Senin, 05 Maret 2012

Negeri 5 Menara: 'mantra' Man Jadda Wa Jada



Adalah Alif, seorang remaja tanggung asal Maninjau, Sumatera Barat, yang bercita-cita meneruskan sekolah menengah atasnya di salah satu sekolah negeri di kota Bandung.  Sayang, sang Amak (Lulu Tobing) memintanya untuk melanjutkan pendidikan di kampus Madani, di Jawa Timur sana.  Sempat menolak dan mengalami dilema, Alif pun pada akhirnya mengikuti keinginan sang Amak meski ia pun fikirannya masih tertancap kuat di kota kembang sana.  Maka berangkatlah ia dengan diantar sang ayah (David Chalik)  ke pondok Madani tersebut diiringi tangisan sang kawan sejawat (Sakurta Ginting).  Sesampainya disana, ia disuguhi sejumlah bangunan dalam ukuran besar dan serangkaian tes penerimaan.  Empat tahun total masa sekolah yang mesti ditempuh karena sebagai santri yang masuk di kelas 4 (setara kelas 1 SMA), mereka mesti mengikuti kelas persiapan dan pembinaan selama setahun.  Hal sempat menciutkan niatan Alif sampai-sampai ia hampir saja ngasal mengisi soal ujian supaya tidak lulus dan bisa masuk SMA.  Namun, takdir menuntunnya untuk mengurungkan niat polosnya tersebut sehingga pada akhrnya ia bisa tergabung dalam “Sahibul Menara”, bersama lima kawan barunya yang adalah Baso, Raja, Said, Atang, dan Dulmajid yang memberinya berjuta pengalaman luar biasa.

Baso, seorang penghafal Al-qur’an asal Goa yang sangat cemerlang prestasi akademiknya.  Raja, pemuda aseli Medan yang relatif tempramen dan memiliki minat di bidang seni.  Said, wong Suroboyo, pemilik badan paling besar dan kekar di antara para Sahibul Menara yang lain.  Atang, jajak bandung yang kentara sekali logat Sunda-nya serta memiliki ketertarikan dalam otak atik mesin.  Dulmajid, pemuda asal Lamongan yang sangat fanatic terhadap bulu tangkis.  Sementara Alif sendiri, pemuda Padang ini memiliki ketartarikan dalam berbahasa dan dunia jurnalistik.  Terbentuknya Sahibul Menara berawal dari intensitas kebersamaan mereka yang makin meningkat pasca dihukum bersama di bawah menara majid pondok yang tersohor itu akibat telat masuk masjid.  Sejak saat itu mereka yang terkena hukuman saling jewer menjadi makin akrab dan menjadikan Menara saksi bisu ketika mereka dihukum itu sebagai ‘markas’ mereka.  Dari sekedar merebahkan diri di tengah jeda istirahat siang sambil  tidur-tiduran, berdiskusi, hingga tidak jarang berdebat merupakan aktivitas yang  lumrah dilakukan oleh enam sekawan ini disana, jadi akhirnya merekapun dijuluki “sahibul menara” yang berarti si empunya menara.

Semangat keenam orang ini khususnya sangat dipengaruhi oleh semangat “Man Jadda Wa Jada” yang diperkenalkan pertama kali oleh ustad kesayangan sekaligus panutan mereka Ustad Salman (Donny Alamsyah).  Ada pula sosok pemimpin pondok, Kiai Rais yang di luar posisinya sebagai pemimpin tertinggi di pondok merupakan pribadi bersahaja.  Ia tak segan turut mampir ke studio menunjukan kemahirannya bermain gitar bahkan menyempatkan diri mampir untuk menyewa generator.  Alif sendiri cukup terinspirasi oleh seniornya di klub jurnalistik (Andika Pertama) dalam mencari berita.  Nisa yang keponakannya kiai Rais pun sempat menjadi bumbu bagi mereka yang sehari-hari berkutat dengan sesamanya. 

Film ini lebih mengedepankan cerita persahabatan dan suka duka keenam tokoh sahibul menara tersebut.  Dari mulai perjuangan Baso dalam mengikuti pidato berbahasa Inggris, perjuangan Dulmajid untuk memungkinkan adanya nonton bareng Piala Thomas  antara Indonesia-Malaysia di tengah-tengah larangan hadirnya TV di pondok tersebut, seorang Atang yang mulai menunjukkan bakat di bidang permesinan saat mengersitekii perbaikan generator disamping cita-citanyamenjadi seorang anggota DPR, atau bagaimana Raja menjadi team leader dalam pementasan Ibnu Batutah sepeninggal Baso yang terpaksa meninggalkan pondok lebih awal karena sakit sang nenek yang merupakan satu-satunya kerabat yang dimilikinya semakin parah sehingga ia pun mesti bersegera kembali ke Goa dijemput tetangganya, sementara Said meski berbadan besar namun senantiasa tampil sebagai si pendamai.  Dan, tentu saja bagaimana pergulatan batin seorang Alif hingga akhirnya memutusakan untuk bertahan di Pondok meski foto yang dikirimkan sahabatnya dari Bandung sempat begitu menggodanya.
Sohibul Menara out of scene
Di luar itu, tidak ada letupan letupan konflik yang menaikkan tensi cerita sih.  Makanya review penulis kali ini gak terlalu banyak bertutur tentang jalan cerita di film ini karena ya itu tadi ceritanya gak datar sih tapi lurus lurus saja.  Ada beberapa adegan seru dari novel yang penulis tunggu, tapi tidak muncul dalam film seperti adegan piket malam sampai menggrebek maling yang muncul dari semak di balik sungai; turnamen bola yang melibatkan Kiayi Rais; dan lain-lain.  Belum lagi beberapa hal yang agak menganggu seperti detil yang kurang terperhatikan (*ahh..sepengamatan penulis masalah ini selalu hampir terjadi dan terulang di tiap proyek besar kayak kerudung kusust nan menerawang padahal dipake sama akhwat di AAC) seperti pas di satu adegan apa lupa yang melibatkan cukup banyak figuran, naah kan ceritanya titu settingnya id penghujung tahun 80’an kan, tapi baju para figuran itu sangat kekinian, pun bahan jilbab yang dipakai istri Kiayi beserta anak keponaknannya yang berbahan paris yang kayaknya belum muncul deh tau segitu.  Ada juga kan pas lokasi di luar pondok yang cukup kentara nuansa kekiniannya (ahh…kadang penulis berfikir apa ini Cuma halusinansi penulis belaka atau sebegitu niatnya penulis sampai merhatiin hal-hal “sepele” begituan?). 
Selain itu, pemilihan aktor yang memerankan para sahibul menara pas udah lewat sepuluh tahun kemudian.  Yang paling pas sih ya Ario Wahab yang emang mirip sama A. Fuadi, sementara yang paling menggelitik yaitu dipilihnya Udjo Project Pop sebagai Atang.  Sundanya sih oke-oke aja, dapet, tapi kan maaf postur beliau tidak begitu tinggi sementara yang memerankan Atang remaja itu posturnya relatif tinggi.   Tapi, yang agak aneh juga kan Alif remaja itu terlalu ganteng dan kebulean deh untuk kemudian bertransformasi dalam sosok Ario Wahab—di luar kapasitas aktingnya yang cukup mumpuni.  Eitss….bukan maksud membanding-bandingkan tapi ini bermain logika. 

Meski demikian, secara keseluruhan penulis sangat mengapresiasi film ini.  Kehadiran seorang Donny Alamsyah menjadi salah satu daya dukung utama yang mendorog penulis untuk sesegera mungkin menyambangi bioskop begitu film ini dirilis disamping ya tentu saja novelnya yang sampai bikin penulis pengen jadi santri di pondok tersebut loh… Dan, pas film sudah diputar, ehh..penulis dapet bonus bisa liat lagi Gecha yang adiknya si Vino di “Malaikat Tanpa Sayap”.  Pada akhirnya penulis hanya bisa merekomendasikan film ini sebagai film yang sangat layak tonton apalagi buat para alumni pondok tersebut tentu akan member kesan tersendiri seraya membangkitkan jutaan kenangan indah akan masa-masa kebersamaan bersama kawan-kawan seperjuangan di pondok dulu.  Buat yang masih punya kesempatan nyantri, tonton filmnya, perkuat baca bukunya, niscaya jadi menggebu untuk jadi bagian dari pndok ini dan mengukir sejarah-sejarah bari layaknya Sahibul Menara.  Bener-benar terakhir, hayu segera kunjungi bioskop-bioskop terdekat kesayangan Anda *dan rasakan kembali nonton film Indonesia dengan jumlah penonton yang hampir memadati setengah gedung bioskop di luar film horor dan drama berurai airt mata!*. J






Tidak ada komentar: