Sabtu, 08 Oktober 2011

A Memory of an Old Friend





Namanya umum, sangat umum bila tidak ingin disebut pasaran. Aahh..tidak usahlah tahu siapa namanya karena akan ada 1001 nama serupa di dunia ini. Meski demikian, sifatnya tak seumum namanya. Tidak begitu spesial, namun agak berbeda dengan makhluk bejenis kelamin pria cilik (baca: anak lelaki) seumurannya. Ia teman skelasku di masa SD. Bukan hanya sekelas, menginjak kelas lima kami mulai ‘dipesatukan’ dalam satu meja yang sama (baca: sebangku). Bukan mauku, pun maunya duduk dalam satu bangku. Kami hanya menerima hasil jadi dari ‘panitia’ pengatur tempat duduk. Kami berbagi tempat duduk selama ahh..aku lupa satu atau dua tahunan, yang jelas tidak lebih dari itu. Meski kami duduk di bangku yang sama secara acak, namun ku rasa itu takdir (ya memang yah wong udah kejadian! Hehe)!

Takdir yang ‘mempersatukan’ kita! Setelah mulai duduk bersama ada banyak hal yang kuketahui sekaligus kupelajari dari sosoknya. Sebelum kami diperstukan, aku dan mungkin juga ia tak begitu saling memperhatikan satu sama lain. Buktinya aku tak begitu bisa mengingat segala sesuatu tentang dirinya sebelum kami menjadi teman sebangku. Yah..sosoknya baru bisa terekam setelah kami ‘terjebak’ di satu bangku yang sama, setelah masa-masa kebersamaan kami.

Usut punya usut terkuaklah bahwa kami memiliki satu mata pelajaran fvorit yang sama: IPS! Yaa..bisa dibilang kami layaknya maestro IPS di kelas kami (bukan bermksud sombong hanya membeberkan fakta). Dari mulai ibu kota Negara, mata uang, nama-nama Raja Islam, Hindu, Budha, hingga tokoh-tokoh di era pergerakan perjuangan nasional merupakan hal-hal yang akrab bagi kami sekaligus menyenangkan untuk diselami. Berani menyebut maestro karena pada masa itu IPS yang penuh hafalan merupakan mata pelajaran yang cenderung dihindari oleh kebanyakan siswa di kelas kami bahkan seluruhnya kecuali kami. Pokonya IPS itu mengasyikan bagi kami. Bahkan aku berani bertaruh bahwa IPS kami jauuuuuuuh lebih baik daripada temanku sang juara kelas abadi (selalu ranking1 dari kelas 1-6). Saking cintanya kami dengan IPS, tak jarang terjadi persaingan terselubung di antara kami semisal dalam kuis.

Sampai suatu hari ada seleksi olimpiade tingkat SD. Saat diadakan seleksi tingkat SD, masing-masing kelas diminta mengirimkan 1 wakilnya untuk kemudian menjadi wakil di tingkat kecamatan. Ingin rasanya aku berpartisipasi, yaahh…itung-itung mengetes kemampua IPS-ku. Namun sayangnya, wali kelasku lebih mempercayainya. Memang meski kami sama-sama maestro toh selalu ada yang the best of the best, dan harus kuakui he’s a little bit better than me (only a little)! Lagipula aku pun tak mau ambil resiko untk kalah dan gagal dan bisa saja jadi cemoohan teman sekelas dan tentu saja ia. Maka meski tak rela kuikhlaskan juga kesempatan itu untuknya, walau ada sebersit keirian toh ku diam-diam tetap mendoakannya. Bagaimanapun suksesnya sukses kita (sekelas) semua, pikirku. Sayangnya ia gagal melewati tahap seleksi di kompleks SD sehingga tak bisa melanjutkan ke tahap berikutnya. “aahh..andai aku yang mengikuti seleksi itu…” batinku sesaat setelah mengetahui hasil seleksinya. Ada segores penyesalan dengan terpilihnya ia mewakili kelas, tanpa sadar aku bahkan seolah meragukan kemampuan IPS nya. Aku pun kemudian menjadi begitu penasaran dengan soalnya. Seberapa sulit sih sampai-samai sang maestro dari maestro IPS di kelas tak bisa mengatasinya. Besar sekali keinginanu untuk bertanya tentang soal-soalnya. Besarrrrr sekali malah! Namun aku enggan, gengsi, lebih tepatnya…tak berani!

Enggan bertanya hanya untuk mendapat jawaban yang ketus darinya. Ya, begitulah ia, acuh tak acuh. Ekspersinya datar. Ada semacam keangkuhan dalam dirinya yang dibalut dalam mimik serius tak pedulinya. Ada keenggan dari setiap jawaban ketusnya. Namun ada pula ketulusan dari senyum manisnya (eleuh, masa iya?!). Aahh..yaa meski samar toh akau masih bisa mengingat seberkas senyum manis yang beberapa kali menghiasi mukanya yang agak bulat. Lega rasanya batin ini bila ia mulai mengembangkan senyum meski hanya seulas. Ia, pada dasarnya ialah seorang yang berhati lembut, namun entah mengapa ia sepertinya lebih nyaman menampilkan sosoknya yang tak acuh bahkan cenderung kasar secara verbal. Itulah, itu yang membuatku terkadang kesal dengan sikapnya.

Selama berbagi bangku, kami jarang mengobrol secara penuh. Interaksi sehari-hari antara kami cenderung berlangsung seperlunya saja. Itupun seingatu aku yang lebih banyak memulai percakapan. Eehh..tapi sempat beberapa kali ia berceloteh, bercerita ramai tentang beberapa hal. Tentang rumah dan kakak sepupunya kalau tak salah. Di saat seperti itu ia berubah menadi sosok yang ramah dan besahabat. Aku sih sepertinya tidak pernah bercerita yaa kepadanya, malah aku lebih cenderung menjadi pendengar baginya.

Pernah satu kali ia absen selama berhari-hari dari kelas. sakit katanya. Akhirnya saat ia sudah mulai kembali masuk sekolah, meski sempat ragu kuberanian juga untuk membuka mulut sekedar bertanya ‘kenapa gak masuk?’. Belum sampai beres pertanyaan itu kuucapkan, ia dengan cepat, tenang, dan yakin berikut datar nan singkat menyerobot ‘sakit’! ooh..bener toh sakit, tapi “sakit apa?” tanyaku lagi masih penasaran. Aku lupa saat itu ia sakit apa yang jelas ia sempat menjawab pertanyaanku dan masih tetap dengan gaya yang sama. sebenarnya masih banyak yang ingin kutanyakan seperti seberapa parah sakitnya sampai berhari-hari gak masuk? Dirawat atau tidakkah ia? sudah benar-benar sehatkah ia? Yaa..pertanyaan yang menurutku wajar disampaikan oleh kawan sebangku yang erasa ujug-ujug ‘ditinggakan’ oleh kawan sebangkunya selama berhari-hari tanpa kabar pasti. Namun, itu tadi buncahan pertanyaan itu kubiarkan saja melebur bagaikan buih di lautan setelah kumendengar jawaban pertamanya. Hilang sudah nafsuku mewawancarainya! Maka, sisa hari itu pun kupilih untuk bungkam.

karena dia putih, jadi polar bear deh..heu
Sebenarnya, kami tak melulu terjebak dalam diam.  
Tak melulu terperangkap dalam keheningan. Bahkan berkali-kali kami terlibat dalam percekcokan yang sesekali melibatkan kontak fisik. Yaa..diam-diam ia memiliki sisi jahil dan jenaka. Ia sebenarnya salah satu teman dekat lelaki yang aku sukai saat itu, semacam cinta monyet lah. Ia, lelaki yang kusukai berikut dua orang lainnya tergabung dalam kelompok lelaki jahil yang kujuluki kelompok aneka satwa. Masing-masing dari mereka kujuluki dengan nama binatang, agak kasar memang tetapi sungguh tak ada niatku menghina mereka sama sekali. Just for fun! Ada monyet, lutung, hingga babi! Ia sendiri kujuluki beruang. Hemm..sejujurya sifat asli mereka tak seburuk julukan mereka, sama sekali tidak malah. Sebaliknya sifat mereka itu layaknya para idola ala drama Korea. Pintar, baik, dan tentu saja good looking (berat rasanya untuk mengatakan tampan). Namun dibalik sikap cool-nya, mereka terutama terhadapku teramat usil. Ahasil hampir saban hari di waktu istirahat waktuku dihabisakna untuk main kejar-kejaran dengan mereka .


Kejahilannya itu masih berlanjut bahkan hingga kita menjadi teman satu bangku. Memang tak separah saat di luar kelas dan ketika ia bergabung dengan kawan sepermainanya di kelompok aneka satwa itu, namun tetap saja cukup menganggu. Kejahilannya bahkan makin parah tatkala kita sudah tak lagi dipersatukan dalam bangku yang sama. Saat kami naik ke kelas 6, aturan baru pun dibuat dengan merubah pola duduk heterogen menjadi homogen. Maka, berpisahlah kami. Sialnya, nasib masih ‘mendekatkan’ kami. Betapa tidak, bangkuku dan bangkunya saling besebrangan sehingga ia masih bisa dengan begitu leluasa menganguku! Yaa..meski telah berpisah, ulah jahilnya belum juga surut. Ia goyangkan ujung bangku tempatku duduk sampai-samapi teman sebangkuku protes memintaku untuk mebuat ia berhenti memainkan bangku kami. Aku telah berusaha, namun sia-sia! Ia tetap saja dengan kejahilannya, aku hanya bisa diam sambil mrngutuknya dalam hati seraya menyiapkan diri mendengar ocehan teman sebangku barukku yang merasa terganggu oleh ulahnya dan kediamanku.

Aku kadang tak paham dengan sikapnya yang heterogen itu. Terkadang ia begitu menyebalkan, terkadang begitu cuek, terkadang baik, terkadang begitu jahil, terkadang begitu jenaka. Makin tak paham dengan sikapnya padaku. Saat kita begitu dekat ia lebih banyak “menyia-siakan”ku, namun saat kita sudah terpisah bangku, ia justru sering ‘menggodaku’ dengan sejuta kejahilannya. Aahh..sikapmu sungguh membuatku bingung, sungguh. Hem..atau mungkin itu ya yang disebut dengn rindu itu baru terasa setelah kehilangan!

Ia tergolong anak lelaki yang pandai di kelas. Selain IPS, ia pun berbakat dalam banyak mata pelajaran lain seperti Matematika. Ia tergolong siswa gemilang. Sayang beribu sayang memasuki pertengahan kelas enam entah mengapa dan apa kesalahannya yang sebenarnya ia beserta beberapa teman sekelas lain menjadi objek penderita dari rezim yang berkuasa di kelas saat itu. ia begitu sering dibully, disakiti secara mental dan mungkin saja fisik oleh mereka. Berbagai ancaman hingga celaan ia terima. Tak jarang emosinya terpancing juga. Sialnya kelas saat itu sering kali dalam keadaan status quo (ditinggalkan wali kelas yang entah kemana) sehingga rezim yang berkuasa saat itu dengan mudahnya mengisi kekosongan itu. Dan malangnya, masa-masa seperti itu mereka manfaatkan betul untuk menguliti para objek penderita, termasuk dirinya. Yang lebih membutaku prihatin pernah satu kali ia sampai ditampar dan didamprat guru agama saat berkelahi dengan salah seorang anggota rezim yang berkuasa karena ialah yang dituduh sebagai pihak yang mencari gara-gara. Padahal, jelas-jelas ia justru sang korban, ya ia korban!


Aku iba padanya, aku hanya bisa berdoa semga kebenaran segera terungkap, semoga ia kuat. Dalam hati aku mengutuk diriku yang begitu ciut untuk menyuarakan kebenaran, untuk membelanya, saingan IPS ku, mantan teman sebanguku! Aku mengutuk diriku yang sedemikian lemah, aku mengutuk diriku yang hanya bisa berteriak memaki sang penguasa rezim dalam hati sedang mulut diam mebisu,aku mengutuk kediamanku! Aku pun ingin sekali berteriak ‘hey…ia sama sekali tidak salah, bukan salahnya!’ saat tangan guru agamaku menyentuh pipinya, mulut cadelnya mulai menceramahi sekaligus menghakiminya, namun lagi-lagi aku begitu pengecut dan memilih meyerah pada ketidakberpihakkan. Aku teringat ia pernah bercerita tentang keluarganya. Ia anak tunggal dari sepasang orang tua yang tergolong telah berumur. Orang tuanya telat memiliki anak. Ibunya pun menderita suatu penyakit yang membuatnya mesti dibantu oleh kursi roda. Rumahnya di suatu daerah di seiktar Bandung Timur, bertetangga dengan guru agama kami. Bahkan, orang tuanya dan guru kami itu konon berteman dekat sampai-sampai mereka berpesan untuk melakukan apa saja bila anaknya membuat masalah. Dan, dalih itulah yang beliau gunakan saat memarahinya. Sedih, ya jujur aku sedih. Bagaimanapun ia temanku teman sebangkuku, meskipun itu dulu.

Masa-masa sulit di kelas 6 ternyata sangat mempengaruhi hasil belajarnya. Bukti shahihny NEM terakhirnya hanya 34 atau 36 (aku lupa) yng tergolong agak rendah saat itu. padahal di latihan ujian awal nilainya sudah di atas 30 sedang aku saja masih di angka 29. Walhasil ia masuk sekolah negeri yang jaraknya relatif agak jauh bila ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi syukurlah ia masih bisa masuk sekolah negeri. Bagaimanapu ia seorang yang cerdas, sungguh sayang bila kemampuannya tak terakomodir. Selain nilainya, sikapnya pun ikut terpengaruh. Ia jadi lebih murung dan diam. Raut wajahnya seolah dipenuhi oleh aura kesuraman. Ia menjadi berbeda. Aku hampir tak mampu lagi mengenalinya.

Semenjak lulus SD aku sebenarnya cukup sering berpapasan dengannya terutama di waktu berangkat dan pulang sekolah. Arah sekolah kami sama hingga titik tertentu. Namun sayang, semnjak lulus ia menjadi begitu berbeda. Ia seolah tak mengenaliku ketika kami berpapasan. Malah penah saat aku berjalan dalam jarak yang sangat dekat dengannya, kami bahkan tak barang saling senyum sekalipun. Ingin sebenarnya ku mengmbangkan senyum, namun sirna seketika melihat ekpresi datar tak acuhnya. Setelah lulus SMP aku hampir tak pernah lagi melihatnya hingga saat digelar reuni SD kami, sekitar dua tahunan pasca lulus SMP tepatnya di kelas dua SMA. Dari sekitar empat puluhan siswa di kelas kami, kurang dari setengahnya yang hadir. Tetapi, ia pun hadir! Bahkan sempat melempar senyum dan sedikit berbasa-basi. Meski singkat, cukup nice laah.

Setelah itu, aku sempat beberapa kali sekedar melihatnya melintas dengan motor. Bahkan dalam beberapa kesempatan aku yakin ia pun melihatku sebenarnya, namun entahlah ia seperti selalu sengaja menghindarkan pandangannya dariku sekalipun ia melihatku sebetulnya. Ya, aku yakin ia melihatku, pasti! Melihatnya begitu ada sebersit kekecewaan dalam diriku. Mengapa ia sampai enggan walau hanya melihat dan memberikan sedikit senyum padaku, mantan teman sebangkunya. Tidak ada rasa sakit memang karena pada dasarnya ku padanya ialah seorang teman yang mengagumi teman yang pernah begitu dekat secara jarak dengannya. Rasaku padanya sebenarnya hanya sebatas kagum, ya, kagum akan pribadinya dan kecerdasannya. Aku memang kagum pada sosoknya di masa SD, tapi tidak yang sekarang. Rasaku padanya berbeda dengan rasaku pada teman sepermainannya. Ku rasa perasaanku ini belum bisa digolongkan sebagai perasaan suka terhadap lawan jenis, hanya kekaguman seorang teman terhadap temannya. Kagum, ya begitulah kira-kira perasaanku terhadapnya. Kuharap suatu saat nanti kami bisa bertemu lagi, bahkan mengenang masa lalu bersama, mengobrol, saling berbagi pengalaman yang lalu, yang penuh canda tawa hingga canda hina.. toh kita mungkin hanya mantan teman sebangku, tapi kan teman tetaplah teman sampai kapanpun, kan tidak ada istilah mantan teman juga toh..hehe

Tidak ada komentar: