Senin, 23 Juli 2012

3rd Day: Transportation Day


Setelah hari kedua kami-kami sangat go green dengan berjalan kaki mengintari malioboro tanpa berkendara sedikit pun, akhirnya hari di hari terakhir kami di kota ini kami putuskan untuk berkendara.  Mulai dari becak yang tradisional sampai Trans yang modern.  Oh, ya, sekedar informasi, entah apanya yang salah ya, yang jelas hari ketiga kami awali dengan terkantuk-kantuk.  Kalau kemarin hari pukul 09.00 kami sudah siap meluncur keluar penginapan, hari ini bahkan beranjak dari kasur pun belum!  Dinginnya cuaca seakan makin melenakan.  Dengan berat, akhirnya penulis menyeret diri masuk kamar mandi.  Baru setelahnya teman penulis menyusul.  Dengan kondisi seperti ini, ya tidak heran kalau akhirnya kami baru meninggalkan penginapan pukul 10.30.  Memulai agenda dengan mengunjungi toko oleh-oleh dan mengunjungi salah satu toko di Malioboro, pukul 12.00 kami sudah kembali ke penginapan untuk bersiap check out.  Pukul 12.30, setelah shalat zuhur, kami pun resmi meninggalkan kamar dan hanya menitipkan barang kami di kantornya si pengelola pengginapan.  Kaminya? Mabur pake Trans Jogja! haha

Trans Jogja!


Wiiw…setelah sekian hari dibikin puas sekadar melihat bus mini berwarna hijau kekuningan ini berseliweran di sepanjang malioboro, akhirnya penulis berkesempatan juga naik angkutan umum khas kota ini.  Apa sih yang spesial dari bus trans?  Ya..dgak ada yang istimewa ya secara di kota penulis pun sudah ada kendaraan sejenis meski penulis memang belum pernah berkesempatan naik (keburu ditarik lagi dari peredaran soalnya..heu), terus penulis juga sudah pernah merasakan naik bus sejenis di kota lain.  Nah, tapi justru bagi penulis pribadi, gak afdol rasanya kalau kita gak nyobain berkendara pake kendaraan khas kota yang penulis kunjungi.  Ada rasa penasaran saat belum mencoba dan kepuasan setelah mencobanya. Dan, sekalinya make trans ehh….diajak yang jauh sekalian, samapi shelter terakhir, sekitar 45 menit, alhamdulillah…puas! J

Prambanan


Kesinilah Trans membawa kami.  Ke shelter Prambanan.  Barang tentu lokasinya dekat, bahkan sangat dekat ke Prambanan.  Tinggal nyebrang aja sih sudah masuk kompleks Prambanan.  Tapi, pintu masuknya itu loh lumayan lah sekitar sepuluh menitan ditempuh dengan berjalan kaki.  Itu  baru sampai gerbangnya aja tapi, nah ke pintu masuknya sekitar lima menitan.  Dari pintu masuk ke kompleks utamanya sendir ya sekitar lima-sepuluh menita, jadi ditotal ya kurang lebih 30 menitan lah kami berjalan kaki.  Belum di kompleksnya sendiri, naik turun tangga plus ngelilingin kompleks candinya sendiri.  Mana di tengah suhu udara yang serasa menusuk kulit.  Tapi syukurlah, kesejukan seketika melanda saat kami menepi di salah satu sudut kompleks dan bernaung di bawah pohon yang rindang.  Entah bagaimana yang jelas beristirahat disana sangat-sangatlah menyejukkan.  Padahal ya saat penulis keluar dari area pepohonan tersebut untuk berfoto, udara panas yang tadi dirasakan langsung kembali menggerogoti.  Sungguh ajaib. 

Kauman


Sepulang dari Prambanan, sebelum kembali ke pnginapan kami sempat mampir ke toko sekitar malioboro untuk membelikan batik titipan kakak teman penulis.  sepuluh menit selepas maghrib kami baru kembali ke penginapan untuk shalat dan lalu mengambil barang yang kami titipkan.  Penulis sih masih menitipkan barang sampai jam 20.30-an karena berencana ingin bertarawih pertama di Masjid Gede Kauman dahulu.  Hasrat, ya, bertarawih di Masjid Gede ini sudah lebih dari sekedar keinginan, malah sudah menjadi hasrat.  Sejak awal berencana pergi kemari (sekalipun dadakan dan tak terduga) dan mengetahui kalau jadwal kepulangan tepat di malam pertama Ramadhan, sebenarnya penulis ingin memundurkan jadwal kepulangan hingga esok, tanggal 20 supaya sempat merasakan bersahur dan berbuka disana.  Namun, apa daya, ada satu jadwal akademik yang tidak bisa tidak penulis indahkan.  Jadi, ramadhan kali ini harus puas hanya dengan bertarawih pertama disana.  Ya, mungkin itu lebih dari cukup untuk saat ini.  Bukan jarak yang dekat dan harga yang murah sebenarnya untuk bisa bertarawih disana.  Maklum, kesana ya sama aja kayak ke keratin, perlu ditempuh dengan becak mengingat tidak ada kendaraan lain.  ada sih Trans, tapi konon kata mang becaknya gak lewat, tetep harus jalan.  Masalah karena jalan?  Oh, tentu saja tidak!  Wong kemarin saja kan penulis dengan teman dan adik udah puas gitu nyingkreuh.  Masalahnya kali ini justru adalah fakta bahwa penulis Cuma turis domestic *ceileh* di kota ini.  Sekalipun penulis sangat mengagumi kota ini, ya tetep ini bukan wilayah jajahan penulis.  Hari gini masih takut nyasar?  Secara kan teknologi udah canggih gitu…. Iya memang, tapi kan sayangnya penulis termasuk salah satu yang belum bisa mencicipi kecanggihan teknologi itu seutuhnya.  HP penulis ya boro-boro ada GPS-nya, masih seri W610i gitu, I-Pad mana punya, wong saking niat mengabadikan tiap momen lewat tulisan buat dishare via postingan blog kayak gini aja penulis sampe kudu memboyong net-book tercinta yang…masyaallah….berat!  Jadi intinya penulis tidak berani berspekulasi di kota asing dengan teknologi terbatas.  Titik. Mana male mini juga kan jadwal kepulangan penulis.  lewat pukul 21.24, penulis hampir pasti terlunta-lunta, kan sudah check out dari penginapan sejak siang hari.  Well, sudah-sudah, kembali ke kauman.  Masjid ini bagi penulis memiliki makana dan kedekatan tersendiri.  Ya, maklum ini kan masjid yang didirikan oleh pendiri persyarikatan yang dimana penulis menjadi bagian di dalamnya.  Mana pernah dibuatkan pula film biografinya, sampai kita faham betapa masjid ini dibangun dengan pengorbanan yang tidak sedkiti.  Dari tadinya surau kecil yang bakan sempat dirobohkan, ehh…sampa akhirnya berdiri kokoh sebagai sebuah masjid di kampung Kauman.  Lokasinya yang strategis (dekat Alun-alun dan Keraton) juga menjadi nilai plus tersendiri *ya walalupun dari Malioboro lumayan*.  Penulis tiba disini sekitar pukul 18.30, dan tanpa membuang waktu penulis langsung bergegas menuju kamar mandi.  Keringat yang melengketi tubuh yang dibekal dari Prambanan tadi sudah menghilang saat penulis berbecak seorang diri menuju kemari tadi.  Angin sepoy-sepoy menemani perjalanan penulis.  Seusai mandi, penulis pun segera memasuki masjid mencari lokasi strategis, dan akhirnya meski tidak strategis-strategis amat, tapi syukurlah ada tempat yang lumayan strategis.  Lokasinya ada di samping dekat kipas angin!  Ya, bukan rahasia kalau suhu di kota ini kan emang tidak sesejuk kota tempat penulis tinggal.  Dan, meskipun penulis baru saja mandi, ya, ruangan tertutup dengan jumlah orang yang banyak otomatis bikin suhu yang memeng sudah panas makin panas.  Makanya, sedari awal, posisi yang berangin yang penulis incar.  Dan kenapa penulis agak terburu-buru ya satu saja sih alasannya, supaya tidak kehilangan posisi strategis itu.  seperti bayangan penulis bahwa Kauman malam itu cukup disesaki jama’ah yang hendak melaksanakan tarawih.  Sekalipun ada perbedaan penetapan awal Ramadhan, toh di kota yang sedang penulis kunjungi ini kan memang merupakan pusat salah satu persyarikatan sosial agama terbesar di Indonesia sehingga tidak heran jika mayoritas sudah melaksanakan shaum di hari jum’at dan bertarawih di kamis malamnya.  Oh, ya, mengapa penulis hanya seorang diri? Karena rekan penulis enggan diajak bertarawih disana, takut ketinggalan kereta, malas berat bawa barang dan jauh, dan terutama doi setia sama pemerintah memulai shaum di hari sabtu.  Jadi ya itu tadi, kami berpisah pas penulis naik  becak menuju kaumana, sementara teman penulis masih berjalan-jalan di Malioboro sambil mencari becak menuju stasiun.  Kembali ke Kauman.  Shalat isya, Tausyiah, Shalat iftitah dan Tarawih semua berlangsung selama kurang lebih satu setengah jam.  Artinya, penulis hanya tinggal punya sejam kurang untuk tiba di stasiun.  Itu pun belum termasuk mengambil barang dan membeli makan *satu hal yang tidak pernah penulis lupakan*.  Hampir lima menitan menunggu sebelum penulis akhirnya mendapatkan becak.  Akhirnya, penulis pun meninggalkan Kauman dengan perasaan bahagia sekaligus sedih.  Bahagia sudah berkesempatan tarawih disna, sedih karena harus buru-buru meninggalkan tempat tersebut.  Lebay? Kan semua masjid sama aja, dan rata-rata masjid disana emang udah mulai taraweha juga malam itu? begini ya, yang mahal disini bukan Cuma ongkos becaknya, tapi lebih jauh dari situ sejarahnya, kedekataan emosionalnya.  Angin, angin, anginn…. Kegerahan di Kauman tadi terbayar dengan sepoyan angin yang meniupi penulis sepanjang berbecak menuju stasiun.  Sampai jumpa lagi Kauman, nantikan kembali kehadiran penulis….segera. 

Back Home: Lodaya Malam
Ini nih kejadian aneh unik lucu tapi nyata.  Perasaan penulis sudah dengan sangat gambalang bilang sama mamang becak-nya sedari awal kalau minta diantar ke penginapan untuk ambil barang sebelum ke stasiun.  Ehh…tapi entah apanya yang miss, yang jelas ini mang becak malah langsung bawa penulis ke stasiun, ya ampuun…kan gimana mau pulang juga orang barang masih di penginapan.  Akhirnya setelah menjelaskan beberapa kali dengan susah payah *nah lho, gak ngerti, penulisnya yang kurang jelas apa mamangnya yang…ahh sudahlah* akhirnya becak pun berbelok kea rah berlawanan, menuju penginapan.   Syukurlah lokasi penginapan tidak seberapa jauh ditempuh dengan becak, kebayang kalau lokasinya di dekat Beringharjo, alamat ketinggalan kereta ini mah.  Ya, bisa dibilang penulis kayak kejar-kejaran pas menuju stasiun itu.  mana teman penulis tak henti-hentinya menghubungi, pake anceman suruh ganti tiket kalau ketinggalan kereta lah, ditinggal lah.  Ahh, tapi sekalipun iya ketinggalan ataupun ditinggal penulis sama sekali tidak akan menyesali memaksakan diri bertarawih di kauman, paling yang bikin nyesel dan ngenes ya rugi di tiketnya.  Ditinggal seorang diri disini pun sebelutlnya penulis tidak takut, Cuma ya itu sayang tiketnya!  Dan, syukurlah semua masih berjalan sesuai waktunya.  Pukul 21.00 penulis tiba disana.  Menunggui teman yang tenyata baru shalat isya karena menunggu penulis dulu sedari tadi *maaf*, penulis akhirnya membeli amunisi untuk dimakan di jalan *secara ritme makan penulis yang santai dan menikmati tiap suapnya tidak memungkinkan penulis makan disitu*.  Kereta datang sesuai jadwal, tanpa berhenti lebih lama, pukul 21.30, kereta pun sudah melenggang lagi.  Jika perginya penulis terpaksa menumpang Kereta Eksekutif, sekarang penulis naik kereta bisnis yang tentu saja masih enakan eksekutif kemana-mana! *yaiyalah*.  Awlanya, fine, tapi lama-lama hawa panas tak tertahankan sangat-sangat menganggu, mana kaca jendela pas di tempat penulis duduk tidak bisa dibuka, kipas angina cukup jauh, pas di bawah sorot lampu.  Hemm…sama sekali bukan posisi strategis.  Dan entah bagaimana caranya penulis mampu bertahan hingga tengah malam sebelum akhirnya di tengah terjaganya penulis dari tidur untuk yang kesekian kalinya ini, penulis menyerah.  Saat ada petugas keamanan yang berpatroli, akhirnya penulis buka suara meminta si bapak membukakan kaca jendela.  Tidak mudah memang, perlu menggunakan alat, tapi syukurlah akhirnya bisa juga.  Sempat sedikit membuat gaduh, tapi ya untungnya tidak fatal.  Dan, alhamdulillah……sejuka dan segar nian saat jendela terbuka.  Iya pas enulis melihat sekeliling gerbong sih rata-rata pada kedinginan.  Malah, beberapa kipas angin tidak dinyalakan.  Beberapa lainnya berselimut.  Tapi ya gimana, kan kali kondisi dan perasaan kita beda satu sama lain.  Toh, teman penulis pun sama kegerahannya.  Meskupun semakin ke barat dan semakin menjelang subuh udara dingin terasa mulai menusuk, tapi itu jauh lebih baik daripada berasa seperti di panggang dalam oven.  Ya, mohon maaf ya bilamana kkeputusan saya membuat beberapa orang menggigil, tapi yakin ahh tidak sebegitunya.  Hehe.  Kereta tiba di Bandung pukul 05.30, dan segera kami menuju mushola, menunaikan shalat subuh.  Setelahnya, kami berpisah di luar stasiun karena menggunakan angkutan yang berbeda.  Dan, itulah akhir dari perjalan 3 hari 2 malam penulis di kota impian penulis, kota yang selalu ngangenin, kota yang selalu nagih buat dikunjungin, ahh… tunggu kehadiran penulis kembali ya!  Oh, ya, ini untuk pertama kalinya juga penulis mengalami “sahur on the road”, loh, sahur di kereta.  Serba terbatas dan kurang berselera, tapi ya dinikmati sajalah, namanya juga darurot. Hehe. Next time penulis bakal sahur  plus buka di kauman deh, semoga ya. Aamiin.
***

Begitulah kisah tiga hri perjalana penulis selama di kota Pelajar.  Aneh? Ngebosenin?  Ahh…gapapa yang penting penulis sudah berusaha menshare pengalaman, suka duka penulis disana.  Masih kerasa kaku apa lebay?  Maklumi saja ya, masih belajar.  Belum bisa meringkas.  Kalau ada yang punya tips dan masukan, dengan senang hati penulis terima.  Akhir kata, mohon maaf atas kebingungan yang penulis hadirkan di tiga postingan ini, dan selamat menikmati. J

Tidak ada komentar: