Rabu, 01 Juni 2011

Film "Kentut"

Selasa lalu, ketika sedang membuka salah satu lama jejaring sosial ada comment dari seorang teman yang mengajak penulis nonton gratis! Yaa..mumpung lagi libur dan ingin refreshing sejenak dari hiruk pikuk tugas yang mengepung, penulis iyakan saja ajakan tersebut. saat penulis mengkonfirmasi kapan dimana dan film apa, ia hanya memberikan opsi tempat sisanya ia serahkan pada penulis. yasudah, penulis yang belum lama menyaksikan preview film ini di sebuah tayangan televisi pun kontan mengajukan film ini. Dan, berhubung film ini premiere hari rabu, maka disepakati kami menonton hari rabu di sore hari. Naah, keesokan harinya penulis pun bertemu dengan sang teman dan seorang teman lainnya. Akhirnya bertiga, kami pun menyaksikan film berdurasi sekitar 90 menit ini. Dan beginilah sedikit resensi dan kesan pesan yang penulis rasakan dan ingin ungkapkan setelah menonton film tersebut. enjoy! :))

KENTUT



Film terbarunya Aria Kusumadewa, sutradara peraih Citra, setelah film terakhirnya yang juga meraih Citra “Identitas” baru saja premiere rabu (01/06) lalu (waaahhh…udah bulan Juni lagi, perasaan baru kemarin bulan Januarià time is grow older everybody, and so do us become older and older). Film yang diberi judul “kentut” ini dibintangi oleh bintang senior Deddy Mizwar, Keke Suryo, Ira Wibowo, Cok Simbara, Anwar Fuadi serta penampilan special dari salah seorang Diva Dangdut tanah aiar, Iis Dahlia, dan beintang-bintang lainnya. Sesuai judulnya, film ini menjadikan kentut—hal yang sebenarnya sederhana dan kadang dianggap sepele—sebagai inti cerita.

Dikisahkan tersisa dua pasang calon Bupati di kabupaten Kuncup Mekar yang akan bersaing di pemilihan putaran kedua yang akan dilangsungkan dalam waktu dekat. Mereka adalah pasangan Patiwa (keke Suryo)-Ki Orka sebagai calon independen di nomor urut pertama, dan pasangan no urut dua ialah Jasmera (Deddy Mizwar) yang berpasangan dengan salah serang penyanyi dangdut terkenal, Delarosa(Iis Dahlia) dari partai Asam Lambung. Keduanya sedang gencar melancarkan kampanye meraih simpati warga masyarakat setempat. Dan keduanya memiliki visi misi serta cara kampanye yang berbeda. Jika Patiwa memilih berkampanye dengan mengadakan semacam penyuluhan pertanian dan pembagian penganan bergizi seperti susu, Jasmera lebih cenderung berkampanye dengan berkeliling kota dengan arak-arakan dan orasi terbuka dengan slogan “anti-kemunafikan”.

Suatu hari, sepulang dari mengisiacara debat kandidat calon Bupati di salah satu stasiun televisi lokal, Patiwa yang hendak menuju ke mobil tiba-tiba saja tersungkur jatuh dengan bahu kanan bersimbah darah. Tidak jelas, apakah ia ditembak atau tertembak. Irma, semacam pemimpin juru kampanye Patiwa, segera mebawanya ke rumah sakit dan meminta (bahkan cenderung mengintimidasi) pihak pimpinan rumah sakit (Cok Simbara) untuk melakukan apa pun ntuk menyalamatkan Patiwa mengingat masa pemilihan sudah semakin dekat. Irma bahkan jauh lebih khawatir daripada suami Fatiwa sendiri (Hengky Tornando). Namun, kekhawatirannya yang sesungguhnya bukan pada keselamatan beliau semata, melainkan pada kelangsungan kesuksesan kubu mereka di pemilihan nanti.

Operasi berlangsung sukses sebenarnya, namun kejelasan kesehatan Patiwa harus ditentukan oleh kentut. Bila ia kentut maka ia telah dinyatakan sehat, namun selama ia belum kentut maka ia belum bisa dinyatakan selamat. Bagaimana pun Patiwa harus segera sembuh jika tidak maka posisinya terancam digantikan Bupati Anwar (Anwar Fuadi), Bupati yang sedang menjabat yang juga mencalonkan diri namun hanya berhasil menempati urutan ketiga di putaran pertama sehingga gagal melaju ke putran dua. Dan, kenyataan bahwa Patiwa belum juga bisa kentut membuat Irma, Ki Ageng, beserta tim sukses lainnya kalang kabut mengingat waktu pemilihan semakin dekat. Irma bahkan terus menerus menekan Dokter Agus untuk lebih berusaha “menyembuhkan” Fatiwa.

Di lain pihak, kubu Jasmera—sebagaimana dikhawatirkan Irma—tentu saja memnafaatkan situasi ini. Ia bahkan sempat mengundang seorang paranormal untuk sedikit ‘menganggu’ Patiwa. Ia meminta pada seorang paranormal muda (yang ternyata murid dari para normal yang ia maksud—yang berhalangan karena harus ‘mengobati’ pejabat tingkat Nasional) untuk sekedar menunda keluarnya kentut Patiwa, yang tiba-tiba saja menjadi amat berharga, hingga hari pemilihan tiba. Ia bahkan masih menyempatkan diri untuk sekedar memberikan seikat bunga pada Patiwa yang disampaikannya melalui Irma (hanya sekedar mampir di halaman rumah sakit dan bahkan tidak turun sama sekali).

Sementara itu, semenjak Patiwa dirawat, kondisi rumah sakit sudah lagi tidak sekondusif dahulu. Rumah Sakit yang semestinya penuh ketenangan berubah menjadi tak ubahnya pasar kaget di malam hari, dan tempat istigosah di siang hari. Belum lagi para wartawan yang setia mengikuti perkembangan kondisi Patiwa setiap harinya. Bahkan, saking banyaknya orang yang hilir mudik disana, WC rumah sakit pun menjadi tak berfungsi. Hal ini dimanfaatkan kubu Jasmera dengan mengirimkan bantuan toilet keliling bergambar wajah dirinya dan calon wakilnya, Delarosa.

Hari pemilihan semakin dekat, sementara Patiwa belum kunjung kentut. Merasa putus asa, akhirnya dalam sebuah rapat darurat, tim Patiwa memutuskan akan memboyong beliau ke Jakarta untuk berobat ke orang pintar. Dr. Agus terang saja menentang mengingat kondisinya belum stabil sehingga amat rentan bagi kesehatannya ke depan, sekaligus menertawakan Irma, gadis cerdas yang ternyata masih percaya pada hal semacam itu.

Akhirnya, di tengah-tengah keputusaasaan semua pihak pendukung Patiwa termasuk tim dokter (terutama Dr. Agus yang menanggungjawabi langsung Patiwa), ia pun meneukan cara jitu untuk mengobati Patiwa, yakni dengan menggosokan semacam minyak angin (obat gosok) yang biasa dipakai salah satu karyawan rumah sakit yang terkenal dengan prinsip “kesehatan lebih penting daripada kesopanan” mengacu pada kebisaannya kentut dimana dan kapan saja. Dan, tidak lama berselang di kamar fatiwa terdengar bunyi nyaring “brut..BRUUT..BRUUUUUT” yang diiringi teriakan lega Dr. Agus “Patiwa KENTUT, FPATIWA KENTUUUT!”. Layar pun menjadi gelap dan deretan cast pun muncul di layar. Begitulah akhir kisah film “Kentut” yang diproduseri oleh Deddy Mizwar.

Jujur, sebelum menonton penuh film ini dan menyaksikan priviewnya di salah satu program berita malam di televisi, penulis menaruh ekspektasi besar pada film ini menilik pada jajaran cast serta orang-orang di balik layarnya. Aria Kusumadewa di bangku sutradara, Deddy Mizwar Ira Wibowo, Cok Simbara, dan beberapa nama lainnya di jajaran pemain menjadi nilai plus tersendiri dari film ini. Memang sih selama ini dari info yang penulis dapat, bang Arya ini dikenal dengan film-film nya yang tidak biasa yang dianggap kurang komersil dan hanya bisa dinikmati kalangan tertentu. Tapi disitu ada nama Deddy Mizwar yang dikenal sebagai penghasil film-film komedi satire seperti Nagabonar Jadi 2 dan Alangkah Lucunya Negeri Ini. Penulis selalu terkesan dengan karya-karya bang Deddy semenjak Nagabonar Jadi 2. Selain sarat pesan moral, filmnya pun biasanya berhasil mebuat penontonnya tertawa dan menangis di saat yang bersamaan. Maka dari itu penulis berfkiran, meski sutradarnya seorang Aria Kusumadewa yang terkenal dengan karya-karyanya yang tidak mudah dicerna oleh kebanyakan penonton awam seperti penulis (tapi tentu sangat baik dimata kritikus dan orang-orang yang mengerti film), namun kehadiran seorang Deddy bisa membuat film ini lebih bersahabat.

Sayangnya, ekspektasi itu tidak sepenuhnya terpenuhi. Entah kenapa, berbeda dengan film-film bang Deddy sebelumnya, kali ini penulis merasa agak kecewa. Seperti ada elemen yang hilang, yang membuat film ini menjadi kurang afdol. Memang dari segi cerita sudah sangat menarik, bahkan tak jarang kita disuguhi dialog-dialog yang memecahkan tawa. Akan tetapi, filmyang iringan musik ini berjalan cukup membosankan bagi penuis pada akhirnya. Minimnya musik mungkin saja menjadi salah satu penyebabnya. Film ini cenderung dipenuhi oleh dialog-dialog panjang yang bahkan tanpa jeda dan iringan musik. Teman penulis yang menonton bersama-sama dengan penulis dan seorang teman lainnya bahkan sampai terlelap di tengah-tengah pertunjukkan (tapi mungkin faktor kecapekan juga ya secara doi baru pulang kerja langsung caw ke bioskop! Heuu). Bagi penuli, film ini jadi semacam “silent movie”, krik..krikk..krik..kriik..begitulah. Penulis kurang bahkan tidak paham dengan maksud orang-orang dibalik layar dengan menjadikan film ini minim iringan musik. Selain di awal dan akhir, paling di scene perayaan ulang tahun istri Jasmera yang full music, selebihnya krik.krik..kriik..kriik lagi. Yang jelas, bagi penulis pribadi sebagai penonton awam, hal tersebut cukup menganggu.

Selain itu, beberapa hal yang mengganjal bagi penulis yakni pemilihan figuran. Memang, pemain figuran tidak begitu berpengaruh toh hanya hilir mudik kesan keari selama beberapa detik dan hampir tanpa dialog. Meski demikian, bagi penulis pribadi, pemain figuran itu terkadang berpengaruh juga. Lihat film-film kolosal yang membutuhkan banyak figuran, bagaimana jadinya kalau para pemain figuran itu pada kaku semua (ya, terlepas dari efek yang digunakan). Naah, di film Kentut kemarin, banyak figuran yang turut terlibat terutama ketika adegan di rumah sakit. Ada pasien yang hilir mudik lah, suster-suster seksi yang juga hilir mudik sambil membawa laporan lah (naah..penulis gak ngerti kenapa tuh suster mesti dibikin seseksi itu bajunya, emang udah all size kostumnya sementara pemeran figurannya pada tinggi-tinggi gitu ya!? Gak ngerti dah), juga rombongan perwakilan umat beragama yang melakukan doa bersama demi kesembuhan Patiwa di halaman rumah sakit. Niih, buat yang satu ini penulis benar-benar merasa terganggu (iya maksudnya Film-nya sekelas mas Arya gituh yang kalau dalam ekspektasi penulis tuh everything must be (almost) perfect—dari akting sampai detail lainnya—kecuali nih, kecuali kalau emang diset nya begitu yaaa…yayaya) deh sama pemilihan figuran yang terkesan amat comot. Gimana ya, gada masalah dengan akting para pemeran utama (kecuali adegan mbak Keke—sebagai Fatiwa—pas menertawakan visinya Jasmerah di debat kandidat dan bng Cok Simbara pas nerima telepon dari istrinya, yang terkesan maksa dan kurang natural bagi penulis mah—tanpa bermaksud sotoy yah, itu mah Cuma apa yang difikirkan dan dirasakan penulis sebagai penikmat film yang awam). Tapi yaa, akting para pemain utama yang baik itu menjadi terganggu dengan kehadiran para figuran yang yaa ampuuuuuuuuuuuun keliatan banget lagi pura-puranya a.k.a gak naturaaaaal—sekali lagi bagi penulis!

Walaupun demikian, kekuatan utama film ini justru terletak pada pesan moralnya. Hal utama yang diangkat di film ini ialah betapa politik telah menjadi “momok” tersendiri dalam kehidupan ini bila tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Jika kekuasaan dan jabatan telah menjadi orientasi maka apa pun akan dilakukan (bagaimana mereka berlomba memikat hati public). Berapa pun dana yang dibutuhkan akan dikeluarkan (jasmerah dengan menggelar kampanye arak-arakan, Patiwa dengan membagikan susu, makanan, dan pulsa gratis). Bagaimana rumah sakit pun menjadi tak ubahnya arena jumpa pers ketika banyaknya wartawan yang setia memantau perkemabangan kesehatan Fatiwa dan banyaknya unsure masyarakat yang juga ingin sekedar mengetahi keadaannya. Kesehatan pun menjadi tidak lebih penting dari kesuksesan pemilu (nekat memboyong Patiwa yang bahkan belum sadar ke Jakarta agar bisa secepatnya sembuh demi bisa ikut pemilu). Juga digambarkan bagaiman sosok Irma, wanita dewasa yang cerdas dengan karir cemerlang namun masih lajang dan ternyata masih percaya pada hal-hal yang bersifat klenik. Ada Dr. Agus yang ternyata dibalik wibawanya sebagai seorang pimpinan rumah sakit termasuk suami takut istri. Patiwa yang meski calon Bupati masih manut sebagi seorang istri. Juga Ki Orka, calon wakil bupati yang bahkan hanya bisa manggut-manggut saja pada Patiwa dan Irma. Jasmera yang nyeleneh dengan visi pelegalan perjudian dan prostitusinya. Lalu sosok , penyanyi dangdut yang sengaja direkrut untuk menarik masa dari basis pendukungnya. Bahkan, kentut yang dianggap sepele pun menjadi begitu berarti ketika dilatarbelakangi alasan politis.

Hemm..berbicara masalah politik, hidup ini tidak bisa dipisahkan dengan politik. Segalanya terikat dengan politik. Naah, tinggal bagaimana poitik itu dijalankan. Masalahnya ialah politik ini, dewasa ini, sering kali disalahgunakan sehingga politik sekarang ini lebih cenderung berkesan negatif. Politik hari ini identik dengan harta, tahta, dan kekuasaan. Politik pun selalu berbasis kepentingan pihak-pihak tertentu. Naah, tentu saja perubahan paradigma politik itu sendiri tidak terlepas dari andil manusia sebagai subyek pelakunya. Sifat dasar manusia yang cenderung tidak pernah puas akan apa yang telah didapatnya mendorong munculnya praktek politik negatif itu. Terlebih di era yang serba canggih dan mahal yang mengarahkan pada hedonisme dan kapitalisme telah behasil membuat manusia diperbudak oleh uang yang akhirnya semakin menguatkan keberadaan politik negatif semacam itu. Dan ketika kepentingan yang sudah berperan, maka apa pun (segala cara)akan ditempuh guna mencapai maksud yang diinginkan (harta, tahta, jabatan). Maka tak heran ketika semua hal telah dipolitisasi, perlahan tapi pasti idealisme akan tergantikan oleh pragmatism. Dan, jika idealisme telah berhasil digadaikan maka tidak ada lagi keadilan karena kebenenaran akan bisa dipelintir oleh mereka yang memiliki modal dan jabatan. Contoh teranyarnya lihat saja kisruh di PSSI yang notabene induk salah satu cabang olah raga yang menomorsatukan sportivitas. Hemm..Membahas politik tidak akan cukup dalam satu paragraph. Masih banyak hal yang mesti dibahas secara terpisah (tentu saja) dari postingan ini. Jadi, mudah-mudahan penulis bisa menyelesaikan postingan tentang politik dari kaca mata penulis dengan referensi dari berbagi sumber terpercaya tentu saja (mau cari tau dulu biar lebih ilmiah, valid dan reliable! Heuheu).

To conclude, to be honest, sorry to say I have to agree with my friends (who are watching this movie along with me), this movie is (not really) interesting (not the story but the plot is seem too slow for me, personally), even (quite) boring. Yet, however, in some parts, I still can enjoy this movie, and I really appreciate the main idea and moral value of this movie. :))

Tidak ada komentar: