Jumat, 04 Februari 2011

Love Story: A Sory of Sacrifation

Pemain: Acha Septriasa, Irwansyah, Henidar Amroe, Reza Pahlevi, Reza Rahardian, Maudy Koesnaedi, Dony Damara, Anbo
Sutradara: Hanny R. Saputra
Produser: Chand Parwez Servia
Produksi: Starvision
Sinopsis:

Hiduplah Galih dan Ranti dua sahabat yang hidup di dua desa yang terpisahkan sungai yang dipercayai membawa kutukan. Alkisah dahulu kala terjalin kisah percintaan antara Dewi Angin-angin dan seorang penggembala domba Joko yang mesti terpisah karena strata social. Jaka yang murka karena kekasihna ternyata dinikahkan dengan orang lain menghentak-hentakan kakinya ke tanah hingga membuat retakan yang kemudian menjadi sungai yan membelah kedua desa tersebut. Sejak saat itu masyarakat setempat percaya bahwa dua insane dari kedua desa tersebut tidak bisa saling mencinta karena dipercayai hanya akn membewa malapetaka dan meinggalkan korban, seperti halnya ibu Ranti yag menurut sang nenek (Henidar Amroe) menjadi korban dari kisah cinta terlarang itu.

Menginjak usia remaja mereka pun tumbuh sebagaimana remaja kebanyakan yang mulai merasakan manisnya cinta, dan celakanya perasaan itu tumbuh terhadap satu sama lain. Galih lah yang terlebih dahulu menunjukkan sinyal-sinyal lebih-dari-sekedar-sahabatnya pada Ranti. Sementara Ranti yang sebenarnya mempunyai rasa yang sama memilih berpura-pura tidak menyadari sinyal itu karena ia takut akan kutukan dari leluhurnya yang sudah tertanam turun temurun itu. Namun, suatu waktu Galih beserta kedua orang tuanya hijrah ke kota untuk meneruskan pendidikannya ke bangku kuliah. Saat itulah keduanya tak bisa lagi menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Bahkan Ranti yang awalnya besikukuh bahwa mereke tidak mungkin bersatu pun akhirnya menyadari bahwa ia tak bisa memungkiri perasaannya pada Galih. Galih sendiri yang memang telah secara terang-terangan menunjukkan rasa cintanya sempat berjanji bahwa setelah lulus akan kembal lagi ke desa mereka untuk Ranti, dan ia mengatakan kedatagannya ditandai dengan klakson bus sebanyak tiga kali.

Waktu pun berlalu, harihari Ranti dilalui dengan mengajar anak-anak desa setempat di pondok seadanya di pinggir jalan. Sambil mengajar ia selalu memperhatikan bus yang lewat setiap harinya. Ia selalu kecewa ketika bus melintas dengan hanya satu kali klakson hingga suatu hari momen yang ditunggu pun tiba: klakson bus dibunyikan sebanyak tiga kali dan tak lama berselang muncul sesosok pemuda gagah tersenyum sumringah kea rah gadis berambut panjang sepinggang yang telah sejak lama menanti kepulangannya. Mereka pun bertemu di tengah sungai, saling melepas rindu setelah hampir lima tahun tak bersua. Perasaan antara kedua insane tersebut semakin bersemi. Ranti yang dulunya selalu berusaha meyakinkan dirinya sendiri pun Galih bahwa mereka tidak mungkin bersatu, kini justru berbalik tidak mempercayai mitos turun temurun itu. Ia seolah lupa akan segala cerita mengenai legenda Dewi Angin-angin dan Joko .

Dua sejoli ini mempunyai cita-cita mulia yakni mendirikan sekolah di desanya. Selama ini anak-anak di desa keduanya mesti menempuh jarak yang sangat jauh untuk bersekolah hingga banyak yang memiih untuk tidak bersekolah. Ranti yang merasakan betapa sulitnyabersekolah dengan menempuh jarak kiloan meter sedari dulu bercita-cita menjadi guru dan bisa mendirikan sekolah di desanya agar anak-anak sekitar tidak harus menempuh jarak yang jauh untuk bersekolah. Galih yang mengetahui cita-cita Ranti tersebut kemudian berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkannya. Ia bahkan telah merancang mendirikan sebuah sekolah sederhana persis di pinggir sungai. Alasannya, agar masyarakat sekitar tidak lagi memandang sungai sebagai sesuatu yang harus dikeramatkan, namun justru bisa memaknai manfaat dari sungai yang sangat banyak bagi kehidupan. Ia bahkan merancang sebuah kincir air tidak jauh dari sekolah yang nantinya berfungsi untuk mengalirkan listrik dan mengairi sawah-sawah yang ada di dua desa tersebut.

Akan tetapi, niat mulia mereka tiak berjalan mulus begitu saja. Kisah cinta dua insan berbeda desa yang kemudian diketahui oleh penduduk setempat pasca lamaran Galih pada ayah Ranti pun menimbulkan polemik tersendiri. Terlebih saat seorang anak dari desa Ranti ditemukan mati tenggelam di sungai. Masyarakat kontan mnegaitkan kejadian tersebut dengan kutukan dari leluhur mereka. Ayah Ranti pun menjadi murka pada anaknya yang bersikukuh untuk mempertahankan hubungannya, dan menganggap bahwa kematian yang menimpa salah serang bocah di desanya tempo hari hanya kecelakaan semata. Ia mencoba memberikan analisis yang rasional bahwa Wage, nama sang anak yang meninggal, meninggal sat berusaha melalui jalan pintas yang meski ia tahu itu berbahaya teta ditempuhnya demi tidak terlambat sampai ke sekolah. Ia pun menekankan bahwa karena itulah perlu dibangun sekolah di desa mereka, agar taka a lagi Wage-Wage berikutnya, yang mesti meregang nyawa saking ingin tiba ept waktu I sekolah dan akhirnya memilih jalan pintas yang relative berbahaya medannya. Sejak saat itu Ranti dikurung di dalam kamar oleh Ayahnya.

Sementara itu, Galih yang telah mulai membangun kerangka sekolah sederhanya untuk Ranti, sempat terpukul atas kejadian yang menimpa Wage. Bahkan ia hampir saja merobohkan kembali kerangka yng telah susah dibuatnya. Ranti yang berhasil kabur dan menyaksikan kejadian itu merasa sangat kecewa pada Galih yang menyerah begitu saja pada “kutukan” tersebut. Ia seuat tenaga berusaha menyakinkan kembali Galih akan tujuan mulia mereka mebangun sekolah tersebut. Mereka bukan hanya ingin membuat anak-anak setempat menjadi berilmu, melainkan juga meyakinkan masyarakat dua desa tersebut bahwa legenda itu hanya sebuah mitos dan apa yang mereka lakukan semata demi kebaikan kedua desa tersebut. Keduanya pun bahumebahu membereskan pembangunan sekolah tersebut. Ranti yang sering dikurung ayahnya berkali-kali berhasil kabur, dan Galih yang bekerja siang malam membereskan bangunan sekolah pun mesti berulang kali menelan pil pahit bahwa pekerjaannya selalu berujung sia-sia. Pasalnya selalu saja ada yang menghancurkan bahkan membakar hasil kerja kerasnya.

Semakin hari, kondisi kesehatan Galih yang terlalu memforsis pekerjaan membangun sekolah tersebut semakin menurun, dua kali ia dibawa ke Puskesmas oleh Ranti. Dokter menyarankannya untuk istirahat total, tetapi ia tetap ngotot untuk menyelesaikan pekerjaannya meskipun resikonya kesehatannya semakin memburuk. Ranti yang sudah tidak tahan melihat peneritaan Galih memintanya untuk menghentikan semua kerja kersanya yang melulu berakhir sia-sia, bahkan ia sempat meminta Galih untuk melupakannya karena menurutnya cinta telah mebuat Galih menjadi tidak rasional hingga rela mengorbankan dirinya sedemikian rupa. Galih yang merasa kecewa tetap melanjutkan pekerjaannya hingga akhirnya berdirilah dengan kokoh sebuah bangunan sekolah sederhana yang di belakangnya tepat berdiri sebuah kincir air, persis sebagaimana yang digambarkannya. Ranti yang sempat tidak sadarkan diri selama tiga hari akibat menerima pukula bertubi-tubi ditambah begitu sedih dengan kondisi Galih bergegas mencari Galih meski sempat dilarang oleh sang nenek. Ia takjub begitu melihat sebuah pondok sederhana telah kokoh berdiri di bibir sungai lengkap dengan kincir air di belakangnya. Namun sejurus kemudian ia sadar bahwa ia tidak menemukan sosok yang dicarinya.

Ia sempat ketakutan sebelum akhirnya menemukan sosok yang dicarinya bersussah payah berusaha bangun di dekat kincir air. Galih, yang dicari Ranti, sedang berusaha menyambungkan saklar ke generator. Sayang, konisinya yang amat lemah setelah bekerja terus menerus membuatnya tak sanggup lagi untuk mengangkat tubuhnya. Ranti kontan mendekatinya sebelum segerombolan pendudukyang dipimpin ayah Ranti mendekat henak membakar kembali sekolah impian Ranti tersebut. Galih yang menyadari kondisi genting tersebut segera meinta Ranti menyambungkan sakelar dan menarik tuasnya. Tepat di saat penduduk hampir melemparkan obornya, lampu-lampu yang dipasang d sekeliling pondok menyala seiring Ranti menarik tuas generatornya. Mereka pun kemudian mengurungkan niatnya membakar pondok itu, malha obor itu mereka buang ke sungai. Galih yang masih sempat menyaksikan pemandangan tersebut bersyukur karena usaha dan pengorbannya tidak berakhir sia-sia. Di saat-saat terakhirnya ia berusaha meyakinkan Ranti bahwa cinta dan segaa sesuatu yang dilandasi cinta tidak akan penah berakir engan kesia-siaan. Pun ketika ia harus meregang nyawa, kematiannya tidak sia-sia karena pada akhirnya apa yang telah ia perjuangkan demi Ranti dan membawa manfaat bagi masyarakat setempat.



Penduduk yang menyaksikan hasi karya seorang Galih yang harus dibayar mahal dengan nyawanya itu pun kemudian menyadari kekeliruannya selama ini. Mereka sadar bahwa legenda turun menurunnya telah mengurung mereka dalam kesmpitan berfikir. Bekat hasil karya Galih, Ranti pun bisa mewujudkan cita-citanya mengajar anak-anak setempat. Dan masyarakat pun merasakan manfaat yang sangat besar dari kincir air yang dibuat Galih, selain sebagai sumber penerangan, kincir tersebut menyuburkan lahan-lahan pertanian mereka berkat aliran air dari sungai yang membelah kedua desa tersebut. Sungai kemudian tidak lagi menjadi sesuatu yang ditakuti masyarakat setempat, tetapi malah menjadi sahabat mereka. Hubungan antar penduduk pun semakin baik, bahkan tidak ada lagi larangan bagi sejoli dari dua desa tersebut untuk memadu kasih. Kisah Galih-Ranti telah menginspirasi asyarakat setempat unruk tidak kalah hanya oleh sebuah mitos. Galih memang telah tiada, namun jiwa dan jasanya tetap akan terus dikenang oleh masyarakat sekitar bahkan mungkin diturunkan ke generasi-generasi mendatang. Ranti pada akhirnya bisa mewujudkan cita-citanya menjadi guru. Kisah cinta Galih-Ranti mungkin tidak berakhir happy ending, namun cita-cita mulia meraka pada akhirnya mapu diwujudkan membentuk ending yang bahagia.

*****

---My Own Review---

Pertama-tama liat promo film ini di salah satu tabloid, penulis berfikir, “hemmm…apalagi nih, pasti termehek-mehek deh..”. Tapi, pas baca esensinya beberapa minggu kemudia mulai tergugah, apalagi pas tau jajaran cast-nya. Bukan Acha, apalagi Irwansyah, tapi faktor Reza Rahardian yang pertama kali menarik minat penuli untuk menyaksikan kisah drama percintaan ini. Yah, kan suah sejak beberapa tahun ini penulis mengagumi akting sang aktor peraih Citra untuk film “3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta” itu. Yah sempet kecewa juag pas tau doi Cuma jadi peran pendukung, tapi teteup ja penasaran apalagi pas disebutin kalau peran yang dimainin doi itu tuh peran yang udah doi incer-incer dari dulumakanya samapi minta ke sutradaranya coba! Hey..penasrankan, peran apa sih sampai segitunya?! Terus lagi masih menurut sumber yang sama disana doi lebih main di mimic bukan dialog, hwaaa…makin penasaran ajah! Heuu

Selain faktor seorang Reza Rahardian, faktor lainnya yah ceritanya itu sendiri. Dari beberapa resensi yang penulis baca, kayaknya cukup menjanjikan. Lumayan penasaran juga sama kolaborasi nostalgianya sang mantan Acha Septriasa-Irwansyah. Aaplagi sekarang kan Irwan udah bukan lajang lagi (haa….jadi bergosip, mamen! Hehe), bukan itu sih, maksudnya mau tau aja apa chemistry nya masih bisa sekuat pas mereka masih menjadi sepsang kekasih atau malah jadi kaku. Dan, yah lumayanlah, Acha nya sih bisa relative lebih total yah daripada Irwansyah nya. Dan finally sebagaimana Acha pernah ungkapkan di suatu tabloid juga bahwa dulu kritikan terbesar untuknya ialah tidak bisa membedakan ekspresi ketawa dan menangis. Penulis ingat betul donk pas liat aksinya di Heart, pas adegan dia nangis yang semestinya bersedu sedan, eehh…malah jadi bodor gara-gara gak nahan liat ekspresinya yang bak orang ketawa! Tapi, disini, kalau penulis pribadi sih uah nyaman ngeliat ekspresi aktris yang konon bayarannya paling mahal ini loh! Hehe

Dari segi cerita okelah, isu yang diangkat selain seputar kisah cinta seperti formula film Hani terdahulu Heart dan Love is Cinta, jga masalah budaya dan kepercayaan. Hani menngangkat isu seputar kkonservativan masyarakat yang masih memegang teguh kepercayaan kepada leluhurnya. Hemm..tidak ada unsure agama apa pun yang ditonjolkan di film ini, yah hanya masyarakat yang masih melakukan ritual tertentu dan gemar berkostum hitam-hita. Sempat tedengar salam di adegan awal saat Ranti dan Galih masih bersekolah di SD. Namun, bisa dimaklumi mengingat jarak sekolahnya yang memag jauh dari desamereka yang bisa dibilang terpencil. Jadi tidak terlalu masalah juga sebetulnya.

Namun yang cukup menganggu ialah beberapa adegan yang agak ajaib, seperti saat pondok yang hampir beres dibakar dan Galih diantar Ranti ke dokter. Saat Ranti sedang khusyk mendengarkan cerama dokter seputar penykit Galih, ia lengsung melengos begitu saja tanpa Ranti sadari. Baru beberapa saat sekitar lima menit kemudian Ranti sadar kalau Galih sudah tak ada di tempat! Logikanya Galih yang dalamkondisi sakit mana bisa menghiang dengan cepatnya dari Ranti yang sehat dn kepanikan mencarinya (pasti buru-buru donk orang panik, ya gak??), mana tanpa kendaraan lagi (kan sapi yang dibeli galih buat naik kereta dibunuh orang trus disate deh ma si Galih pas kelaperan), tapi tiba-tiba pas Ranti nyampe di tepi sungai Galih lagi sibuk bangun lagi ‘sekolah’ impian Ranti aja. Naah letak keganjilannya adalah, pertama, gimana caranya Galih bisa tiba-tiba undah mendirikan beberapa kayu disana dalam waktu sesingkat itu, dan yang kedua yang makin gak logis, kayu-kayu nya dapet darimana coba?? Ingat dalam waktu yang relative amat sangat singkat, malam hari, alam kondisi sakit pula! Kan kalau pake kayu puing-puing yang dibakar udah angus donk atau minimal wananya udah gak kinclong lagi, tapi apa coba, ini mah masih kinclong mamen! Heuu

Yah, terlepas dari beberapa kelemeahnnya, tema lain yang diangkat dan cukup mengena dari film ini yakni seputar pengrbanan. Bahwa dibutuhkan pengorbanan dari satu jiwa demi kemaslahatan bagi banyakjiwa yang lainnya. Kematian seorang Galih untuk member banyak sekali manfaat bagi masyarakat dua desa. Bicara soal pengorbanan, penulis jadi teringat beberapa kasus nyata. Betapa diperlukan pengorbanan demi tercapainya suatu kemaslahatan. Mari kita telaah kembali pelajaran Sejarah, sebelum bangsa ini merdeka jutaan nyawa melayang, sebelum Negara ini memasuki ere reformasi dan pergantian presiden ada nyawa yang melayang di kerusuhan Mei 1998, dan kini yang terhangat di Kairo, Mesir, lima nyawa melayang sudah dalam kerusuhan yang terjadi akibat munculnya mosi tidak percaya pada presiden mereka yang telah menjabat hingga 30 tahun. Korban dan pengoranan sepertinya menjadi harga tersendiri bagi terwujudnya sebuah situasi yang lebih baik.

Haah..akan panjang nampaknya bila penulis mebahas masalah pengorbanan, maybe bisa menjadi inspirasi untuk postingan selanjutnya, seputar pengorbanan dan kekuasaan..

Thanks for reading, waiting for ur comment, readers.. :))

Tidak ada komentar: