Rabu, 01 Juni 2011

Sinema Wajah Indonesia: Sandal Butut

Semacam Prolog

Alhamdulillah...akhirnya setelah dua kali berturut-turut ketinggalan nonton FTV Sinema Wajah Indonesia, akhirnya sabtu lalu (28/05), penulis berhasil menyaksikan kembali tayangan yang sudah lama penulis nantikan kehadirannya setelah terakhir kali tayang berbulan-bulan lalu. Penulis amat merasa senang saat pertama kali menyaksikan iklan tayangan program ini. Penulis pun amat berterima kasih kepada SCTV yang telah berbaik hati melanjutkan program yang bagus ini. cerita dan pemainnya lah yang membuat penulis senantiasa menantikan kehadirannya. Sayang, di dua judul awal Mahasmara (Ardinia Wirasti, Ringgo Agus) dan Tak Cukup Sedih (Happy Salma--di sinema 20 wajah Indonesia penulis juga kelewatan sinema yang dibintangi Happy) karena satu dan lain hal penulis berhalangan untuk menyaksikan sehingga tidak bisa membuat resensinya (penulis lebih nyaman meresensikan apa yang sudah penulis lihat daripada sekedar megetahui dengan membaca resensi orang lain..hehe). Bahkan yang ketiga ini pun, hampir-hampiran terlewat kalau saja penulis kebablasan tertidur (maklum kondisi saat itu sedang tidak fit) . beruntung penulis bangun sekitar pukul 23.00 lewat dan sudah ketinggalan beberapa menit, yaah memakai pepatah umum "lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali". Oh, ya, mohon maaf kalau terasa aneh..maklum udah cukup lama gak bikin resensi..hehe, so, enjoy..! :))

*****

Pemain: Ringgo Agus Rahman, Jajang C. Noer

Synopsis:

Tersebutlah seorang pemuda miskin yang hidup berdua saja di gubug sederhana bersama sang ibu yang berprofesi sebagai tukang layangan. Muslim bin Mu’min (Ringgo Agus) namanya. Ia hidup di sebuah dusun di daerah Boyolali. Di dusun yang sama, tinggal juga Pak Mansyur, seorang anggota DPRD sekaligus salat seorang tokoh berpengaruh dan terpandang di dusun tempat ia dan Muslim tinggal.

Suatu hari di hari Jum’at, Muslim yang biasa nya bertelanjang kaki kemana-mana hari itu berangkat ke masjid dusun untuk mengikuti shalat jum’at dengan menggunakan sandal baru. Karena khawatir aka nada yang mengambil ia menyembunyikan sandalnya di tempat yang tersembunyi. Konflik pun dimulai ketika beres shalat jum’at Muslim mendapati sendalnya telah lenyap dari tempat persembunyiannya. Setelah mencri kesana-kemari ia pun menyerah sampai akhirnya di tengah keputusasaan ia mendapati sepasang sandal butut yang masih tersisa. Setelah melihat sekeliling dan merasa yakin bahwa sudah tidak ada orang lagi di masjid tsb ia pun berfikir bahwa sandal butut itu milik sang pencuri sandal, da ia pun berinisiatif memakainya pulang.

Di saat ia hendak memakai sandal butut tersebut, pak Mansur yang ternyata sedari tadi berada di balik mimbar membetulkan speaker mesjid spontan meneriaki Muslim sebagai maling setelah menangkap basah Muslim mengambil sandalnya. Kontan saja jamaah yang baru saja bubar dan masih belum beranjak jauh dari masjid pun segera mengerubuti Muslim yang seketika menjadi tersangka. Beruntung sekaligus menjadi suatu kerugin bagi Muslim, diantara jemaah yang masih bersisa ada seorang polisi yang juga merupakan warga dusun yang sama serta sama-sama menjadi korban pencurian sepatu di masjid yang sama segera mengamankan Muslim dari ancaman amukan warga sekaligus memboyongnya ke kantor polisi setempat untuk dimintai keterangan.

Di kantor polisi, Muslim yang sedari tadi tidak mendapat kesempatan membela diri segera menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Ia menjelaskan bahwa ia tidak bermaksud mencuri sandal butut milik Pak Mansur, justru ia menjadi korban pencurian sandal. Sang polisi tidak percaya begitu saja pasalnya kejadian pencurian sandal di masjid tersebut bukanlah yang pertama sehingga kontan saja Muslim yang dituduh sebagai sang pencuri yang selama ini meresahkan jamaah masjid tersebut. Pak Mansur pun sebenarnya tida bermaksud memerkaran bahkan memenjarakan Muslim, ia hanya ingin menegakkan hukum dan membiarkan hukum yang mengurusi masalah tersebut. Sejak hari itu Muslim terpaksa mendekam di penjara sampai perkaranya diputuskn di pengadilan.

Sementara itu di gubugnya, sang ibu menanti anaknya yang tak kunjung pulang. Menjelang sore, bukan Muslim yang didapatinya pulang, melainkan Pak Lurah berikut beberapa orang lainnya yang membawa kabar bahwa Muslim ditahan dengan tuduhan pencurian sepasang sandal butut. Mbok Ijah (Jajang C. Noer), sang ibu yang tak percaya anaknya mencuri seketika tidak sadarkan diri saking kaget dan sedihnya. Setelah sadar, ia pun segera menjelaskan pada semua orang bahwa anaknya, Muslim, tidak mungkin melakukan hal seperti itu. ia bahkan dengan yakinnya mempersilakan Pak Polisi yang hendak memeriksa kalau-kalau Muslim menyembunyikan sandal hasil curiannya tersebut di salah satu sudut rumahnya. Dan ternyata setelah berkeliling hasilnya nihil! Tidak ditemukan sepasang sandalpun di rumah sederhana itu. Polisi berikut rombongan Pak Lurah pun segera meninggalkan rumah Muslim setelah tak menemukan satu bukti pun. Mbok Ijah, sang ibu, hanya bisa menangis meratapi nasib Muslim anaknya yang mesti dipenjara karena hal yang belum tentu dilakukannya.

Keesokan harinya, Mbok Ijah mendatangi Muslim di penjara. Ia mengantarkan beberapa helai baju dan makanan yang terbungkus kain untuk anaknya. Mbok Ijah pun sempat mendatangi rumah PakMansur dan memohon beliau untuk membebaskan Muslim. Namun, Pak Mansur tetap bergeming pada keputusannya untuk menyerahkan semuanya pada hukum. Ia yang merasa prihatin lantas mengirim anaknya, Umam, untuk mengantarkan sejumlah uang pada Mbok Ijah. Mbok Ijah yang merasa tidak berhak menerima uang itu dan tidak ingin dikasihani sekalipun mereka miskin dengan halus menolak uang pemberian Pak Mansur tersebut. Namun, pak Mansurpun tidak menyerah beitu saja. Keesokan harinya ia kembali mengirim anaknya dengan misi yang sama, namun kali ini dengan cara yang berbeda. Umam datang dengan dalih memborong semua layangan mbok Ijah untuk dipakai bermain oleh ayahnya dan teman-teman pejabat lainnya. Kali ini, mbok Ijah pun mau menerima uang itu.

Layangan yang diborong itu pun akhirnya dijual kembali oleh Umam atas permintaan sang ayah sebagai bukti apakh ia mampu mencari uang atau tidak. Sayangnya, berhari-hari mangkal di depan sekolah dasar tak satu pun layangannya terjual sampai akhirnya ia menjual gratis seluruh layangannya, dan laku! Pada ayahya ia berdalih dengan melakukan hal itu setidaknya ia telah melakukandua kebaikan yakni beramal dan menyenangkan orang lain.

Seminggu pun berlalu, Muslim yang kekeuh bahwa ia bukan pencurisandal yang selama ini meesahkan jamaah masjid pun, diboyong kembali untuk melaksanakan shalat jum’at disana sekaligus untuk membuktikan benarkah bukan ia pelakunya dan meminta keteranga tukang sandal yang mnurut Muslim tahu bahwa ia baru saja membeli sandal baru. Selama di masjid tangannya tak lepas dari borgol yang mengikatnya dengan sang polisi yang otomatis membatasi geraknya. Selepas shalat kejadian kehilangan sandal kembali terjadi dan kali ini menimpa tukang sandal yang biasa mangkal di depan masjid. Dagangannya raib dan ia pun kalang kabut sampai-sampai ia menolak memberikan keterangan. Muslim yang masih terborgol pun hanya menggeengkan kepala sebagai isyarat bukan ia pelakunya tatkala sang polisi melirik ke arahnya. Ia beralibi bagaimana mungkin ia beraksi saat tangannya dalam kondisi diborgol begitu. Sejak saat itu, jamaah dan wara setempat pun manjadi percaya bahwa bukan Muslim lah pelaku pencurian yang selama ini dicari.

Pak lurah pun mendatangi kediaman pak Mansur untuk meminta beliau membebaskan Muslim sebgaimana yang pernah dilakukan Mbok Ijah. Akan tetapi, Pak Mansur tetap pada keputusannya untuk menyerahkan segalanya pada hukum. Ia sama sekali tidak mempunyai dendam pada Muslim, hanya saja penegakkan hukumlah yang ingin ia junjung. Warga yang tidak terima, dengan dikomandoi oleh Pak Lurah, malakukan semacam demo di halamn rumah Pak Mansur yang luas. Disana, mereka masing-masing meningkalkan sepasang sandal butut sebagai bukti kpeedulian atas Muslim yang diperkarakan hanya karena sepasang sandal butut. Maka, ketika mereka akhirnya bubar, tersisa lah tumpukan berpasang-pasang sandal butut di halamn rumahnya. Pak Mansur pun menjadi sedih dan mersa tersudutkan dengan sikap warga yang seolah menempatkannya sebagai orang kejam yang tega memperkarakan orang susah seperti Muslim.

Semnetara itu, selama di penjara, Muslim yang satu sel dengan seorang koruptor kelas teri yang malakukan korupsi uang tani sebesar 10 juta rupiah merenungi nasibnya. Ia berfikir mungkin musibah yang menimpanya sekarang ini terjadi karena ia lalai atau pernah melakukan suatu kesalahan di masa lalu karenanya ia berniat untuk melakukan tobat nasuha. Ia pun turut serta mengajak teman satu selnya yang juga amat mneyesali perbuatannya untuk tobat nasuha. Ia pun lalu berencana untuk bertanya lebih jauh seputar tobat nasuha pada Pak Mansur yang pernah menyampaikan ceramah tentang hal itu selepas bebas dari penjara.

Waktu sidang pun tiba, dan akhirnya Muslim dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman selama dua minggu dipotong masa tahanan. Sang ibu sempat menemuinya lagi di penjara untuk membawakan sejumlah barang serta makanan berikut menghadiahi sepasang sanda baru seperti sandalnya yang hilang dari uang yang ia dapat sebagai hasil penjualan layangan.

Hari-hari pun berlalu, masa tahanan pun usai, maka bebaslah Muslim. Di hari kebebasan Muslim di tempat lain terungkaplah siapa pelaku pencurian yang sebenarnya. Ia tak lain adalah Umam, anak Pak Mansur sendiri, yang diketahui mengidap penyakit clepto mania. maka tak ayal rumah Pak Mansur pun serta merta dikerubuti warga. Dari hasil penggeledahan, di dalam lemari baju Ma’mun ditemukan berpuluh pasang sandal yang selama ini dicurinya termasuk sepasang sepatu dinas sang Polisi yang masih mulus. Pak Mansur yang sedari awal mengembar-gemborkan penegakkan hukum mencoba konsisten dengan merelakan anaknya diboyong ke kantor polisi meski nalurinya sebagai ayah merasa tersakiti. Dan pada akhirnya Pak Mansur pun hanya bisa meratapi sekaigus merenungi nasib anaknya.

Muslim yang bermaksud melaksanakan niatannya untuk bertanya perihal tobat nasuha pada Pak Mansur turut menyaksikan apa yang menimpa Pak Mansur ikut prihatin atas kejadian yang menimpa Ma’mun. Di saat kerumunan warga sudah bubar, ia menghampiri beliau yang termenung di tangga teras rumahnya. Ia memberanikan diri untuk bertanya apa itu sebenarnya yang dimaksud dengan Tobat Nasuha, yang akhirnya dijawab dengan jangan mencuri samda yang bukan milik kita. Muslim pun lantas berfiir bahwa ia bertanya di saat yang tidak tepat.

--mohon maaf video thriller belum bias dipost-kan, mudah2an secepatnya bias dipost-kan--

Tidak ada komentar: