Selasa, 13 Desember 2011

Sang Penari: Budaya Berabalut Romansa dan Politik

Adalah Srintil (Prisia Nasution) yang bercita-cita menjadi ronggeng sejak kecil terlebih semenjak insiden bongkrek beracun buatan sang ayah yang menewaskan banyak orang di kampungnya, termasuk Yu Sunti (Happy Salma) Ronggeng ternama kebanggaan Dusun Dukuh Paruk di tahun 1953.  Sepuluh tahun berlalu, keinginannya menjadi Ronggeng ditentang Rasus (Oka Antara), sahabat sekaligus pujaan hatinya semenjak kecil, namun amat didukung sang kakek, Kang Karya.  Sayang, ki Reja (Slamet Rahardjo), dukun Ronggeng di desa tersebut pada awalnya menolak mempromosikan Srintil sebagai ronggeng baru di Dukuh Paruk.

Menurutnya, menjadi ronggeng tidak mudah, dibutuhkan banyak syarat termasuk “restu” dari leluhur yang dipuja di desa tersebut.  Maka, ketika Kang Karya menggelar “konser mini” di belakang rumahnya pada suatu malam untuk memperkenalkan cucunya, calon ronggeng baru, pada masyarakat Dukuh Paruk, Ki Reja yang sangat dinanti kehadirannya bukannya menampakan diri, melainkan malah menutup rapat-rapat rumahnya sehingga Srintil pun tak kunjung memulai “aksi”nya.  waktu berlalu, malam semakin larut, tak ada tanda-tanda ki Reja akan keluar rumah dan warga pun satu per satu meninggalkan “panggung”.  Srintil yang merasa amat terpukul setelah Rasus sebelumnya terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya akan pilihan Srintil menjadi ronggeng hanya bisa menangisi nasibnya dan kemudian ngibing (menari) sekenanya diiringi gendang Kang Sakum, anggota Ronngeng yang meyakini bahwa Srintil bisa menjadi Ronggeng Dukuh Paruk Baru.

Keesokan harinya, warga dibuat heboh oleh penemuan dua buah keris yang diyakini dipersembahkan oleh leluhurnya yang memilih Srintil sebagai ronggeng generasi baru di desanya.  Ki Reja pun menjadi tak ragu lagi, apalagi semenjak ia mendengar lagi tabuhan gendang Kang Sakum setelah sekian tahun lamanya.  Maka, segala persiapan dan upacara pengesahan Srintil sebagai ronggeng pun digelar dengan bantuan Nyi Reja (Dewi Irawan).  Diawali dengan menggelar malam ngibing yang kemudian disusul upacara buka kelambu dimana sang ronggeng harus menyerahkan keperawanannya pada mereka yang bisa memberikan penawaran terbaik (baca: membayar paling mahal) pada malam yang telah ditentukan.  Malam itu pun semakin dekat, Srintil yang ketakutan malah disambut sinis Rasus yang menyatakan bahwa itu adalah bagian dari resiko atas pilihannya sehingga membuatnya sedih.

Namun, hati tak bisa bohong.  Meski ia tak suka dengan pilihan Srintil yang mengantarnya menjalani resiko yang menyakitkan itu, toh ia tetap peduli dan turut merasakan kesedihan kekasih hatinya.  Ia selalu menolong srintil di masa-masa kesedihan dan kegentingan Srintil.  Keris itu sebenarnya bukan muncul tiba-tiba seperti yang difikirkan semua orang di dusun itu, namun merupakan “hasil karya” Rasus yang diam-diam memperhatikan Srintil di malam ketika ia tidak jadi menggelar “konser” tempo hari.  Nah, sekarang di saat Srintil, yang masih menunggu dua orang yang masih terlibat “negosiasi” diwarnai cekcok untuk menjadi seorang yang beruntung memerawani dirinya, bingung sekaligus ketakutan di malam Buka Kelambu-nya, Rasus kembali datang menghiburnya.  Bukan hanya menghiburnya, ia bahkan “menyelamatkan” Srintil.  Saat waktu dimana ia benar-benar harus melayani sang pemenang negosiasi tiba, ia sudah tak setakut seblumnya karena toh keperawanannya telah ia serahkan pada orang yang ia cintai beberapa saat sebelumnya.

Waktu berlalu, Srintil menjadi ronggeng ternama, dan orderan pelayananya pun meningkat.  Rasus  yang seolah mendukung sebenarnya masih tidak rela dengan pilihan Srintil.  Ia bahkan terlibat perkelahian dengan orang yang terang-terangan menghina status Srintil sebagai ronggeng yang juga bertugas sebagai pemuas nafsu di hadapan tentara sehingga ia pun ditangkap.  Pasca ditangkap, ia justru malah direkrut menjadi pegawai yang membantu menggurusi pekerjaan bak pelayan sebelum akhirnya ikut bergabung sebagai tentara dibawah komando Sersan X (Tio Pakusadewo) dan Y (Zainal Abidin Domba).  Semenjak saat itu, intensitas pertemuan Rasmus-Srintil pun menjadi berkurang.

Sementara itu, desa mereka kedatangan Bakar, seorang intelektual muda asal kota yang diam-diam menyebarkan propaganda berkedok perjuangan menegakkan nasionalisme.  Ia dengan taktisnya mempengaruhi warga bukan hanya dengan menanmkan pemikiran nasionalisme melainkan juga melakukan pendekatan budaya yang memang masih sangat ampuh dan efektif di Dukuh Paruk.  Ia berdalih kelompok ronggeng kang Reja akan mendapat job tetap setiap organisasi yang diikuti Bakar mengadakan acara dengan syarat seluruh personilnya bergabung dalam partainya.  Ki Reja yang berorientasi keuntungan mau saja manut dan ikut menuliskan namanya di daftar yang disediakan Bakar.  Srintil dan hampir semua warga Dukun paruh lainnya masuk dalam organisasi-nya Bakar.

Usut punya usut, ternyata Bakar ialah antek-antek gerakan yang sedang mengancam stabilitas nasional dan gemar melakukan pemberontakan di daerah-daerah.  Gerakan yang dikenal sangat berbahaya dan identic dengan warna merah.  Satu per satu warga Dukun Paruh menghilang.  Bakar dkk pun mundur secara perlahan setelah berhasil mencekoki warga demi menghilangkan jejak.  Beruntung, tentara telah berhasil mencium gerak-geriknya sehingga ia dan kawan-kawannya pun ditangkap dan bahkan beberapa ditembak mati karena mencoba melarikan diri.  Sayangnya, tidak hanya kawanan Bakar yang ditangkapi, tetapi seluruh warga Dukun Paruh yang dianggap sudah menjadi bagian kelompok Bakar berdasar catatan yang mereka temukan, termasuk Srintil!  Dan, lebih miris karena Rasus menjadi salah satu tentara yang menangkapi warga di desanya sendiri!

Pasca ditangkap, warga dipaksa mengaku bahwa benar mereka bagian dari kelompok Merah-nya Bakar.  Namun, tak satu pun warga yang memang tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya, mau mengaku sehingga berbagai siksaan harus mereka terima.  Rasus yang mengetahui perihal penangkapan warga kampungnya bergegas kembali ke kampungnya untuk menemui Srintil yang ternyata juga ikut ditangkap.  Disana ia hanya menemukan kang Sakum yang beringsut ketakutan di dalam rumahnya.  Darinya pula ia tahu bahwa Srintil ikut ditangkap, dan ia pun bergegas mecari Srintil.  Dengan penuh resiko dan pertaruhan jabatan akhirnya ia berhasil melacak tempat keberadaan Srintil dan berusaha menyelamatkannya.  Namun, terlambat! Srintil baru saja dinaikan ke kereta tebu untuk dikirim entah kemana.  Rasus hanya bisa meronta sambil meneriakan namanya di tengah cegatan pasukan penjaga para tahanan itu, sementara Srintil yang juga mneyadari kehadiran Rasus hanya bisa menangis.

Pasar Dawuan 1975, sebuah mobil tentara merapat dan seorang tentara yang kemudian diketahui sebagai Rasus turun di satu pojokan pasar.  Ia berjalan ke arah ronggeng yang sedang menggelar konser jalanan.  Ya, Srintil ternyata masih hidup dan ia pun masih setia menjadi RONGGENG! Namun, kali ini ia bukan lagi ronggeng yang dihormati secara status sosial dan ronggeng yang dikagumi kecantikan wajah dan tubuhnya, serta bukan pula ronggeng yang harus lagi mempersembahkan tubuhnya pada mereka yang bisa menggelontorkan uang dalam jumlah yang banyak.  Kini, ia hanyalah ronggeng jalanan yang “ngamen” di pasar di siang hari dan hanyan ditonton segelintir orang saja.  Wajahnya sudah tak sesegar dan semuda dahulu, tubuhnya sudah menjadi kurus kering, geraknya pun tak lagi selincah masa keemasannya dulu, namun dua hal yang pasti Srintil tetaplah ronggeng dan ia masih ditemani oleh alunan gendang Kang Sakum di setiap penampilannya.  Rupanya, Rasus datang untuk memberikan dua buah pahatan keris yang diberikannya belasan tahun silam sebelum Srintil menjadi Ronggeng.  Srintil yang sedang ngibing pun sempat ketakutan dan lantas cepat-cepat mengehnatikan tariannya sambil terburu-buru meminta bayaran pada para penonton.  Setelah mengambil keris itu dari Rasus, ia dengan sedikit terbirit menjauh dari Rasus bersama Kang Sakum.  Setelah merasa aman, di tengah jalan diantara padang ilalang ia berjalan sambil ngibing dengan perasaahn bahagia. 


*My own Review*
Penulis nonton film ini tepat di hari perdana pemutaran film ini, dan (as usual) seorang diri! Karena (juga seperti biasa) teman-teman penulis ogah dan kadung mestereotipkan film ini sebagai “another Indonesian Movie” which is mostly not recommended to see!  Padahal, kan, kan,kan Film ini qualified atuh! Buktinya? Noh Piala Citra.  Yap, ini film baru aja dapet penghargaan sebagai yang terbaik di kategori Film.  Sang Sutradara, Ifa Isfansyah pun dapet award di kategori Sutradara terbaik.  Belum lagi si Srintil sama nyi Reja yang masing-masing diperankan Prisia Nasution dan Dewi Irawan pun gak ketinggalan dapet penghargaan juga di kategori Pemeran Utama dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik.  Masih bisa bilang ini film gak layak tonton? Okelah, pada akhirnya semua kembali ke preferensi masing-masing.  Kan, setiap orang juga udah punyaa genre favoritnya masing-masing, so susah juga ya kalo dipaksa suka! Heuu.  Well, tapi ya wahai kalian plis lah jangan nyamain film ini kayak film terakhirnya tertalogi kisah Edward Cullen-Bella Swan yang konon (karena belum nonton dan gak—emm..belum minat denk—nontonnya) banyak adegan yang bikin penonton kayak sebagian besar temen-temen penulis mual.  Oke, dari trillernya emang ada adegan yang cukup syur dan memang di beberapa bagian begitu, tapi kita gak bisa donk ngejudge kalau film itu setipe sama film esek-sek yang rajin nampil di layar bioskop.  Kisah Srintil ini ya merepresentasikan keteguhan Srintil menjadi seorang ronggeng demi meraih self-dignity dan self-satisfaction.  Belum lagi unsur politis yang dihadirkan melalui sosok Bakar.  In short, this is one of the best Indonesian movie this year, even it has become the best, so watch it! J


Tidak ada komentar: