Akhirnya pada satu kesempatan, ia paham juga mengapa banyak sekali undangan yang tidak hadir. Rupanya berdasarkan informasi dari seorang kurir tahulah ia bahwa kebanyakan undangan yang rata-rata merupakan kolega dekat bupati lebih memilih hadir pada acara serupa yang diadakan bupati yang amat kebetulan dilaksanakan bertepatan dengan resepsi pernikahan anaknya. Ia pun sadar akan undangan merah yang pernah diterimanya beberapa hari yang lalu. Bergegas ia meninggalkan pelaminan dan berlari dengan senewen ke dalam rumah untuk mencari undangan merah yang sempat diabaikannya dulu. Ia pun tersedu dan menyesal telah mengabaikan undangan itu hanya karena undangan tersebut berwarna merah sehingga dianggapnya tidak penting. Ia merasa begitu sembrono sehingga memilih hari yang keliru: bertepatan dengan hajatan Bupati yang notabene jauh lebih penting bagi para undangan. Halimah, sang istri pun, sudah tidak ammpu lagi membujuknya untuk kembali ke pelaminan. “kasihan anak kita, Ulfah, bujuknya”. Setelah cukup puas meratapi kebodohannya, ia pun mau ke pelaminan setelah menyadario bahwa masih ada harapan untuk meningkatkan jumlah tamu undangan yang hadir, yakni mereka dari desa utara.

Akan tetapi, bagai jatuh tertimpa tangga, ternyata tak lama setelah ia kembali ke pelaminan, serombongan tukang ojek mebawa bnyak kado pun berhamburan ke lokasi pernikahan. Mereka membawakan kado sekaligus membawa berita buruk bahwa jembatan yang menghubungkan desa mereka dengan desa utara terputus sehingga tidak memungkinkan mereka yang rata-rat a bermobil untuk lewat karenanya hanya kado dan ucapan selamat yang mereka bisa berikan tanpa mampu hadir. Pak Makbur yang akhirnya mengetahui musibah itu berusaha tegar di depan putrinya. Tiga pasang undangan yang telah hadir pun akhirnya memilih pulang setelah menunggu sekian lama. Warga di sekitar yang menyaksikan peristiwa itu sekaligus mengatahui fakta ketidahadiran para undangan pun berinisiatif mengisi kursi-kursi yang tak kunjung berpenghuni sedari tadi.

Tangis Ulfah pun meledak menyaksikan pemandangan tersebut. Para warga yang telah berganti kostum dengan pakaian sehari-harinya (daster, kaus oblong, dsb) berbondong-bondong mengisi kursi seraya menatap kea rah pelaminan. Tangisan Ulfah tak kunjung mereda, bahkan semakin menguat. Sampai pada stu titik, akhirnya ia yang merasa malu dan sedih memilih berlari meninggalkan pelaminan, disusul robohnya pertahanan sang ayah. Akhirnya pelaminan pun hanya tinggal menyisakan besan Pak Makbur yang kebingungan dengan serangkaian fenomena tersebut. Warga pun kemudian segera meninggalkan tempat itu dan bubar setelah kepergian Ulfah dan Pak Makbur. Resepsi sore pun menjadi kacau balau. Entah berapa kerugian secara materi yang diderita oleh Pak Makbur untuk katering, sewa tenda dan dekorasi, serta biaya sewa orkes gamelan berikut sound sistemnya. Namun kerugian materil itu tidaklah seberapa dibanding kerugian moril yang ditanggunggya.

*Moral Values*
Jadi, pesan moralnya yang terakndung dalam kisah ini yakni bahwa dalam kehidupan bermasyarakat mungkin saja ada tingkatan sosial yang berbeda dari segi penghasilan dan pendidikan. Namun, bukan berarti perbedaan itu mesti dibesar-besarkan, atau malah dikentarakan. Toh pada dasarnya semua manusia sama nilainya di hadapan Sang Khalik. Kita, sebagai manusia kadang kala terlalu sombong ketika dititipi sedikit harta yang berlebih saja. Melalui tokoh Pak Makbur, kita diajak untuk tidak merendahkan orang lain hanya karena status sosialnya. Terlena dengan status sosial, merasa perlu membedakan mereka dari kalangan elit dan non elit yang berakhir kekecewaan. Dalam cerita tersebut, tentu akan lain bila pak Makbur hanya menyelenggarakan satu kali respsi. Sekalipun para tamu undangan kuning tidak bisa hadir, masih ada para tamu berundangan merah yang hampir 100% merupakan tetangga di desanya sendiri akan tetap memenuhi area pernikahan. Juga bila saja Pak Makbur tidak menganggap remeh undangan merah yang diterimanya, tentu ia bisa memilih hari lain yang berbeda agar memungkinkan seluruh tamu undangan untuk hadir. Pesan moral lainnya, apa pun status sosial tetangga kita, tentangga tetaplah tetangga, selayaknya keluarga kedua yang akan menadi pihak pertama yang menolong kita di kala susah. Maka, sinngkat kata, mari tumbuhkan rasa saling menghormati antar sesame, terutama pada tetangga kita. Sebeda apa pun status sosial kita, kita tetap sama-sama makhluk Tuhan, dan sama-sama warga Negara dengan hak yang sama. ^^

Sabtu, 01 Oktober 2011

Dia, dia, dia..

*Preface*

Hey, visitor, since it is Saturday night so for now on I wanna share about someth related to Saturday night: pinky-heart story! J (jarang-jarang gitu loh, ahaha, buat menjawab pertanyaan beberpa orang juga deh ini postingan penulis persembahkan selain emang untuk kepuasan pribadi penulis saja untuk mengungkapkan isi hatinya *ceileeeeh*)

*Prolog*

Yaah…kisah ini memang tak lebih dari curahan hati penulis. Bukan kisah yang semanis lengkeng, tapi lebih mirip dukuh yang ada sedikit paitnya kadang-kadang, atau strowbery yang asam-manis! Anyway, sebenernya ini postingan udah dibikin agak lama tapi dibiarkan “vakum” dulu karena belum menemukan waktu yang pas. Tapi hari ini, hari sabtu, awal oktober (yang bagi penulis cukup bersejarah ya disamping memang hari kesaktian Pancasila juga! ehehe) di malam Ahad ini penulis rasa sebagai waktu yang cukup pas untuk berbagi seputar kisah ini.

*Here We Go..*

Kisah ini bagai buah simalakama. Di satu sisi menggembirakan, di sisi lain sekaligus menyayat hati. Betapa tidak, setelahsekian lama dan dengan dipancing oleh berbagai umpan, akhirnya kail pun bergeming. Umpan bersambut. Apa yang selama ini ingin telinga ini dengar, tersuarakan. Ya, akhirnya tersiar pula kabar tentangnya. Kabar bahagia. Kabar kelulusannya. Aahh, belum cukup, bukan Cuma itu, tidak, sama sekali tidak cukup. Masih banyak yang ingin kudengar, jadi asal dan iseng saja kutanya tentang jodoh. Ku harap jawabannya sesuai dengan apa yang kuharapakan, namun tidak, pertanyaan yang membunuhku! Aahh jawabannya 180 derajat berlainan dengan harapanku. Kudengar ia telah memiliki seorang calon, dan jedeeeeeeer bagai sambaran petir yang mengguncang saraf otakku dan ditransfer dengan kilat ke hatiku. Bukannya berhenti, aku yang sedang patah hati (eiaa…berasa lirik lagu! :p) ini malah nekat menambahi pertanyaan ‘teman kampusnyakah atau???”. Kulayangkan sebuah pertanyaan sederhana namun penuh makna itu sewajar dan selempeung mungkin meski hatI ini sudah porak poranda.Aahh…bodoh, kenapa pula harus kutanyakan pertanyaan itu. Pertanyaan yang pada akhirnya hanya menyayat-nyayat hatiku. Pertanyaan yang sebenarnya sangat ingin aku hindari karena sungguh jawabannya pasti persis sperti yang kuduga-duga lebih tepatnya kuprediksikan. Yaiyalah, makhluk sepertinya tentu laris manis di pasaran, memangnya aku ini apa. Meski secara tampang termasuk kategori standar, tapi ya dia punya karisma yang jadi nilai plus sekligus bikin dia tampak good looking. Hey, wake up girl, wake up!!!! He’s never looks on you. No matter what he’ll never look on you seriously. You’re will not be exist in his list! Hemm…pada akhirnya selalu ada hikmah di setiap kejadian entah yang menyenangkan apalagi yang tidak. Dengan fakta bahwa he has had someone in his heart, and he just wait to marry her, berarti pula tanda bagiku untuk try to forget him totally. No more thinking of him, jangan lagi membayangkan tentangny a, ENOUGH! So, time to move on, find another one who is the best for me, who is the fittest one on me. Let’s find the right one in the right time! ^^

*epilog*

Actually I just met him recently; I talk a little bit to him. His smile still make me die actually *lebaaaay!*. In one moment when I’m going to smile at him, he just like ignoring me *he stairs to another part*. It’s quite disturbing me for while, but the I remember that I’m in the planning of FORGETING HIM to find someone, THE RIGHT ONE, IN THE RIGHT TIME! Then, the song of this posting will be Ungu feat Rossa’s…


Tuhan memberikanku cinta

Untuk ku persembahkan hanyalah padamu

Dia memberikanku kasih

Hanya untuk berkasih, berbagi denganmu…


Jumat, 30 September 2011

Indonesia Grand Prix Gold (GPG) 2011

(baru sadar nih tanggalnya gak sesuai, biarin lah ya ini versi belum diedit, nyari yang udah bener abisnya gada yang segede ini sih, jadi harap maklum! heheh :p)

Perhelatan turnamen yang satu kelas di bawah Super Series ini telh berlagsung sejak selasa (27/09) lalu da masih akan berlangsung hingga Ahad (02/10) ini. Turnamen yang diselenggarakan di Samarinda, Kalimantan Timur ini didominasi oleh pemain Indonesia serta beberapa pemain muda atau lapis kedua dari Negara-negara yang (masih) dianggap mendominasi peta bulu tangkis dunia, seperti: China, Denmark, dan Malaysia. Dengan kata lain Negara-negara papan atas bulu tangkis dunia ini sama sekali tidak tampil dengan kekuatan penuh dengan menurunkan para pemain terbaiknya. Bahkan Korea sama sekali tidak mengirimkan seorang pun wakilnya di ajang yang berhadiah total USD 120.000. meski demikian, bukan berarti turnamen ini menjadi sepi pemaindunia sama sekali. Juara ganda campuran dan tunggal putra Japan Open pekan sebelumnya, Chen Hung Ling/Cheng Wen Hsing (Taipe) dan Chen Long (China) pun awalnya turut ambbil bagian, namun sayang menjelang awal turnamen semuanya mengundurkan diri. Bukan hanya mereka, bahkan beberapa pemain unggulan lainnya pun sperti ganda Taipe di ganda putri, Jan O Jogersen (Denmark) di tunggal putra, tunggal putri unggulan pertama asal China, dan beberapa pemain unggulan lainnya. Penulis pribadi kurang tahu ya apa alasan seseungguhnya banyaknya pemain yang mengundurkan diri tersebut.

Ada beberapa faktor yang mungkin bias menjadi pemicu munculnya pengunduran diri masal tersebut, diantaranya jadwal yang terlalu padat mengingat sebelumnya mereka telah mengikuti dua turnamen secara marathon China Master dan Japan Open. Apalagi turnamen Super series berikutnya yang akan mereka hadapi ialah Denmak Open yang notabene merupakan turnamen kelas Premiere yang hadiahnya mencapai USD 400.000. Memang mulai tahun inisebagaimana yang pernah (dan bahkan nampaknya cukup sering) penulis ulas, BWF memperkenalkan turnamen kelas premiere yang hadiah serta gengsinya berlipat dari turnamen super series non premiere. Iya, begitulah, perbedaan kelas akan menyebabkan perbedaan nominal hadiah serta jumlah perolehan poin. Itu pula barangkali yang melatarbelakangi banyaknya pemain yang mengundurkan diri. Mungkin daripada mereka harus menelan resiko kelelahan dan bahkan cedera, lebih baik mereka istirahat dan fokus menghadapi Denmark Open karena toh poin dan hadiah yang ditawarkan jauh lebih menggiurkan (itu mah kalo mereka berfikiran matrealistis kayak penulis aja..heheh). Kan juga sekalipun yang menyelenggarakan adalah Indonesia yang merupakan salah satu raksasa bulu tangkis dunia (masih ya meski gak tau masih akan bertahan berapa lama julukan ini..huhu), namun tetap saja ini merupakan turnamen kelas GPG.

Turnamen kelas GPG ini biasanya dimanfaatkan oleh beberapa negara (yang membawa nama TINMAS) dan atau pemain (yang professional—tidak terikat pada negara) untuk memberikn pengalaman pada para pemain muda/lapis kedua mereka, atau bahkan ajang mendulang poin-poin tambahan untuk menyokong posisinya di delapan besar klasmen Super Series sehingga bias berpartisipasi di ajang Super Series final yang hanya mempertemukan delapan pemain teratas di masing-masing sektor seperti halnya di Tenis. Bagi para pemain yang sempat absen beberapa lama karena cedera misalnya, turnamen ini pun dijadikan sebagai area pemanasan untuk menghadapi “laga sesungguhnya” di Super Series. Secara umum, mesti diakui bahwa gaung GPG ini tidak semeriah Super Series. Bukti sahihnya ialah absennya sejmlah pemain papan atas dunia. Kecuali para pemain Indonesia dan beberapa pemain Jepang, tidak ada pemain delapan besar dunia lain yang ambil bagian di kejuaraan ini. Bahkan sebagaimana yang telah disinggung di awal Korea sama sekali tidak mengirimkan pemainnya di Indonesia GPG ini. Lalu ada yang salahkah dengan penyelenggaraannya?

Penulis rasa sih tidak ya, semua ini ya bisajadi karena factor tadi sehingga para pemain pun merasa absen di ajang ini tidak akan berepengaruh banyak dan memilih rehat. Pemilihan tempat di Samarinda, yang biasanya di Jakarta, sepertinya tidak menjadi soal ya. Justru malah menjadi satu hl yang positif mengingat selama ini Indonesia hanya mengandalkan Jakarta sebagai tempat penyeenggaraan berbagai kejuaraan bulu tangkis dunia mulai dari Indonesia Open, Indonesia GPG, hingga Thomas-Uber Cup dan Sudirman Cup. Jadi, ketika para atlet dunia datang ke Indonesia yang luas nan eksotik ini yang mereka tahu malah hanya Jakarta dan Bali saja (iyalah Bali mah reputasinya udah internasional gitu loh). Kan, seharusnya mereka bermain sambil disuguhi pemandangan alam serta budaya Indonesia yang khas, biar sekalian promosi pariwisata Indonesia juga. Lumayan kan, setidaknya motivasi mereka bertamabah selain untuk memenangi gelar juara, menambah poin, dan mendapatkan hadiah, mereka pun bias sambil berwisata disini. Uang hadiahnya bias mereka sisihkan sebagian untuk melalukan wisata alam kek, bahari kek, sejarah kek, budaya kek, atau bahkan kuliner. Hemm..sepertinya patut dicoba yaa diadakan semacam koordinasi dan kerjasama antara Mentri dan Dinas Olah Raga serta Mentri dan Dinas Pariwisata. Yaa, setidaknya bakal ada cerita lain yang mereka bawa bukan hanya sekedar kemenangnan mereka atas para pemain tuan rumah saja (wihh…ini mah kalau loh ya) tapi mereka bisa promosi pada sanak family, kerabat, teman, dan warga negaranya akan pesona alam dan budaya serta makanan Indonesia (sangat mungkin loh kata penulis mah!). Hal ini cukup potensial terutama bila tidak ada turnamen lagi dalam 1-2 pekan setelahnya, dan setelah melalui serangkaian jadwalyang ketat beberapa pecan sebelumnya, kan bias menjadi ajang refreshing tuh buat para atlet (kan mereka juga manusia ya yang buth hiburan..hehe).

Wah..daripada postingannya semakin ngaco akan segera penulis akhiri saja dengan kesimpulan bahwa gaung turnamen ini kurang terdengar. Minimnya pemain papan atas dunia yang ambil bagian turut mempengaruhi lemahnya gaung turnamen ini. Meski demikian nilai positifnya adalah Indonesia sebagai tuan rumah sehharusnya bisa mengoptimalkan prestasi dengan memanfaatkan celah absennya para pemain papan atas dunia tersebut. Hal ini bukan berarti bhwa pemain Indonesia tidak bisa bersaing dengan para pemain tersebut, namun absennya mereka membuat jalan dan langkah para pemain andalan merah putih ini relative lebih mudah. Namun, bukan berarti akan sama sekali mudah. China masih menebar ancaman sekalipun bukan pemain nomor satu mereka yang dikirim, terutama di ganda campuran. Jepang pun masih konsisten melaju hingga babak perempat final hari ini. Konon, mulai semifinal hingga final esok stasiun TV Nasional kita akan menayangkan secara live pertandingan di IndonesiaGPG, namun entahlah penulis pribadi jujur terlalu banyak kekecewaan dengan dukungan dari awak media tanah air terhadap cabor yag satu ini. Beberapa kali penulis merasa dikecewakan oleh stasiun TV Indonesia yang seperti setengah hati menyiarkan tayangan kejuaraan badminton. Ngomongnya aja stasiun badminton nasional, buktinya NON SENSE! (udah aah..ngomongin ini the bawaannya jadi emosi). Semoga saja stasiun TV pemerintah itu (kan punya pemerintah ya yang seharusnya mensupport betul) bisa konsisten dalam menyiarkan turnamen ini.

Well, saat ini prestasi perbulutangkisan Indonesia masih belum membaik, sebaik dan sejaya di awal 2000’an, ada bayak hal yang mesti dibenahi. Di beberapa ajang supers series terakhir, Indonesia belum pernah lagi kebagian gelar juara, paling bater hanya sampai final sebagaimana Bona/Ahsan di Jepang Terbuka pekan lalu. Wajar jika pada akhirnya masyarakat menjadi sepeti tidak begitu peduli akan perkembnagan bulu tangkis tanah air. Mereka lebih suk amengikuti sepeka bola Indonesia yang prestasinya pun sama-sama tak kunjung menunjukka perbaikan. Hal ini disukung oleh rendahnya ekspos dan kepedulian awak media dalam menyeberaluaskan informasi seputar kejuaraan bulu tangkis. Syukur-syukur jika di satu program berita olah raga ada yang menampilkan berita plus cuplikan gambar pertandingan yang dgelar di luar Indonesia karena paling banter biasanya hanya menampilkannya di running text saja. Padahal stasiun TV hari ini akan jauh lebih populer dibanding Koran. IRONIS! Jadi sungguh dengan disiarkannya ajang IndonesiaGPG ini diharapkan mampu menyentil kepedulian dari masyarakat Indonesia akan keberadaan dan kondisi bulu tangkis tanah air saat ini. MAJU TERUS BULU TANGKIS INDONESIA!

Minggu, 25 September 2011

YONEX JAPAN OPEN SUPER SERIES

Pekan ini turnamen Super Series memasuki seri ke-8 yang digelar di Tokyo Metropolitan Gymansium, Tokyo, Jepang. Turnamen ini diikuti oleh banyak pemain ternama dari seluruh dunia termasuk Indonesia. Malaysia yang absen dalam beberapa penyelenggaraan Super Series dan beberapa turnamen lainnya pun kembali ambil bagian.

Lee Chong Wei kembali unjuk gigi setelah absen beberapa pekan untuk mengamankan posisinya di peringkat satu dunia. Ia, tentu saja tidak sendiri, Taufik Hidayat, Lin Dan, Peter Gade, serta beberapa pemain muda China dan jangan lupa tunggal tuan rumah seperti Shoji Sato dan Kenichi Tago siap bertarung bersama-sama demi meraih gelar juara.

Di ganda, semua pemain peringkat atas dunia ambil bagian, mulai dari pemain peribgkat satu dunia, Cai Yun/Fu Haifeng asal China; ganda nomor satu Malaysia, Koo Kien Kiet/Tan Boon Heong; ganda teratas Eropa, Mogensen/Carsten; serta tak ketingalan pasangan-pasangan kebanggaan tanah air, Bona Septano/M. Ahsan, Markis Kido/Hendra Setiawan, serta Alvent Yulianto/Hendra Aprida Gunawan. Sayangnya salah satu ganda dunia lain asal Korea sekaligus juara China Master pekan sebelumnya bermain dengan pasangan yang berbeda (bertukar pasangan—rotasi), yang sayangnya masih belum bisa menembus kekompakkan para pemain ganda yang telah ajeg dengan pasangannya masing-masing dalam kurun waktu yang cukup lama itu.

Dari sektor putri, di tunggal, para pemain China seperti biasa masih dan selalu mendominasi. China menyertakan semua pemain terbaiknya di sektor ini seperti Wang Yihan dan Wang Shixian yang menduduki unggulan satu dan dua di ajang ini. Namun, mereka patut waspada pada ancamman yang ditebar pemain-pemain non China yang sering kali merepotkan para putri China ini seperti Tine Baun, yang mesti sudah tidak muda namun permainannya masih bisa mengimbangi para pemain muda; Juliiane Schenk, pemain Jerman yang juga sudah tak muda lagi, namun acap kali merepotkan pemain muda; juga tak ketinggalan saina Nehwal, pebulutangkis andalan India yang beberapa kali berhasil mempecundangi para pemain China. Di luar itu, belum ada pemain yang terlihat menonjol lagi termasuk pemain Indonesia seperti Ardianti Firdasari, Maria Febe, dan Aprilia yang masih belum mampu mengimbangi para tunggal putri teratas dunia tersebut.

Sama halnya seperti di tunggal, pemain China pun masih mendominasi di sektor ini. Namun demikian China tidak menurunkan ganda terbaiknya yang masih dilanda cedera sejak final China Master lalu. Ancaman serius datang dari ganda tuan rumah. Ya, Jepang memang dikenal cukup kuat di sektor putrinya, terbukti dua pasanganny tercatat sebagai unggulan keempat dan keenam di turnamen ini. Ganda Denmark, Christina Pedersen/Kamilla Ryther Juhl, pun menjadi ancaman tersendiri, pasalnya mereka sama-sama bermain baik di ganda campuran (keduanya merupakan pemain ganda campuran). Indonesia sendiri diwakili oleh Greysia Polii/Meiliana Jauhari yang diunggulkan di peringkat 8 serta Lindaweni/, non unggulan, juga Vita Marissa/Nadya Melati pasangan senior-junior yang sempat tampil di final Indonesia Open Super Series. Persaingan di sektor ini memang patut diakui tidak seketat di sektor lainnya.

Sementara di sektor ganda campuran, Zhang Nan/Zhao Yunlei pasangan kekasih sekaligus ganda teratas dunia asal China berhasrat memperpanjang rekor kemenangan pasaca meraih gelar juara di China Master pekan sebelumnya. Ancaman bagi pasangan ini akan datang dari beberapa pasangan seperti Cristina Pedersen pemain asal Denmark yang jika permaianannya sedang stabil menjadi sangat kuat; Lee Yong Da/Ha Jung Eun, pasangan reuni yang sempat berpisah saat LYD dipasangkan dengan Lee Hyo Jung sebelum gantung raket; beberapa pasangan China lainnya seperti Xu Chen/Ma Jin, Hong Wei/Pan Pan; juga tak lupa pasangan Indonesia Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir. Indonesia sendiri mengirim beberapa wakil lainnya seperti Fran Kurniawan/Pia Zebadiah, Muhammad Rijal/Debby Sutanto, serta pasangan lawas yang sempat berjaya di awal 2000’n-Nova Widianto/Vita Marissa. Pasangan lain yang juga berpotensi mengancam ialah ganda India yang pekan lalu membuat kejutan dengan menembus final China Master juga pasangan China Taipei yang kerap menyulitkan ganda-ganda lainnya.

China secara keluruhan masih mendominasi peringkat teratas di hampir semua nomor, dan hampir semuanya ikut ambil bagian dalam turnamen ini. Kecuali di ganda putri, China tampil dengan kekuatan penuh. Pun Denmark, Malaysia, dan Indonesia serta Negara-negara lainnya yang banyak menurunkan pemain terbaiknya. Kecuali Korea yang memilih merotasi sang juara China Master Lee Yong Dae/Jung Jae Sung yang justru dipasangkan dengan pemain muda.

FINAL YJOSS

Sekarang (ahad) ini turnamen berhadiah total USD 200.000 ini sudah memasuki babak finalnya. Tidak ada kejutan yang berarti kecuali lolosnya ganda putri China non-unggulan ke final menghadapi ganda China Taipe. Final YJOSS ini merupakan salah satu final paling ideal, artinya final tidak hanya didominasi oleh satu dua Negara saja, tetapi ada sekitar enam Negara yang berlaga untuk memperebutkan lima gelar dari lima nomor.

Dari sepuluh pemain yang berlaga di final ini, empat diantaranya ialah pemain China yaitu: Wang Yihan (WS—1), Chen Long (WS—3), Bao Yixin/Zhong Qianxin (WD), serta Cai Yun/Fu Haifeng (MD—1). Semntara enam pemain lainnya sebagai berikut: Denmark 2 Cristina Pedersen (XD—4); Indonesia 1 Bona Septano/M. Ahsan (MD—4); Taipe 1 Chen/Cheng (XD—3); Jerman 1 Julianne Schenk (WS—8); serta Malaysia 1 Lee Chong Wei (MS—1).

Hasil ini menjadi kejutan tersendiri mengingat biasanya China mendominasi denga lebih dari lima wakil di final, yang artinya tak jarang menciptakan all-CHINA-final. Maka, kali ini, jangankan menyapu bersih gelar, bahkan di Ganda Campuran, China tanpa perwakilan di final! Meski demikian, toh China tetaplah China yang walau berapapun jumllah wakilnya di final selalu bisa meraih hasi maksimal. Artinya, peluang China untuk membawa pulang empat gelar dari empat partai yang mereka wakili masih sangat amat mungkin terjadi (China gitu loh *wiwwwww*).

Sayangnya prestasi luar biasa China ini sering kali diikuti oleh kontroversi yang juga tak kalah biasa. Bayangkan hampir di setiap turnamen nya bila ada partai yang mempertemukan sesame pemain China tak jarang salah seorang dari mereka mengundurkan diri atau bahkan WO dari pertandingan. Artinya, lawan sekaligus compatriot mereka diberi kemenangan mudah dan Cuma-Cuma. Banyak spekulasi berkembang bahwa hal tersebut dilakukan China sebagai suatu strategi guna memuluskan langkah para pemainnya di ajang tertentu. Umumnya kasus WO ataupun retired dilakukan oleh para senior ketika mesti menghadapi junior mereka supaya mereka meraih gelar dan mendapat poin yang nantinya di penghujung tahun akan diakumulasi sebagai acuan untuk berlaga di ajang super series final.

Alasan pengunduran dirinya beragam mulai dari sakit perut, demam, hingga cedera. Jika memang itu hanya alasan, sungguhlah tidak sportif strategi yang dirancang oleh kubu negeri tirai bamboo ini. Sah-sah saja berstrategi, namun dalam dunia olah raga kan dikenal adanya sportivitas yang semstinya senantiasa dijunjung oleh para atlet. Jika begitu caranya, dimana letak sportivitasnya? Ketika yang lain berjuang hingga tiga set menuju final, eeh mereka mah melenggang tanpa meneteskan keringan sebutir pun yang notabene akan membuat fisik mereka lebih fit. Adilkah? Merasa nyamankah mereka sebagai seorang atlet yang memenangi satu pertandingan tanpa keringat? Jawabannya ada pada diri mereka sendiri.

Terlepas dari kontrooversi tersebut, patut diakui China memang masih sangat mendominasi terutamadi putri. Tetapi, sayangnya dominasi China di turnamen ini sedikit berkurang seperti yang telah disinggung di atas. Bisa dikatakan raihan prestasi China di YJOSS ini tidak semulus di turnamen-turnamen sebelumnya, terbukti dengan banyaknya pemain China yang berguguran di babak-babak sebelumnya. Turnamen ini bisa dibilang kurang bersahabat dengan China. Selain dengan China, turnamen ini pun bahkan tidak bersahabat dengan Korea. Wakil terakhir Korea di ajang ini yakni pasangan baru LYD/Ko Sung Hyun mesti kandas di perempat final dari pasangan Indonesia Markis Kido/Hendra Setiawan.

Well, berikut daftar pemain yang berlaga di final Well, berikut daftar pemain yang berlaga di final YJOSS:

Men Single: Lee Chong Wei (Malaysia, 1st Seed) vs Chen Long (China, 3rd Seed)

Women Single: Wang Yihan (China, 1st seed) vs Juliane Schenk (Germany, 8th Seed)

Men’s Double: Cai Yun/Fu Haifeng (China, 1st Seed) vs Bona Septano/M.Ahsan (Indonesia, 4th Seed)

Women’s Double: Chen Wen Hsing/Chien Yu Chin (Taipe, 5th Seed) vs Bao Yixin/Zhong Qianxin (China)

Mixed Double: Chen Hung Ling/Chen Wen Hsing (Taipe, 5th Seed) vs Joachim Fiesher/Christina Pedersen (Denmark, 4th Seed)

Senin, 19 September 2011

Stoner is Back on His (Winning) Track!

Dari ajang MotoGP (ceileehh…udah kayak narrator berita olah raga aja yee..heu), berbanding terbalik degan nasib tim kesayangan penulis di dunia sepak bola, pembalap andalan penulis di ajang MotoGP, Casey Stoner berhasil kembali meraih kemenangan di Sirkuit Aragon, Spanyol, Ahad (18/09). Ia sukses mempertahkan posisi setelah sehari sebelumnya berhasil meraih pole position di ajang kualifikasi. Semantara Dani Pedrosa, rekan setimnya, dan Jorge Lorenzo, pembalap Yahama yang juga peraih juara dunia musim 2010 lalu finish di urutan kedua dan ketiga. Marco Simoncelli yang sempat merangsek ke posisi tiga harus puas finish di uturan 4 setelah melakukan kesalahn fatal dengan melebar dari lintasan di lap pertengahan. Finish di belakang pembalap Italia itu Ben Spies, rekan setim Lorenzo. Sementara Valentino Rosi harus puas berada di tempat ke-10.

Dengan kemanangan ke-8 Stoner sekaligus ke-100 bagi timnya, Repsol Honda Racing Team, posisinya di puncak klasmen semakin kokoh dengan 184 poin. Lorenzo masih setia menguntit sang rival di posisi kedua denga raihan 240 poin, terpaut 44 angka dari Stoner. Semnatara posisi ketiga dan keempat masing-masing dihuni oleh Andrea Dovisiozo dan Dani Pedrosa, yang sama-sama merupakan pembalap tim Repsol Honda. Performan Honda tahun ini memang luar biasa, terbukti dari tiga pembalapnya di klasmen lima besar perolehan poin sementara. Untuk memastikan gelar juara, Stoner, sebagaimana yang penulis baca di sebuah artikel Koran lokal, butuh 56 poin lain lagi sekitar dari 4 race tersisa. Artinya dua kemenangan sudah cukup bagi Stoner untuk kembali menyandang gelar dunia setelah terakhir pada tahun debutnya di motoGP tahun 2007 lalu bersama Ducati Malrboro. Atau, meski tidak menang,finish di tiga besar berturut-turut dalam empat race sisa itu pun tetap masih akan mengamankan kans nya untuk menngambil alih gelar juara dunia dari Lorenzo.