Rabu, 16 Januari 2013

Gending Sriwija: Aksi Kolosal di Awal 2013


“tidak selamanya adat menjawab kebutuhan” Dapunta Hyang

“masalah perampok, masa ya harus dibereskan oleh angkatan perang?” Sri Ratu

Alkisah di suatu Kedatukaan di ranah Sumatera Selatan memimpin seorang Raja bernama Dapunta Hyang (Slamet Rahardjo) yang beristrikan Sri Ratu (Jajang C. Noer) dan memiliki dua orang putra bernama Awang Kencana dan Purnama Kelana.  Kepemimpinan Dapunta Hyang tengah diuji dengan merajalelanya praktek korupsi dan pejabat yang juga korup.  Belum lagi masalah pemberontakan dan perampokan oleh komplotan pimpinan Ki Goblek (Mathis Mutchus), semakin merunyamkan suasana di kedatukan Bukit Jurai.  

Dapunta Hyang yang sudah berusia lanjut hendak menyerahkan tahta kedatukan Bukit Jurai pada lanang-nya (anak lelaki-red).  Sesuai adat, sudah semestinya tampuk kerajaan jatuh ke tangan Awang Kencana (Agus Kuncoro) sebagai anak lelaki tertua.  Adapun Purnama Kelana (Syahrul Gunawan) sebagai anak kedua seara otomatis menadampingi Awang sebagai patih.  Sayangnya semua menjadi runyam tatkala sang ayah ragu untuk memberikan restu pada sang lanang tertua, ia justru lebih merestui lanang bungsunya sebagai calon pewaris tahta.  Hal yang tentu saja ditolak keras oleh Awang dan juga Sri Ratu. 

Sebagai seorang ayah ia sangat mengenal perangai kedua lanangnya yang sangat bertolak belakang.  Jika Awang Kencana lebih berjiwa pendekar, maka Purnama Kelana lebih berjiwa cendekiawan.  Saat Awang memilih mendalami ilmu bela diri, Purnama justru memilih menuntut ilmu bahkan hingga ke negeri Cina.  Di mata sang ayah, calon penerusnya mestilah dari kalangan cendekiawan, bukan pendekar yang cenderung lebih mengutamakan otot dibanding otak. 

Belum usai polemik mengenai restu sebagai raja, Dapunta Hyang tak lama kemudian justru ditemukan terbunuh.  Purnama menjadi tersangka utama setelah kalung pemberian Dawangi, sahabat sekaligus wnita yang mencintainya, miliknya ditemukan di dekat jenazah sang ayah.  Ia pun dijebloskan ke dalam penjara.   Namun berkat bantuan dari sahabatnya dari Cina dan tabib istana, ia pun akhirnya mampu melarikan diri.  Di tengah pelariannya, ia terkena busur panah pengawal yang membuntutinya atas perintah Awang yang menyadari konspirasi pelarian sang adik.  Beruntung, ia hanya terluka oleh busur panah dan diselamatkan oleh Malini (Julia Perez), yang ternyata putri Ki Goblek.  

Sementara itu, Sang Ratu mengambil alih kepemimpnan sementara Kedatukan Rawa Jurai hingga 100 hari ke depan.  Setelahnya, akhirnya Awang lah yang memimpin kerajaan sebagai satu-satunya lanang Dapunta Hyang yang masih hidup (Purnama dianggap sudah wafat-red).  Bahkan ia pun meminang Dawangi untuk menjadi permaisurinya.  Dalam kepemimpinannya ia mengedepankan kekuatan fisik dan mulai memasok senjata api dari Cina.  Ia mulai tertarik pada senjata api setelah senjata tersebut membutakan salah satu matanya.  Ya, dalam sebuah penyerangan oleh kelompok pimpinan ki Goblek, ia dilumpuhkan oleh sebuah tmbakan yang menembus salah satu matanya.  Sejak itu pulalah dendamnya pada gerombolan ki Goblek makin membara.

Ki Goblek sendiri masih akan meneruskan usaha-usahanya untuk menjatuhkan rezim kedatukan Bukit Jurai, yang penguasanya dianggap tidak beus mengurus rakyat, serakah. Makanya saat tahu bahwa orang yang ditolong putrinya adalah salah satu putra mahkota kerajaan, ia beserta komplotannya hendak menghakimi kalau saja Purnama tidak menjelaskan bahwa ia pun berada di pihak yang besebrangan dengan Awang, kakaknya.  Disana, ia yang tak diauhkan berkarib dengan Bian, adik Malini, yang diarahkan menjadi seorang terpelajar seperti dirinya.  Kecerdasannya dalam bersiasat pun akhirnya mulai diakomodir oleh kelompok ki Goblek.  Bahkan hubungannya dengan Malini pun makin hari makin mencair.  Sayang sebuah penghianatan menghancurkan segalanya …..

Siapakah sang pengkhianat yang sebenarnya? Apa mungkin Purnama Kelna terlibat di dalamnya?  Bagaimana nasib Kedatukan Raja Jurai di bawah kekuasaan Awang Kelana? Bagaimana pula nasib Sri Ratu, Dawangi, dan Malini?  Apa sebenarnya Gending Sriwijaya? Kalau penasaran silakan segera kunjungi bioskop terdekat kesayangan para pengunjung yang budiman.  Buruan lho, keburu turun layar!  Soalnya penulis pun kelewatan menyaksikan “Demi Ucok” padahal cuma baru berlayar seminggu doang di studio-studio di kota penulis ini *curcol*.




~~~
Well, nonton film ini sebenernya penasaran dengan pemilihan cast-nya terutama Julia Perez yang biasanya main di film yang you-know-how sama Sharul Gunawan yang bahkan ini kali pertama penulis liat aksinya di layar emas.  Kalau untuk Agus Kuncoro sendiri ya sudah tidak asing sih apalagi di film-film besutannya mas Hanung (ini pula yang bikin penasaran).  Tapi, kiprahnya sebagai pemeran utama seingat penulis sih baru di sini ya, kan doi lebih banyak main sebagai pemeran pendukung.  

Adapun cast lainnya macam Slamet Rahardjo, Jajang C. Noer, Early Ashi, Teuku Rifnu Wikana, Yatty Surachman, dll sih ya udah sering penulis nikmati juga ya di banyak film lokal yang penulis tonton dalam beberapa tahun ini.  Dan ya, penulis sih gak kecewa dengan penampilan para cast.  Jupe ya mau-mau nya tampil dekil dengan gigi roges plus dipukul tendang pula sama lawan mainnya.  Sahrul Gunawan...hem, bagian perut yang membesar ya dibiarkan begitu saja secara memang karakternya digambarkan sosok terpelajar, bukan pendekar.  Agus Kuncoro, berhasil bikin penulis keki sama karakter Awang yang dimainkannya.

Ada sejumlah pesan moral yang dimunculkan film ini sepenangkapan penulis yang penikmat (bukan pengamat ya) film ini.  Semuanya diejawantahkan melalui sejumlah konflik yang muncul di sepanjang film berdurasi dua jam lebih ini (tumben ya durasi film lokal panjang beud).  Mulai dari konflik internal keluarga mengenai kecemburuan kakak-beradik hingga maraknya praktek korupsi di kalangan pejabat pemerintahan Kedatukan Raja Jurai sebagai konflik terbesar.  Belum lagi konflik asmara yang melibatkan Awang-Dawangi-Purnama-Malini.  Ada lagi konflik tentang pengkhianatan dan kesetiaan.  Dan ya semuanya mendapat porsinya masing-masing dengan latar belakang yang sama-sama jelasnya (bagi penulis).   

Menariknya lagi melihat sejumlah pertentangan dari karakter tokoh-tokohnya.  Awang yang cenderung berjiwa pendekar, sementara Purnama lebih berjiwa cendekiawan.  Jika Dapunta lebih bersifat terbuka terhadap tradisi, sebaliknya Sri Ratu masih sangat memegang teguh tradisi.  Meski demikian Sri Ratu digambarkan sebagai seorang yang teguh dalam memegang prinsip.  Bagaimana ketika ia harus menjebloksan anaknya sendiri ke penjara, kekekeuhnya mendukung Awang sebagi anak tertua untuk mengisi posisi raja sesuai adat.  Namun, di sisi lain, ia pun orang pertama yang menentang rencana pemberantasan para perampok dengan melibatkan pasukan perang yang dianggapnya terlalu berlebihan.  Pun dengn tokoh-tokoh wanita lainnya yang digambarkan memiliki keteguhan hati macam Malini, Nyi Goblek, hingga Dawangi yang masih kukuh mempercayai bahwa Purnama tidak bersalah.  

Sejujurnya penulis ini bukan penggemar genre kolosal ataupun action, tapi sekalipun begitu toh penulis yang pecinta drama sejati ini bisa menikmati film ini.  Meski agak aneh, tapi kehadiran scene animasi-nya juga cukup mencuri perhatian (kebayang sih kalau adegan ngaben, membalsem dibuat real sesusah apa).  Sebenarnya ending-nya juga cukup ketebak, tapi ya proses menuju endingnya paling tidak gak sampe bikin penulis terkantuk-kantuk (kayak ada tuh film yang rillis 1-2 bulan ke belakang) walaupun durasinya terhitung panjang.  Duet Syahrul Gunawan-Jupe yang awalnya sempet penulis ragukan juga ternyata berhasil tampil dengan chemistry yang baik.  Kalaupun ada yang agak menganggu ya itu sih kostumnya Sri Ratu yang agak aneh aja ya di beberapa sceneOverall, ini adalah film pembuka yang menyenangkan dan sama sekali tidak mengecewakan bagi penulis. Bravo Mas Hanung dan tim! Jaya terus perfilman Indonesia. :)

Tidak ada komentar: