Adalah Srintil (Prisia
Nasution) yang bercita-cita menjadi ronggeng sejak kecil terlebih semenjak
insiden bongkrek beracun buatan sang ayah yang menewaskan banyak orang di
kampungnya, termasuk Yu Sunti (Happy Salma) Ronggeng ternama kebanggaan Dusun
Dukuh Paruk di tahun 1953. Sepuluh tahun
berlalu, keinginannya menjadi Ronggeng ditentang Rasus (Oka Antara), sahabat
sekaligus pujaan hatinya semenjak kecil, namun amat didukung sang kakek, Kang
Karya. Sayang, ki Reja (Slamet
Rahardjo), dukun Ronggeng di desa tersebut pada awalnya menolak mempromosikan
Srintil sebagai ronggeng baru di Dukuh Paruk.
Menurutnya, menjadi ronggeng
tidak mudah, dibutuhkan banyak syarat termasuk “restu” dari leluhur yang dipuja
di desa tersebut. Maka, ketika Kang
Karya menggelar “konser mini” di belakang rumahnya pada suatu malam untuk
memperkenalkan cucunya, calon ronggeng baru, pada masyarakat Dukuh Paruk, Ki
Reja yang sangat dinanti kehadirannya bukannya menampakan diri, melainkan malah
menutup rapat-rapat rumahnya sehingga Srintil pun tak kunjung memulai
“aksi”nya. waktu berlalu, malam semakin
larut, tak ada tanda-tanda ki Reja akan keluar rumah dan warga pun satu per
satu meninggalkan “panggung”. Srintil
yang merasa amat terpukul setelah Rasus sebelumnya terang-terangan menunjukkan
ketidaksukaannya akan pilihan Srintil menjadi ronggeng hanya bisa menangisi
nasibnya dan kemudian ngibing (menari) sekenanya diiringi gendang Kang Sakum,
anggota Ronngeng yang meyakini bahwa Srintil bisa menjadi Ronggeng Dukuh Paruk
Baru.
Keesokan harinya, warga
dibuat heboh oleh penemuan dua buah keris yang diyakini dipersembahkan oleh
leluhurnya yang memilih Srintil sebagai ronggeng generasi baru di desanya. Ki Reja pun menjadi tak ragu lagi, apalagi
semenjak ia mendengar lagi tabuhan gendang Kang Sakum setelah sekian tahun
lamanya. Maka, segala persiapan dan
upacara pengesahan Srintil sebagai ronggeng pun digelar dengan bantuan Nyi Reja (Dewi Irawan). Diawali dengan menggelar malam ngibing yang
kemudian disusul upacara buka kelambu dimana sang ronggeng harus menyerahkan
keperawanannya pada mereka yang bisa memberikan penawaran terbaik (baca:
membayar paling mahal) pada malam yang telah ditentukan. Malam itu pun semakin dekat, Srintil yang
ketakutan malah disambut sinis Rasus yang menyatakan bahwa itu adalah bagian
dari resiko atas pilihannya sehingga membuatnya sedih.
Namun, hati tak bisa
bohong. Meski ia tak suka dengan pilihan
Srintil yang mengantarnya menjalani resiko yang menyakitkan itu, toh ia tetap
peduli dan turut merasakan kesedihan kekasih hatinya. Ia selalu menolong srintil di masa-masa
kesedihan dan kegentingan Srintil. Keris
itu sebenarnya bukan muncul tiba-tiba seperti yang difikirkan semua orang di
dusun itu, namun merupakan “hasil karya” Rasus yang diam-diam memperhatikan
Srintil di malam ketika ia tidak jadi menggelar “konser” tempo hari. Nah, sekarang di saat Srintil, yang masih
menunggu dua orang yang masih terlibat “negosiasi” diwarnai cekcok untuk
menjadi seorang yang beruntung memerawani dirinya, bingung sekaligus ketakutan
di malam Buka Kelambu-nya, Rasus kembali datang menghiburnya. Bukan hanya menghiburnya, ia bahkan
“menyelamatkan” Srintil. Saat waktu
dimana ia benar-benar harus melayani sang pemenang negosiasi tiba, ia sudah tak
setakut seblumnya karena toh keperawanannya telah ia serahkan pada orang yang
ia cintai beberapa saat sebelumnya.
Waktu berlalu, Srintil
menjadi ronggeng ternama, dan orderan pelayananya pun meningkat. Rasus
yang seolah mendukung sebenarnya masih tidak rela dengan pilihan
Srintil. Ia bahkan terlibat perkelahian
dengan orang yang terang-terangan menghina status Srintil sebagai ronggeng yang
juga bertugas sebagai pemuas nafsu di hadapan tentara sehingga ia pun
ditangkap. Pasca ditangkap, ia justru
malah direkrut menjadi pegawai yang membantu menggurusi pekerjaan bak pelayan
sebelum akhirnya ikut bergabung sebagai tentara dibawah komando Sersan X (Tio
Pakusadewo) dan Y (Zainal Abidin Domba).
Semenjak saat itu, intensitas pertemuan Rasmus-Srintil pun menjadi
berkurang.
Sementara itu, desa mereka
kedatangan Bakar, seorang intelektual muda asal kota yang diam-diam menyebarkan
propaganda berkedok perjuangan menegakkan nasionalisme. Ia dengan taktisnya mempengaruhi warga bukan
hanya dengan menanmkan pemikiran nasionalisme melainkan juga melakukan pendekatan
budaya yang memang masih sangat ampuh dan efektif di Dukuh Paruk. Ia berdalih kelompok ronggeng kang Reja akan
mendapat job tetap setiap organisasi yang diikuti Bakar mengadakan acara dengan
syarat seluruh personilnya bergabung dalam partainya. Ki Reja yang berorientasi keuntungan mau saja
manut dan ikut menuliskan namanya di daftar yang disediakan Bakar. Srintil dan hampir semua warga Dukun paruh
lainnya masuk dalam organisasi-nya Bakar.
Usut punya usut, ternyata
Bakar ialah antek-antek gerakan yang sedang mengancam stabilitas nasional dan
gemar melakukan pemberontakan di daerah-daerah.
Gerakan yang dikenal sangat berbahaya dan identic dengan warna
merah. Satu per satu warga Dukun Paruh
menghilang. Bakar dkk pun mundur secara
perlahan setelah berhasil mencekoki warga demi menghilangkan jejak. Beruntung, tentara telah berhasil mencium
gerak-geriknya sehingga ia dan kawan-kawannya pun ditangkap dan bahkan beberapa
ditembak mati karena mencoba melarikan diri.
Sayangnya, tidak hanya kawanan Bakar yang ditangkapi, tetapi seluruh
warga Dukun Paruh yang dianggap sudah menjadi bagian kelompok Bakar berdasar
catatan yang mereka temukan, termasuk Srintil!
Dan, lebih miris karena Rasus menjadi salah satu tentara yang menangkapi
warga di desanya sendiri!
Pasca ditangkap, warga
dipaksa mengaku bahwa benar mereka bagian dari kelompok Merah-nya Bakar. Namun, tak satu pun warga yang memang tidak
tahu duduk perkara yang sebenarnya, mau mengaku sehingga berbagai siksaan harus
mereka terima. Rasus yang mengetahui
perihal penangkapan warga kampungnya bergegas kembali ke kampungnya untuk
menemui Srintil yang ternyata juga ikut ditangkap. Disana ia hanya menemukan kang Sakum yang
beringsut ketakutan di dalam rumahnya.
Darinya pula ia tahu bahwa Srintil ikut ditangkap, dan ia pun bergegas
mecari Srintil. Dengan penuh resiko dan
pertaruhan jabatan akhirnya ia berhasil melacak tempat keberadaan Srintil dan
berusaha menyelamatkannya. Namun,
terlambat! Srintil baru saja dinaikan ke kereta tebu untuk dikirim entah
kemana. Rasus hanya bisa meronta sambil
meneriakan namanya di tengah cegatan pasukan penjaga para tahanan itu,
sementara Srintil yang juga mneyadari kehadiran Rasus hanya bisa menangis.
Pasar Dawuan 1975, sebuah
mobil tentara merapat dan seorang tentara yang kemudian diketahui sebagai Rasus
turun di satu pojokan pasar. Ia berjalan
ke arah ronggeng yang sedang menggelar konser jalanan. Ya, Srintil ternyata masih hidup dan ia pun
masih setia menjadi RONGGENG! Namun, kali ini ia bukan lagi ronggeng yang
dihormati secara status sosial dan ronggeng yang dikagumi kecantikan wajah dan
tubuhnya, serta bukan pula ronggeng yang harus lagi mempersembahkan tubuhnya
pada mereka yang bisa menggelontorkan uang dalam jumlah yang banyak. Kini, ia hanyalah ronggeng jalanan yang
“ngamen” di pasar di siang hari dan hanyan ditonton segelintir orang saja. Wajahnya sudah tak sesegar dan semuda dahulu,
tubuhnya sudah menjadi kurus kering, geraknya pun tak lagi selincah masa
keemasannya dulu, namun dua hal yang pasti Srintil tetaplah ronggeng dan ia
masih ditemani oleh alunan gendang Kang Sakum di setiap penampilannya. Rupanya, Rasus datang untuk memberikan dua
buah pahatan keris yang diberikannya belasan tahun silam sebelum Srintil
menjadi Ronggeng. Srintil yang sedang
ngibing pun sempat ketakutan dan lantas cepat-cepat mengehnatikan tariannya
sambil terburu-buru meminta bayaran pada para penonton. Setelah mengambil keris itu dari Rasus, ia
dengan sedikit terbirit menjauh dari Rasus bersama Kang Sakum. Setelah merasa aman, di tengah jalan diantara
padang ilalang ia berjalan sambil ngibing dengan perasaahn bahagia.
*My own Review*
Penulis nonton film ini tepat
di hari perdana pemutaran film ini, dan (as usual) seorang diri! Karena (juga
seperti biasa) teman-teman penulis ogah dan kadung mestereotipkan film ini
sebagai “another Indonesian Movie” which is mostly not recommended to see! Padahal, kan, kan,kan Film ini qualified
atuh! Buktinya? Noh Piala Citra. Yap,
ini film baru aja dapet penghargaan sebagai yang terbaik di kategori Film. Sang Sutradara, Ifa Isfansyah pun dapet award
di kategori Sutradara terbaik. Belum
lagi si Srintil sama nyi Reja yang masing-masing diperankan Prisia Nasution dan
Dewi Irawan pun gak ketinggalan dapet penghargaan juga di kategori Pemeran
Utama dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik.
Masih bisa bilang ini film gak layak tonton? Okelah, pada akhirnya semua
kembali ke preferensi masing-masing.
Kan, setiap orang juga udah punyaa genre favoritnya masing-masing, so
susah juga ya kalo dipaksa suka! Heuu.
Well, tapi ya wahai kalian plis lah jangan nyamain film ini kayak film
terakhirnya tertalogi kisah Edward Cullen-Bella Swan yang konon (karena belum
nonton dan gak—emm..belum minat denk—nontonnya) banyak adegan yang bikin
penonton kayak sebagian besar temen-temen penulis mual. Oke, dari trillernya emang ada adegan yang
cukup syur dan memang di beberapa bagian begitu, tapi kita gak bisa donk
ngejudge kalau film itu setipe sama film esek-sek yang rajin nampil di layar
bioskop. Kisah Srintil ini ya
merepresentasikan keteguhan Srintil menjadi seorang ronggeng demi meraih
self-dignity dan self-satisfaction. Belum
lagi unsur politis yang dihadirkan melalui sosok Bakar. In short, this is one of the best Indonesian
movie this year, even it has become the best, so watch it! J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar