Selasa, 03 September 2013

My Passion, My Profession #1

Saya baru sadar bahwa saya telah jatuh cinta dengan dua aktivitas yang kelak bisa jadi menjadi profesi yang saya tekuni…

A Passionate & Professional Translator (To Be)

Beberapa pekan ke belakang, tepatnya 10 hari jelang 1 Syawal 1434 H, saya secara resmi mengerjakan project terjemahan lagi setelah sekian lama (entah berapa bulan, tidak sampai menahun kok ;p).  Tanpa banyak negosiasi apa pun di muka, kecuali durasi (saat itu saya tengah disibukkan dengan project lain yang cukup menguras fikiran, akhirnya muncullah kesepakatan deadline: 2 pekan.  Belasan lembar, Indonesia-Inggris, tema terjemahan seputar cabang ilmu pengetahuan sosial membuat 2 pekan itu dinilai proporsional. 

Pekan pertama berlalu begitu saja, karena ternyata di hari-hari menjelang 1 Syawal yang saya fikir waktu saya relatif fleksibel, eh malah sama hectic-nya seperti 2 pekan sebelumnya.  Bahkan hal ini terjadi hingga malam takbiran!  Esoknya, lebaran, dan sehari setelahnya sungguh bukan waktu yang kondusif untuk mengerjakan sutu project.  Mood lebaran itu ya mood bercengkrama dengan hangat bersama keluarga besar, berkunjung ke sana ke mari, icip-icip kue lebaran, syukur-syukur masih masuk list penerima angpao.   Akhirnya pekan pertama dari deadline 2 pekan pun berlangsung sama sekali tidak efektif.

Pekan kedua di depan mata. Oke, bagaimanapun sebagai seseorang yang mencoba profesional saya harus patuh pada ‘kontrak’ 2 pekan yang disepakati di awal.  Niat sudah  100% (hanya belum sampai 200%), tapi selalu ada ini itu sehingga -2 hari awal kinerja penulis baru mencapai sekitar 20%-nya saja.  Suasana libur lebaran yang (masih) didukung kehadiran sanak famili di rumah juga sedikit banyak mempengaruhi.  Hingga puncaknya adalah rencana bepergian ke luar provinsi bersama keluarga inti untuk mengantar kepulangan adik saya ke kota tempatnya menimba ilmu sekarang: suatu kota di tengah-selatan pulau Jawa.  Celakanya, saya selalu tak kuasa menafikkan pesona kota tersebut, saya selalu larut dalam godaan-nya.  Lebih celaka lagi karena jarak tempuhnya yang mencapai seharian.  Baru 20% lho!  Belum lagi saya ini terikat komitmen moral terhadap diri saya dan kedua orang tua saya yang mengeluarkan status tahanan kota pada saya yang belum kunjung menuntaskan studi sarjana-nya.  Dengan sedikit kompromi yang tidak alot-alot amat, akhirnya saya dan orang tua saya (yang syukurnya tidak terlalu strict dengan aturan yang dirancang mereka sendiri) mencapai kesepakatan dengan embel-embel: syarat dan ketentuan berlaku.  Persis seperti pembelaan saya terhadap status tahanan kota saya pada keduanya (like parents, like child ;p).

Dengan segala kemungkinan resiko dan konsekuensi atas pilihan sadar saya untuk plesir ke luar provinsi yang cukup memakan waktu di tengan deadline project, saya memantapkan hati untuk menjalankan keduanya dengan seimbang.  Ya, ada resiko-resiko yang mau tidak mau saya tempuh, seperti: membebani tas cangklong dengan notebook beserta baterai-nya, bergadang selama beberapa malam, menjadi satpam di kontakan adik (yang kami inapi saat itu) tatkala seluruh rombongan disibukkan dengan tur keliling objek wisata di sekitar kota tersebut.  Ya, sedari awal, saya sudah berusaha menjaga komitmen untuk ikut-demi-menikmati-suasana-kotanya, bukan ikut-demi-menikmati-objek-wisata nya.  Jadi, all is well for me, sekalipun harus stay home seharian. 

Kembali ke project saya *ala mr. 4 mata*.  Di sanalah waktu yang saya manfaatkan maksimal untuk merampungkan 80% dari total 100% porsi project saya.  Dengan semangat ‘man jadda wa jada’, saya kerahkan seluruh kekuatan dan kemampuan saya demi menjaga etika professional-to-be saya.  Dengan berbekal sebatang modem milik adik yang alhamdulillah sekali kuota nya masih bersahabat untuk diajak bekerja siang-malam, pagi-sore *ala restoran padang di rest area—halah*, alhamdulillah beberapa hari di sana project saya sudah menyentuh angka 80%.  Alhamdulillah yang diteruskan dengan astaghfirulloh…masih 20% to goDeadline semakin mendekat, jadwal pulang pun sudah di depan mata: alamak..ya masakan saya harus mengerjakan project ini di mobil? Waktu kami pulang itu sore, artinya perjalanan malam! Hey, can I make it effectively? I guess not!  

Di tengah kepenatan oleh deadline yang disokong kelelahan karena begadang dan bercengkrama dengan layar notebook sehari-semalaman, tiba-tiba muncullah ‘hidayah’ dari si empunya project.  Beliau (oke, si empunya project ini jauh lebih senior dan berpengalam dari segi keilmuan nya dari saya, hanya sepertinya beliau sedikit bermasalah dengan bahasa, makanya …) dengan penuh kebijaksanaan memberikan ‘injury time’ untuk project yang saya kerjakan ini selama 2880 menit (baca: 2 hari).  Itu rasanya ALHAMDULILLAH sekali, setidaknya bisa saya bereskan saat sudah tiba kembali di kota yang sudah saya tinggali sedari brojol ke dunia ini.  Saya rasa beliau menangkap radar-lebaran sehingga akhirnya memberi sedikit kelonggaran pada deadline, sesuai lah dengan jatah tanggal merah di kalender *hihiw*. 

Dan…alhamdulillah, tepat sehari sebelum peluit deadline ditiupkan, project yang saya kerjakan sudah terdaftar di sent item e-mail saya.  Rasanya itu legaaaa.  Meskipun sempat merasa terbebani dan keteteran saat mengerjakan 20% pertama, di fase 60% untuk menggenapi menjadi 80% saya, sekalipun hampir bekerja sepanjang waktu, ternyata amat menikmati apa yang saya kerjakan.  Yang sedikit mengganggu hanya rasa lelah dan pegal yang sesekali mampir.  Tapi, di luar itu, all is well *again*.  Everything is running well in its own path.  Tanpa sadar saya sudah melibatkan hati saya terhadap project ini sehingga hambatan-hambatan seperti technical terms dan lain-lain bisa diatasi dengan…cukup tenang.  Meskipun terkesan terburu-buru, tapi saya mengerjakannya dengan seksama kok, dengan mengacu pada banyak sources yang tentu saja relevan dengan topiknya.  Special thanks to mr. google for the journal link, serta kamud digital to help me in checking the correct words in term of its context.  And also for my sister’s modem, and last but not least for my beloved notebook that was strong enough to fight night and day. Thanks all! :*


What I’m actually trying to say (baca: INTINYA), selama dalam proses pengerjaan project yang bisa saya kategorikan sebagai titik balik untuk karier profesional saya ke depannya ini (bahasa gaulnya: project ini telah membantu mendewasakan saya—menuju tahap yang lebih profesional), saya sadar betapa sebetulnya saya mencintai aktivitas ini.  Saya rasa ini ada passion terselubung yang jika diasah terus dan diseriusi bisa menjadi sesuatu dalam rekam jejak kehidupan saya.  Dan karena kecintaan saya ini pula yang sepertinya merontokan keraguan dan beban di awal.  Well, nampaknya yang paling pas mewakili gambaran kisah di atas itu lirik lagu kemenangan-nya mbak Joy Tobing “Semua karena cinta, tak mampu diriku dapat berdiri tegak, terima kasih cinta”.  So, to make all is well we need to do it with passion that comes up because of love. And thanks GOD to make me realize that I do love translating activity so well. #IMO

Tidak ada komentar: