Pendidikan bisa dijadikan sebagai alat pengukur kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang maju adalah bangsa yang memiliki kualitas pendidikan yang baik. Negara-negara maju seperti Jepang telah berhasil membuktikan bahwa dengan kualitas pendidikan yang sangat baik bisa menjadikan mereka sebagai Negara yang produktif. Siapa yang tak kenal Jepang, dengan produk elektronik dan otomotifnya yang tersohor telah menjadikannya sebagai Macan Asia. Reputasinya di dunia internasional pun tak diragukan lagi. Semua itu tak lepas dari kepedulian pemerintah Jepang yang teramat tinggi di bidang pendidikan.
Sementara, Selama ini sector pendidikan di Indonesia cenderung tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Bangunan-bangunan sekolah yang sudah tak layak huni, buku pelajaran yang terus menerus berganti, biaya sekolah yang tak kunjung murah (meskipun sudah disubsidi dengan BOS), juga rendahnya kesejahteraan guru menjadi permasalahan-permasalahan yang melatarbelakangi masih rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, dari berbagai masalah tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa “aktor” utama dari berbagai problematika di atas tak lain adalah soal anggaran pendidikan itu sendiri. Selama ini anggaran pendidikan Indonesia masih yang terendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, seperti India yang sudah bisa mengratiskan biaya sekolah. Seharusnya sesuai dengan yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 Ayat 4, bahwa pemerintah harus mengalokasikan dana sekurang-kurangnya 20% untuk anggaran pendidikan. Namun, selama ini anggaran yang dialokasikan justru tak lebih dari 10%. Hal itulah yang kemudian menjadi bahan tuntutan para pendidik dan orang-orang yang bergelut di bidang pendidikan.
Kita sering kali terlalu terfokus pada pembenahan infrastruktur seperti rekontruksi bangunan sekolah yang sudah hampir ambruk, juga pergantian sistem pendidikan (kurikulum) yang sebenarnya kurang jelas arahannya, dengan alasan mencari system yang paling tepat untuk diterapkan di Indonesia ini. Padahal sesungguhnya hal yang paling mendasar yang mesti kita benahi adalah kualitas pendidikannya itu sendiri. Hal ini tentu tak lepas dari peranan para pendidik. Pendidik yang berkualitas akan mampu menghasilkan murid-murid yang berkualitas pula, yang cakap, intelek, dan mempunyai daya saing.
Permasalahnya saat ini adalah rendahnya minat para calon mahasiswa untuk meneruskan profesi mulia sebagai seorang pendidik (guru). Hal ini mempengaruhi tidak hanya kuantitas pendidik itu sendiri, tetapi juga kualitasnya secara keseluruhan. Rendahnya kesejahteraan guru memang menjadi faktor utama yang menyebabkan kurangnya minat terhadap profesi yang luhur tesebut. Imbasnya, jumlah tenaga pendidik di Indonesia menjadi semakin berkurang saja, yang secara tidak langsung mempengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia sendiri. Terutama bagi sekolah yang berada di daerah terpencil. Jarang ada orang yang bersedia menempuh jarak puluhan kilo demi mengajar siswa pedalaman, dengan gaji yang tak seberapa. Ada pun relawan yang bersedia adalah mereka yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan. Setidaknya, jangan biarkan mereka menajdi generasi yang buta huruf. Bagaimanapun mereka tetap bagian dari bangsa Indonesia yang berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Dan bukannkah hal tersebut sudah menjadi tugas pemerintah, sejalan dengan salah satu tujuan luhur bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD I945, yaitu unttuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selain permasalahan tadi, selama ini pemerintah Indonesia cenderung mengukur mutu pendidikan di Indonesia dengan berorientasi kepada hasil belaka, tanpa memedulikan proses. Contoh nyatanya adalah pelaksanaan Ujian Nasional. Pendidikan yang ditempuh selama bertahun-tahun hanya ditentukan dalam tiga hari. Jika berhasil memenuhi standar nilai yang ditetapkan pemerintah maka ia lulus, tetapi jika tidak ia terpaksa harus mengulang atau terpaksa menantongi ijazah dari “almamater “ yang lain jika ia memilih mengikuti ujian susulan paket. Pemerintah pun setiap tahunnya selalu menaikan nilai standar lelulusan UN, dari kisaran 3 hingga tahun ini berada di angka 5,5, belum lagi penambahan jumlah mata pelajaran yang diUNkan. Pemerintah berargumen bahwa hal tersebut dilakukan semata untuk peningkatan kualitas pendidikan Indonesia, agar bisa sejajar dengan Singapura dan Malaysia yang standar kelulusannya berkisar di atas 7. Jika memang kualitas pendidikan di Indonesia diukur dari kuantitas lulusan dan nilai UN, maka berbanggalah pemerintah Indonesia.
Secara kuantitas jumlah lulusan di Indonesia memang cukup membanggakan, tetapi secara kualitas yang sesungguhnya sangat diragukan. Dengan sistem yang demikin, pemerintah justru menjerumuskan rakyatnya ke dalam lembah kemunduran intelektual. Betapa tidak, demi memenuhi standart nilai UN, banyak sekolah, terutama swasta, yang melakukan berbagai cara bahkan cara yang sama sekali tidak halal agar semua murid sekolah tersebut lulus UN. Mereka melakukan hal yang ekstrim namun sudah lumrah, yakni guru sekolah yang bersangkutan memberi bocoran pada siswanya. Maka tidak heran jika banyak sekolah swasta yang secara kualitas dibawah sekolah negeri tetapi mampu menjadi sekolah dengan nilai rata-rata UN tertinggi. Kita pun tentunya tidak bisa menyalahkan pihak sekolah begitu saja. Karena bagaimanapun mereka hanya tidak ingin melihat siswanya gagal. Jelaslah bahwa peningkatan standar nilai tersebut semata-mata hanya demi pemenuhan target pemerintah guna mengimbangi Negara tetangga saja, tanpa memerhatikan kondisi real pendidikan di Indonesia itu sendiri. Jika demikian apakah layak disebut berkualitas?
Kabar yang selama ini ditunggu pun tiba. Pada bulan Agustus 2008 yang lalu, dalam pidato kepresidenannya, orang nomor satu di negeri ini akhinya mengumumkan bahwa anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN akan direalisasikan di tahun 2009. Banyak pihak, tetutama yang bersinggungan langsung dengan dunia pendidikan menyambut baik kabar ersebut, namun tak sedikit pula yang meragukannya.
Keraguan banyak pihak tak lain adalah mngenai pemanfaatannya, yang dikhawatirkan jika memang bernar terealisasi akan banyak dikorupsi oleh pihak yang berwenang (mengingat korupsi bukanlah hal yang asing di negeri tercinta ini), disamping hal tersebut hanya semata pemenuhan tuntutan Mahkamah Konstitusi, terkait pengalokasian anggaran pendidikan tersebut. Maka dari itu, Depdiknas mengajukan peyediaan Lembaga Pengawas, dalam hal ini KPK, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan perguruan Tinggi (PT) untuk mengawasi keluar-masuknya anggaran. Diakui juga oleh Mendiknas, Bambang Sudibyo, bahwa tambahan dana sekitar 46,1 triliun kepada Depdiknas dari sebelumnya sekitar 154,2 triliun atau meningkat hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya, jadi totalnya mencapai 224 triliun bukanlah hal yang mudah untuk dikelola. Belum adanya program yang jelas membuat dana sebanyak itu akan menjadi mubadzir saja saat ini karena bagaimanapun ketidakpastian program jelas mempengaruhi pengelolaannya. Sebetulnya anggaran sebanyak itu tidak hanya milik Depdiknas, namun dialokasikan juga untuk Departemen Agama.
Adapun rencana pemanfaatannya sendiri, yakni untuk peningkataan anggaran bagi program wajib belajar sembilan tahun, sekolah menengah atas dan perguruan tinggi, penelitian, besiswa pendidikan bagi peraih medali di olimpiade, juga kesejahteraan guru. Berkaitan dengan hal yang disebut terakhir, dengan dipenuhinya anggran pendidikan sebesar 20% dari APBN 2009 tersebut, pemerintah berencana akan menaikan gaji guru dan pensiunan sebesr 15% di tahun 2009 ini. Gaji guru golongan terendah akan dinaikan sebanyak 2,5 kali dari 842,6 ribu rupiah per bulan pada tahun 2004 menjadi 1.854 juta rupiah per bulan di tahun 2009. Disamping itu, perbaikan bangunan-bangunan sekolah yang sudah tidak layak huni pun, baik swasta maupun negeri juga menjadi prioritas utama pemanfaatan anggara tersebut.
Namun, hingga saat ini hal-hal di atas belum dapat terealisasi dengan optimal, seperti peningkatan gaji ruru sebanyak 15% tersebut belum bisa dinikmati. Saat ini, hal tersebut memang masih bisa dimaklumi mengingat program tersebut merupakan program yang baru sehingga belum efektif. Akan tetapi jika hal tersebut terus menerus bibiarkan, akan menimnulkan pertanyaan tersendiri, kemanakah larinya dana sebesar 224 triliun tersebut? Maka dari itu pemerintah, dalam hal ini Depdiknas harus benar-benar membuat sebuah program yang jelas, berkualitas dan terarah sehingga pengelolaan dana tersebut bisa berjalan dengan baik. Tidak lupa pula Depdiknas harus melalukan transparasi dana terhadap masyarakat demi menghindari peluang korupsi yang terbuka lebar, sehubungan dengan melimpahnya dana pendidikan tahun ini.
Bukan rahasia lagi jika para pejabat di negeri ini memang hobi “mengalihsakukan” uang rakyat, dan untuk hal yang satu itu Indonesia mencetak suatu “prestasi” tersendiri dengan masuk ke jajaran 10 negara terkorup di dunia! Untuk itu, transparansi dari depdiknas juga pengawasan yang ketat dari lembaga pengawas yang tadi menjadi teramat penting. Semua hal di atas semata untuk peningkatan mutu pendidikan di Indonesia sehingga bisa bersaing dengan Negara lain.
Di saat pemerintah bersiap merelisasikan 20% anggaran pendidikan dari APBN 2009, DPR jusstru mensahkan UU Badan Hukum Pendidikan, yang menuntut komersialisasi lembaga pendidikan, universitas. Hal ini memungkinkan lemabaga pendidikan memungut biaya yang lebih besar kepada mahasiswanya. Dengan BHP, maka lembaga pendidikan menjadi seperti badan usaha, yang mana bisa mendapat modal dari mana saja, dan disini objek utamanya adalah mahasiswa itu tadi. Universitas bisa dengan leluasa menaikan pungutan terhadap para siswa dan mahasiswa. Hal ini dinilai akan sangat mendiskriminasi mereka, para mahasiswa yang perekonomian keluarganya kurang. celah bagi mereka untuk bisa bersaing di dunia kampus menjadi semakin sempit saja, bahkan tidak menutup kemungkinn untuk tak menyisakan celah sama sekali. Jadi dalam bahasa kasarnya, nantinya kampus adalah tempat bagi mereka yang beruang saja, bukan lagi mereka yang berilmu. Selain itu, UU tersebut juga dinilai sebagai bentuk lepas tangan pemerintah terhadap biaya pendidikan. Tidak heran seak disahkannya UU tersebut, pro dan kontra menyeruak, berbagai unjuk rasa oleh mahasiswa pun digelar di berbagai kota sebagai aksi penolakan terhadap UU tersebut.
Anggaran 20% pun belum jelas realisasinya, titambah lagi dengan UU BHP. Akan seperti apa nasib pendidikan Indonesia nantinya? Kita hanya bisa berharap bahwa apapun program pemerintah terhadap pendidikan ini nantinya memang akan memberikan dampak yang baik terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia. Semoga seluruh anak-anak bangsa Indonesia nantinya bisa mencicipi pendidikan yang layak. Bagaimanapun mereka merupakan aset bangsa yang nantinya akan menggantikan kita untuk membangun Negara ini. Mari secara bersama-sama kita benahi pendidikan di Indonesia.
Selasa, 10 Februari 2009
Rabu, 05 November 2008
Eloknya Bumi Siliwangi
Pertama kali melangkahkan kaki di almamater tercinta, yang merupakan salah satu dari beberapa universitas yang ada di dataran parahyangan ini, diri ini langsung terkagum-kagum dengan kemegahan bangunan empat lantai yang kokoh berdiri nan rupawan menyambut siapa saja yang hendak memasuki ataupun hanya sekedar lewat UPI. Megahnya bangunan dipadu dengan arna yang ciamik semakin menambah pesona bangunan yang satu ini. Letaknya yang amat strategis, yakni tepat di depan pintu gerbang utama kampus bumi siliwangi ini makin membuat bangunan ini tekenal. Tempat ini tak lain merupakan pusat pengkajian keislaman sehingga dikenal dengan istilah ITC. Ya, tempat tersebut tak lain merupakan tempat beribadah bagi kaum muslim, rumah Allah. Mesjid nan menaan ini dinamai Al Furqan. Mesjid ini bukan hanya sekedar digunakan untuk tempat peribadatan semata, melainkan juga untuk kegiatan keislaman lainnya seperti mentoring, dll. Selain itu tempat ini pun tak jarang dijadikan sebagai tempat sepasang sejoli mengikrarkan Ijab Kabul guna melaksanakan salah satu syarat wajib sunah rasul untuk berkeluarga. Di sekitar bangunan yang elok ini dikelilingi oleh selasar dan juga rerumputan. Sementara di bagian depannya ddilengkapi dengan lapangan beserta sebuah menara. Tak jauh dari Al Furqan, lagi-lagi saya berdecak kagum dengan sebuah bangunan kuno nan unik. Bangunan bercat putih dengan gaya atr deco ini sudah berdiri jauh sebelum kampus ini berdiri. Dulunya bangunan yang kini menjadi kantor pimpinan terringgi di universitas, yakni rector beserta stafnya ini merupakan sebuah vila milik seorang Italia. Namun, di masa pemerintahan Belanda vila ini berhasil dikuasai sebelum akhirnya dijual untuk kemudian dijadikan kampus. Bangunan dengan nilai sejarah yang tinggi ini sekaligus menjadi mascot tersendiri bagi perguruan tinggi yang dulu bernama IKIP ini sampai dengan sekarang. Jika Al furqon bercokol di depan gerbang utama ini, maka gedung kuno yang satu ini lebih dekat apabila ditempuh dari pintu utara UPI. Vila Isola namanya, tetapi ada pula yang menyebutnya Partere, sesuai dengan nama taman yang terletak tepat di halaman depan gedung ini. Arsiterktur yang unik dan nilai sejarah yang tinggi cukup menjadikan bangunan ini sebagai ciri khas UPI. Ditambah lagi dengan pemandangan yang indah di sore hari yang cerah, makin menambah pesona bangunan ini. Maka tak heran jika bagunan yang satu ini pun menarik bnayak pihak untuk ‘memanfaatkan’ pesonanya, seperti dijadikan lokasi syuting. Di samping dua bangunan megh nan elok tadi, masih ada hal-hal yang membuat saya tertegun dengan universitas ini. Gedung fakultaslah pelakunya. UPI ini sendiri terdiri dari 6 fakultas yang masing-masing telah dilengkapi dengan sedung baru yang berarsitekrut modern dan dilengkapi dengan pelbagai fasilitas yang tak kalah modern, seperti Lift. Dimulai dengan FPTK di ujung selatan, berdampingan dengan Al-Furqon. Sementara itu naik ke utara bersokol dengan megahnya FPBS, besebrangan dengan Partere. Tepat di belakang gedung berlantai lima tersebut berdiri kokoh gedung lima lantai tempat dimana mereka orang-orang yang bergelut dengan ilmu social menuntut ilmu. Satu baris dengan FPIPS ke sebelah selatan, bnagunan yang tak kalah megah menjulang di balik kekokohan Al-furqon. Gedung yang terdiri dari lima lantai ini merupakan tempat bagi mereka yang hendak meraih gelar master di bidangnya masing-masing. Sementara itu tiga bangunan lainnya berada di bagian belakang kampus pendidikan ini. Dimulai dari FIP, dimana mereka yang menuntut ilmu pengetahuan “khusus’ belajar, yang terletak persis di depan gudang ilmu, perpustakaan. Tak jauh dari situ terdapat FPOK, yang sebenarnya mempunyai kampus lain di daeah Padasuka. Bangunan fakultas terakhir, yang merupakan fakultas yang banyak berkutat dengan laboratorium dan praktikum ini sekaligus menjadi bangunan penutup yang mewah untuk UPI. Meskipun lokasinya nampak tidak begitu strategis dan tersembunyi, namun tetap saja tak mampu menutupi kemegahan bangunan ini. Gedung yang juga terkenal dengan nama JICA ini konon merupakan sumbangan dari Jepang. Maka tak heran jika nuansa negeri sakura tersebut begitu melekat di banguna tersebut. Ada satu hal yang membuat saya terpana dengan bangunan ini, yakni bagian atap yang dibentuk seolah menyerupai atap rumah adapt orang Minang, Rumah Gadang. Saya tidak tahu pasti apakah itu memang sebuah kebetulan atau memang begitulah arsitektur aslinya, yang pasti hal tersebut membuat bangunan yang katanya (dan sepertinya memang benar) menjadi bangunan fakultas yang termegah seklaigus termewah di antara gedung fakultas lainnya. Selain hal-hal di atas masih banyak sudut-sudut yang menarik perhatian saya, seperti kemegahan gymnasium dan masih banyak lagi. Satu hal yang pasti, secara keseluruhan UPI merupakan universitas yang elok nan rupawan serta modern juga artistik, sehingga saya bangga menjadi bagian dari keluarga besar bumi siliwangi ini.
Selasa, 21 Oktober 2008
Indonesia Jadi Tuan Rumah the 1st ABG !!!!
wow...ini adalah suatu gebrakan. Gimana enggak, di tengah krisis global Indonesia bisa-biosanya jadi tuan rumah ABG a.k.a Asian Beach Game, yang pertama pula! selain itu, dari semula hanya ditargetkan untuk meraih 4 medali emas, Indonesia justru berhasil meraih 8 emas sampai hari kedua kemarin. Cabang-cabang yang nyumbangin emas buat Indonesia di antaranya perahu naga dan pencak silat. Padahal di cabang perahu naga Indonesia biasanya tidak pernah menang darl pasukan Myanmar di putra dan tim Cina di putri, di event-event lain seperti ASIAN GAMES. tapi sekarang Indonesia justru berjaya di nomor ini. Di nomor 1000M nisalnya, Indonesia berhasil mengungguli Myanmar di putra dan Cina di putri. Selain itu di pencak silat, Indonesia juga mampu menunjukan dominasinya. namanya ASIAN BEACH GAMES, otomatis seluruh cabang olah raga yang dipertandingkan dan diperlombakan, digelar di luar ruangan tau lebih tepatnya di pantai. Cabang layar juga berhaisl menyumbangkan medali emas melalui peselancar lokal asal Bali. tak mau kalah binaraga juga berhasil menyumbangkan 2 emas bagi kontingen Indonesia. hingga hari ketiga ini masih ada beberapa cabang yang masih menggalar babak penyisihan, dimana Indonesia berpeluang menambah perolehan medali, yaitu dari cabang pencak silat dan voli pantai. klta doakan saja semoga tim merah putoh berhasil memberikan yang terbaik. Pancapaian ini tentunya membawa angin segar di kancah olah raga nasional sekaligus sebagai pembuktian kepada dunia lnternasional bahwa Indonesia tidak bisa di pandang sebelah mata di dunia olah raga. Hal ini juga tentunya harus menjadi bahan garapan KONI untuk lebih serius lagi dalam membina cabang olah raga pantai yang ternyata sangat potensial dan mampu berbisara banyak di kancah ASIA. Semoga saja prestasi tersebut bukan semata karena faktor "tuan rumah", tapl karena Indonesia memang mampu bersaing dengan negara lain. Di samping itu, hal positif lain yang bisa diambil dari penyelenggaraan ABG di Bali adalah sebagai ajang pemulihan citra pariwisata INdinesia, Bali khususny, di kncah internasional. Sebagaimana kita ketahui pasca insiden bom Bali dunia internasional bamyak yang menerbitkan larangan berkunjung terhadap Indonesia.
Senin, 15 September 2008
Sekelumit Tentang Febri
Febri adalah nama panggilan dari seorang mahasiswi yang betnama lengkap Febriyani Nuril Akmaliyah. Sesuai dengan namanya dan sesuai prediksi orang yang mendengar namanya, dia dilahirkan di bulan kedua dalam kalender masehi, di bulan yang menurut banyak orang romantis, yaitu Februari pada tanggal 25, di ibukota Jawa Barat yang puluhan tahun lalu mendapat julukan Parisj Van Java karena keelokkan kotanya, yaitu Bandung. Febri terlahir sebagai anak pertama dari 5 bersaudara dari sepasang suami istri yang sama-sama berfrofesi sebagai PNS, lebih spesifiknya guru. Bukan suatu hal yang disengaja jika pada akhirnya dia memilih Pendidikan Bahasa Inggris di UPI sebagai jenjang pendidikan lanjutannya setelah lulus dari SMAN 14 Bandung, dalam rangka melanjutkan profesi orang tua. Hobinya adalah menonton film. Dia tidak mempunyai jenis film favorit tertentu, karena baginya ketika menonton hal pertama yang menjadi pertimbangan adalah 3 hal: pemeran, sutradara, dan cerita. Jadi tidak peduli jenis ceritanya apa asal ketiga hal atau bahkan 1 hal diatas terpenuhi maka tak segan ia untuk menonton film tersebut. tapi, hal itu tidak berlaku untuk satu jenis film, yaitu film yang mengandalkan suara-suara yang menaikan bulu kuduk, pencahayaan yang suram, hingga gambar mahluk-mahluk yang aneh-baca: menyeramkan- yang muncul secara tiba-tiba, alias film horor!! Selain film lokal dan hollywood, ia juga menggemari film-film dan serial dari Asia Timur sana, terutama yang berasal dari negeri gingseng Korea. disamping itu dia juga punya ketertarikan di olahraga, maksudnya ia pun sangat menikmati pertandingan-pertandingan olah raga, seperti sepak bola ( ILP khususnya), voli, motoGP, dan terutama bulu tangkis yang merupakan olah raga kebanggaan Indonesia. selain itu ia juga sangat senang menonton event-event olah raga besar, dari mulai PON hingga Olympiade. Di luar itu menulis adalah salah satu hobi terpendamnya, maka dari itu obsesi terbesarnya saat ini adalah menghasilkan sebuah tulisan utuh, minimal cerpen. bukan untuk dipublikasikan, melainkan untuk mendapat kepuasan tersendiri.Dan tentu saja menjadi penulis adalah salah satu cita-citanya.
Langganan:
Postingan (Atom)