Setelah hari
kedua kami-kami sangat go green dengan berjalan kaki mengintari malioboro tanpa
berkendara sedikit pun, akhirnya hari di hari terakhir kami di kota ini kami
putuskan untuk berkendara. Mulai dari
becak yang tradisional sampai Trans yang modern. Oh, ya, sekedar informasi, entah apanya yang
salah ya, yang jelas hari ketiga kami awali dengan terkantuk-kantuk. Kalau kemarin hari pukul 09.00 kami sudah
siap meluncur keluar penginapan, hari ini bahkan beranjak dari kasur pun
belum! Dinginnya cuaca seakan makin
melenakan. Dengan berat, akhirnya
penulis menyeret diri masuk kamar mandi.
Baru setelahnya teman penulis menyusul.
Dengan kondisi seperti ini, ya tidak heran kalau akhirnya kami baru
meninggalkan penginapan pukul 10.30.
Memulai agenda dengan mengunjungi toko oleh-oleh dan mengunjungi salah
satu toko di Malioboro, pukul 12.00 kami sudah kembali ke penginapan untuk
bersiap check out. Pukul 12.30, setelah
shalat zuhur, kami pun resmi meninggalkan kamar dan hanya menitipkan barang
kami di kantornya si pengelola pengginapan.
Kaminya? Mabur pake Trans Jogja! haha
Trans Jogja!
Wiiw…setelah
sekian hari dibikin puas sekadar melihat bus mini berwarna hijau kekuningan ini
berseliweran di sepanjang malioboro, akhirnya penulis berkesempatan juga naik
angkutan umum khas kota ini. Apa sih
yang spesial dari bus trans? Ya..dgak
ada yang istimewa ya secara di kota penulis pun sudah ada kendaraan sejenis
meski penulis memang belum pernah berkesempatan naik (keburu ditarik lagi dari
peredaran soalnya..heu), terus penulis juga sudah pernah merasakan naik bus
sejenis di kota lain. Nah, tapi justru
bagi penulis pribadi, gak afdol rasanya kalau kita gak nyobain berkendara pake
kendaraan khas kota yang penulis kunjungi.
Ada rasa penasaran saat belum mencoba dan kepuasan setelah
mencobanya. Dan, sekalinya make trans
ehh….diajak yang jauh sekalian, samapi shelter terakhir, sekitar 45 menit,
alhamdulillah…puas! J
Prambanan
Kesinilah Trans
membawa kami. Ke shelter Prambanan. Barang tentu lokasinya dekat, bahkan sangat
dekat ke Prambanan. Tinggal nyebrang aja
sih sudah masuk kompleks Prambanan.
Tapi, pintu masuknya itu loh lumayan lah sekitar sepuluh menitan ditempuh
dengan berjalan kaki. Itu baru sampai gerbangnya aja tapi, nah ke pintu
masuknya sekitar lima menitan. Dari
pintu masuk ke kompleks utamanya sendir ya sekitar lima-sepuluh menita, jadi
ditotal ya kurang lebih 30 menitan lah kami berjalan kaki. Belum di kompleksnya sendiri, naik turun
tangga plus ngelilingin kompleks candinya sendiri. Mana di tengah suhu udara yang serasa menusuk
kulit. Tapi syukurlah, kesejukan
seketika melanda saat kami menepi di salah satu sudut kompleks dan bernaung di
bawah pohon yang rindang. Entah
bagaimana yang jelas beristirahat disana sangat-sangatlah menyejukkan. Padahal ya saat penulis keluar dari area
pepohonan tersebut untuk berfoto, udara panas yang tadi dirasakan langsung
kembali menggerogoti. Sungguh ajaib.
Kauman
Sepulang dari
Prambanan, sebelum kembali ke pnginapan kami sempat mampir ke toko sekitar
malioboro untuk membelikan batik titipan kakak teman penulis. sepuluh menit selepas maghrib kami baru
kembali ke penginapan untuk shalat dan lalu mengambil barang yang kami
titipkan. Penulis sih masih menitipkan
barang sampai jam 20.30-an karena berencana ingin bertarawih pertama di Masjid
Gede Kauman dahulu. Hasrat, ya,
bertarawih di Masjid Gede ini sudah lebih dari sekedar keinginan, malah sudah
menjadi hasrat. Sejak awal berencana
pergi kemari (sekalipun dadakan dan tak terduga) dan mengetahui kalau jadwal
kepulangan tepat di malam pertama Ramadhan, sebenarnya penulis ingin
memundurkan jadwal kepulangan hingga esok, tanggal 20 supaya sempat merasakan
bersahur dan berbuka disana. Namun, apa
daya, ada satu jadwal akademik yang tidak bisa tidak penulis indahkan. Jadi, ramadhan kali ini harus puas hanya
dengan bertarawih pertama disana. Ya,
mungkin itu lebih dari cukup untuk saat ini.
Bukan jarak yang dekat dan harga yang murah sebenarnya untuk bisa
bertarawih disana. Maklum, kesana ya
sama aja kayak ke keratin, perlu ditempuh dengan becak mengingat tidak ada
kendaraan lain. ada sih Trans, tapi
konon kata mang becaknya gak lewat, tetep harus jalan. Masalah karena jalan? Oh, tentu saja tidak! Wong kemarin saja kan penulis dengan teman
dan adik udah puas gitu nyingkreuh.
Masalahnya kali ini justru adalah fakta bahwa penulis Cuma turis
domestic *ceileh* di kota ini. Sekalipun
penulis sangat mengagumi kota ini, ya tetep ini bukan wilayah jajahan
penulis. Hari gini masih takut nyasar? Secara kan teknologi udah canggih gitu…. Iya
memang, tapi kan sayangnya penulis termasuk salah satu yang belum bisa
mencicipi kecanggihan teknologi itu seutuhnya.
HP penulis ya boro-boro ada GPS-nya, masih seri W610i gitu, I-Pad mana
punya, wong saking niat mengabadikan tiap momen lewat tulisan buat dishare via
postingan blog kayak gini aja penulis sampe kudu memboyong net-book tercinta
yang…masyaallah….berat! Jadi intinya
penulis tidak berani berspekulasi di kota asing dengan teknologi terbatas. Titik. Mana male mini juga kan jadwal
kepulangan penulis. lewat pukul 21.24,
penulis hampir pasti terlunta-lunta, kan sudah check out dari penginapan sejak
siang hari. Well, sudah-sudah, kembali
ke kauman. Masjid ini bagi penulis
memiliki makana dan kedekatan tersendiri.
Ya, maklum ini kan masjid yang didirikan oleh pendiri persyarikatan yang
dimana penulis menjadi bagian di dalamnya.
Mana pernah dibuatkan pula film biografinya, sampai kita faham betapa
masjid ini dibangun dengan pengorbanan yang tidak sedkiti. Dari tadinya surau kecil yang bakan sempat
dirobohkan, ehh…sampa akhirnya berdiri kokoh sebagai sebuah masjid di kampung
Kauman. Lokasinya yang strategis (dekat
Alun-alun dan Keraton) juga menjadi nilai plus tersendiri *ya walalupun dari
Malioboro lumayan*. Penulis tiba disini
sekitar pukul 18.30, dan tanpa membuang waktu penulis langsung bergegas menuju
kamar mandi. Keringat yang melengketi
tubuh yang dibekal dari Prambanan tadi sudah menghilang saat penulis berbecak
seorang diri menuju kemari tadi. Angin
sepoy-sepoy menemani perjalanan penulis.
Seusai mandi, penulis pun segera memasuki masjid mencari lokasi
strategis, dan akhirnya meski tidak strategis-strategis amat, tapi syukurlah
ada tempat yang lumayan strategis.
Lokasinya ada di samping dekat kipas angin! Ya, bukan rahasia kalau suhu di kota ini kan
emang tidak sesejuk kota tempat penulis tinggal. Dan, meskipun penulis baru saja mandi, ya,
ruangan tertutup dengan jumlah orang yang banyak otomatis bikin suhu yang
memeng sudah panas makin panas. Makanya,
sedari awal, posisi yang berangin yang penulis incar. Dan kenapa penulis agak terburu-buru ya satu
saja sih alasannya, supaya tidak kehilangan posisi strategis itu. seperti bayangan penulis bahwa Kauman malam
itu cukup disesaki jama’ah yang hendak melaksanakan tarawih. Sekalipun ada perbedaan penetapan awal
Ramadhan, toh di kota yang sedang penulis kunjungi ini kan memang merupakan
pusat salah satu persyarikatan sosial agama terbesar di Indonesia sehingga
tidak heran jika mayoritas sudah melaksanakan shaum di hari jum’at dan
bertarawih di kamis malamnya. Oh, ya,
mengapa penulis hanya seorang diri? Karena rekan penulis enggan diajak
bertarawih disana, takut ketinggalan kereta, malas berat bawa barang dan jauh,
dan terutama doi setia sama pemerintah memulai shaum di hari sabtu. Jadi ya itu tadi, kami berpisah pas penulis
naik becak menuju kaumana, sementara
teman penulis masih berjalan-jalan di Malioboro sambil mencari becak menuju
stasiun. Kembali ke Kauman. Shalat isya, Tausyiah, Shalat iftitah dan
Tarawih semua berlangsung selama kurang lebih satu setengah jam. Artinya, penulis hanya tinggal punya sejam
kurang untuk tiba di stasiun. Itu pun
belum termasuk mengambil barang dan membeli makan *satu hal yang tidak pernah
penulis lupakan*. Hampir lima menitan
menunggu sebelum penulis akhirnya mendapatkan becak. Akhirnya, penulis pun meninggalkan Kauman
dengan perasaan bahagia sekaligus sedih.
Bahagia sudah berkesempatan tarawih disna, sedih karena harus buru-buru
meninggalkan tempat tersebut. Lebay? Kan
semua masjid sama aja, dan rata-rata masjid disana emang udah mulai taraweha
juga malam itu? begini ya, yang mahal disini bukan Cuma ongkos becaknya, tapi
lebih jauh dari situ sejarahnya, kedekataan emosionalnya. Angin, angin, anginn…. Kegerahan di Kauman
tadi terbayar dengan sepoyan angin yang meniupi penulis sepanjang berbecak
menuju stasiun. Sampai jumpa lagi
Kauman, nantikan kembali kehadiran penulis….segera.
Back Home: Lodaya Malam
Ini nih
kejadian aneh unik lucu tapi nyata. Perasaan
penulis sudah dengan sangat gambalang bilang sama mamang becak-nya sedari awal
kalau minta diantar ke penginapan untuk ambil barang sebelum ke stasiun. Ehh…tapi entah apanya yang miss, yang jelas
ini mang becak malah langsung bawa penulis ke stasiun, ya ampuun…kan gimana mau
pulang juga orang barang masih di penginapan.
Akhirnya setelah menjelaskan beberapa kali dengan susah payah *nah lho,
gak ngerti, penulisnya yang kurang jelas apa mamangnya yang…ahh sudahlah*
akhirnya becak pun berbelok kea rah berlawanan, menuju penginapan. Syukurlah lokasi penginapan tidak seberapa
jauh ditempuh dengan becak, kebayang kalau lokasinya di dekat Beringharjo,
alamat ketinggalan kereta ini mah. Ya,
bisa dibilang penulis kayak kejar-kejaran pas menuju stasiun itu. mana teman penulis tak henti-hentinya
menghubungi, pake anceman suruh ganti tiket kalau ketinggalan kereta lah,
ditinggal lah. Ahh, tapi sekalipun iya
ketinggalan ataupun ditinggal penulis sama sekali tidak akan menyesali
memaksakan diri bertarawih di kauman, paling yang bikin nyesel dan ngenes ya
rugi di tiketnya. Ditinggal seorang diri
disini pun sebelutlnya penulis tidak takut, Cuma ya itu sayang tiketnya! Dan, syukurlah semua masih berjalan sesuai
waktunya. Pukul 21.00 penulis tiba
disana. Menunggui teman yang tenyata
baru shalat isya karena menunggu penulis dulu sedari tadi *maaf*, penulis
akhirnya membeli amunisi untuk dimakan di jalan *secara ritme makan penulis
yang santai dan menikmati tiap suapnya tidak memungkinkan penulis makan disitu*.
Kereta datang sesuai jadwal, tanpa berhenti
lebih lama, pukul 21.30, kereta pun sudah melenggang lagi. Jika perginya penulis terpaksa menumpang
Kereta Eksekutif, sekarang penulis naik kereta bisnis yang tentu saja masih
enakan eksekutif kemana-mana! *yaiyalah*.
Awlanya, fine, tapi lama-lama hawa panas tak tertahankan sangat-sangat
menganggu, mana kaca jendela pas di tempat penulis duduk tidak bisa dibuka,
kipas angina cukup jauh, pas di bawah sorot lampu. Hemm…sama sekali bukan posisi strategis. Dan entah bagaimana caranya penulis mampu
bertahan hingga tengah malam sebelum akhirnya di tengah terjaganya penulis dari
tidur untuk yang kesekian kalinya ini, penulis menyerah. Saat ada petugas keamanan yang berpatroli,
akhirnya penulis buka suara meminta si bapak membukakan kaca jendela. Tidak mudah memang, perlu menggunakan alat,
tapi syukurlah akhirnya bisa juga.
Sempat sedikit membuat gaduh, tapi ya untungnya tidak fatal. Dan, alhamdulillah……sejuka dan segar nian
saat jendela terbuka. Iya pas enulis melihat
sekeliling gerbong sih rata-rata pada kedinginan. Malah, beberapa kipas angin tidak
dinyalakan. Beberapa lainnya
berselimut. Tapi ya gimana, kan kali
kondisi dan perasaan kita beda satu sama lain.
Toh, teman penulis pun sama kegerahannya. Meskupun semakin ke barat dan semakin
menjelang subuh udara dingin terasa mulai menusuk, tapi itu jauh lebih baik
daripada berasa seperti di panggang dalam oven.
Ya, mohon maaf ya bilamana kkeputusan saya membuat beberapa orang
menggigil, tapi yakin ahh tidak sebegitunya.
Hehe. Kereta tiba di Bandung
pukul 05.30, dan segera kami menuju mushola, menunaikan shalat subuh. Setelahnya, kami berpisah di luar stasiun karena
menggunakan angkutan yang berbeda. Dan,
itulah akhir dari perjalan 3 hari 2 malam penulis di kota impian penulis, kota
yang selalu ngangenin, kota yang selalu nagih buat dikunjungin, ahh… tunggu
kehadiran penulis kembali ya! Oh, ya,
ini untuk pertama kalinya juga penulis mengalami “sahur on the road”, loh,
sahur di kereta. Serba terbatas dan
kurang berselera, tapi ya dinikmati sajalah, namanya juga darurot. Hehe. Next time
penulis bakal sahur plus buka di kauman
deh, semoga ya. Aamiin.
***
Begitulah kisah
tiga hri perjalana penulis selama di kota Pelajar. Aneh? Ngebosenin? Ahh…gapapa yang penting penulis sudah
berusaha menshare pengalaman, suka duka penulis disana. Masih kerasa kaku apa lebay? Maklumi saja ya, masih belajar. Belum bisa meringkas. Kalau ada yang punya tips dan masukan, dengan
senang hati penulis terima. Akhir kata,
mohon maaf atas kebingungan yang penulis hadirkan di tiga postingan ini, dan
selamat menikmati. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar