Sabtu, 08 Oktober 2011

A Confession from a Secret Admirer




Senyumnya memaksaku tuk mengaguminya di kali pertama ku melihatnya. Dia tampan dibandingkan dengan rekan-rekan sejawatnya saat itu, namun ketampanannya toh masih dibawah lelaki idamanku di masa SD, semacam cinta monyet begitulah. Tapi yang paling menraik darinya justu pesona yang entah dari mana datangnya. Pandangan pertama saja telah mampu mebius hatiku.

Saat itu, aku tak sengaja melihatnya. Meski tak terjadi kontak mata, malah hanya ada kontak sebelah mata (dari pihakku), namun ku langsung saja merasakan satu getaran aneh yang mendesir begitu saja di rongga antara dada dan perut ini. Senyum pun tiba-tiba smerekah dari kedua sudut bibir ini tatkala ku menangkap sosoknya berkeliaran dalam jarak yang cukup jauh untuk dibilang dekat, namun tak begitu jauh pula. Sosok yang tidak tinggi, namun tak begitu pendek; tidak krempeng, namun tak juga kekar. Sosknya dalam balutan kaos oblong dan celana selutut ketika menaiki satu per satu anak tangga begitu ajeg, aahh…meski ku hanya sanggup memandangi penggunggnya.

Lamunanku akan sosoknya yang memesona tiba-tiba saja mesti diakhiri tatkala seseorang dari arah belakangku berteriak halus namun tegas dan kuat “hey..!” yang sepertinya memang ditujukan pada sosok yang sedang menapaki satu demi satu anak tangga di depan. Kontan saja ia yang merasa terpanggil memutar kepalanya dengan takzim. “hey…apa-apaan ini!?” jeritku dalam hati. Tak lama suara itu pun kembali berseru “hey, ini kata mbak Aya” serunya enteng penuh kemnangan. “apa??” pekikku masih dalam hati kaget bercampur malu dan senang. Kaget dengan ‘serangan’ tak terduga dari pihak tak terduga, malu tatkala si empunya suara menunjuk ke arahku membuatnya menyadari keberadaanku, tapi senang karena ku bisa menikmati sejenak wajah penuh karismanya. Ya karisma, ada semacam karisma yang mebikin wajah yang tampan tapi tidak terlalu dalam seleraku ini menjadi begitu menguasai seluruh ruang di kepalaku. “oh, God! What is wrong”.

Beruntung, ku masih bisa menguasai diriku untuk sekedar mengambil langkah seribu sebelum ia menyadari keberdaannku. Keputusan yang kuanggap tepat mesti terjadi di detik-detik terakhir dan tetap menyisakan penyesalan.Penyesalan karena ku tak bisa lagi menatapnya lebih lama. Yah, pemandangan yang begitu menawan itu kini hilang, sirna seketika karena ulah si empunya suara yang secara –maaf- kurang ajar menggangguku. Namun aku pun mestinya berterima kasih karena berkatnya setidaknya ku bisa menyaksikan waah tampannya meski hanya sekilas saja.

Si empunya suara tak lain ialah pamanku. Ya, paman yang baik sebetulnya, tapi tidak untuk saat itu. memang jarak ku berdiri di rumah nenekku yang bersebrangan dengan tempat ia tinggal saat ini hanya terpisah oleh jalan selebar 4-5 m jadi mudah saja untuk mengamati bahkan memanggilnya begitu saja. Apalagi dalam kondidi jalanan yan lengang dari kendaraan tanpa harus berteriak seperti para pdagang di pasar pun suara kita bisa mudah terdengar oleh orang di seberang sana.

Yang membuatku kaget serobotan pamanku yang tiba-tiba membuatku panik dan menjadi begitu tak berdaya. Oke, akau kagum, bukan lebih dari sekedar kagum karena aku sudah tertarik padanya, ya dia telah berhasil mencuri perhatianku! Tapi tidak seperti ini caranya, sungguh aku ingin menatapnya bahkan dari jarak yang begitu dekat tapi tidak saat itu, aku belum siap. Bagaimana jika persaanku yang entah apa ini bertepuk sebelah tangan? Terlalu dini memang untuk menakarnya saati tu, tapi…….

Aahh..salah satu momen yang sulit ku lupa bahkan hingga saai ini. Sayang pamanku tidak benar-benar menyeriusi menjadi semaca mak combalang bagiku dan dirinya, tak ada sesuatu yang bisa membuat kami jadi lebih dekat sejak kejadian itu meski pada akhirnya aku dan dia saling kenal. Bertahun-tahun berlalu, beberapa kali ia menyenyumiku, namun sayang kejaimannku membuat hubungan kami tak berkembang dari hanya sekedar saling membalas senyum.That’s all. Bahkan ia bisa begitu saja lebih mudah akrab dengan karbibku yang tahu (tepatnya ku beri tahu) bahwa aku tertarik padanya. Aku tak pernah lagi punya kesempatan yang dulu pernah kulewatkan itu. Aku tak pernah benar-benar berinteraksi dengannya, ku tak pernah hanya sekedar berbas-basi dengannya, ku tak pernah mempersempit arak yang 4-5 m tadi, bahkan yang ada jarak itu semakin melebar dan nyata adanya. Ku tak bisa menjadi bagian darinya. Bahkan di saat terakhir ia berada ditempatnya tinggal selama menamatkan masa sekolah menengahnya, sampai saat itu pula kami tak pernah benar-benar lebih dari sekedar berbalas senyum.

Enam tahun dalam khayalan tanpa akhir yang manis. Mengambang tanpa ada akhir yang nyata. Semua tak lebih dari kekaguman terpendam, yang masih dan sepertinya memang akan terus terpendam tanpa sempat terucap. Ku tak tahu apa ia pernah merasakan rasa yang sama denganku, namun aku pun tak begitu ingin tahu lagi. Cukup. Harus ku akhiri perasaan yang tanpa sadar telah kubiarkan tumbuh ini. Ia telah manjalani kehidupannya sendiri, pun ku. Pasca perpisahan itu sempat ku beberapa kali berumpa dengannya. Dan tiap-tiap ku tatap lagi wajah itu, sosok itu, desiran aneh itu meski halus, halus sekali masih terasa. Bahkan terakhir kali ku bertatap wajah dengannya getaran halus itu masih ada, senyumnnya masih begitu berkesan, dan kekaguman itu ternyata belum benar-benar hilang.

Pintaku hanya agar aku bisa istiqomah dengn perasaaknu. Sudah kuniatkan sejak aku tak jua bisa bercengkrama lebih jauh dengannya untuk tidak lagi memelihara perasaan yang memang sengaja tidak kubabad meski juga tak ku rawat dengan baik (dibirkan mengalir saja). Ku tak pernah senantisa mnegingatnya di setiap hariku, namun bayangankannya masih rutin mencuri-curi muncul di benakku. Ohh, andai saja rasa ini berbalas, andai ia menjadi nyata alangkah indahnya. Namun, sekali lagi ku sama sekali tak berani berharap, jangankan berharap ia akan membalas perasaanku, berharap ia mnyedari keberadaanku pun saja kini aku enggan. Biarkan semua menjadi kenangan manis bagiku yang cukup hanya aku saja yang tahu.











Tidak ada komentar: