Selasa, 31 Juli 2012

Catatan Ramadhan 1433 H: Fenomena Ramadhan


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYTjOSAyDalxbcgBPn8gNlqYiBhvMDF5U4ZH591kEHemR3clt71VRRjk5KHK9aaixmowTDzuVUJKkUOCmKaAld44RViJr7YoWGqDcpN3M5K0uqT9YqKSsgzBlOwcUOpwjzA8SZBqEaKao/s400/Foto030.jpg

Ramadhan yang hanya berlangsung selama 29-30 hari saja umumnya berlangsung semarak.  Semarak disini maksudnya dipenuhi berbagai hal yang khas, baik bersifat konkrit seperti makanan dan jumlah jamaah di masjid-masjid ataupun abstrak seperti suasana.  Makanan, hampir setiap sore berbagai titik keramaian biasa dijejali oleh berbagai pedagang makanan yang menjual berbagai penganan khas Ramadhan semacam kolak hingga jajanan biasa seperti kue-kuean, goreng-gorengan, dll.  Jamaah masjid.  Yah, selayaknya angkutan umum yang jumlah penumpangnya melonjak hingga berkali lipat di masa mudik, nah begitupun masjid-masjid ini, yang biasanya Cuma 1-2 shaf bisa berlipat hingaa 4-6 shaf, bahkan di awal-awal sampai banyak yang tidak kebagian lapak.  Nah, itu sih fenomena umum ya.  Sekarang yang ingin penulis bahas lebih ke fenomena-fenomena (yang menurut penulis pribadi a.k.a IMO) unik di bulan seribu bulan ini.  Nah, biar gak pusing bagi para opengunjung yang kebetulan mampir dan baca artikel ini, penulis akan memaparkannya dalam bentuk poin per poin.

# Seni Menanti Bedug: Nikmatnya Berbuka

Bedug, tabuhannya  yang di hari biasa pun sering terdengar menjadi momen yang paling dinantikan oleh seluruh muslim yang menjalankan ibadah Shaum Ramadhan.  Ya, bagaimana tidak, kan setelah selama lebih dari 12 jam menahan lapar dan dahaga, suara bedug maghrib menjadi start untuk kembali menjejali lambung kita dengan berbagai serpihan makanan, bahan bakar untuk kerja lambung kita lah.  Nah, karena itu pula momen berbuka jadi momen yang paling nikmat….bagi yang shaum.  Kalau yang gak shaum?  Jangan mungkirin kata hati lah, sengerasa nikmat apa maksa buat menikmati buka bak orang shaum, penulis sih yakin ya mereka yang semestinya shaum tapi karena berbagai hal yang tidak syar’i nan urgen lebih milih tetap makan minum atau sekedar merokok di tengah hari saat muslim lainnya tengah berjuang menahan perut yang keroncongan, tenggorokan dan bibir yang kering, kalopun iya bisa menikmati, kadar kenikmatannya jauh dibawah mereka yang shaum.  Buka puasa mungkin tak ubahnya makan malam kepagian buat mereka, nah buat yang shaum ya semacam makanan pembuka sebelum santap malam.  Dan karena membuka setelah sekian lama vakum dari makanan dan minuman, ya nikmatnya luar biasa.  Pokoknya gak ada yang lebih nikmat dari berbuka puasa.  Saking nikmatnya, jenis penganan berbuka menjadi tidak lebih penting dari momen bukanya itu sendiri.  Kalaupun kebetulan makanannya juga lebih dari sekedar nikmat…ya itu mah bonus..paket spesial.  Nih ya sekali lagi, semua kenikmatan ini perlu dicatat hanya berlaku 100% untuk mereka yang shaum, yang enggak….ya kalau misalkan pas penulis lagi gak shaum karena emanang dilarang sama agama sih biasa aja…gak tau ya buat yang menyengajakan tidak shaum (di luar mereka yang non muslim ya, itu mah lain soal, mereka kan tidak ada tuntutan buat shaum). 

# Semarak Berhijab
Apakah ada di antara pengunjung yang budiman termasuk anggota hijabers?  Ya, terlepas dari atau tidak, hijabers kini menjadi fenomena tersendiri khususnya di kalangan fesyen muslimah.  Semenjak hingar binger hijabers, nampaknya semakin banyak yang tertarik (entah ya termasuk tergerak hatinya atau tidak, wallahu’alam) untuk membungkus bagian kepalanya (umum dikenal—bukan berarti dimaknai—dengan   berhijab).  Satu tren positif sebenarya, dari sudut pandang dakwah.  Ya, masalah kaffah atau tidak biarlah itu menjadi urusan personal yang bersangkutan dengan sang Maha Mengetahui.  Toh kita ini Cuma bisa sekadar memberi pendapat dan tidak layak memberikan penghakiman, sama-sama makhluk.  Hey, let’s move on.  Nah, biasanya di bulan Ramadhan ini biasanya kuantitas hijabers—meminjam istilah komunitas hijabers, mengacu pada mereka yang mengkerudungi kepala mereka dan lebih menutupi aurat mereka—meningkat cukup signifikan.  Ada yang sekedar berhijab khusus di bulan suci ini saja, atau syukur-syukur yang istiqamah untuk terus berhijab.  Adem kan ya rasanya melihat para hijabers berkeliaran di banyak tempat selama Ramadhan ini.  Subhanallah.

# Toleransi di Bulan Ramadhan


Nah, sekarang mengacu pada kedua poin di atas, sebenarnya hal yang sangat ingin penulis soroti disini ialah perihal toleransi.  Dan, toleransi disini berkaitan dengan dua poin di atas.  Masalah makan dan makanan serta berbusana.  Maaf, sebelumnya maaf, ini hanya artikel pribadi yang berisi pandangan pribadi penulis berdasarkan pengamatan pribadi penulis terhadp kedua fenomena di atas selama beberapa tahun trakhir *ceileeh*.  Nah, pertama perial makanan dan makan atau aktivitas apapun yang bersifat membatalkan shaum.  Tidak jarang penulis mendapati orang yang asik saja merokok di siang bolong atau bahkan tanpa sungkan nongkrong di warung nasi pinggir jalan.  Ataupun sekedar menegak minuman dingin yang justru jauh lebih menggoda daripada makan di siang bolong.  Oke, sekali lagi konteksnya disini ialah bagi sesama muslim ya, bukan yang non muslim.  Miris sih kadang, sebegitu addict-nya sampai tidak bisa tidak menghisap rokok barang 12 jam.  Tapi, yasudahlah, mungkin mereka punya alasan kuat tersendiri, masalah keyakinan barangkali (keyakinan disini bukan bersifat kepercayaan terhadap satu agama tapi lebih pada ideologi).  Ahh..sekali lagi penulis sebagaimanusia biasa tidak berhak menghakimi bahwa mereka salah, dosa, dll.  Yang jelas sepemahaman penulis mereka yang makan minum merokok di siang hari itu berarti tidak shaum.  Gak berani ya penulis bilang itu batal, kan belum tentu juga mereka berniat shaum.  Apa kalau tidak niat bisa dibilang batal?  Lagipula toh sekadar makanan atau minuman tidak begitu menggoda bagi sebagian besar mereka yang shaum.

Kedua, perihal berbusana.  Ini nih yang bagi penulis lebih berpotensi menggoda iman di bulan ramadhan ini.  Heran deh, selain hijabers yang menjamur, penulis fikir, banyak yang walaupun tidak berhijab tapi setidaknya rada membatasi bagian tubuh yang bisa dinikmati oleh banyak mata dengan bebas.  Ya, kasarnya tidak terlalu buka-bukaan.  Terlalu naïf memang karena pada kenyataannya masih banyak kok mereka yang masih serba terbuka.  Dan, untuk yang ini penulis sih menyoroti semua kalangan.  Tapi lebih khusus lagi-lagi bagi para muslimah dan terutama lagi publik figur.  Beberapa kali penulis menyaksikan acara televise di bulan Ramadhan ini, alhamdulillah sudah banyak penampil yang kalaupun mengenakan dress di atas lutut, mereka melapisi kaki jenjang nan mulusnya dengan lagging.  Tapi sayangnya masih ada saja, bahkan lumayan banyak yah para penampil yang masih entah belum mengerti atau bahkan tidak peduli untuk lebih ‘sopan’ dalam berbusana.  Mereka kan masalahnya menjadi sorotan.  Okelah kalau orang biasa impact-nya untuk sekitar saja.  Nah, kalau tokoh terkenal kan blow-up-an media bisa bikin impact-nya menasional bahkan men-global.  Oke, tidak semua penampil seorang muslim, tapi atas nama toleransi sepertinya berusaha untuk sedikit saja lebih tertutup di bulan suci ini harus otomatis diagendakan oleh para publik figur tersebut.  Akan tetapi, kalau diurai sepertinya semua balik lagi ke kesadaran dan respek pribadi masing-masing penampil tersebut plus kecermatan manajemen demi menjaga image anak asuhnya. 

Nah, berkaca pada dua fenomena di atas akarnya sebenanrnya satu: TOLERANSI.  Itu tuh materi wajib dan pokoknya mata pelajaran Kewarganegaraan yang bahkan masih dipelajari hingga di bangku kuliah.  Saking pentingnya demi pembentukan karakter bangsa demi terwujudnya bangsa berkarakter sebagai pembangun bangsa ini ke depannya.  Penting juga mengingat negeri kita kan saking tolerannya memiliki lebih dari lima kepercayaan resmi yang diakui negara.  Ya, kalau kita tidak dijejali toleransi, kebayang ya di tengah puluhan bahkan ratusan suku dengan beragam bahasa dan dialek plus keragaman budaya dan agama, hem…mungkin eksistensi negeri ini hanya sumur jagung, kemerdekaan tidak akan pernah terwujud, kalaupun iya ya seumur jagung juga wong bangsanya saling sikut satu sama lain.  Ini nih perbedaan sering kali jadi biang kerok konflik dimanapun, dan malangnya ia pun sering kali dijadikan kambing hitam dalam banyak perihal.  Padahal kalau toleransi tadi dijadikan penengah dan semuanya konsisten dengan toleransi tersebut ya perbedaan justru menjadi satu keunggulan.  Kan yang bikin Indonesia dikenal salah satunya keragaman budaya dan hayati-nya.  kembali ke pokok pembahasan, pertanyaannya jika dua fenomena di atas yang terjadi apa iya toleransi masih terpelihara?  Jatuhnya ini bak sebuah PARADOKS.  Ketika toleransi diagung-agungkan, ehh…justru manusianya yang tidak bisa toleran.  kalau begini, meminjam lirik lagunya raisa “apalah arti toleransi…bila hanya sekedar kata-kata.”

Tidak ada komentar: