Selasa, 17 September 2013

(Hanya) Penggemar Biasa

Warning: penulis artikel ini Cuma penggemar bola biasa, sama sekali bukan pengamat apalagi komentator bola PROFESIONAL, mohon dicatat!  Bila berkenan silakan dilanjutkan, bila tak berkenan mohon berhenti di sini saja karena jika Anda nekat menghabiskan artikel ini maka dianggap menyetujui sayarat dan ketentuan berlakunya, yakni: NO PROTEST just ENJOY READING. Are you ready?
^^
Here we go ...
Seperti yang telah saya kemukanan di atas bahwa saya ini sama sekali bukan termasuk jajaran pengamat sepak bola ahli.  Bukan juga fans fanatik yang serba tahu serba tahu dan suka serasa paling memiliki suatu klub bola.  Saya hanya penikmat sepakbola yang menggemari suatu klub sepakbola dengan wajar.  Saya senang menonton pertandingan bola, saya menikmati waktu 2x45 menit (berikut additional time-nya) menonton pergerakan 22 pemain ke sana ke mari demi memperebutkan sebuah bola. 

Sebagai penggemar dari salah satu klub, saya mungkin tidak tahu detil sejarah klub (keterlaluan enggak sih?).  Siapa  saja pemain legendarisnya, momen bersejarah apa saja yang  merupakan masterpiece, bahkan beberapa nama yang ada di skuad (terutama cadangan) saya masih asing.  Ya, makanya saya lebih suka menyebut diri saya ini sebagai penggemar biasa saja tok tanpa embel-embel apa pun (daripada digugat oleh yang melabeli diri sebagai penggemar fanatik..ampun bang). 

Saya juga masih belum faham dengan beberapa istilah dalam sepak bola berikut posisi, fungsi, dan peranan masing-masing pemain.  Strategi macam 4-3-3, 3-2-4-1, 3-5-2 dan variasinya pun masih belum begitu fasih saya fahami.  Saya juga masih belum bisa menganalisa secara detil pergerakan satu pemain.  Saya bisa sangat was-was saat daerah pertahanan sudah berhasil disusupi lawan, dan geregetan saat tim kesulitan menaklukan kiper padahal sudah leluasa menusuk jangkar pertahanan lawan.  Saya bisa sih menentukan pemain favorit yang menurut saya bermain impresif, tapi ya itu analisis nya masih sangat subjektif.

Saya bisa larut dalam euforia (baca: teriak sambil terkadang lompat-lompat) ketika tercipta goal ke gawang lawan, dan sebaliknya merenggut kecewa sambil meremas kepala bila tim kebobolan.  Saya bersuka cita saat tim memenangi pertandingan demi merengkuh 3 angka atau melaju ke fase yang selanjutnya.  Akan tetapi, saat tim mengalami kekalahan gurat kecewa pun akan menguasai raut wajah saya diiringi rasa sedih dan sesal.  Apalagi jika kekalahannya cukup menyakitkan. 

Penggemar abal-abal? Saya rasa sih sama sekali tidak.  Penggemar biasa (dan tidak resmi), istilah yang lebih saya senangi  untuk melabeli jenis penggemar macam saya.  Tentu, saya bukan seorang (penggemar) fanatik apalagi hingga maniak. Saya ini juga tidak teregistrasi sebagai member resmi di official membership-nya tim kesayangan saya. Tapi itu tadi, saya selalu menikmati penampilan tim kesayangan saya.  Saya juga berusaha untuk tidak melewatkan satu pertandingan pun, apalagi di fase penting (big match, knock out).  Selain itu saya pun senantiasa mengikuti perkembangan tim melalui berbagai media baik cetak maupun online

Intinya, sekali lagi saya hanya ingin menegaskan kalau saya ini tipe penggemar biasa yang selalu mendukung tim kesayangan saya apa pun yang terjadi. Selalu juga berusaha percaya bahwa hasil yang kurang memuasakan kini bisa berbuah manis nanti. Seperti berusaha menerima 'puasa' gelar selama sewindu hingga musim lalu, untuk buka puasa  dengan lebih dari satu ‘menu’ musim ini.  Ya, dari apa yang saya ikuti dengan cukup intens beberapa bulan belakangan, saya (mungkin juga seperti banyak atau malah kebanyakan penggemarnya yang lain) memiliki keyakinan bahwa ‘kontrak’ sewindu tidak akan diperpanjang hingga sedasawarsa.  Tanpa bermaksud mendahului Sang Maha Berkehendak atau sok-sok menjadi cenayang, berbekal agresivitas penampilan hari ini, aktivitas di bursa transfer, dan tentu saja-ini yang penting-keyakinan dan kepercayaan terhadap skuad hari ini serta taktik sang pelatih, saya (yang penggemar biasa ini) berkeyakinan bahwa kami akan dibuat tersenyum bahagia dan bersuka cita penuh kebanggaan di akhir musim ini nanti. Bukankah bersantap saat buka puasa itu selalu memberikan kenikmatan tersendiri kan dibanding bersantap saat tidak berpuasa? :)
^^

Prolog: gimana-gimana? Tuh kan udah dibilangin kalau gak berkenan mending berhenti dari awal tadi.  Bukan salah penulis lho kalau para pembaca yang terhormat menyesal telah sampai hingga ke titik ini.  Toh, di awal juga kan sudah penulis jelaskan siapa penulis, harusnya sudah bisa mengukur-lah ini postingan isinya bakal kayak gimana.  Eit..tapi sebagaimana syarat dan ketentuan yang berlaku, Anda-Anda dilarang protes lho karena menuntaskan postingan ini adalah keputusan yang telah Anda sekalian pilih tanpa paksaan dari pihak manapun, apalagi penulis.  Jadi sepakat, tidak sepakat, penulis anggap SETUJU. INGAT: NO PROTEST! 

Selasa, 03 September 2013

My Passion, My Profession #1

Saya baru sadar bahwa saya telah jatuh cinta dengan dua aktivitas yang kelak bisa jadi menjadi profesi yang saya tekuni…

A Passionate & Professional Translator (To Be)

Beberapa pekan ke belakang, tepatnya 10 hari jelang 1 Syawal 1434 H, saya secara resmi mengerjakan project terjemahan lagi setelah sekian lama (entah berapa bulan, tidak sampai menahun kok ;p).  Tanpa banyak negosiasi apa pun di muka, kecuali durasi (saat itu saya tengah disibukkan dengan project lain yang cukup menguras fikiran, akhirnya muncullah kesepakatan deadline: 2 pekan.  Belasan lembar, Indonesia-Inggris, tema terjemahan seputar cabang ilmu pengetahuan sosial membuat 2 pekan itu dinilai proporsional. 

Pekan pertama berlalu begitu saja, karena ternyata di hari-hari menjelang 1 Syawal yang saya fikir waktu saya relatif fleksibel, eh malah sama hectic-nya seperti 2 pekan sebelumnya.  Bahkan hal ini terjadi hingga malam takbiran!  Esoknya, lebaran, dan sehari setelahnya sungguh bukan waktu yang kondusif untuk mengerjakan sutu project.  Mood lebaran itu ya mood bercengkrama dengan hangat bersama keluarga besar, berkunjung ke sana ke mari, icip-icip kue lebaran, syukur-syukur masih masuk list penerima angpao.   Akhirnya pekan pertama dari deadline 2 pekan pun berlangsung sama sekali tidak efektif.

Pekan kedua di depan mata. Oke, bagaimanapun sebagai seseorang yang mencoba profesional saya harus patuh pada ‘kontrak’ 2 pekan yang disepakati di awal.  Niat sudah  100% (hanya belum sampai 200%), tapi selalu ada ini itu sehingga -2 hari awal kinerja penulis baru mencapai sekitar 20%-nya saja.  Suasana libur lebaran yang (masih) didukung kehadiran sanak famili di rumah juga sedikit banyak mempengaruhi.  Hingga puncaknya adalah rencana bepergian ke luar provinsi bersama keluarga inti untuk mengantar kepulangan adik saya ke kota tempatnya menimba ilmu sekarang: suatu kota di tengah-selatan pulau Jawa.  Celakanya, saya selalu tak kuasa menafikkan pesona kota tersebut, saya selalu larut dalam godaan-nya.  Lebih celaka lagi karena jarak tempuhnya yang mencapai seharian.  Baru 20% lho!  Belum lagi saya ini terikat komitmen moral terhadap diri saya dan kedua orang tua saya yang mengeluarkan status tahanan kota pada saya yang belum kunjung menuntaskan studi sarjana-nya.  Dengan sedikit kompromi yang tidak alot-alot amat, akhirnya saya dan orang tua saya (yang syukurnya tidak terlalu strict dengan aturan yang dirancang mereka sendiri) mencapai kesepakatan dengan embel-embel: syarat dan ketentuan berlaku.  Persis seperti pembelaan saya terhadap status tahanan kota saya pada keduanya (like parents, like child ;p).

Dengan segala kemungkinan resiko dan konsekuensi atas pilihan sadar saya untuk plesir ke luar provinsi yang cukup memakan waktu di tengan deadline project, saya memantapkan hati untuk menjalankan keduanya dengan seimbang.  Ya, ada resiko-resiko yang mau tidak mau saya tempuh, seperti: membebani tas cangklong dengan notebook beserta baterai-nya, bergadang selama beberapa malam, menjadi satpam di kontakan adik (yang kami inapi saat itu) tatkala seluruh rombongan disibukkan dengan tur keliling objek wisata di sekitar kota tersebut.  Ya, sedari awal, saya sudah berusaha menjaga komitmen untuk ikut-demi-menikmati-suasana-kotanya, bukan ikut-demi-menikmati-objek-wisata nya.  Jadi, all is well for me, sekalipun harus stay home seharian. 

Kembali ke project saya *ala mr. 4 mata*.  Di sanalah waktu yang saya manfaatkan maksimal untuk merampungkan 80% dari total 100% porsi project saya.  Dengan semangat ‘man jadda wa jada’, saya kerahkan seluruh kekuatan dan kemampuan saya demi menjaga etika professional-to-be saya.  Dengan berbekal sebatang modem milik adik yang alhamdulillah sekali kuota nya masih bersahabat untuk diajak bekerja siang-malam, pagi-sore *ala restoran padang di rest area—halah*, alhamdulillah beberapa hari di sana project saya sudah menyentuh angka 80%.  Alhamdulillah yang diteruskan dengan astaghfirulloh…masih 20% to goDeadline semakin mendekat, jadwal pulang pun sudah di depan mata: alamak..ya masakan saya harus mengerjakan project ini di mobil? Waktu kami pulang itu sore, artinya perjalanan malam! Hey, can I make it effectively? I guess not!  

Di tengah kepenatan oleh deadline yang disokong kelelahan karena begadang dan bercengkrama dengan layar notebook sehari-semalaman, tiba-tiba muncullah ‘hidayah’ dari si empunya project.  Beliau (oke, si empunya project ini jauh lebih senior dan berpengalam dari segi keilmuan nya dari saya, hanya sepertinya beliau sedikit bermasalah dengan bahasa, makanya …) dengan penuh kebijaksanaan memberikan ‘injury time’ untuk project yang saya kerjakan ini selama 2880 menit (baca: 2 hari).  Itu rasanya ALHAMDULILLAH sekali, setidaknya bisa saya bereskan saat sudah tiba kembali di kota yang sudah saya tinggali sedari brojol ke dunia ini.  Saya rasa beliau menangkap radar-lebaran sehingga akhirnya memberi sedikit kelonggaran pada deadline, sesuai lah dengan jatah tanggal merah di kalender *hihiw*. 

Dan…alhamdulillah, tepat sehari sebelum peluit deadline ditiupkan, project yang saya kerjakan sudah terdaftar di sent item e-mail saya.  Rasanya itu legaaaa.  Meskipun sempat merasa terbebani dan keteteran saat mengerjakan 20% pertama, di fase 60% untuk menggenapi menjadi 80% saya, sekalipun hampir bekerja sepanjang waktu, ternyata amat menikmati apa yang saya kerjakan.  Yang sedikit mengganggu hanya rasa lelah dan pegal yang sesekali mampir.  Tapi, di luar itu, all is well *again*.  Everything is running well in its own path.  Tanpa sadar saya sudah melibatkan hati saya terhadap project ini sehingga hambatan-hambatan seperti technical terms dan lain-lain bisa diatasi dengan…cukup tenang.  Meskipun terkesan terburu-buru, tapi saya mengerjakannya dengan seksama kok, dengan mengacu pada banyak sources yang tentu saja relevan dengan topiknya.  Special thanks to mr. google for the journal link, serta kamud digital to help me in checking the correct words in term of its context.  And also for my sister’s modem, and last but not least for my beloved notebook that was strong enough to fight night and day. Thanks all! :*


What I’m actually trying to say (baca: INTINYA), selama dalam proses pengerjaan project yang bisa saya kategorikan sebagai titik balik untuk karier profesional saya ke depannya ini (bahasa gaulnya: project ini telah membantu mendewasakan saya—menuju tahap yang lebih profesional), saya sadar betapa sebetulnya saya mencintai aktivitas ini.  Saya rasa ini ada passion terselubung yang jika diasah terus dan diseriusi bisa menjadi sesuatu dalam rekam jejak kehidupan saya.  Dan karena kecintaan saya ini pula yang sepertinya merontokan keraguan dan beban di awal.  Well, nampaknya yang paling pas mewakili gambaran kisah di atas itu lirik lagu kemenangan-nya mbak Joy Tobing “Semua karena cinta, tak mampu diriku dapat berdiri tegak, terima kasih cinta”.  So, to make all is well we need to do it with passion that comes up because of love. And thanks GOD to make me realize that I do love translating activity so well. #IMO

Sabtu, 31 Agustus 2013

Radar (Oktober) Desember: COME ON YOU (GO), GIRL!

Kemarin adalah hari dimana saya seperti diberi sinyal-sinyal (melalui serangkaian kejadian-kebetulan) untuk segera menuntaskan apa yang seharusnya saya tuntaskan…

Saat saya mengunjungi suatu gedung di kompleks kampus tempat saya belajar, betapa saya merenung bahwa apa yang harus saya tuntaskan ini sebenarnya tak lebih dari perkara ruang sekian kali sekian meter.  Di sanalah urusan saya, sebegitulah lingkupnya.  Ngeri saya ketika membandingkan dengan luasnya bidang di luaran bidang itu yang memang terlamau sering saya sambangi, melebihi dari intensitas kunjungan saya ke ruang sekian kali sekian meter.  Faktatersebut menggiring saya pada satu simpulan dalam bentuk pertanyaan “jika masalah sekian kali sekian meter saja saya sudah kewalahan begini, ya apalagi persoalan di ruang yang tak terbatas itu”.

Sesaat setelah saya meninggalkan gedung berukuran sekian kali sekian meter menuju gerbang depan kompleks berukuran puluhan bahkan ratusan kali lipat dari ruangan di satu gedung yang baru saja saya tinggalkan tadi, saya berjumpa dengan dua orang kawan seperjuangan yang masih sama-sama bergelut demi menuntaskan studi sarjana kami (fokus saya adalah ke bagaimana menyelesaikan, bukan bagaimana meraih gelar).  Setelah cipika cipiki dan berbasa basi, sampailah pada pertanyaan wajib bagi mahasiswa smester 8 plus plus seperti kita: ya apalagi kalau bukan seputar mega proyek nya mahasiswa tingkat akhir.  Seputar topic dan sudah sampai mana, all is well.  Tapi, pas topik mengacu ke siapa dosen pembimbing, dengan lempeng seorang dari mereka berkata “enak, lulusnya bisa cepet itu mah” santai, malah mungkin ada kesan “kenapa gak gue aja sih”.  “Jleb!” dalam hati sambil mengutuki diri sendir “kan..hampir semua orang ngomong serupa, dasar elu nya aja, girl, dasar!.  Sambil terkekeh saya jawab” Iya, dosennya enak, cepet, mahasiswa nya nih yg lama..hehe”.  Karena sedang sama-sama buru-buru akhirnya percakapan pun diakhiri dengan sayonara, saya naik angkot, mereka nyebrang, memasuki kompleks ratusan kali ratusan meter yang baru saja saya tinggalkan.  Sempat tertangkap sedikit keheranan mereka saat saya terkekeh.  Ya, akhirnya saya pun makin mengutiki diri sendiri “ampun deh ye, dasar mahasiswa kurang pandai bersyukur!”

Belum berhenti sampai di situ.  Saya rasa Tuhan sedang ingin menunjukkan kasih sayangNya dengan teguran-teguran sepele namun jleb banget semacam apa yang saya alami ini.  Belum lama menenangkan diri dalam angkot, eh surprise lain menghampiri saya.  Tetiba naik dua orang-yng-besar-kemungkinan-adalah-mahasiswa.  And yes, they are!  Mahasiswa baru malah.  Lebih tepatnya baru kembali lagi menyandang gelar mahasiswa (uyeah).  Saya yang sudah bermata empat ini baru bisa mengenali dengan jelas kedua sosok ini saat keduanya sudah duduk manis di kursi 7 pas di belakang supir, besebrangan dengan saya yang pas di dekat pintu di kursi 5. Setelah saling bertegur sapa dan mengobrol sedikit banyak tahulah saya mengapa mereka sudah kembali ngampus. Keduanya rupanya tengah dalam persiapan memulai tahun ajaran baru dengan kembali berstatus mahasiswa.  Kali ini mereka tengah berjuang menempuh gelar master.  “Pak!” rasanya dsemacam ada sesuatu yang menampar dada dan meninju otak “hello…orang tuh ya udah mau wisuda kedua kali, ini sekali aja oalahhhh…lamanyoo!” entah bisikan yang muncul darimana.  Mau tidak mau fakta ketiga ini semakin bikin saya sakit kepala di satu sisi, namun semakin memotivasi juga supaya tidak sampai didahului wisuda oleh para ‘mahasiswa baru’ tersebut. 

Intinya sih dari ketiga kejadian di atas adalah muncul satu bisikan yang kuat sekali ke dalam benak dan hati saya yang tanpa henti mendengung dengan kerasnya berbunyi : “COME ON YOU GIRL!”

Semoga, ini benar teguran sebagai bentuk kasih-Nya pada saya yang sering lalai dan cenderung bermalasan.  Dan semoga ke depan saya bisa mengejar target menuntaskan misi yang rada impossible yaitu tuntas tahun ini, yang artinya hanya menyisakan maksimal 2 bulan lagi.  Oh, yes, semoga semangat “Come On You Girl” ini bisa menghantarkan saya menjalani dan menwujudkan mission possible saya ini.  Demi kebahagiaan orang-orang di sekitar saya, dan demi keberlangsungan agenda dan taggung jawab saya yang lain-nya dengan bismillah COME ON YOU (GO) GIRL! 

Sabtu, 24 Agustus 2013

Becoming Third Person is No More!

After some times, finally, I’m blogging again! Welcome (back) to me! Nice to see you again, readers… well, this time I’m going to share what I never want to do again after this: becoming the third person! It’s really killing me.  How can’t it be since I need to be a liar by the first person in order to make second person forced to accept the case.  What a tiring activity to get so many unanswered calls by the first person.  While, the second persons keep asking massively something that I, as the third person, originally knew nothing.  It’s more than only physical tiredness, but it’s also really mentally tiring.  Maybe I’m too much to exaggerating this problem.  But, actually I just wanna focus on what I have to learn from that condition as follows:

Becoming a superior person is much more advantageous that becoming an inferior who is so freely to be asked for doing something by the inferior. 
Becoming a professional lobbyist , although is quite interesting, is not a simple thing, especially to person who is not used to lie easily to another person.
Becoming a professional one, in my personal opinion, needs to serve all people professionally and equally without discriminating them based on the quantity-oriented only (even though that is important, for me personally, people trust and satisfaction as the basic of quality standard are much more important).
Becoming an honest person is sometimes so tiring, but it always end, happily or even sadly.
Becoming vertical-oriented is much more valuable, than horizontal-oriented that will never find an end.

Hopefully you also can learn all the things above when you find your self is in the similar condition as I found once.  Personally, I have no regret to have such thing as I shared above.  However, I’m going to think twice if I asked to be the third person again since I’ve experienced it once so that I knew how it works.  My last word is that as my motto to not regretting anything we did, but made it as our experience.

That’s all the things that I can share with you all guys this time. See you in the next post!

p.s.: do not worry readers because I’m going to keep blogging regularly (again) from now on.  So, keep waiting for my next post, ya! See you again very soon! <3 o:p="">



Jumat, 03 Mei 2013

Sepenggal Renungan HARDIKNAS

Kisruh Penyelenggaraan UN SMA Sederajat 2013

Beberapa pekan ke belakang berita seputar kekisruhan penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) tengah menjadi buah bibir.  Kisruh mengenai penyelenggaraan UN sebenarnya bukan kali pertama terjadi.  Sebelumnya, banyak ditemukan sejumlah pelanggaran dan kecurangan yang pada akhirnya menciderai pelaksanaan UN itu sendiri.  Tahun ini kisruh serupa kembali terjadi, namun jauh lebih parah.  Jika tahun-tahun sebelumnya tidak menyentuh teknis, maka tahun ini justru kendala teknis yang menjadi sumber kekisruhan.   Siapa yang akan sepakat bahwa tidak-ada-masalah jika UN di sejumlah daerah harus diundurkan sampai tiga hari karena perangkat ujian (lembar soal & jawaban) masih tertahan di percetakan?

Hanya orang yang masa bodoh yang akan menganggapnya sebagai suatu yang bukan masalah.   Memang benar mungkin ini adalah kesalahan teknis.  Tetapi kan seharusnya hal semacam ini bisa terantisipasi dari awal.  Kan, sejak jauh-jauh hari waktu pelaksanaan UN sudah ditetapkan, jadi seharusnya pihak dinas pendidikan dan perusahaan percetakan terkait pun sudah harus bisa memperhitungkan dan menyesuaikan waktu penyelesaian percetakan perangkat UN tersebut.  Bila semuanya telah dilaksanakan sesuai prosedur, rasanya kejadian yang secara terang-terangan mencoreng penyelenggaraan UN macam begini tidak semestinya terjadi.  Seolah belum cukup sampai di sana, sejumlah daerah yang telah menerima perangkat UN ini pun tak luput dari masalah. Kali ini persoalannya adalah pada kulitas kertas perangkat UN yang dinilai terlalu tipis sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi banyak peserta UN kalau-kalau LJK-nya mudah sobek dan rusak.

Hal tersebut tentu saja menimbulkan sejumlah pertanyaan di benak publik mengenai keseriusan dari pihak DEPDIKBUD, terutama MENDIKBUD yang dalam hal ini menjadi penanggung jawab utama dalam penyelenggaraan UN.  Selain itu muncul pula tuntutan transparansi anggaran UN  sebagai buntut dari molornya waktu penyelesaian percetakan perangkat UN.  Biaya yang tidak sedikit itu pasti.  Tapi seberapa minimalisnya dana yang dialokasikan sampai-sampai molor dan yang ada pun kualitas kertasnya mengecewakan, itu yang membuat penasaran banyak pihak.  Pada akhirnya tidak sedikit pihak yang beranggaapan ada indikasi penggelapan dana operasional UN alias korupsi di tubuh penyelanggara UN.  Lebih jauh banyak yang meyakini bahwa indikasi tersebut membuktikan telah terjadi politisasi di tubuh pendidikan negeri ini.

Oleh karenanya, kisruh UN ini bisa jadi satu indikator bahwa ada kecacatan dalam penyelanggaraan UN di negeri ini.  Kecacatan tersebut seperti menunjukkan ketidaksiapan dari pihak penyelenggara.  Lebih jauh lagi, keduanya seolah menegaskan bahwa sudah sepatutnya UN ini dihapuskan saja dari sistem pendidikan kita karena toh lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.  Menguji siswa memang harus, akan tetapi tidak usah dipaksakan dengan UN.  Kecuali jika sistem dan pelaku pendidikannya sudah benar-benar terorganisir dengan baik.  Kan siswa dalam hal ini hanya obyek dari sistem pendidikan yang diatur, disahkan, dan diberlakukan oleh subyek pendidikan yang terdiri dari aparat pendidikan dari mulai guru hingga menteri pendidikan.

Quantity-oriented: Sebuah Disorientasi

Tentang nilai dan nilai.  Itulah yang penulis rasakan dari pendidikan kita hari ini.  Bukan nilai secara abstrak, tapi nilai konkrit yang bersimbolkan angka.  Bisa dalam skala 1-10 atau 10-100.  Tergantung.  Dan karena standarnya adalah angka, maka orientasi belajar para siswa pun lebih kepada bagaimana meraih angka sebesar-besarnya, bukan pemahaman yang sedalam-dalamnya dan pengetahuan yang seluas-luasnya.  Akibatnya? Tidak sedikit yang menghalalkan segala cara (baca: mencontek) demi meraih nilai tinggi, dengan mengadaikan pemahamannya terhadap materi yang bersangkutan. 

Apalagi, belakangan ini, orientasi nilai ini semakin ‘didukung’ oleh pemberlakuan sistem Ketentuan Ketuntasan Minimun (KKM).  KKM ini adalah batas nilai minimum yang mesti dicapai siswa untuk bisa dinyatakan lulus dalam satu mata pelajaran.  Sebagai contoh jika seorang siswa mendapat nilai 65 untuk mata pelajaran Matematika yang KKM nya 66, maka ia belum tuntas dalam mata pelajaran tersebut.  Dan siswa bersangkutan wajib mengikuti remedial hingga nilainya mencapai KKM demi menuntaskan tugas belajarnya di mata pelajaran tersebut.

Karuan saja siswa yang tidak ingin repot dua kali akan lebih memilih jalan pintas demi mencapai KKM di kali pertama.  Caranya? Itu tadi berbagai praktek kecurangan seperti mencontek menjadi jurus yang paling jitu dan diminati.  Parahnya lagi, setiap tahunnya, KKM ini terus meningkat.  Bahkan kini sudah banyak sekolah yang menetapkan KKM nya mendekati angka 80.  Angka yang cukup fantastis bukan? Tidak heran bila praktek mencontek pun pada akhirnya semakin kemari semakin marak dan malah jadi terkesan lumrah.  Kan hari ini meraih nilai tinggi sudah bukan lagi masalah gengsi, melainkan tuntutan.  Dan mencotek pun tidak sekedar didorong kemauan, tetapi tuntutan kebutuhan.

Guru bukannya tidak tahu, tetapi berlaga tak tahu alias memaklumi.  Bagaimanapun tuntutan standar nilai yang tinggi mau tidak mau memaksa pendidik berada dalam situasi yang sulit.  Di satu sisi ingin menegakkan idealisme sebagai pendidik berdedikasi yang senantiasa menanamkan kejujuran di kalangan siswanya.  Sementara di sisi lain dibenturkan dengan ego sebagai profesional yang bisa dinilai memiliki kecacatan bila siswanya tidak mampu mencapai KKM. Tentu wajar jika para guru tersebut merasa terjebak dalam dilema semacam begitu.  Bagaimanpun guru adalah manusia dengan segala keterbatasan dan batasannya.  

Baik siswa ataupun guru, bagaimanapun, tidak bisa sepenuhnya disalahkan atas segala kecurangan dan ‘kemasabodohan’nya.   Pendidikan yang sejatinya menekankan pada proses menyeluruh untuk membangun kecerdasan intelektual sekaligus mental spiritual para peserta didiknya, hari ini saat rezim nilai sudah memegang Kendali, bak dikebiri.  Kesuksesan capaian belajar seorang siswa hanya diukur dari satu aspek saja, yakni intelektual.  Itu pun dengan proses yang entah bagaimana.  Sisi mental dan spiritual-nya bukan nya terbangun justru semakin tenggelam.  Ya jika kesadaran mental spiritual-nya terbangun sedari awal, tentu berbagai praktek kecurangan akan bisa diminimalisir, termasuk dalam penyelenggaraan Ujian Nasional yang lagi-lagi bertameng nilai.

UN: When Quantity Doesn’t Meet Quality

Ujian Nasional ini bagi penulis sama seperti KKM yang menopang orientasi nilai itu tadi.  Meskipun judulnya menguji hasil belajar siswa selama tiga tahun, tetapi sama seperti penerapan KKM, maka dalam UN diberlakukan sistem kelulusan.  Bila mencapai standar maka lulus, bila tidak masih bisa asal…atau bahkan tidak lulus.  Masalahnya, juga sama seperti KKM, setiap tahun standar nilainya mengalami peningkatan.  Tujuannya? Konon demi perbaikan kualitas peserta didik.  Apa iya? Sama sekali tidak sepakat.  Santer terdengar bila peningkatan KKM ini demi mengejar standar yang diterapkan oleh negeri tetangga.  Kan kita ini panasan.

Peningkatan mutu standar kelulusan UN itu sayangnya tidak dibarengi dengan upaya peningkatan mutu pendidikan.  Hasilnya? Ada ketimpangan yang ditambal paksa dengan itu tadi, berbagai praktek kecurangan.  Ironisnya, bukan hanya siswa yang terlibat, tapi hampir meliputi seluruh pihak yang berkutat dalam dunia pendidikan termasuk para stake holder.  Bila kekhawatiran siswa berpangkal pada rasa minder jika sampai tidak lulus UN; bagi para stake holder perihal kelulusan itu menyangkut ranah gengsi.  Bukan apa-apa besar tinggi-nya nilai siswa berpengaruh pada tingkat kelulusan siswa di satu sekolah bahkan hingga satu provinsi.  Inilah masalahnya.

Jika saja UN ini benar  untuk menguji tanpa menentukan lulus tidaknya tentu pelanggaran dan kecurangan UN yang tersistem bisa diberantas.  Tidak akan ada kasus ‘pengeroyokan’ orang tua siswa yang melaporkan kecurangan UN oleh satu sekolah.  Tapi ya kembali karena pendidikan kita hari ini lebih berorientasi pada nilai berupa angka, maka kuantitas itu jauh lebih penting dibanding kualitas.  Adalah suatu kebanggan bila tingkat pencapaian satu sekolah hingga propinsi mendekati atau bahkan mecapai 100%.  Makin sempurna dengan nilai rata-rata yang mencapai angka 80-90.  Luar biasa ‘cerdas’ bukan?

Parahnya, gengsi kedaerahan atau kesekolahan cenderung mengamini tren nilai sangat tinggi tersebut.  Adalah sebuah aib bila angka kelulusan di satu sekolah hingga provinsi kurang dari 90%.  Sebaliknya, suatu kebangaan bagi sekolah hingga provinsi dengan kelulusan mendekati bahkan encapai 100%.  Ada semacam reward bernama gengsi yang menyertainya. Sehingga semua berlomba meminimalisir angka ketidaklulusan yang salah satu langkah strategisnya yakni dengan me-mark up nilai siswa melalui salah satu nya membiarkan bahkan ikut terlibat dalam praktik kecurangan yang sistematis.

UN yang pada awalnya ingin mengukur sejauh mana kualitas belajar siswa selama tiga tahun justru berujung pada praktek mark up nilai hasil 3 tahun belajar hanya dalam tempo 3 hari saja.  Indikasi quality-oriented: soal berkode-kode lengkap dengan barcode-nya, niatnya supaya siswa fokus serta meminimalisir tindak kecurangan siswa.  Nyatanya? Siswa resah, gerasak gerusuk, merancang berjuta strategi menyamakan barcode, boro-boro tenang dan fokus.  Kan lucu, ibaratnya ingin hati menggapai gunung apa daya tangan tak sampai.  Buat ngakalin? Naik helikopter alias melalui jalan pintas.
 
Makin lucu semua ketidakkondusifan atmosfer UN tersebut dirancang oleh mereka-mereka sendiri.  Peningkatan mutu nilai standar kelulusan yang naik dari tahun ke tahun.  Varian soal yang dibuat semakin banyak dan variatif.  Aturan main kelulusan yang dirancang dan ditentukan sedemikian rupa.  Malah sekarang UN ini konon dijadikan salah satu nilai yang diakumulasikan untuk masuk universitas.  Ah..semakin diberi peluang saja berbagai tindak kecurangan ini untuk merajalela.  Jangan heran bila ke depan, mahasiswa di perguruan tinggi negeri bisa banyak secara kuantitas namun minim kualitas.  Toh, terlalu muluk bila kita berbicara kualitas di tengan gencarnya ekspansi kuantitas di tengah pendidikan kita.  Jika mindset-nya tidak dirubah, maka penulis harus setuju dengan pernyataan seorang kawan bahwa pendidikan hari ini bukan lagi memanusiakan manusia, melainkan merobotkan manusia.  Dan nilai, angka, jumlah lah sebagai pengendalinya. 

Intinya, ketika kuantitas tidak berbanding lurus dengan kualitas siap-siap menghadapi degradasi peserta didik kita di masa depan.  Artinya bersiap siagalah menyambut generasi yang premature karena hanya berorientasi hasil tanpa memperhatikan proses yang sepatutnya.  Bagi kalian insan pendidikan tanah air, baik pelaku atau paling tidak yang merasa peduli, yuk sama-sama kawal pendidikan hari ini supaya kembali pada orientasi awal yang mengutamakan kualitas peserta didik yang dibarengi dengan kuantitas nilai yang mumpuni, bukan sebaliknya. 

***

Terakhir berikut sepenggal surat terbuka untuk mendikbud.
Kepada MENDIKBUD yth, tolong kembalikan pendidikan di negeri ini pada hakikatnya.  Biarkan para siswa terbiasa dengan proses bukan semata hasil.  Jangan tega-tega nya menggadaikan kualitas demi kuantitas yang besar dan banyak.  Apalah arti kuantitas tanpa diimbangi kualitas yang mumpuni?  Relakah Anda mendapati tingginya angka pengangguran?  Relakah Anda menghasilkan generasi yang prematur  secara pemahaman? 

Selasa, 09 April 2013

Maraton Movies: MADRE &TAMPAN TAILOR

tabloid Bintang Indonesia dok
Hari itu adalah kali ketiga (kalau ingatan penulis belum seterganggu kata hasil cek pemeriksaan kesehatan beberapa hari lalu) penulis melaksanakan aktivitas marathon film.  Yups, betul sekali, sesuai namanya marathon film itu ya penulis nonton dua film berturut-turut di hari yang sama.  Capek? Paling matanya aja ya karena harus fokus ke layar besar selama paling tidak 3 jam (anggap aja lagi nonton film Bollywood).  Pertama kali maraton film itu sekitar 2005 (entah sebelum, pas, atau sesudahnya *lupa*) dan yang dimaratonkan adalah film “Doraemon the Movie” dilanjut “Apa Artinya Cinta”.  Kedua kalinya saat berturut-turut menyaksikan “Transformer 2” dan “Rumah Dara .  Dan yang terbaru sekitar sepekan yang lalu saat penulis akhirnya memutuskan untuk memarantonkan dua film-nya bang Vino GB yang entah apa pun motifnya tayang berbarengan, “Madre” dan “Tampan Tailor”.  Penulis sih sudah tidak akan lagi membahas dua marathon film sebelumnya, hanya akan fokus pada marathon film yang terakhir.  Kenapa? Ya karena yang lalu biarlah berlalu (baca: udah pada lupa), mari fokus pada yang terakhir yang jadi asyik dibahas karena kedua film yang dimaratonkan seperti yang sudah diungkap di awal sama-sama dibintangi oleh bang Vino GB, salah satu aktor dalam negeri favorit penulis (apalagi pas amasih lajang #loh).  Ya, berhubung dibintangi oleh pemeran yang sama, otomatis perbandingan tak akan terelakkan.  Tapi jangan khawatir penulis sih bakal berusaha memaparkan secara terpisah dahulu sebelum mempertemukan mereka kembali di akhir *hyaa..sami sareng*.  So please enjoy this!

#MADRE#

Cantik & Ganteng, tapi sayang kurang bisa dinikmati kebersamaanya ^^
Agak sedikit berbeda tapi masih berhubungan dari dan dengan “Perahu Kertas” yang penulis baca setelah mendengar kabar produksi film-nya, untuk ‘Madre’ yang sama-sama ditulis mbak Dewi Lestari ini penulis sudah baca bahkan sebelum hingar bingar produksi film-nya menggaung di kolom berita.  Tapi, tak bisa dipungkiri, bahwa awal perkenalan penulis dengan novelet ini pun tak terlepas dari perkenalan penulis dengan “Perahu Kertas”.  Syukurnya adalah, penulis tidak cukup terlambat untuk mengenali dan lalu melahap kisah ‘Madre’ versi tulisannya. Dan ketika muncul kabar tentang produksi film dari novel yang disebut-sebut best of, karuan saja rasa penasaran penulis menanjak hingga level BANGET.  Apalagi setelah terungkap bahwa yang cast-ya bang Vino GB dan teteh Laura Basuki giliran antuasiasme yang menguat hingga level BANGET.  Belum lagi lokasi syuting-nya yang ternyata tidak jauh dari lokasi tempat penulis sempat intens beraktivitas tahun lalu, kan makin membuat pengen segera menikmati film-nya—yang ternyata tayang Maret ini, yang berarti berbulan-bulan lamanya sejak rasa penasaran dan antusias ini menguat.  POKOKNYA ALL ABOUT MADRE MADE ME SO SO SO CURIOUS!

Dan hasilnya? Jreng..jreng..jreng…My curiosity, to be honest, turn into a disappointmentWhy? Let you find after the synopsisWell, seperti bukunya, “Madre” rasa audio-visual ini berpusat pada kisah Tansen (Vino GB), seorang ahli waris dari ‘Tan de Baker’, sebuah toko roti klasik milik mendiang kakeknya yang sudah tidak lagi beroperasi selama belasan tahun.  Berkat setoples biang roti bernama ‘madre’ yang dijaga dengan sangat telatennya oleh Pak Hadi (Didi Petet), rekan sekaligus sahabat sang kakek, ia pun bisa terhubung dengan Meilan Tanuwidjaja (Laura Basuki), pemilik toko roti modern “Fairy Bread”, yang sudah sejak lama mengagumi bahkan terobsesi dengan madre. 

Perkenalannya dengan madre memberi banyak warna baru dalam hidup Tansen yang sebelumnya hanya terfokus pada laut, pantai, dan ombak.  Ya, sebelum bertemu madre ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di pulau Dewata, bersahabat dengan ombak dan kedamaian (baca: rutinitas monoton).  Tapi, madre membuat hidupnya berubah 180°.  Mengenal pak Hadi dkk, Mei, membuatnya tertahan di Bandung dan malah menjadi pembuat roti.  Sempat hendak menjual harta terbesarnyaa. “Madre”, pada Mei, toh akhirnya ia memiliki ikatan mendalam dengan ‘Madre’ dan apa-apa yang berkaitan dengan ‘Madre’ yang belakangan diketahuinya berarti ibu dan bahkan dijaganya bak ibu sungguhan.

Selebihnya? ya sebagaimana yang terkisah di bukunya.  Hanya saja ada sejumlah tokoh tambahan semisal James (Framly), yang calon suami Mei di versi film-nya ini.  Kehadiran tokoh baru sih sepengrasaan penulis yang penikmat film ini tidaak terlalu memberi efek apa gimanaaa gitu.  Kan, durasi munculnya pun hanya sekian menit saja.  Jadi, ada tau tidak ada pun rasanya tidak terlalu berpengaruh. Eh ada deng sedikit, soalnya versi bukunya mah sih konfliknya cenderung tidak meledak-ledak, ya jadi kurang unsur dramatisasi nya kali kalau itu tokoh James gak muncul. Mungkin.

Secara keseluruhan jujur saja penulis rada kecewa dengan hasil akhir film ini.  Jalan ceritanya sebenarnya tidak banyak yang berbeda dari bukunya, adapun beberapa yang berbeda ya hanya penyesuaian-penyesuaian saja dengan versi audio-visual.  Chemistry Vino-Laura bagi penulis pribadi kurang terasa hangat kecuali durasi filmnya diperpanjang 30 menit mungkin ya.  Entah sih, mungkin karena adegan romantis-nya nanggung. Lagi-lagi mungkin.  Tapi iya ah, penulis rada bingung sama fokus ceritanya.  Mau tentang jatuh bangun usaha roti, kurang kerasa maksimal.  Mau mengumbar romantisme, kok kayak ditahan-tahan.  Jadi? Penulis sih kurang dibikin sengiler roti buatan Tansen, seterkagum sama badan jenjangnya Laura Basuki, dan sebetah mendengarkan “Jodoh pasti Bertemu”-nya Afgan sama film-nya sendiri.  Meski demikian, penulis sih tetap merekomendasikan film ini.  


~~~

#TAMPAN TAILOR#



Ini film rada ajaib sih kalau bagi penulis.  kenapa? Soalnya kan kalau ‘Madre’ penulis sudah tau dan mengantisipasi sejak berbulan-bulan sebelumnya.  Eh film ini tiba-tiba saja link trailer-nya di RT sama akun twitter-nya bang Vino.  Penasaran dong, ya ikutan ngeklik, dan ya-ampun-film-apa-pula-kok-ada-bang Vino-nya itu yang muncul di benak penulis.  Kece juga sih trailernya.  Ada anak kecil yang dicurigai sebagai anak-nya bang Vino, dan mbak Marsha Timothy bisa jadi berperan sebagai istrinya atau paling tidak bakal berpasangan dengan bang Vino-nya.  Dan kalau ‘Madre’ penulis yakin premiere-nya di tanggal 28, nah ‘Tampan Tailor’ ini penulis yakin gak yakin.  Wajar sih, kan ‘Madre’ promo-nya WOW BGT, nah ‘Tampan Tailor’ cenderung seadanya.  Setelah menyaksikan via youtube tempo hari, setelahnya sekali dua kali penulis saksikan trailer-nya di sela-sela komersial break di televisi swasta nasional.  Selebihnya? Ya paling dari RT-an nya bang Vino di twitter. That’s all. Untung yang mainnya bang Vino, jadi tanpa promo jor-joran pun penulis tetap ingat sih dan memasukan film-nya ke dalam list a-must-see-movie

Film ini ternyata benar adanya berfokus pada hubungan ayah-anak.  Topan (Vino GB) dan Bintang (Jefan Nathanio) terpaksa jadi tuna wisma dadakan setelah gerai ‘Tampan Tailor’ miliknya disita pihak bank.  Ya, Topan ini dulunya berprofesi sebagai penjahit dan bersama almarhumah istrinya mengembangkan butik jahit ‘Tampan Tailor’ yang merupakan gabungan dari nama Tami, sang istri, dan Topan sendiri.  Beruntung ia masih memiliki Asep (Ringgo Darman), satu-satunya kerabat yang ia miliki di Jakarta.  Menumpanglah Topan dan Bintang di rumah petak Darman yang sudah sesak oleh istri dan keempat anaknya.  Tak kunjung mendapat pekerjaan memaksa Topan mengikuti jejak Darman menjadi calo kereta api.  Apalagi Bintang, anaknya, sudah tak diperbolehkan lagi masuk sekolah setelah menunggak biaya berbulan-bulan.

Pada Bintang, Topan berkilah kalau pekerjaannya itu semacam intel yang kece badai di matanya dan bahwa ia tidak dulu sekolah karena harus libur dulu.  Bintang sendiri pada akhirnya banyak menghabiskan waktu melihat ikan di warung Prita (Marsha Timothy) pemilik kios Fotocopy sekaligus tempat penitipan anak.  Prita ini bak dewi penolong bagi pasangan ayah-anak ini.  Ia yang mengamankan Bintang saat sang ayah diinapkan di kantor polisi, juga iya yang memperkenalkan Topan pada salah satu manajer di perusahaan pembuat setelan jas.  Tak heran jika pada akhirnya Topan pun jatuh hati pada gadis berpembawaan jutek ini. 

Dan cerita pun bergulir pada perjuangan Topan dalam pekerjaannya.  Pasang surut hubungannya dengan Prita.  Dan, tentu saja, keeratan ikatan ayah-anak antara Topan dan Bintang yang cukup mendominasi cerita.  Overall, kisahnya menyentuh walaupun gak sampai bikin penulis meneteskan air mata.  Chemistry Vino sama yang jadi anaknya terjalin sangat baik.  Kisah asmara Topan dengan Prita pun sungguh diberi porsi yang wajar, tidak berlebihan.  Ya kalau chemistry Vino-Marsha nya sendiri sih gausah dibahas, udah suami istri beneran juga kan ya gimana gak dapet.  Penampilan Ringgo Darman sebagai Asep dengan keluarga ajaib-nya pun cukup memberi warna tersendiri.  Secara keseluruhan film ini berhasil menyajikan satu tontonan yang seenak dan serapi melihat jas jahitan Topan.  Satu-satunya yang patut disayangkan adalah promo film-nya yang terbilang minim.  Untung cast-nya menjual, jadi ya kalaupun penontonnya sepi gak pake level BANGET.



*****
Madre vs Tampan Tailor: When Promotion is the Main Cast

Oke. Berhubung dua-duanya film bang Vino, jadi sah-sah aja dong ya kalau penulis mau ngebandingin? Sah? Sah! *ala ijab Kabul*.  Nih, kalau dari segi tema cerita, sebenarnya “Madre” lebih potensial sih untuk dikembangkan.  Tema kuliner-nya cukup fresh lah untuk ukuran film Indonesia.  Kalau tema yang diangkat di ‘Tampan Tailor’ cenderung lebih lumrah.  Fokus hubungan ayah-anak kan udah sempat dimunculkan di beberapa film Indonesia semisal ‘King’ dan banyak lainnya.  Nah, tapi kalau dari segi penceritaannya penulis lebih suka dan lebih engaged sama ‘Tampan Tailor’.  ‘Madre’ bagi penulis kurang ada letupan-letupan yang bisa bikin ceritanya lebih menggigit dan lebih lezat, malah cenderung datar karena serba nagging *bagi penulis lho ya*.  Dari segi chemistry-nya, gak ada yang salah sih dengan duet Vino-Laura, hanya saja jalan cerita yang kurang berpihak pada intensitas dan porsi kebersamaan keduanya tidak membuat chemistry mereka terjalin dengan cetar membahana dan kurang terpampang nyata.  Sayang.  Sementara chemistry Vino-anaknya sangat terbangun erat dengan porsi kebersamaan yang intens di hampir sepanjang film.  Apalagi? Hmmh..dari ‘Madre’ penulis rada terganggu dengan rambut gimbalnya Tansen, kecentilan kurang wajar-nya bu Qory, figuran yang nampak sangat kefiguranannya di sekitar Tan de Baker Bakery, ketidakjelasan penyelesaian akhir hubungan Mei-James, kenanggungan porsi keintiman Tansen-Mei.  Tapi sangat suka dengan soundtrack “Jodoh Pasti Bertemu” nya Afgan yang kece, Laura Basuki nya yang shining, dan…udah deh kayaknya.  Nah sedangkan di ‘Tampan Tailor’ penulis cukup terganggu dengan apa ya…rasanya hampir tidak ada kecuali keheranan pas Prita tiba-tiba muncul siang bolong pesen kopi di kios sekitar stasiun dengan menyisakan pertanyaan lah-itu-kiosnya-siapa-yang-jaga-? Emang-kiosnya-deket-ke-stasiun-ya-?, promonya yang minim dan emang kurang niat sama soundtrack-nya yang juga memakai lagu yang sudah available, bukan khusus diciptakan untuk kebutuhan film. Jadilah soundtrack yang apa adanya, sekalipun sah-sah saja. Kesimpulannya adalah bahwa promo jor-joran tidak jadi jaminan bahwa filmnya seWAH promonya.  Dan jangan sampai film bDarman rada terlewatkan justru karena promo yang minim dan kurang niat.  Dua-duanya sungguh disayangkan.  Suka atau tidak pada akhirnya sangat bergantung pada selera masing-masing.  Saya, apa yang saya ungkapkan dan tuangkan di sini, ya itulah selera saya, berdasarkan apa yang saya rasakan selama menikmati kedua film tersebut secara marathon. Anda ya silakan dengan selera Anda.   Yang satu selera ya terima kasih, yang beda selera ya tak masalah.  Yang masih bingung dan jadi penasaran ya buruan aja gih ke bioskop terdekat sebelum pada turun layar! :)

Nih spesial untuk kalian :))

Balada Anak Perempuan Tertua (di Awal 20-an)



“Sok aja kamu pilih: mau lulus dulu atau nikah dulu!” begitulah penawaran yang sekonyong-konyong ibu saya berikan.

Dalam hati saya hanya menghela nafas panjang.  Tentu kalau memang itu adalah tawaran yang berujung pilihan yang mesti saya pilih ya saya tahu pasti jawabannya adalah yang pertama.  Kenapa? Ya karena memang itulah prioritas saya saat ini.  Memang sih beberapa tahun ke belakang saya juga mempunyai hasrat untuk menikah di usia muda, tapi tetap dengan satu syarat prinsipil: terlaksana setelah saya lulus, paling tidak beres sidang.  Nah, kalau ternyata hingga saat ini skripsi saya pun masih tertahan di bab-bab awal, ya tentu saja hasrat menjadi pengantin muda pun mesti dienyahkan dahulu.  Paling tidak sampai studi sarjana saya tutup buku. 

Dan jika ternyata ibu saya malah sudah menyibukkan diri dengan pertanyaan ‘kapan-ya-kita-menikahkan-si-teteh-?’ setiap habis menghadiri pernikahan saudara atau anak kolega-koleganya atau Bapak, saya sih belum begitu khawatir.  Toh, masih sebatas pertanyaan-pertanyaan dengan level sindiran sedang, tingkat paksaan atau tuntutan hampir tidak ada.  Lagipula, secara pribadi ya syukurnya bahwa hari ini saya masih bisa menjadikan studi saya yang belum beres sebagai tameng.  Ahh..jadi teringat seorang teman yang berkisah kalau ia sengaja menunda menuntaskan studi demi mengantisipasi banyaknya ‘proposal’ yang ditujukkan pada orang tua-nya. 

Bersyukur juga jika ternyata sampai hari ini sekalipun saya banyak berada di lingkungan yang mendukung untuk dipertemukan dengan calon pendamping hidup saya kelak, namun belum pernah ada yang benar-benar nyantol.  Adapun beberapa orang yang saya kagumi (baca: kecengan), tidak sedikit diantaranya yang kini sudah menikah.  Dan, kembali, bagi saya itu adalah cara Tuhan untuk tetap menjaga hati saya hingga tiba saatnya saya dipertemukan dengan seseorang yang sudah ditakdirkan-Nya untuk dipasangkan dengan saya.  Kini, harapan saya adalah supaya waktu untuk masa indah itu tiba ya paling tidak setelah prioritas saya di tahun ini terlaksana. 

Untuk alasan-alasan itu lah saya tidak akan gentar dan merasa tersudut ketika topik pembicaraan sudah mengarah pada topic seputar pasangan hidup.  Terus terang bukannya hendak masa bodoh, tapi saya hanya ingin fokus pada prioritas saya dulu saja.  Tidak ada salahnya memang menyambil.  Namun bagi saya hal-hal berkaitan dengan pasangan hidup ini bukan hal yang sederhana.  Butuh kesiapan mental terutama untuk itu.  Dan saya rasa mental saya belum begitu siap. Banyak sih contoh kawan-kerabat saya yang juga menikah di usia muda, dan masih kuliah, dan lancar-lancar saja.  Tapi tolong diingat lain mereka, lain saya kan.  Terbukti, terbentur dengan organisasi saja dalam pandangan orang tua saya, saya ini sulit fokus, apalagi dengan hal sebesar pernikahan.  Dan, sekali lagi, itulah yang saya yakini sebaga jalan Tuhan bagi saya.

Pada akhirnya, menikah dan pernikahan adalah hal yang jadi impian hampir semua orang termasuk saya.  Namun saya termasuk yang percaya bahwa semua ada masanya.  Dan itu bagi saya bukan dalam waktu sekarang-sekarang ini.   Jadi, jangan mencoba mengintimidasi saya dengan dengan pertanyaan seputar topik tersebut yang mungkin bisa saja sensitif, tapi ya belum akan menyiksa hati dan pikiran saya paling tidak hingga sukses menjalani sidang.  Lastly, for my beloved mommy, trust me that I’ll have finished my study in this middle year and please pray for me to let it be true.  And I promise you when the great and possible opportunity come to me, I’m going to make your dream about me comes true. J