Pulang ke kotamu,
ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja
Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama suasana Jogja
Di persimpangan, langkahku terhenti
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu
Ramai kaki lima menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Musisi jalanan mulai beraksi seiring laraku kehilanganmu
Merintih sendiri, di tengah deru kotamu
(Yogyakarta - Kla Project)
Gak ada hujan,
gak ada badai, gak ada topan, gak ada banjir, dan jreng-jreng tiba-tiba saja
dalam hitungan hari, setelah tiga tahun, kembali menginjakan kaki di kota yang
bisa dikatakan kota impian, impian penulis pribadi. Well, berlebihan? Okelah…kita ganti dengan
kota yang ngangenin, yang selalu membuat kita rindu untuk sesegera mungkin
kembali setelah meninggalkan kota ini. Masih
berlebihan? Okay, setidaknya itu yang
penulis alami dan rasakan. Sekali lagi
ya ini tentang KOTA NGANGENIN dari sudut pandang seorang penulis, jadi kalau
sangat subjektif ya dimaklumi dann anggap wajar saja, ya!
Sedari
awal menginjakan kaki di kota ini, sekitar tiga belasan tahun lalu, ada kesan tersendiri
yang jauh lebih istimewa dibanding kota-kota lain di luar kota tempat penulis
tinggal yang pernah penulis kunjungi.
Kesan yang semakin menguat dengan rekaman sudut-sudut kota ini melalui
sinetron Gita Cinta Dari SMA beberapa tahun silam. Dikukuhkan dengan kunjungan kedua, kedtiga,
keempat, dan sekarang ini kelima.
Rasanya selalu begini, tidak pernah ingin cepat pulang, dan selalu ingin
segera kembali. Ohh….kota yang penuh
kerinduan…
Dan sekarang,
pada kunjungan kelima ini, tak ingin kehilangan kesempatan merekam,
mengabadikan, dan tak lupa mendokumentasikan seraya membagikannya disini. Berbagi kebahagian, suka cita, pengalaman dan
kegiatan yang penulis lakukan selama berada di kota yang selalu membangkitkan
kekangenan penulis ini. Kali ini penulis
ditemani sohib semasa SMP, dan ceritanya menemani adik yang diterima di salah
satu universitas ternama di kota Pendidikan ini yang juga didampingi oleh ayah
penulis. kali ini penulis akan
mengisahkan perjalanan di hari pertama.
Selasa, 17 Juli 2012
07.45 WIB,
dengan terburu-buru penulis memasuki pintu masuk stasiun Bandung sambil
menggenggam HP dan menggotong tiga gembolan seraya memandangi sekeliling,
mencari-cari keberadaan teman penulis. Kereta
yang sudah siap memboyong para penumpang menuju arah timur, ke tengah-tengah
pulau Jawa tersebut, sudah nangkring saja di lintasan. Sementara si teman yang sudah tiba entah
sejak berpuluh menit sebelumnya itu dan berkali-kali menghubungi HP penulis
belum juga kelihatan. Celakanya, penulis
GAK PUNYA PULSA! Well, kepanikan yang
seketika menyergap. Apalagi itu bunyi
mesin kereta sudah mulai terdengar.
Ditambah petugas penjaga pintunya yang mengumumkan beberapa kali bahwa
kereta yang penulis tumpangi akan segala meluncur. Dercitan pagarnya itu loh, sangat-sangat
membuat jantung penulis berdegup kencang. Kacamata, penulis tidak menggunakan
kacamata! Celaka! Beruntung, tak lama si
teman kembali menghubungi dan akhirnya sebuah lambaian tangan melegakan
penulis. Sang teman yang sedari beberapa
menit lalu menjadi sosok yang paling penulis cari, kami pun masuk ke
lintasan. “syukurlah tidak harus
mengganti tiket teman gara-gara ketinggalan kereta” batin penulis, legaa.
Begitu lega
karena sudah memasuki lintasan, ehh…terjadi sedikit masalah di dalam
keretanya. Setelah memastikan bahwa kami
tidak memasuki gerbong yang salah, ehh..ternyata kursi kami sudah ada yang
menempati! Seorang bule perempuan yang
berhadap-hadapan dengan keluarganya.
DILEMA. Mengusir artinya membuat
satu keluarga itu terpisah, dan lagipula akan menimbulkan ketidaknyamanan satu
sama lain. tapi, di lain pihak itu toh
kursi kami, hak kami. Sempat merasakan
duduk di kursi tersebut selama beberapa detik dengan kikuk, akhirnya setelah
berdiskusi dan menyelesaikan secara “kekeluargaan”, kami akhirnya mengalah
untuk pindah ke kursi si bule seharusnya.
Win-win solution lah itu.
Akhirnya hingga tiba di stasiun tujuan dengan menempuh selama kurang
lebih delapan jam tiga puluh menit perjalanan, kami pun menikmati duduk di
kursi belakang. Nah, lucunya yaitu si
embak (semacam pramugarinya Kereta) yang napak kebingungan dan kesulitan untuk
mengklarifikasi tempat duduk sang bule.
Kendala bahasa, menjadi sumber permaasalahan utamaa, menurut hasil
analisa penulis.
Pukul 16.30,
akhirnya kereta yang mengangkut kami
tiba juga di stasiun tujuan, telat hampir sejam dari yang tertera di jadwal
tiba pada tiket. Setelah melaksanakan
kewajiban yang belakangan menjadi kebutuhan untuk mengucap rasa syukur diberi
keselamatan tiba di a lovely city, sebagaimana menjadi slogan kota ini di salah
satu spanduk, kami pun bergegas menuju penginapan dengan berjalan kaki! Dua
satu buah tas gendong dan satu tas selempang serta satu ‘tas’ jinjing
berisi snack membebani punggung, dan kedua lengan penulis. Sedangkan teman penulis, melenggang dengan
satu tas yang membebani bahunya saja.
Berkomitmen tidak berbecak dan atas kemurahan hatinya membewakan salah
satu beban penulis, akhirnya sekitar sepuluh-lima belas menitan, kami pun tiba
dengan……cukup ngos-ngosan di penginapan yang masih berlokasi di kawasan
Malioboro! Legaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.
Nasi Kucing
Beranjak malam,
kami pun bergegas mencari makan. Maklum,
semenjak turun kereta tadi, kami belum mencari makan, mana siangnya tidak
sempat makan siang karena harganya yang lumayan uwow untuk saku kami
(ups…ketahuan deh…heu). Makin lengkap
karena ternyata kami sama-sama tidak sarapan di pagi harinya (Cuma makn roti
doank dua biji, hoho). Kebayang kan bagaimana
kondisi perut kai ini kalau dibedah…heu.
Akhirnya selepas isya, kami pun menuju warung yang menjajakan nasi
kucing tepat di seberang rel yang banyak dlirekomendasikan orang, “WARUNG KOPI
JOS PAK AGUS”, begitulah sang pemilik menamai kedainya.
Sama seperti
kebanyakan kedai makanan di kawasan sekitar Malioboro, warung Pak Agus ini pun
berkonsep angkringan atau lesehan. Tidak
ada kursi dan meja, hanya bergulung tikar yang memanjang dari sudut jalan
sampai batas trotoar pertama. Warungnya
pun lumayan ramai pengunjung. Itu hari
biasa loh, sudah terhitung hari kerja, terbayang jika musim liburan betulan,
hem…curiga mesti menunggu beberapa saat sebelum akhirnya mendapat wilayah
strategis untuk duduk dan menikmati suasana malam kota yang dicintai banyak
orang ini. Ya, tentu saja dengan konsep
angkringan, ya warung ini emang pas buat mengisi perut sambil nongkrong bareng
teman atau keluarga. Minimal, menyantap
kopi jos! Itu loh kopi hitam yang
dicelupi arang. Rasanya? Entahlah,
penulis sempat ditawari, tapi…segelas cappuccino dingin sudah kadung mencuri
perhatian dan selera penulis. Namun yang
pasti bagi yang suka sepertinya nikmat, secara kopi tersebut malah jadi ikon
dari warungnya sendiri. Well, next time
mari kita coba.
Dan, how about
nasi kucing? Bukan makanan buat kucing
loh ya, tapi porsi kucing! Ya artinya
porsinya memang tidak banyak, setengahan barang kali. Mengenyangkan bagi yang porsi makannya memang
sedikit, tapi kurang bagi mereka dengan selera makan besar, termasuk penulis
(upss….kan udah cerita di atas, belum makan dari pagi, jadi laparnya
kuadrat…heheh). Lauknya bawaannya ada
yag sekedar sambal, ikan teri, pindang, dan tempe. Penulis memilih yang terakhir. Dengan ditemani tempe goreng (doyan
kuadrat-kuadratan), satu tusuk usus krispi, dan setusuk telur puyuh, dua
bungkus nasi kucing pun berhasil diluncurkan dengan mulus untuk dicerna oleh
usus-usus dalam perut penulis.
21.00 Till end:
Cold Day
Perut kenyang,
kasur pun menanti. Setelah sempat
melihat-lihat sebentar di malioboro yang terlewati sepanjang perjalanan menuju
dan kembali dari warung makan, kami sempat mampir dan membeli beberapa barang
keperluan disana. Namun, setelahnya dengan pertimbangan sudah larut
dan masih capek oleh perjalanan delapan jam yang kami tempuh siang harinya,
kami pun memutuskan istirahat untuk menyiapkan tenaga esok hari. Kami sudah kehilangan kesadaran sejak kurang
dari pukul 23.00, dan sejak saat itu hingga kembali terjaga di tengah malam dan
bahkan saat benar-benar terjaga diwaktu subuh, kami merasakan sesuatu yang bagi
penulis pribadi aneh ya bisa terjadi di kota ini bagi kami yang tinggal di kota
dengan cuaca jauh lebih sejuk daripada disini: KEDINGINAN! Itu pula yang sampai akirnya membuat kami
tidak mandi sebelum tidur karena tak ada keringat dan malah ya itu kedinginan.
In short,
agenda hari pertama ya hanya diisi oleh makan-makan sambil nangkring dan
istirahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar