Film teranyar dari ayah dan mertua sutradara terpuji dan terbaik versi FFB dan FFI ini berkisah tentang semangat perjuangan dan nlai-nilai kemerdekaan dan kemanusiaan dari seorang Soegija. Siapa Soegija? Beliau merupak uskup katholik pribumi pertama di Indonesia. Beliau diangkat menjadi uskup di tahun 1940 di masa-masa kritis jelang kemerdekaan. Belum sembuh betul dari tekanan Belnada, rakyat malah dibuat makin menderita saat Jepang mengambil alih kekuasaan. Adik dipaksa berpisah dengan kakaknya, ibu dipisahkan secara paksa dengan anaknya. Belum lagi mereka yang tersisa di Semarang akhirnya terpaksa mengungsi ke Yogya yang saat itu menjadi Ibu Kota sementara demi keamanan dan keselamatan, tak terkecuali sang uskup.
Perang
belum juga usai. Ternyata di Yogya
suasana malah dalam beberapa hal memburuk.
Sebenarnya keadaan sempat membaik pasca kekalahan Jepang atas sekutu
yang dilanjutkan dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi semuanya menjadi sia-sia dan
malah berujung dengan peperangan pasca pengkhianatan Belanda melalui Agresi
Militernya di tahun 1947dan 1949.
Barulah setelah ada perjanjian gencatan senjata, dan Belanda pun
berangsur-angsur meninggalkan Indonesia, seperti kata Soegija, kini tinggal
berjuang mempertahankan dan mengisi kemerdekaan melelui politik.
Lalu
bagaimana dengan mereka yang terpisahkan?
Mariyem (Annisa) yang terpisah dari mas-nya, Maryono (M Abbe. ) harus tegar
menghadapi kenyataan bahwa mas-nya yang sempat menjanjikan akan pulang untuk
mneyaksikannya jadi perawat ternyata sudah terbujur kaku. Sedang Ling Ling (Andrea Reva) yang
dipidahkan dari ibunya (Olga Lidya) lebih beruntung karena bisa berkumpul
kembali dengan sang bunda setelah terpisah selama lima tahun.
Selain
tokoh-tokoh di atas, Romo Soegija dikelilingi oleh sejumlah tokoh lainnya. Ada Targimin, asisten setianya. Ada seorang penyiar radio yang sangat setia
dan up to date mnginformasikan kejadian terkini. Ada pula Hendrick, seorang wartawan asing
asal belanda yang menginap di Hotel Asia milik wanita Jawa Berbeda dari rekan senegarnya Robert yang
sangat menikmati peperangan dan tergabung dalam pasukan belanda yang menduduki
Semarang-Yogyakarta, ia jutru berpihak pada pribumi bahkan jatuh hati pada
Mariyem. Sementara Robert yang cenderung
tak punya hati bisa tesentuh juga olah tangisan seorang bayi mungil. Masih ada Banteng, pejuang yang memiliki
masalah mental sehingga tak memiliki kecerdasan sebagaimana remaja seusianya
(bahkan oleh anak kecil pun kalah).
Kehadiran
tokoh-tokoh pendamping sang Romo berikut konfliknya membatasi frekuensi
kehadiran sang romo. Alhasil, judul
“Soegija” yang sejatinya menjadikan tokoh yang dicatut namanya sebagai judul
film ini sebagai pusat utama, jadi seperti pendapat kebanyakan penonton yang
sudah melihat film ini bhawa judulnya
menjadi terasa kurang pas. Tokoh Romo
Soegija bagi penulis pribadi ya, disini, hadir tak ubahnya peran Pak Haji di
“Islam KTP”, iya perannya penting tapi bukan yang utama. IMHO ya itu.
Di
luar itu dari sisi teknis, gambar, detail make up, kostum, dan setting sangat
terasa nyata. Sangat layak
diapresiasi. Ya, kalaupun kita tidak
akan mengenali sosok Soegija secara detail lewat film ini, paling tidak kita
ngeh dengan siapa itu Soegija. Dan,
sepertinya bung Garin memaksa kita untuk penasaran dengan tokoh ini dan lantas
mendalaminya sendiri, dengan membaca biografinya misalkan. Who knows.
Intinya, tidak bosan-bosan penulis menghimbau, gih nonton buruan cepetan
soon pergi ke BIOSKOP terdekat kesayangan Anda! J
Minoritas di antara (Bukan)
Mayoritas
Aroma
pas nonton film ini itu…wiiw BGT. Hari
itu hari ahad kan jadi crowded-nya uwow BGT lah. Penulis nonton yang jam 7 malem, dan beli tiket jam 5.30. dan, betapa kagetnya pas mau pilh bangku, tinggal
tersisa 5-6 jajar terbawah! Padahal itu
sampai O apa P gitu. Penulis akhirnya
memilih duduk di J. dari A-I, semua
penuh dan hanya menyisakan dua bangku kosong, itu pun terpisah. Sedangkan penulis nonton berempat. Hemm..sebenernya penulis dan dua teman sudah
tiba sejak jam 5, tapi kami menunggu satu teman lain makanya baru beli tiket
jam segitu, dan…untung kami tidak menunda lebih lama lagi *batin penulis dalam
hati*.
Belum
cukup! Pas nonton masuk studio nih ya,
berhubung penulis mampir dulu ke kamar mandi yang saking crowded-nya itu
bioskop sampai menjalar ke kamar mandi segala *aihh*. Nah pas masuk itu 70% bangku bioskop udah ada
penghuninya, dan ketika ditilik-tilik, hey….nampaknya ini sebagian besar
penonton adalah rombongan keluarga, sekolah, dan lain-lain. Iyap! Kan, meskipun ditidak-tidak, bahwa itu
bukan film biopic layaknya Sang Pencerah, tapi judul Soegija itu mau tak mau ya
menjadi daya tarik sendiri bagi kalangan tertentu, kembali seperti halnya sang
Pencerah. Pokoknya nuansa-nya
mengingatkan saat penulis menonton sang Pencerah bersama rombongan keluarga,
sekitar 20 orang-an saat itu. Ada yang
salah? Tentu saja sama sekali tidak.
Akan
tetapi yang menarik adalah, mengacu pada sub judul di atas, bahwa penulis jadi
merasa seperti minorotas dinatara minoritas, yang itu kurang begitu nyaman. Mohon maaf, tidak ada unsur SARA sama sekali
disini. Sekali lagi TIDAK ADA UNSUR
SARA! Maksud penulis adalah kan
sebegaimana kita ketahui bahwa muslim menjadi agama mayoritas disusul kristiani
di negeri ini. Nah, berhubung identitas
kemusliman seseorang bisa dengan mudah teridentifikasi dari jilbab-nya, jadi
mengidentifikasi muslim diantara non muslim tidak akan sesulit mengidentifikasi
non muslim di antara muslim. Jadi,
atmosfer pas masuk studio kemarin memang rada-rada aneh ya, berasa semua mata
memandang *aahh…itu mah emang dasar penulisnya yg ke-GR-an*. Dan
penulis sempat curi-curi pandang dan
rasanya tidak menemukan lagi yang berkerudung selain penulis dan dua
teman penulis lainnya entah jika terselubung.
Tapi no offense ya, sedari awal penulis
memutuskan nonton film ini sama sekali tidak ada pikiran macam-macam. Motifnya murni sebagai pecinta film Indonesia
yang cinta dan mendukung penuh film Indonesia berkulitas. Jadi sekali lagi no offense ya, hanya ingin
berbagi sedikit pengalaman saat menonton film ini saja, that’s all.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar