Sabtu, 19 Januari 2013

Pesan Bahagia Pembawa 'Kepiluan'


Siang menjelang sore tadi mendapat satu pesan singkat dari sebuah nomor asing yang isinya:

Dia     : Hai Feb, apa kabar? Ini Siti (nama samaran, red). Gimana skripsinya udah sampai mana? Ada di rumah hari apa aja
(kalau udah nanya ada di rumah kapan aja berarti mau ngasihin sesuatu yang penting secara langsung.  Nah justru kalimat ketiga atau pertanyaan keduanya yang ukup menohok tentang skripsi.  Eh tapi dalam hal ini pertanyaan ini sebenernya cuma semacam penyedap yang dijawab atau tidak pun tak masalah)

Saya   : Alhamdulillah baik. Baru mulai bimbingan..hehe. Di rumahnya tergantung, bisa hari apa aja ada. Hehe..kenapa mau ngasih undangan ya?
(saya langsung tembak aja sih ke maksud nanya jadwal keeradaan saya di rumahnya, soalnya udah lama gak ada kontak dan tiba-tiba ngajak ketemu ya apalagi kalau bukan terkait kartu undangan—info terakhir ya doi memang berenana berkeluarga di tahun ini)

Dia     : Kok tau? Hehe..Iya nih insya Allah walimahan-nya nanti tanggal 2 Februari.
(tuh kan…exactly accurate! Udah ketebak sih maksud dari sms doi kesana..dan ya congratulation!)

Setelahnya masih berlanjut sms-an tentang jadwal janjian yang dipindah ke masjid dekat almamater kami dulu.  Masjid bersejatrah sih itu.  Tempat kami janjian kalau mau kemana-mana bareng.  Eh ada satu sms lagi deh yang cukup menarik setelahnya, yaitu tentang calonnya.  Mastiin aja dsih iya sama yang waktu itu atau…kan jodoh itu who-knows-yaa ;p.

Saya   : Wh..sama yang waktu itu kan?
Dia     : Iya, sama yang waktu itu.
(Syukurlah………………)
***
Saya dan teman saya ini dulunya karib semasa masih bersergam putih abu.  Kami sama-sama tergabung dalam satu organisasi di sana.  Bahkan sebenarnya kami  sudah bersama-sama sejak masih berseragam putih-biru, sekelas malah, tiga tahun pula.  Tapi, saat itu kami tidak begitu akrab walaupun dia adalah sohib saya shalat bareng semasa duduk di kelas satu (kan kelas satu sekolah siang jadi shalat dzuhur+ashar nya di sekolah). Nah, baru deh memasuki masa putih-abu, walaupun gak sekelas, kami justru malah jadi akrab.  Saya, dia, dan tiga teman lainnya pada akhirnya mampu bertahan di organisasi yang kami ikuti hingga akhir.  Awalnya sih bejibun, Cuma biasa seleksi alam terjadi pada teman-teman kami lainnya sehingga hanya menyisakan kami berlima perempuan dan seorang lelaki.  Meski begitu, namun toh hikmahnya kami jadi akrab satu sama lain. 

Selepas kelulusan, kami mengambil jalan masing-masing.  Empat orang dari kami, termasuk saya, melanjutkan studi ke perguruan tinggi.  Sementara seorang lainnya lebih memilih bekerja.  Namun, nasib saya ternyata tidak seberuntung ketiga kawan saya yang lain karena saya terpaksa menunda studi saya selama setahun setelah tidak lolos ke jurusan manapun saat mengikuti SPMB.  Ya, akhirnya saya terpaksa turun jabatan sebagai ‘junior’ nya karib-karib saya.  Walaupun tidak kuliah saya pun tidak bekerja, hanya mengambil bimbel dan meneruskan kursus bahasa.  

Di tahun kedua setelah kelulusan kami, teman saya yang bekerja itu ternyata mendahului kami untuk naik pangkat sebagai istri.  Ia dipersunting oleh seseorang yang saya sendiri kurang paham jelas pertalian awal keduanya (lewat mana atau siapa dipertemukannya karena ia agak pelit bercerita).  Jadi, kami (yang masih berstatus lajang) tinggal berempat.  Dan, tahun lalu (lupa tepatnya kapan) seorang lagi dari kami menyusul si teman yang bekerja tadi.  Tinggalah kami bertiga.  Sampai akhirnya…pesan singkat tadi jadi semacam sinyal kalau kini, saya dan seorang teman lainnya, akan resmi menjadi minoritas di antara kami berlima.  Ya, kami akan tinggal hanya berdua yang status nya masih sama-sama aja: lajang.

Dan itu sih sebenernya yang mengiringi kebahagiaan saya untuk sang teman yang mengirimi pesan singkat itu tadi.  Bukan suatau ketakutan ataupun sesuatu yang menakutkan memang.  Hanya saja ada semaam perasaan “Yah…ditinggalin lagi deh”.  Yakan namanya sudah berkeluarga mah sedikit banyak ada perbedaan.  Makanya, setelah beres berbalas pesan dengn sang teman yang calon manten, saya segera menghubungi satu-satunya teman saya yang sejauh ini masih akan setia menemani saya dalam keminoritasan kami.  Ya, begini sih jawabannya ketika saya meminta kepastian bahwa ia tdak akan tega membiarkan saya menjadi minoritas seorang diri:

Dia     : Tenang, iya ditemenin kok (sambil nunggu)
(Hyaaaa…yang dalam kurungnya itu loh mengisyaratkan bahwa saat ini mungkin tidak, tapi akan dalam waktu-yang saya-rasa-tidak-akan-terlalu-jauh)

Ya, bisa dikatakan mungkin ini sejenis kegalauan penulis yang ‘ditinggalkan’ satu demi satu oleh teman-teman karib penulis semasa berseragam putih abu.  Tentu ada semacam kesedihan karena bagaimanapun nantinya setelah resmi, intensitas pertemuan kami akan berkurang.  Ya sedih juga mendapati nasib bahwa jreng jreng saya alamat menjadi penutup perubahan status kami.  Kan, dulu, semasa masih pada hijau kami sempat beberapa kali membahas masalah siapa-ganti status-duluan.  Bercandaan sih, tapi di setiap resepsinya kami selalu berkelakar “hayo..siapa lagi habis ini?” “terus siapa lagi?” “Habis itu?”.  Bahkan pernah sekali waktu dengan konyolnya kita saling lempar-lemparan untuk jadi yang terakhir berganti status.  Nah, ketika teman ketiga sudah pasti pergantian statusnya, kami kan berlima, so kemungkinan untuk menjadi yang terakhir itu ya peluangnya 50/50.  Itu sih yang bikin “oh…no!” alesannya? Ya itu loh kadung sama-sama ogah jadi yang terakhir! Hehe.

Hemm..sebenernya saya sih sudah gak begitu peduli mau terakhir, mau sebelum terakhir, karena pada akhirnya kembali pada jodoh-siapa-yang-tahu.  Ya siapapun nanti mau saya dulu mau teman saya dulu yang jelas kami selalu saling mendo’akan yang terbaik tentunya bagi kami semua.  Semoga teman yang akan merubah status lajang dari mayoritas menjadi minoritas ini dilanarkan prosesi pernikahannya, dan setelahnya bisa menjadi keluarga sakinah dengan mawwadah warahmah.  Dan semoga kami berdua pun bisa segera menggenapi status mereka supaya tidak ada lagi minoritas di antara kami.  :)

Tidak ada komentar: