Rabu, 08 Desember 2010

Tahun Baru Islam dalam Tradisi (Ritual) Indonesia

Bulan Muharam merupakan bulan pertama menurut penanggalan islam. Artinya, tanggal satu muharam pun kemudian selalu diperingati sebagai tahun barunya umat islam. Tahun baru sering kali dijadikan sebagi sebuah awal yang baru, pijakan baru, start baru dalam dalam menapaki kehidupan selama setahu ke depan, sebelum berjumpa kembali dengan tahun berikutnya. Dan sebagai awal untuk menapaki keidupan yang baru, tahun baru sering kali diperingati dengan berbagai perayaan. Perayaan menyambut datangnya tahun baru ini biasanya berlangsung meriah dan beragam dari mulai menyulut kembang api, meniup terompet, mennggelar pentas musik, pawai obor keliling kota, hingga melakukan beragam acara ritual seperti bertapa dan menyerahkan sejumlah penganan untuk sesajen sebagai bentuk pensucian diri. Nah, dalam prakteknya kegiatan yang dua terakhir lah yang sering dilaksanakan dalam perayaan than baru islam. Pawai obor biasanya dilakukan oleh santri-santri dari pesantren atau sekoah agama se-kota. Sementara itu, berbagai ritual dari mulai menyepi dan melakukan persembahan di gua, mencuci keris pusaka hingga mengarak bermacam penganan yang disusun dalam suatu gunungan sebagai simbol rasa syukur masyarakat setempat yang dipercaya akan memberikan rezeki tersendiri nantinya, pun mewarnai perayaan menyambut 1 Muharam. Dan semua ritual itu telah menjadi suatu tradisi turun temurun yang sudah mendarah daging dan menjadi bagian dari warisan budaya lokal setempat. Padahal nilai-nilai yang terkandung dalam ritual itu sering kali dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keislaman itu sendiri. Karena itu, dalam postingan ini penulis ingin mengajak para pembaca untuk menyelamidan menyikapi fenomenan di atas, dan bahkan jika memungkinkan memunculkan solusinya.

Sebagai bangsa berbudaya Indonesia tentu saja tidak terlepas dari warisan budaya nenek moyang yan dirunkan dalam berbagai hal dari mulai bahasa, pakaian, kesenian, makanan, hingga adat istiadat dan tradisi. Dan sebagai bangsa multietnis dan multikultural, Indonesia dikarunia bermacam khazanah budaya yang beragam dari mulai Sabang sampai ke Merauke; dari Timor hingga ke Talaud. Semuanya menjadikan Indnonesia ini sebagai bangsa yang kaya akan budaya. Kekayaan budaya menimbulkan kekayaan tradisi. Dan banyak diantara tradisi tersebut yang sifatnya ritual dan ditunjukkan kepada leluhur atau nenek moyang. Ritual-ritual tersebut biasanya berupa serangkaian upacara dalam tingakat kesakralan dan kehusukan tertentu yang dirangkai dengan penyerahan sejumlah hal (baca: benda) semisal kembang tujuh rupa, keris, sejumlah hasil bumi, penganan tradisional siap makan, hingga daran serta kepala binatang tertentu seperti ayam dan kerbau. Sejumlah hal yang disajikan dan dipersembahkan tersebut biasa kita kenal sebagai sesajen.

Sesajen yang dipersembahan biasanya sebagaimana yang telah disebutkan di atas bisa terdiri dari berbagai penganan seperti “bakakak”, buah-buahan, dan berbagai hasil bumi lainnya, bermacam jenis bunga, bahkan bagian-bagian dari hewan seperti darah dan kepalanya. Selain yang berasal dari makhluk hidup dan dapat dikonsumsi tadi, sesajen juga bisa berupa sejumlah benda pusaka yang dipercaya mempunyai nilai keramat. Biasanya sesajen-sesajen tersebut dietakkan di gunung (gua) atau “disimpan” di tengah lautan, tergantung lokasi dan tujuan upacara nya. Dan sesajen tersebut sering kali dipercaya oleh masyarkat setempat sebagai sumber pendatang kemakmuran dan rezeki. Artinya, mereka mempercayai bahwa degan dipersembahkannya sesajen kepada leluhur maka mereka akan menjaga agar tanah-tanah ereka tetap subur, agar hasil tani mereka tetap melimpah, agar lautan bisa menghasilkan banyak ikan, agar gunung tidak memuntahkan ‘virus’ batuknya kepada masyarakat sekitar, agar bumi tidak gonjang-ganjing, dan agar berbagai kebaikan dan keberuntungan lainnya senantiasa memayungi masyarakat setempat. Maka tidak heran, di beberapa tempat bahkan hasil sesajen yang sudah diupacarai tersebut sengaja dibagikan kepada masyrakat sekitar yang juga menyaksikan jalannya upacara. Masyarakat pun begitu antusias bahkan sampai berebut untuk mengambil bagian dari sesajen mengingat dipercaya akan membawa rezeki ataupun sejumlah khasiat lain seperti mebuat panjang umur dan awet muda.

Memang semuanya kembali pada keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Bila kita percaya yah silakan, tidak juga tidak menjadi soal. Akan tetapi yang menjadi masalah ialah nilai yang terkandung di dalamnya. Bagaimanapun niat mereka baik, yakni untuk menunjukkan rasa syukur mereka atas apa-apa yang mereka dapatkan selama ini. Namun, sayangnya ritual persembahan tsb ditenggarai mengandung nilai mistis sebab mereka mempersembahkan semua itu kepada leluhur mereka yang sudah mengahadap sang khalik jauhhhh hari sebelum mereka hidup. Dalam islam mempercayai adanya dzat lain yang patut disembah selain Allah termasuk ke dalam praktek syirik, yang adalah dosa besar. Mempersembahkan sesaji untuk nenek moyang atau penunggu suatu tempat secara tidak langsung mengindikasikan bahwa kita mempercayai adanya kekuatan lain, percaya pada kekuatan lain artinya menduakan Allah, menduakan Allah berarti syirik, dan syirik ialah dosa yang paling besar. Ironisnya, banyak yang kurang sadar bahkan kemudian pura-pura tidak sadar dengan nilai-nilai yang bertentangan itu tadi dengan dalih hanya tradisi.

Tradisi memang sesuatu yang berasal dari kebiasaan para leluhur di masa lalu dan dilakukan secara terus menerus dan saling turun menurun antar generasi sehingga lama-lama menjadi membudaya. Dan tradisi selalu sama dari generasi ke generasi kalaupun ada modifikasi hanya di beberapa tempat yang tidak mengganggu nilai utama dari tradisi tsb dan disesuaikan dengan kondisi zaman. Tetapi, untuk daerah-daerah yang msih belum terjamah dengan perkembangan dunia di luar wilayahnya biasanya tradisi mereka masih asli. Karena itu, tidaklah mudah untuk mengubah suatu tradisi. Bagaimanapun tradisi erat kaitannya dengan budaya yang merupakan kearifan lokal setempat. Menghapus tradisi berarti menciderai budaya yang berakibat hilangnya identitas suatu bangsa. Apalagi di tengah arus globalisasi yang semakin kencang saja berkat dukungan dari kemudahan mengakses informasi dan meluasnya jaringan komunikasi. Akan seperti apa jadinya bangsa ini jika terus dijejali berbagai budaya dari luar tanpa adanya penyaringan dan peleburan dengan budaya lokal?

Sebetulnya dalam pandangan penulis pribadi kita tidak mesti sampai menciderai suatu budaya apalagi sampai menghilangkannya. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa tradisi, bagaimanapun, akan sulit untuk dirubah. Kita mungkin tidak bisa merubah tradisi tersebut secara keseluruhan namun kita bisa mengubah dari beberapa aspek semisal orientasinya. Jika selama ini tradisi yang bersifat ritual dan mengandung unsure mistis itu ditujukkan kepada leluhur demi tujuan terentu, mulai sekarang kita coba untuk menghilangkan unsur mistisnya dengan cara hanya percaya kepada Allah semata dan hanya Ia lah yang maha Pengasih lagi Penyayang; Maha Memberi (Umur, Rezeki, dll); Maha segala-galanya. Mari kita memandang berbagai tradisi itu dari sudut sejarah dan budaya; tidak memaknainya sebagai sebuah ibadah. Alangkah baiknya apabila kita bisa mempertahankan budaya tanpa menciderai nilai-nilai dalam keyakinan yang kita anut. Kita bisa menjadi bangsa yang menjunjung tinggi budayanya sekaligus umat yang taat pada agamanya, pada Tuhannya. Bagaimanapun agama dan kebudayaan di satu sisi bisa saling melengkapi, namun di sisi lain agama dan kebudayaan punya nilai dan tata caranya msing-masing. Maka tak heran jika kemudian muncul pertanyaan agama yang mnciptakan budaya? atau justru budayalah yang menciptakan agama?

Kembali ke perayaan tahun baru, adapun cara terbaik yang bisa kita lakukan untuk pengungkapan rasa syukur sekaligus menyambut datangnya awal yang baru ialah dengan bermuhasabah. Muhasabah ialah introspksi diri, merenungkan berbagai hal yang telah kita lewati baik yang menyenangkan ataupun menyedihkan, baik yang baik ataupun kurang baik, baik yang positif maupu yang negatif. Adapun yang menyenangkan dan membahagiakan kita syukuri. Pun ketika kita mendapat ujian. Sementara ha-hal baik, prestasi dan hal psitif lainnya dipertahankan bahkan bila mampu ditingkatkan; untuk yang belum baik, kekurangan, bahkan kesalahan diperbaiki. Sebagaimana dikatakan dalam suatu hadist manusia yang beruntung ialah ia yang setiap harinya senantisa menjadi lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Artinya, selalu ada perubahan ke arah positif dalam dirinya. Oleh karena itu, dalam rangka menyambut tahun baru ini mari kita ‘rayakan’ bersama dengan bermuhasabah, merenungkan masa setahun yang sudah lewat untuk dijadikan bekal sekaligus pelajaran utuk setahun yang akan dilalui ini. Semoga dengan belajar dari masa lalu kita mampu menjadikan tahun ini jauhhhh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Aamiin.

Dari Penulis:

Postingan ini dibuat dalam rangka memenuhi usikan batin penulis untuk menuangkan kembali masalah tradisi ritual yang mengandung unsur mistis yang beberapa unsurnya bertentangan dengan kpercayan yang penulis anut. Penulis sebelumnya pernah mengangkat hal serup dalam paper untuk kebutuhan tugas akhir di sebuah lembaga pendidikan informal sekitar dua tahun yang lalu. Bila saat ini penulis fokus pada jenis perayaannya (atau bahkan jadi kemana2 malah! *hwaaaa), saat itu penulis fokus pada efek negatif dari unsur-unsur mistis yang terkandung dalam berbagai tradisi ritual tadi. Mohon maaf bila postingan ini cenderung bersifat subjektif dan dirasa kurang pas baik dari segi konten maupun organisasi kalimat, maupun secara kebahasaan. Konten yang justru malah ngalor ngidul, susunan kalimat yang bebatakan, bahasa yang kurang berterima, sampai pada maknanya yang mungkin dirasa terlalu kasar dan ‘vulgar’ bahkan brkesan sok-tahu dan sok sok lainnya. Semua kesalahan apalagi mekanis yang pasti banyaaaak sekali, semua bersumber dari keterbatasan penulis baik dari segi ilmu kepenulisan maupun ilmu kebatinan (LOH!?!?!?), maksudnya ilmu mengenai bahsan ini. Modal penulis hanya kemauan dan niat untuk menyuarakan apa yang ada di benak penulis, dan satu hal yang pasti: postingan ini dibuat tanpa bermaksud untuk merendahkan, menjelek-jelekkan, menghina, apalagi melecehkan bahkan mengadu domba pihak-pihak atau keyakinan tertentu. Jadi bila ada pihak yang tersinggung mohon maaf karena penulis sama sekali tidak punya niatan kea rah situ, dan sekali lagi bahwa KESALAHAN yang ditimbulkan sepenuhnya dari PENULIS. Untuk itu jika memang ada sesuatu yang menganjal, ada yang perlu dikoreksi, diluruskan, dsb, mka kepada semua pengunjung yang kebetulan atau memang malah sengaja membaca postingan ini supaya memberi masukan (saran dan kritik) pada penulis, ok, ok?? Diatos yaa..hatur nuhun.. ^%^

Tidak ada komentar: