Postingan
ini akan berisi gabungan kisah yang terangkai dala beberapa waktu belakangan
ini yang sebetulnya ingin dibuat terpisah satu-satu tapi urung karena keterbatasan
penulis dalam me-manage waktu. Alhasil,
ya ini nih ikhtiar penulis yang gak pengen semuanya terlewatkan begitu saja. Walaupun bersifat rubrik tetapi semoga tidak
mengurangi esensi cerita. Dan lagi penulis sekaligus latihan bikin
postingan yang efektif-efisien. Tanpa usah
berlama-lama lagi, yuuk…kita cussss….
#Disiplin dan Perhatian
Kisah
tentang salah seorang orang yang penulis hormati. Beliau itu masih cukup muda untuk ukuran
profesinya, jadi tidak heran kalau beliau memang banyak menjadi asisten bagi
koleganya yang lain yang lebih senior baik dari segi usia maupun gelar. Meski demikian, soal disiplin, beliau
juaranya. Bahkan kolega-koleganya yang
lebih senior itu pun kalah jauh lah masalah yang satu ini. Contohnya, beliau tidak segan mengusir
seseorang yang dianggap tidak menghargai orang lain di tegah perjalanan, atau
beliau tidak segan mempersilakan mereka yang datang satu menit saja melewati
lima belas menit yang disepakati untuk keterlambatan menunggu di luar tidak
terkecuali bagi mereka yang strata pendidikannya satu tingkat di atas penulis. Bahkan ‘mengusir’ dari perkuliahan pun kalau
memang harusnya begitu ya kenapa tidak, seperti yang dialami penulis. Waktu itu penulis terllau banyak absennya (7
dari seharusnya 6), dan itu menjelang akhir semester loh, tapi apa daya
peraturan tetaplah peraturan. Dan,
karena penulis sadar bahwa itu memang kesalahan penulis maka ya tidak bisa
protes. Hebatnya beliau tidak pernah tanpa alasan dalam bertindak terutama
penegakkan disiplin itu yang hebatnya lagi bikin kita tidak sanggup lagi
protes.
Menariknya
ada satu momen ketika beliu yang sangat jarang terlambat atau tidak hadir di
kelas (itupun selalu dengan alasan logis seperti sakit atau ada tugas dari
jurusan, kampus, atau universitas) justru datang terlambat. Ada konfirmasi sih, alasannya belum beres
menyiapkan bahan. Seorang yang
menjunjung tinggi kedisiplinan seperti beliau belum beres bikin bahan sampe
harus telat masuk kelas, sesuatu sekali lah.
Nah, tapi poinnya adalah entah mengapa tiba-tiba saja terlintas di benak
penulis satu pikiran yang terlalu jauh dan cenderung mengada-ada. Meski jarang, tapi beliau memang sesekali
(yang tidak pernah lebih dari satu kali atu paling banyak dua kali) seolah
menyengajakan untuk hadir telat di kelas.
Tujuannay? Menurut nalar konyol penulis tujuannya yaitu memberikan
kesempatan bagi mereka yang untuk berbagai alasan baik teknikal (macet,
kendaraan mogok) ataupun non-teknikal (bangun telat) sering hadir melebihi 15
menit yang telah disepakati sehingga terpaksa mesti mengambil jatah bolos. Beliau kalau dikaitkan kesana seperti ya itu memberi
kesempatan buat kami-kami (penulis ngerasa sih langganan telat, heu) bernafas
lebih panjang. Dan, itu bagi penulis
ialah bentuk perhatian beliau sama kami.
Kalau bukan perhatian, kenapa juga beliau mesti ‘rela’ mengorbankan
reputasinya sebagai penegak kedisiplinan
demi memberikan kesempatan pada mereka yang diajarnya yang belum tentu berfikir
sampi kesana dan mengahargai itu. Ya,
walaupun beliau pasti enggan megakuinya (pasti berapologi kaau itu ya hanya
eterlambatan yang bersifat non-teknis). Ya
gapapa deh toh ini kan hanya hasil analisis konyolnya penulis, betul?!?
Ya,
dibalik kedisiplinannya beliau itu sesungguhnya merupakan pribadi yang layak
menjadi panutan. Untuk mendisiplinkan
kami toh beliau tidak harus dengan sok menjadi sangar atu killer. Beliau tidak pernah marah secara verbal loh
apalagi main fisik (masih musim ya? Haha).
Beliau semarah apa pun selalu berusaha untuk menampilkan sisi bijaknya
dibandingkan sisi sangarnya. Makin
favorit sekaligus disegani karena beliau itu termasuk satu diantara sekian
persen saja dari rekan seprofesinya yang mampu mengidentifikasi nama dan muka
yang diajarnya. Kebayang gak ada sekitar
800-an individu di jurusan dan nampaknya hampir setengahnya atau bahka lebih
pernah keajara, dan semua yang beliau ajar pasti teridentifikasi nama dan
wajahnya. Entah sih kalau ketika di uar
kelas beliau masih bisa megenali kami dengan baik apa tidak, yang jelas saat di
kelas beliau pasti tahu. Maka, tidak
jarang saat mengabsen beliau hanya perlu elihat tnapa perlu lagi mengecek
sambil lihat acungan tangan atau wajah si orang yang diabsen. pokonya beliau juara lah kalau ada ajang
award-awardan. Intinya, ya itu dibalik
kedisiplinan seorang beliau, sesungguhnya beliau meyimpan perhatian yang begitu
besar para kami mahasiswanya. Toh beliau
pun sebenarnya enggan mungkin mnegusir, tidak mempersilakan masuk, apalagi
hingga memecat kami dari perkuliahan. Tapi,
itu tadi aturan tetaplah aturan yang perlu kita lakukan sederhana saja
sebenarnya yakni: DISIPLIN!
#Taburan Cahaya di Lodaya
Lodaya,
wilayah yang plaing tidak satu minggu sekali penulis kunjungi terkait aktivitas
penulis di Jalan Sancang (seberang Lodaya).
jalanan yang mengitari lapangn softball Lodaya ini biasanya sepi. Kalaupun ada keramaian di daerah situ ya
paling di siang hari, itupun di palasarinya.
Atau jika jum’at tiba, jalan sancang yang memotong jalan Lodaya dan KH.
Ahmad Dahlan biasanya mendadak ramai, jadi pasar mingguan, mulai pagi hingga
siang. Maklum, keberadaan mesjid Mujahidin yang setiap jum’at selalu dipenuhi
jamaah tentu menarik perhtaian para pedagang.
Nah, jika siang saja sepi apalagi malam.
Sayangnya, bukan hanya sepi tapi juga gelap karena banyaknya lampu
penernagan jalan yang tidak berfungsi. Hal
itu membuat penulis terkadang merasa bukan takut tapi lebih kepada tidak aman
jika malalui wilayah situ malam-malam (hendak menuju atau keluar dari jalan
Sancang—naik angkot pulang). Namun,
situasi tersebut akan berubah seketika saat seang ada turnamen softball. Malam di Lodaya akan menjadi ternag benderang
jika tengah berlangsung turnamen softball.
Ada dua entah lebih lampu sorot yang nyalanya bahkan menerangi wilayah
seantreao lapangan Lodaya hingga ke Sancang dan KH. A. Dahlan. Pokonya selalu menyenangkan saat melalui
sekitaran jalan Lodaya saat sedang bermandikna cahaya lampu sorot itu. Seolah ada buncahan cahaya penyemangat yang
menggelayuti malam di Lodaya.
#Ibu dan Anak
Awalnya
penulis fikir hal ini hanya kebetula belaka, kebetulan bertemu di satu angkot,
di pertemuan pertama itu. Ehh..tak
dinyana sekian waktu berlalu, kembali pertemuan yang lagi-lagi penulis anggap
sebagai kebetulan itu terjadi. Hingga akhirnya
beberapa hari ke belakang sekali lagi pertemuan itu terjadi. Kebetulan ketiga atau tiga kali kebetulan,
serasa aneh. Makin aneh karena ketiga
pertemuan yang meski kesemuanya berlangsung dalam angkutan kota (angkot) itu,
namun di jurusan yang berbeda-beda. Pertemuan
pertama berlangsung saat penulis hendak bertola dari Stadion Persib menuju Cicadas
dengan menumpang angkot Panghegar-DU. Selanjutnya pertemuan berlangsung di
angkot Margahayu-Ledeng saat penulis bertola menuju cicadas. Terakhir, angkot Kalapa-Ledeng lah yang
menjadi saksi pertemuan kami saat penulis hendak menuju Buah Batu. Pertemuan yang melibatkan tiga pihak:
penulis, sang Ibu, dan si Anak. Jadi,
yang penulis temui sebanyak tiga kali itu ialah seorang ibu dan anaknya yang
sebanyak tiga kali perjumpaan itu selalu digendong oleh sang ibu meski ternyata
telah berumur 12 tahun lebih. Selain selalu
mengendong si anak, yang jugaunik adalah si ibu selalu mengajak si anak yang
kelhatannya tidak mampu berkomunikasi itu bicara, apa pun. Di sua pertemuan awal Cuma itu saja
kesimpulan yang bisa penulis ambil. Baru
dipertemuan ketiga itulah, ada secercah
pencerahan mengenai apa yang terjadi dengan si anak. Entah kenapa saat itu si ibu tiba-tiba saja
mengajak ibu yang duduk di sebelahnya bicara.
Lawan bicaranya sih psif ya sebetulnya, hanya menjawab sesekali dan
pendek-pendek saja. Namun, mungkin
karena memang telah terbiasa mengahadapi lawan bicara yang pasif (bahkan
terkesan bicara sendiri) yakni dengan si anak yang setia dalam gendongannya, ya
beliau tidak begitu merasa terganggu. Beliau
mulai bercerita tentang si anak yang ternyata mengalami hidrosepalus yang
mengakibatka fungsi kerja organ tubuh lain terganggu sejak usia sepuluh bulan. Dan, sejak saat itu pulalau ia selalu
menggendok sia anak kemana-mana. Ayahnya
tidak jelas apa sudah meninggal atau gimana yang jelas ia hanya mengatakan bhwa
“ayahnya udah gak ada”. Lalu ceritanya
cenderung cerutanya cenderung mengrarah menjadi curhat. Jadi, ceritanya saat itu ia dan sang anak
baru saja pulang dari tempat terapi, semaca pengobatan alternatif, tapi sayang
ahli terapi nya sedang ke Karawang jadi mesti balik lagi minggu depan
katanya. Nah, dari situ mulai curhat
seputar keterbatasan ekonominya, bagaimana kesusahpayahannya mengurus anaknya
sendirian (bukan ngeluh sih yang ini tapi lebih ke ingin berbagi aja mungkin
ya), hingga betapa keluarga suaminya yang katanya kayak-kayak enggan menyisihkan
bantuan untuk anaknya (kalau yang ini sih agak-agak klise ya ceritanya, serasa sinetron
alupun ya mungkin memang iya begitu). Ia
juga sempat ya cerita tentang keluarga lainnya, tapi Karena itu tadi seolah
bicara sendiri jadi berasa hanya gegerenyeman.
Setelah itu entah cerita apalagi karena penulis keburu turun. Dari sana ada beberapa hal yang pengen
penulis apa ya…emm…cermati *halah*. Pertama,
betapa besar ya pengorbanan si ibu yang udah hilir mudik kesana-kemari sambil gendong-gendong anaknya . kedua, ini
yang agak aneh, kenapa bisa secara kebetulan samapitiga kali ketemu di ‘tempat’
dan dengan ‘tujuan’ yang berbeda? Benar-benar kebetulankah atau? Wallahu’alam.
Kali ini segini dulu yaa..nanti
dilanjutkan dengan portingan-postingan lain dengan judul di bawah ini…
#Tak
Tergantikan
#Go
GUNNERS GO
#Ayo
Owi/Butet BISA!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar