![]() |
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhYTjOSAyDalxbcgBPn8gNlqYiBhvMDF5U4ZH591kEHemR3clt71VRRjk5KHK9aaixmowTDzuVUJKkUOCmKaAld44RViJr7YoWGqDcpN3M5K0uqT9YqKSsgzBlOwcUOpwjzA8SZBqEaKao/s400/Foto030.jpg |
Ramadhan yang hanya berlangsung selama 29-30
hari saja umumnya berlangsung semarak. Semarak
disini maksudnya dipenuhi berbagai hal yang khas, baik bersifat konkrit seperti
makanan dan jumlah jamaah di masjid-masjid ataupun abstrak seperti
suasana. Makanan, hampir setiap sore
berbagai titik keramaian biasa dijejali oleh berbagai pedagang makanan yang
menjual berbagai penganan khas Ramadhan semacam kolak hingga jajanan biasa
seperti kue-kuean, goreng-gorengan, dll.
Jamaah masjid. Yah, selayaknya
angkutan umum yang jumlah penumpangnya melonjak hingga berkali lipat di masa
mudik, nah begitupun masjid-masjid ini, yang biasanya Cuma 1-2 shaf bisa
berlipat hingaa 4-6 shaf, bahkan di awal-awal sampai banyak yang tidak kebagian
lapak. Nah, itu sih fenomena umum
ya. Sekarang yang ingin penulis bahas
lebih ke fenomena-fenomena (yang menurut penulis pribadi a.k.a IMO) unik di
bulan seribu bulan ini. Nah, biar gak
pusing bagi para opengunjung yang kebetulan mampir dan baca artikel ini, penulis
akan memaparkannya dalam bentuk poin per poin.
# Seni Menanti Bedug: Nikmatnya Berbuka
#
Semarak Berhijab
#
Toleransi di Bulan Ramadhan
Nah, sekarang mengacu pada kedua poin di
atas, sebenarnya hal yang sangat ingin penulis soroti disini ialah perihal
toleransi. Dan, toleransi disini
berkaitan dengan dua poin di atas. Masalah
makan dan makanan serta berbusana. Maaf,
sebelumnya maaf, ini hanya artikel pribadi yang berisi pandangan pribadi
penulis berdasarkan pengamatan pribadi penulis terhadp kedua fenomena di atas
selama beberapa tahun trakhir *ceileeh*.
Nah, pertama perial makanan dan makan atau aktivitas apapun yang
bersifat membatalkan shaum. Tidak jarang
penulis mendapati orang yang asik saja merokok di siang bolong atau bahkan
tanpa sungkan nongkrong di warung nasi pinggir jalan. Ataupun sekedar menegak minuman dingin yang
justru jauh lebih menggoda daripada makan di siang bolong. Oke, sekali lagi konteksnya disini ialah bagi
sesama muslim ya, bukan yang non muslim.
Miris sih kadang, sebegitu addict-nya sampai tidak bisa tidak menghisap
rokok barang 12 jam. Tapi, yasudahlah,
mungkin mereka punya alasan kuat tersendiri, masalah keyakinan barangkali
(keyakinan disini bukan bersifat kepercayaan terhadap satu agama tapi lebih
pada ideologi). Ahh..sekali lagi penulis
sebagaimanusia biasa tidak berhak menghakimi bahwa mereka salah, dosa,
dll. Yang jelas sepemahaman penulis
mereka yang makan minum merokok di siang hari itu berarti tidak shaum. Gak berani ya penulis bilang itu batal, kan
belum tentu juga mereka berniat shaum. Apa
kalau tidak niat bisa dibilang batal? Lagipula
toh sekadar makanan atau minuman tidak begitu menggoda bagi sebagian besar
mereka yang shaum.
Kedua, perihal berbusana. Ini nih yang bagi penulis lebih berpotensi menggoda
iman di bulan ramadhan ini. Heran deh,
selain hijabers yang menjamur, penulis fikir, banyak yang walaupun tidak
berhijab tapi setidaknya rada membatasi bagian tubuh yang bisa dinikmati oleh
banyak mata dengan bebas. Ya, kasarnya
tidak terlalu buka-bukaan. Terlalu naïf memang
karena pada kenyataannya masih banyak kok mereka yang masih serba terbuka. Dan, untuk yang ini penulis sih menyoroti
semua kalangan. Tapi lebih khusus
lagi-lagi bagi para muslimah dan terutama lagi publik figur. Beberapa kali penulis menyaksikan acara televise
di bulan Ramadhan ini, alhamdulillah sudah banyak penampil yang kalaupun
mengenakan dress di atas lutut, mereka melapisi kaki jenjang nan mulusnya
dengan lagging. Tapi sayangnya masih ada
saja, bahkan lumayan banyak yah para penampil yang masih entah belum mengerti
atau bahkan tidak peduli untuk lebih ‘sopan’ dalam berbusana. Mereka kan masalahnya menjadi sorotan. Okelah kalau orang biasa impact-nya untuk
sekitar saja. Nah, kalau tokoh terkenal
kan blow-up-an media bisa bikin impact-nya menasional bahkan men-global. Oke, tidak semua penampil seorang muslim,
tapi atas nama toleransi sepertinya berusaha untuk sedikit saja lebih tertutup
di bulan suci ini harus otomatis diagendakan oleh para publik figur tersebut. Akan tetapi, kalau diurai sepertinya semua
balik lagi ke kesadaran dan respek pribadi masing-masing penampil tersebut plus
kecermatan manajemen demi menjaga image anak asuhnya.
Nah, berkaca pada dua fenomena di atas
akarnya sebenanrnya satu: TOLERANSI. Itu
tuh materi wajib dan pokoknya mata pelajaran Kewarganegaraan yang bahkan masih dipelajari
hingga di bangku kuliah. Saking pentingnya
demi pembentukan karakter bangsa demi terwujudnya bangsa berkarakter sebagai
pembangun bangsa ini ke depannya. Penting
juga mengingat negeri kita kan saking tolerannya memiliki lebih dari lima
kepercayaan resmi yang diakui negara. Ya,
kalau kita tidak dijejali toleransi, kebayang ya di tengah puluhan bahkan
ratusan suku dengan beragam bahasa dan dialek plus keragaman budaya dan agama,
hem…mungkin eksistensi negeri ini hanya sumur jagung, kemerdekaan tidak akan
pernah terwujud, kalaupun iya ya seumur jagung juga wong bangsanya saling sikut
satu sama lain. Ini nih perbedaan sering
kali jadi biang kerok konflik dimanapun, dan malangnya ia pun sering kali
dijadikan kambing hitam dalam banyak perihal.
Padahal kalau toleransi tadi dijadikan penengah dan semuanya konsisten
dengan toleransi tersebut ya perbedaan justru menjadi satu keunggulan. Kan yang bikin Indonesia dikenal salah
satunya keragaman budaya dan hayati-nya.
kembali ke pokok pembahasan, pertanyaannya jika dua fenomena di atas yang
terjadi apa iya toleransi masih terpelihara?
Jatuhnya ini bak sebuah PARADOKS.
Ketika toleransi diagung-agungkan, ehh…justru manusianya yang tidak bisa
toleran. kalau begini, meminjam lirik
lagunya raisa “apalah arti toleransi…bila hanya sekedar kata-kata.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar