Senin, 10 Desember 2012

Ujian Style: Gerbang Menuju Lahirnya (Calon) Koruptor Besar di Masa Depan


Miris gak sih ketika hari ini (ya mungkin warisan turun temurun dari dulu juga) siswa-siswi kita udah gak bisa diem tuh kepalanya setiap menjalani apa yang dilabeli ujian.  Entah ujian harian yang paling tidak sebulan sekali ataupun ujian semseteran, tengah maupun akhir, yang Cuma 2x/6 bulan.  Kayaknya begitu didegungkan istilah tersebut otak mereka langsung terkoneksi dengan program “BAGAIMANA CARA SUPAYA WAJIB DAPET NILAI BAGUS” yang bersinergi dengan program “STRATEGI SEARCHING JAWABAN DI LUAR OTAK SENDIRI”.  Dan kedua program ini melahirkan satu style yang dinamai “UJIAN STYLE”.  Layaknya Gangnam styl-nya PSY ataupun shuffle dance-nya anak gaul barat sana yang tiba-tiba mengguncang dengan ciri khasnya, “Ujian Style” pun marak di waktu ujian.  Adapun ciri khasnya ialah gerakan kepala dan lirikan mata serta tubuh bagian atas, tidak seperti Gangnam atau Shufle yang cenderung mengaktifkan tubuh bagian bawah.  Dan, biasanya para penganut “Ujian Style” ini ialah mereka yang kadar PD-nya below poverty (gak edan gimana udah poverty, below pula).  Tapi percaya atau tidak, ya beginilah kondisi siswa-siswi negeri kita hari ini.  Lebih miris lagi ialah fakta bahwa kadar ketakutan dan malu mereka sudah banyak berkurang yang merupakan indikasi nyata degradasi moral yang terjadi pada generasi muda kita hari ini.  Mungkin aktivitas mencari jawaban diluar otak sendiri atau mencotek ini dianggap hal sederhana.  Tapi, disadari atau tidak hal sesederhana ini jika dicerna secara mendalam akibatnya tidaklah sesederhana prakteknya.   Praktek menyalin jawaban dari luar otak sendiri ini bila dipelihara bisa menjadi suatu kebiasaan yang mendarah daging.  Okelah kalau kadarnya tidak lebih dari mengambil jawaban orang atau dari sumber yang bukan milik sendiri.  Nah, apa gak jadi masalah besar kalau bukan hanya jawaban, melainkan hingga uang orang lain pun kita ambil begitu saja?  Berlebihan, mungkin bagi yang merasa, tapi itu satu fakta yang kemungkinan terjadinya besar.  Bisa dikatakan jika mencontek bisa dikatakan merupakan bentuk korupsi kecil-kecilan sejak dini.  Dan, bisa jadi para pencontek ini ke depannya bertransformasi jadi para koruptor yang licin nan licik.  Sepakat? Ya terserah kalau tidak percaya.  Tapi setidaknya kita sebagai bagian dari dunia pendidikan hari ini mesti berupaya bagaimana caranya paling tidak meminimalisir aksi tidak sportif tersebut.  tentu tidak mudah, butuh keteguhan dan ketegaran karena kita akan melawan arus.  Apalagi jika posisi kita masih dipandang sebelah mata dengan status kita yang belum menjadi unsur pendidik sungguhan, baru sebatas praktek.  Keberanian dan kepercayaan diri sangat diperlukan jika kita tak ingin diserang balik dengan telaknya oleh argument yang cerdas (namun tidak pada tempatnya) para siswa-siswi oknum koruptor dini tsb.  Ahh..bukan salah-salah mereka amat sebetulnya.  Sistem pendidikan kita yang masih berorientasi pada nilai dan kuantitas tanpa kesadaran mengirinya dengan penguatan dan pembenahan kualitas mendorong oknum-oknum koruptor cilik itu bermunculan.  Jika saja sedari awal pembelajaran diarahkan pada penguasaan materi, penguasaan skil, tentu bisa meminimalisir tindakan tidak terpuji ini.  Namun, ya, sekalipun sistemnya bermasalah jangan sampai kita yang ada dalam sistem tersebt ikut tergulung arus begitu saja tanpa ada pertahanan yang berarti.  Sekali lagi kita punya kesempatan untuk paling tidak meminimalisir praktek korupsi dini tersebut.  Yuk, kalian yang punya  kepedulian lebih dengan pendidikan di negeri ini, mari berantas praktek korupsi dini di kalangan siswa-siswi kita! Mari ciptaan lingkungan belajar yang kondusif: serius tapi menyenangkan, mari kedepankan kualitas  di atas kuantitas.  Salam pencerahan, salam positivism, dan salam anti KORUPSI! 

Kamis, 08 November 2012

Postingan Eksklusif (masih tanpa) JUDUL!


Ini ekslusif! Cuma kalian, para visitors atau readers yang beruntung yang bisa tahu rahasia paling rahasia dari penulis ini!  Cuma disini, edisi premiere ini, penulis bakal mengupas cowok-cowok kece yang suka bikin penulis terserang virus audio-visual! Ha! Penasaran? Okey, tanpa buang waktu, here they are…

ü  Mas DONNY ALAMSYAH
Sering BGT muncul di FTV jadi salah satu penyebab kenapa penulis jadi gampang terserang virus audio-visual.  Ah, meskipun sudah tidak single, abang yang satu ini masih kece aja.  Gak ngebosenin, ya sekalipun frekuensi kemunculannya di layar gelas lumayan sering dan kadang pasangannya kurang gimanaaaa…tapi ya tetep aja pesona mas satu ini udah ngalahin lawan mainnya, isi ceritanya, sampai judulnya—yang kadang sebenernya bikin gak selera nonton, kalau gak ada masnya sih—bagi penulis sih…so gak usah pada protes! ;p


ü  Aa REZA RAHARDIAN
Nah, sebenernya aa yang satu ini nih yang paling mending diantara yang lain, secara masih single, masih available! Haha. Okay, itu sih alasan sampingan.  Tapi gimana ya, aa satu ini juga selalu mencuri perhatian di tiap aksinya.  Walaupun penulis rada kurang suka sama beberapa FTV yang sempat dibintangi si aa, tapi hampir setiap penampilannya di film penulis suka!  Ya aa Reza ini Cuma sedikit kurang macho dari mas Donny, selebihnya, terutama aksinya di depan kamera sih so far selalu mebuat penulis attracted.


ü  Bang VINO G. BASTIAN
Nah, dulu sebelum berstatus suami orang, penulis tergolong sangat menunggu  setiap aksinya.  Sekarang, masih sih, cuma antusiasmenya yah berkurang beberapa persen aja sih.  Terus, belakangan hampir sama kayak aa Reza, abang ini kadang dari pengamatan penulis suka ambil bagian di FTV yang kalau penulis pribadi sih rada kurang berminat nonton (piis ya piis, sekali lagi ini preferensi pribadi penulis, it’s all about selera).  Kalau dari akting ya sama kayak dua pria sebelumnya, okey. 


***
Nah, persamaan ketiganya bagi penulis adalah rada susah mendapat pendamping layar kaca yang pas!  Sejauh pengamatan penulis, dari sejumlah lawan main yang disandingkan dengan mereka, hanya beberapa saja yang menurut selera penulis sebagai penonton serasi disandingkan sebagai pasangan di layar.  Entah ya kalau ditanya kenapa, yang jelas ya suka agak kurang nyaman aja litany.  Terutama aa Reza yang usianya paling muda.  Aa suka kebagian dipasangkan sama yang lebih tua, kebanyakan.  Senasib sama aktor-aktor angkatan Lee Seung Gi di Korea sana.  Dari hipotesa awal penulis sih kayaknya faktor utama ada di minimnya aktris satu angkatannya si aa.  Kalaupun ada ya mungkin kapasitas aktingnya masih di bawah aa jadi mereka yang bertanggung jawab dalam pemilihan cast enggan menyandingkannya.  Makanya, saking si aa sering BGT dipasangkan dengan yang lebih tua, penulis terbilang bahagia pas aa dipasangkan  sama Julie Estelle dan Acha Septriasa tahun ini.  Kemarin-kemarin aa sempet juga berpasangan dengan Laura Basuki dan Tika Putri, yang semuanya di bawah aa.  Tapi ya selebihnya terhitung senior dari segi usia buat aa.  Terakhir, film teranyarnya, Habibi-Ainun, si aa dipasangkan dengan BCL yang juga lebih senior usianya.  Masalah? Buat penulis sih iya, tapi kan ya dasar si aa mukanya dewasa jadi kalau yang gak tau ya bakal ngira aa seumuran kali sama mas Donny atau bang Vino, jadi pada akhirnya perbedaan usia antara aa dan lawan mainnya tidak begitu kentara.  Kalau mas Donny sama mas Vino  sih relative lebih gampang kketemu jodoh-di-layar-nya.  banyak sih aktris seangkatan dan seusia keduanya.  Ya, paling enggak pilihannya jadi relative lebih banyak.  Cuma, suka agak geli juga kalau keduanya, terutama mas Donny dengan kumis+jenggot nya dipasangkan dengan lawan main yang jauh lebih muda.  Hmmh..tapai yaudahlah ya, apalah daya kita yang cuma penikmat yang bahasa kapitalisnya konsumen, kan siapa mau sdipasangkan sama siapa, nasibnya (baca: cerita-nya) mau dibagiamanakan, kan urusan sang pemilik modal alias para produser yang diteruskan oleh departemen cast, dll. #ups

Dan, dari sekian aktris yang pernah disandingkan dengan mereka, ini nih yang jadi favorit penulis:
v  Mas Donny—(belum ada uy, eh tapi penulis suka loh pas ada satu judul FTV bareng Atiqah Hasiholan, disana jadi rekan kerja sesama guru kalau gak salah mereka)


v  Aa Reza—Acha Septriasa (semenjak Test Pack, fix ngefans sama pasangan ini)


v  Bang Vino—Aneke Jodi (suka pasangan ini sejak Arini dan beberapa FTV, klop aja
Bang Vino—Marsha Timothy (ya proporsional lah ini pasangan gak heran jadi beneran)


                                                              













*****

Nah, kalau yang ini dalam kategorisasi yang penulis bikin sendiri sebagai yang punya otoritas penuh sebagai yang punya postingan dan tuan rumah di laman ini, ya suka-suka selera penulis dong, betul?

ü  Mas RIO DEWANTO
Nyangka gak kalau  mas-nya seumuran aa Reza? Gak heran lah kalau enggak.  Yah, sejenis aa Reza, Cuma versi layar kaca.  Paling demen kalau ada FTV yang masangin si mas-nya sama mbak Prisia Nasution. 


ü  Aa DIMAS ANGGARA
Ahh..ini nih yang paling imut sesuai usianya yang juga paling muda.  Konon sempat menjalin  hubungan dengan lawan mainnya yang di mata banyak pihak dibilang serasi, Natasha Rizki, penulis sih lebih suka sama chemistry aa ini waktu sama mbak Kirana Larasati.  Sayangnya, mbak KL udah gak aktif lagi di dunia akting.  Eh, tapi di stripping terakhirnya sebelum ini penulis juga suka sama chemistry-nya bareng teh Bunga Zainal. 



ü  Bang Ramon Y. Tungka
Ini nih satu lagi yang FTV-nya rajin penulis tongkrongin.  Rambut gondrong+brewok+jins belel bolong-bolongnya paten BGT lah sama karakternya.  Nah, dari sekian lawanmainnya, penulis fix paling demen kalao si abang diduetin sama pasangan lamanya, mbak Joanna Alexandra.  Iya, dua-duanya sering dipasangkan dengan yang lain, tapi tetepa aja paling pas ya kalau pas mereka nerdua dipasangkan…bagi penulis (lagi-lagi). :D



*****

Hoaam..sekian rahasia paling rahasia yang saking ekslusifnya nampak tidak akan ada postingan serupa sampai dua-tiga kali dan seterusnya.  Cukup ini. Jadi ya beruntunglah kalian para readers dan visitors yang menyempatkan diri mengintip postingan ini.  Ini preferensi pribadi loh, mau sepakat ya mangga, berlaianan pendapat tak masalah, demokratis saja, yang penting tertib dan damai. #salamdamai, Selamat Menikmati! J

Minggu, 04 November 2012

A Confession to Someone who always Makes Me Smile


Hey, ini malam ahad! Saatnya penulis berceloteh tentang sesuatu yang rada mellow dan mengandung nuansa kepink-pink-an.  Biar efek drama-nya dapet, mari kita deskripsikan saja dengan bait-bait (yang niatnya sih) puisi, berikut:

Disana aku tidak populer
Ah, tapi aku tidk begitu peduli
Siapa mereka toh?
Saling menumpang lewat saja paling kita
Tapi sekali lagi, aku tidak peduli
Peduliku hanya pada sesosok makhluk Tuhan yang bak oase bagiku
Iya, ah selalu ada senyum manis terkulum dalam pertemuanku dengannya
Aku rasa ini yang disebut dengan tertarik
Tapi tidak lebih
Ya, tidak lebih
Hanya sekedar tertarik dan jika harus naik level
Ia hanya sampai batas mengagumi
Aku enggan ia menjadi lebih
Berharap pun tidak
Ah, ia tertarik juga atu tidak pun, tidak penting bagiku
Kan, sudah kubilang hanya sekedar mengagumi
Rasa kagum yang senantiasa membuatku tersenyum
Serunyam apa pun aku saat itu
Dan meskipun senyumku terkulum saja dalam mulut
Atau malah dalam hati
Ah, sosoknya, selalu menarik perhatianku.
Tapi hey! Aku tak peduli kau pun memperhatikanku atau tidak.
Aku tak menuntut balasan.
Karena aku tak menginginkan apa pun.
Kecuali menikmati momen setiap melihat sosokmu.
Itu saja.

Dedicated for someone who always makes me smile when I saw that person’s figure.  I want nothing except keep have lots opportunity to see you without being noticed by anyone, especially you, yah you.  Thanks for always make me smile (even you don’t and never know). #abaikan J

Sabtu, 03 November 2012

Like Mother, Like Daughter!


Welcome November!
Ha! Setelah rada kurang produktif di bulan kemarin dikarenakan terbentur ini itu hewir pokoknya, bulan ini sih, meskipun ini tanggal 3, ya penulis niatnya pengen jauh lebih produktif daripada bulan yang lalu. Dan, awal produktivitas penulis dibuka oleh posstingan yang-bagi-penulis menyenangkan ini.. Happy reading, all.. J
A bit spoiler: jangan terlalu percaya sama judulnya! ;p

Like Mother, Like Daughter!
Dalam suatu obrolan antara penulis dan ibunda penulis, terungkaplah satu fenomena menarik nan bombastis! Iya, bombastis!  bagaimana tidak, beliau tanpa tedeng alaing tiba-tiba memproklamirkan suatu pernyataan yang tidak pernah penulis duga sebelumnya. Apa itu? ada deh (hehe..maaf ya belum saatnya dipublish sodarah-sodarah ;p) yang jelas sesuatu yang sangat penulis aminkan.  Kaget juga sih, jadi berasa kayak ada di program gak nyangka apa sebagainya.  Ya, walaupun diawali dengan todongan yang menohok hati, tapi akhirnya itu loh..bikin senyum-senyum sendiri. 

Apa yang penulis alami ini, kalau menurut teorinya Bang Ipho, sang maestro otak kanan, adalah apa yang disebut menyamakan visi dengan orang tua tercinta.  Ya, meskipun penulis tergolong yang jarang bercerita mengenai hal-hal yang terlampau pribadi dengan orang tua, tapi ternyata ya namanya orang tua feeling-nya secara ajaib selalu nyambung gitu ya sama anaknya. Subhanallah. Jadi ya tanpa penulis sebutkan, tanpa ada rembugan, ternyata kami sudah sevisi! Wow! Amazing!  Dan, yaa karenanya penulis sih mengucap syukur atas  kesamaan visi ini sehingga tidak aka nada do’a dan harapan yang tak kunjung terwujud karena adanya ketidaksevisian antara do’a penulis dan do’a ibunda penulis.  Kalaupun belum terwujud dalam waktu dekat, ya mungkin hanya tinggal masalah waktunya saja.  Ya, pada akhirnya semoga harapan kami, do’a kami, bisa besinergi sehingga bisa benar-benar terwujud….secepatnya.  aamiin. Wallahu’alam. J

Minggu, 28 Oktober 2012

IPA-IPS: Popularitas vs Stereotipe


http://ibnulinggasakti.wordpress.com/2009/11/page/2/

“Berdasarkan pengalaman tahun lalu, peminat ke jurusan IPA itu jauh lebih banyak daripada ke jurusan IPS, maka punten saja ketika kuota sudah penuh, kami potong, sisanya masuk kelas IPS karena hanya ada 5 kelas IPA di sekolah kita ini.  Jadi, bagi murid kelas X yang ingin masuk IPA diharapkan bisa belajar sungguh-sungguh supaya masuk dalam kuota tersebut.” begitulah salah satu petikan pesan yang disampaikan oleh seorang kepala sekolah di salah satu sekolah menengah negeri di kota Bandung dalam suatu upacara hari senin pagi.  Saya, yang juga berada di situ takjub dan tertegun saja mendengar ucapan beliau.  Saya memang takjub, namun ketakjuban saya bukan karena terpesona oleh isi pidato beliau, melainkan lebih kepada kok kenapa bisa terlontar ucapan seperti itu dari beliau.  Ada yang salah? Tidak juga sih, mungkin.  Ya, secara umum dan objektif  himbauan yang beliau berikan sepertinya tidak ada muatan negatif.  Akan tetapi, secara subyektif saya sih merasa keberatan dengan himbauan yang beliau berikan.  Apa pasal? Berikut saya jabarkan poin-poin yang tidak bisa saya sepakati dari pernyataan beliau.

Pertama, pengkultusan jurusan IPA.  Sudah jadi stigma umum dan dipertahankan sekian tahun lamanya bahwa jurusan IPA dipandang lebih tinggi secara strata soasial dibanding kelas sosialnya itu sendiri.  Cap anak pintar dan baik-baik begitu melekat dengan para penghuni IPA, sebaliknya hampir semua stigma negatif mau tidak mau ditujukan pada mereka warga IPS.  Kan, kalau yang pintar identik dengan IPA, berarti IPS identik dengan? Ah, saya sih tidak berani menjawab ya, khawatir ada yang keberatan.  Karena sebenarnya saya sendiri pun keberatan.  Tidak semua yang masuk IPA memiliki kemampuan akademis yang lebih dari kaum IPS yang termarjinalkan, sepengalaman saya.  Waktu zaman saya SMA ada kok satu anak yang level kepintarannya setara dengan anak terpintar di IPA, tapi dia toh berstatus ‘makhluk’ sosial.  Implikasinya apa? Dia tetap menjadi yang terbaik di lingkungan mana pun ia menetap.  Dari kelas satu peringkat sebagai bintang kelas tak pernah lepas dari genggamannya.  Dan, kasus teman saya ini akan menggiring kita menuju poin kedua.

Bagi saya dan berdasarkan pada pengalaman teman saya di atas, menjadi anak IPS itu tidak selamanya merupakan takdir, akan tetapi dalam beberapa kasus hal tersebut merupakan pilihan.  Pilihan yang dilakukan secara sadar, bukan karena terpaksa karena tidak mencukupi masuk IPA dari segi kuantitas nilai, tidak pula karena tak ada pilihan lain.  Dan, tidak sedikit dari mereka-mereka yang memilih IPS itu dilandasi kesadaran bahwa pada akhirnya mereka memang akan dan ingin menempuh program studi berbasis IPS seperti manajemen, akuntansi, ekonomi, dsb.  Saya kemudian berangkat dari fenomena tersebut iseng mengelompokkan mengelompokkan siswa IPS ke dalam dua kategori: Siswa yang dipilih takdir dan siswa yang memilih takdirnya sendiri.  Sama? beda lho.  Kalau yang kategori pertama ya mereka-mereka yang entah karena nilai IPA-nya tidak mencukupi, kuota masuk IPA sudah habis, dll sehingga dinyatakan gagal menjadi anak IPA.  Sedangkan kategori yang kedua diperuntukkan bagi mereka yang memang sedari awal sudah menentukan sikap untuk masuk IPS, tanpa peduli nilainya cukup atau tidak ke IPA.  Dan, tanpa bermaksud mengeneralisasi kebanyakan mereka yang masuk kategori kedua, mereka sebenarnya sangat berpotensi masuk IPA baik dari segi kuantitas nilai ataupun kapasitas keilmuannya.

Poin selanjutnya adalah himbauan untuk menyeriusi mata pelajaran MAFIKIBI (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi) seolah makin menegaskan kedigdayaan dan popularitas IPA di atas IPS.  Ini serius.  Bagi saya pernytaan tersebut sudah terlalu berlebihan.  Jika saya menjadi guru mata pelajaran IPS, sangat mungkin saya akan merasa tersinggung atau minimal terusik dengan himbauan yang diskriminatif tersebut.  Ya sekalipun sudah jadi sesuatu yang dimahfumi banyak pihak seharusnya keberpihakkan secara berlebih pada satu program mesti dihilangkan, terlebih di ranah sekola menengah.  Bisa dimaklumi jika ranah pendidikan kita adalah kejuruan yang memang sedari awal sudah memfokuskan diri pada satu bidang.  Saya, sebagai calon guru mata pelajaran umum saja merasa terusik.  Dan jika saya adalah siswa saya akan berfikiran naïf untuk mengesampingkan pelajaran lain di luar MAFIKIBI yang pada prakteknya hari ini dinilai tidak seurgen dan serelevan MAFIKIBI.  Syukurlah saya sudah bukan siswa lagi.

Maksud himbauan di atas mungkin baik, mendorong siswa untuk giat belajar sejak dini (baca: kelas X).  maklum lah siswa zaman sekarang mentang-mentang didukung oleh mudahnya akses informasi maunya serba instan.  Waktu saya masih berseragam putih abu, akses internet masih terbatas.  Sekarang? Beragam paket dengan sistem kuota hingga unlimited  bak kacang goreng sehingga akses informasi sangat mudah menyebar dan diterima.  Efeknya? Siswa malas baca lah, enggan belajar lah, sungkan mengerjakan tugaslah, semuanya berakar dari satu hal: terbiasa disuguhi yang serba instan.  Bahkan ulangan pun rasanya tidak afdol jika tidak lirik kanan-kiri.  Nah, tapi yang disayangkan himbauan positif ini beriringan dengan citra negatif atas pengekerdilan jurusan lain, atau mata pelajaran lain diluar mata pelajaran inti IPA, MAFIKIBI itu tadi.

Mohon maaf sekali Bapak, saya bukannya tidak ingin menghormati Bapak, saya hanya kurang sepaham dengan amanat yang Bapak sampaikan dalam upacara tempo hari.  Saya mungkin orang yang baru seumur jagung, masih terlalu hijau berkecimpung sebagai subyek di ranah pendidikan.  Tetapi saya telah lama sekali menjadi obyek pendidikan, sejak 17 tahun lalu hingga detik ini.  Paling tidak saya bisa mengungkapkan pandangan saya dari sudut objek pendidikan.  Paling tidak apa yang saya ungkapkan di atas mewakili posisi saya sebagai objek pendidikan.  Semakin diperkuat ketika saya menjadi subjek menu saja.  pendidikan.  Artinya ketika  saya terlibat langsung saya menjadi sedikit-sedikit paham bagaimana cara penilaian guru, aspek apa saja yang dinilai sampai keharusan untuk mencapai standar ketuntasan minimum (KKM) yang dalam beberapa kasus meletupkan pemberontakan dalam hati saya.  KKM ini seolah menegaskan quantity-oriented dalam pendidikan formal kita hari ini sebagaimana halnya pengkultusan jurusan IPA di atas yang berorientasi pada jumlah dan nilai.  Kan, tidak disinggung aspek minat disana, yang ada hanya unsur bakat yang diwakili angka (baca: nilai mata pelajaran).  Sementara dalam beberapa teori, pemilihan jurusan alangkah baiknya didasari oleh sinergisitas aspek minat dan bakat.  Bakat memang bisa diasah, minat pun bisa ditumbuhkan; namun apakah keduanya bisa dipaksakan?


Rabu, 17 Oktober 2012

Sepagi ini kita berpisah…


Perpisahan yang sebegitunya dan sebegininya.  Terlalu cepat dan terlalu tidak adil.  Pertemuan terakhir kami berlangsung secara tragis dan dramatis.  Mengapa tragis? Karena diwarnai kesalahpahaman yang bukan berasal dari pihak kami—itu murni kesalahan teknis—, menjadi dramatis karena bak sinetron tanpa penjelasan.  Bukan tak ingin memberi penjelasan, namun rasanya tak akan banyak membantu.  Lagi pula dari sisi merekanya mungkin juga tidak mau tahu dan tidak bisa mengerti.  Maka jadilah saya yang paling merasa paling drama hari itu.  Cuma saya sepihak yang tahu kisahnya secara utuh, sedangkan mereka tahunya saya yang salah tahunya saya yang lalai.  Dan saya pada akhirnya harus menerima semua ini sebagai satu pil pahit sebagai pelajaran ke depannya di satu sisi, tapi memberi efek menyembuhkan di lain sisi.  Maksudnya menyembuhkan disini ialah bahwa mungkin memeng itulah cara terbaik bagi kami untuk berpisah.  Dengan begitu semoga tidak ada pihak yang akan merasa kesakitan.  Biarlah mereka dengan segala prasangka akhirnya bisa begitu saja melupakan kehadiran penulis yang sangat singkat dalam kehidupan mereka.  Dan biarlah saya dengan segala prasangka mereka pada akhirnya bisa melupakan semua kenangan singkat bersama mereka.  Jujur saja, cukup berat memang harus berpisah dengan mereka yang sudah mulai masuk ke hati saya.  Ya, sebenarnya saya sudah harus  berpisah lebih awal lagi dan bahkan saya sudah sangat siap saat itu.  Tapi ternyata takdir berkehendak lain.  Kami kembali dipertemukan.  Kali ini mereka begitu manis, hingga rasa enggan berpisah yang sempat hadir kembali menjalar, bahkan semakin parah!  Walaupun demikian perpisahan ini pasti terjadi, cepat atau lambat.  Dan, ya, sekali lagi pertemuan terakhir kami yang diwarnai kesalahpahaman itu biarlah menjadi pemisah kami.  Walau tidak fair untuk saya tapi bila dengan begitu kami tidak menjadi saling ketergantungan ke depannya tentulah akan sangat baik.  Maka, pada akhirnya perpisahan kelabu itu, caranya itu, latar suasananya saya anggap sebagai yang terbaik bagi kami.  Sampai jumpa kalian, semoga kenangan yang tak seberapa ini meski tak berkesan-kesan amat setidaknya meninggalkan barang sedikit bekas di benak kalian masing-masing. Sukses untuk kita semua.  Salam. Saya yang mungkin tidak kalian anggap penting dan kece.

Sabtu, 06 Oktober 2012

Perahu Kertas Part 2: ketika hati (itu) dipilih



“hati itu dipilih, bukan memilih”
Ini kisah penghabisan Kugy-Keenan yang dibiarkan menggantung di akhir kisah PK 1 Agustus lalu.  Buat penonton PK 1 dan terutama pembaa novelnya, tentu jadi film yang paling ditunggu di Oktober ini.  Bukan, bukan uma di Oktober ini, melainkan ditunggu sepanjang tahun ini.  Dan hasilnya? Well, bagi pembaca novelnya tidak akan menemukan kejutan di endingnya--tapi pasti penasaran dengan eksekusi endingnya; nah bagi penonton PK 1 bagaimanapun endingnya yang jelas mereka memang butuh kejelasan akan nasib Kugy, Keenan, Remi dan Luhde. 

Dibuka reuni pasukan kura-kura ninja di nikahan Noni-Bimo, diteruskan dengan sejumlah adegan dengan porsi besar untuk keempat tokoh sentralnya.  Bukan pasukan kura-kura ninja ya, tapi dua orang pasukan kura-kura ninja ditambah pasangan mereka kini, yap Remi dan Luhde.  Pasa reuni, Kugy-Keenan kembali intens.  Bahkan Kugy sampai rela mematikan handphone-nya sampai-sampai membuat Remi khawatir setengah mati demi menikmati ‘penculikan yang indah’ bersama Keenan ke sebuah pantai di Jawa Barat.  Belum lagi proyek dongeng-gambar baru mereka.  Kugy menjadi tak fokus pada pekerjaannya di Advocado hingga Remi terpaksa harus ‘mengundurkan diri’ sebagai atasannya.

Puncaknya adalah ketika Kugy-Luhde bertemu seara tak sengaja saat Kugy tengah dalam perjalanan berlibur bersama Avoado di Bali.  Keduanya baru saling sadar setelah berpisah.  Dan semenjak itu seuanya tak lagi sama.  Baik Kugy ataupun Luhde menyimpan kepahitannya masing-masing.  Bagi Kugy semakin kompleks tatkala hatinya remuk, tiba-tiba Remi ‘membalut’ lukanya dengan cincin.  Akhirnya, mengasingkan diri menjadi pilihan utamanya setelah kembali ke Jakarta.  Dari Remi, Keenan, dan semuanya.  Luhde sendiri mulai merasa bahwa hatinya tidak dipilih Keenan sekali pun lelaki pujaannya itu menyatakan bahwa hati-nya memilihnya.  “Hati itu dipilih, De; bukan memilih,” terngiang olehnya nasihat Pak Wayan yang ternyata memiliki masa lalu kelam dalam urusan asmara bersama ibu Keenan, Lena. 

Hati dua wanita terpaut pada satu hati pria yang sama tapi yang satu terikat pada yang lain sementara yang satu merasa pertautannya rapuh.  Sementara sang pria yang dimaksud, akhirnya tahu dan juga mengakui akan satu hati tapi sudah terikat pula pada hati yang lain dan berusaha memantapkan pada yang telah terikat.  Satu pria lagi? Pada akhirnya ia mengerti akan semua kesamaran yang mewarnai hubungannya dengan Kugy.  Semua, keempatnya memekuri kepeddihan hatinya masing-masing.  Namun demikian, sepahit apa pun, mereka mesti memilih, dan pada akhirnya akan bagaimana pilihan mereka? Pada siapakah hati mereka masing-masing bertaut?  Hati siapakah yang akhirnya saling dipilih?  Hanya di bioskop terdekat kesayangan Anda akan menemukan jawabannya, so buruan gih!



***

Buat yang udah nonton, gimana endingnya? Awesome? Unpredictable? Memorable? Atau malah forgettable? Well…buat penulis sendiri yang baca novelnya plus nonton part 1 nya, ya memang PK 2 menjadi wajib tonton demi menggenpi kepenasaran.  Jujur, di PK 1 penulis agak dibut bosan dengan alur yang enderung lambat, bagi penulis.  Ditambah interaksi Kugy-Keenan nya yang minim.  Dan harapan terbesar penulis  di PK 2 ini to be honest ya adegan Kugy-Keenan nya dibikin massif. Terpenuhinkah? A bit.  Ya, a bit.  Memang interaksi keduanya lebih banyak, tapi kadarnya sedikit bertambah banyak dari yang pertama, tidak sangat banyak.  Tidak jauh beda dengan interaksi Kugy-Remi dan Keenan-Luhde. Eksekusi adegan terakhirnya (antara  pemeran utama) juga tidak semanis ataupun semeriah dan sesumringah di novel.  Tak ada adegan angkat mengangkat, meskipun ukup membekas. Jika bagian ini dibuat lebih manis psti bakal semakin membekas.  Tapi, suguhan ending lain pada beberapa karakter ukup bisa jadi penawar akan semua itu, so sweet.  Buktinya? Penulis aja sambil kepengen buat barang sekali lagi hadir di bioskop demi menyaksikan adegan penghabisan ini.  Kenapa? Soalnya memang momen itu yang penulis tunggu dari overall film-nya.  Udah ahh penulis sedang enggan berpanjang lebar, intinya silakan tidak akan rugi merogoh koek Anda demi menyaksikan kisah perintaan bernuansa lain ini.  Oh, ya, sebagai pembaca novelnya meskipun ada beberapa adegan yang dirubah sampai-sampai mebuat unsur dramatisnya berkurang—seperti pas proses Keenan tahu perasaan Kugy dari Noni, pertemuan di Rnca Buaya, adegan terakhir—tapi karena yang menulis ksenario adalah penulis novelnya sendiri, jadi tidak sebegitu menganggunya dan malah penulis menikmati PK & PK 2 arahan Hanung Bramantyo ini sebagai satu sajian visual yang menarik. :D