Donny
Alamsyah, Donny Alamsyah, Donny Alamsyah, Iko Uwais…..Joe Taslim! Itu tuh kata-kata yang bakal terlontar kalau
penulis ditanya seputar “The Raid”. Film
aksi Indonesia yang udah heboh sangat di pra pemutaran perdananya di Indonesia
ini rilis sehari lebih cepat di AS sana.
“Untuk menghindari aksi pembajakan” kata si produser. Film yang diakui secara internasional ini
diproduksi oleh produser yang sama dengan film Merantau tiga tahun silam. Bintang utamanya pun, Iko Uwais, merupakan
bintang film yang sayangnya agak mengecewakan di pasaran. Karena itu pulalah dalam film ternyarnya ini,
Rio sang produser mengganti strategi pemasarannya dengan terlebih dahulu
menjajakan film ini di berbagai festival film internasional. Hasilnya? Sony Picture dan Mike Shinoda ikut
trelibat dalam distribusi dan pembuatan scoring
film arahan Gareth Evans.
Fakta
di atas tentu menajadi umpan yang pas untuk memancing perhatian bukan hanya
penonton tanah air, tetapi juga dunia.
Khusus untuk penonton dalam negeri sebenarnya penulis gak begitu
surprise ya mengetahui sambutan hangat yang mereka berikan. Secara ya itu dia promosinya yang udah
gila-gilaan duluan yang bikin para pemirsa tanah air ya mau gak mau dipaksa melek dan akhirnya
melirik film ini. Film arahan Gareth
Evan yang asli Australia ini kembali memasang Iko Uwais sebagai aktor utama setelah
di Merantau. Bahkan Iko pun akan kembali
bermain di film arahan Evan lainnya yang direncanakan beeredar tahun
depan. Maklum saja, berdasarkan info
dari sejumlah sumber yang penulis baca, kisah-nya bang Iko ini akan dijadikan
trilogi. Filmnya boleh berbeda, tapi
genre ceritanya pasti action lagi.
Ya,
sepertinya itulah benang merah film triloginya Evan, sang sutradara. Seperti “Merantau” yang sarat adegan bela
dirinya, The raid pun hampir 99% nya berisi adegan laga. Hanya di awal, tengah, dan akhir film saja
penonton dibiarkan bernafas lega.
Sisanya? Mungkin lain cerita bagi
mereka pecinta film action, tapi bagi penonton tipikal penulis yang ya lebih
menikmati jenis drama film ini jelas sangat memacu adrenalin. Saking gak nahan sama kekerasan yang tersaji
di layar bioskop, penulis sambil nyubitin teman di sebelah penulis yang
dianugerahi sang Maha Pencipta dengan tubuh yang jika ia dicubiti pasti tidak
akan begitu berasa. Kurang dari lima
menit, letusan peluru, pertarungan tangan kososng, pengeroyokan, cipratan
darah, gerakan silat, teriakan-teriakan, hembusan nafas terengah-engah, dll bergantian ‘meneror’ para
penonton. Dan, terror itu baru berhenti
didua-satu menit terakhir! Lima menit
plus dua menit berarti hanya tujuh menit dari keseluruhan 109 menit yang tanpa
adegan kekerasan. Sisanya? Hemm…dah
berasa nonton film horor aja kali saking
berulang kali menutup muka dan memejamkan mata sepanjang film.
Dari
banyak resensi atau ulasan yang penulis baca, hampir semuanya mengapresiasi
film ini dengan positif apalagi dari sisi teknis. Sayangnya tidak sedikit diantara mereka yang
merasa film ini secara penceritaan cukup mengecewakan. Kenapa? Ceritanya dianggap terlalu dangkal
atau kurang kuat. Memang siih tidak
sedikit pula yang memaklumi bahwa porsi penceritaan yang kurang kuat ini
terlunasi oleh adegan laganya yang begitu pol dan nyata. Penulis sendiri cukup sepakat ya kalau inti
ceritanya itu terlalu sederhaa untuk berkembang sebegitu jauh. Bayangkan ya, ada 20 polisi elit, masuk ke
markas gembong narkoba di apartemen tak teurus yang semua penghuninya bersedia
melakukan apapun demi si bos mafia yang notabene tuan rumah demi masih tetap
bisa tinggal disitu.
Kebayang
gak sih, apartemen 15 lantai yang pastinya dihuni banyak orang walau terlihat
sepi, dikepung oleh hanya dua puluh orang pasukan elit dibawah komando satu kapten
pengecut yang enggan membuka dalang penggerebakan pun menolak menambah
pasukan? Sekalipun mereka dibekali oleh
seperangkat senjata canggih, namun terbukti jumlah yang juah lebih sedikit
hanya mengantar mereka menyerahkan nyawanya cepat atau lambat. Jangan heran ya kalau pada akhirnya sepanjang
film fokus mereka bukan lagi pada bagaimana memburu sang target utama, namun
lebih kepada bagaimana untuk bisa kembali keluar dari tempat yang bak neraka
itu hidup-hidup.
Adalah
Rama yang bergabung dengna tentara elit dibawah pimpinan Jaka yang pagi itu
mendapat misi khusus menyerbu marka gembong narkoba terkemuka Tama dibawah perintah
sang komandan (Pierre Gruno). Misi yang
memaksanya meninggalkan sang isteri yang tengah hamil 7 bulan dan sang ayah
yang sudah mulai renta. Misi pertamanya
sebagai anggota baru sekaligus misi personalnya untuk membawa ‘pulang’ sang
kakak seperti janjinya pada sang ayah.
Awalnya semua berjalan lancar,
mereka berhasil melumpuhkan penjaga di bawah untuk menyelundup ke dalam
apartemen. Namun, misi nekat mereka
mulai berubah menjadi mimpi buruk setelah seorang anak penghuni apartemen yang
kedapatan berkeliarn di koridor saat
mereka mulai merasuk ke lantai lima apartemen itu lari dan memencet tombol yang
terhubung ke monitor di ruangan Tama.
Sejak saat itu, satu persatu kawannya terbunuh. Jika tidak sigap ia kapanpun bisa menjadi
korban berikutnya.
Semua
pasukan yang tersisa tidka lebih dari setengah jumlah awal mereka pun sebisa
mungkin menyelamatkan diri. Hampir tidak
ada sudut aman tersisa di gedung tua itu.
setiap lantai tak luput dipasangi
monitor yang tentu saja membuat langkah mereka menjadi sangat-sangat terbatas. Bahkan, Rama mesti berpisah dengan sang komandan yang pada akhirnya
bernasib serupa anak buahnya. Ia mesti
melumpuhkan banyak orang baik dengan senjata atupun tangan kosong hingga di
tengah kondisi terburuknya ia pun bertemu dengan sang kakak yang sudah
menghilang enam tahun belakangan dan ternyata menjadi tangan kananya Tama. Pertemuan ini pun tak luput dari intaian
kamera Tama yang mejadi sangat murka. Ia
pun tak segan menjatuhi hukuman pada Raka, sang anak emas melalui tangan Mad
Dog, tangan kananya yang lain.
Rama
yang berhasil bernafas lebih panjang karena diselamatkan Raka akhirnya
mendapati sang kakak tengah berada di ujung maut. Akhirnya brdua mereka pun terlibat
pertarungan tangan kosong dengan Mat
Dog. Sementara itu sersan Piere dan
salah satu rekan Rama yang masih bertahan hidup berhasil masuk ke kamar
pribadinya Tama. sayang setelah berhasil
mengikat Tama, ia malah menembak rekan Rama hingga tewas dan menggunakan Tama
sebagai alat untuk mengeluarkannya hidup-hidup dari gedung mematikan itu. Duo kakak beradik Raka-Rama akhirnya bisa
melumpuhkan Mat Dog denga satu tusukan di leher, sementara Tama pun akhirnya
tewas diterjang peluru Piere. Tanpa
kesulitan berarti, Rama, yang telah mengetahui bahwa Piere lah yang paling
bertanggung jawab atas tewasnya sang komandan dan rekan-rekannya yang lain,
dengan bantuan Raka berhasil melumpuhkan sersan Piere. Berempat dengan satu rekannya yang terluka
parah di perut, Rama akhirnya berhasil keluar dari gedung itu hidup-hidup. Janji pada sang isteri untuk segera kembali
pun terpenuhi, sayang janjinya pada sang ayah urung terwujud karena sang kakak
lebih memilih untuk tetap tinggal di
gedung neraka itu lantaran “udah ngrasa pas” katanya.
Begitu
menjelang gerbang Raka teriak “buka pintu!”,
“lu ikut balik sama gue!” kata Rama
“lu ikut balik sama gue!” kata Rama
“sekarang
gue bisa aman, tapi apa elu bisa ngejamin keselamatan gue di luar sana!?” balas
Raka
“ada
gue, polisi, yang bisa ngelindungin elu!” jawab Rama berusaha meyakinkan
Raka
menghentikan iringan langkahnya, membiarkan Rama yang tengah menggiring Piere
diikuti langkah pincang rekannya menjauh.
“kayak
yang elu bilang dengan seragam itu, tempat ini udah pas buat gue Ram!” katanya
setengah berteriak.
Rama
hanya bisa menelan ludah sambil terus berjalan tanpa pernah menatap lagi ke
belakang; Raka pun segera balik badan sesaat setelah meneriakan pendiriannya
pada sang adik.
Begitu
Rama dkk keluar dari gerbang, barisan cast pun mulai bermunculan di layar,
ruang bioskop yang semula gelap pun perlahan mulai bercahaya, dan puluhan (mungkin sampe ratusan) penonton pun
menarik nafas lega setelah dijebak dalam baku hantam di sepanjang seratus menit
durasi film. Kalau penulis sendiri
langsung bersyukur “akhirnya credit title juga…ffyuuh….”.
Capek
ya ternyata dibombardir adegan yang beda sekali sama film drama yang
mandayu-dayu (ya eyalah, lo pikir!?!).
Tapi penulis terpaksa mesti setuju ya kalau unsur drama nya kurang,
maksudnya semua terasa ujug-ujug tanpa tedeng aling-laing. Gak jelas siapa dalangnya, gimana asal muasal
keterlibatan Raka dalam gembongnya Tama, kenapa para penghuni apartemen kayak
udah terlatih untuk siap perang dan membekali senjata baik sekedar senjata
tajam sampai senjata api, gimana gedung yang sudang usang namun masih berlokasi
di sisi jalan raya ini luput begitu saja dari pengewasan aparat berwajib? Siapa sebenarnya Tama? Semuanya misteri bagi penulis perbadi sih..
Tapi
ya kemurahatian penulis skenario dan sutradara yang membiarkan dua kakak beradik Raka-Rama tetap
hidup sudah cukup membayar segalanya. Chemistry Donny-Iko sebagi kaka beradik
bagi penulis sih udah klop ya. Asik lah
liat mereka berdua di layar, meskipun porsi adegan mereka tidak terlalu banyak,
tapi diantara yang sedikit itu I really
love it. Tokoh lain yang mencuri
perhatian penulis itu si Komandan Jaka yang diperankan Joe Taslim.
Meskipun di beberapa ulasan aksinya banyak dikritik, tapi penulis pribadi sih menikmati aksi si komandan. Mimiknya pas marahin si sersan gak tau diri
setelah jadi pihak yang paling bertanggung jawab atas melayangnya nyawa anak
buahnya wih kayak bener-bener nunjukin jiwa
pemimpinnya ya. Belum lagi sekalipun
si sersan itu sumber petaka, tapi tanggung jawabnya sebagai pimpinan malah
membuatnya tetap pasang badan buat si sersan.
Ada
satu fenomena unik yang penulis tangkap dari film model begini. Si tokoh utama itu rata-rata digambarkan
sebagai tokoh pendatang baru, entah baru ditugaskan atau baru
dipindahtugaskan. Selain itu selalu
diceritakan sedikit latar belakang si tokoh yang umumnya sudah berkeluarga atau
minimal kekasih yang tengah dalam kondisi hamil. Jadi, selalu ada motivasi lebih dari sang
tokohh untuk membuktikan kapasitasnya sekaligus bertahan hidup. dan, itu pun terjadi di The Raid ini. Di adegan pembuka digambarkan silih
bergantian Rama yang tengah shalat dan berlatih, kemudian ia yang baru beres
shalat tengah malam menghampiri istrinya yang terbaring di tempat tidur. Ia mengelus perut sang istri lalu mencium
keningnya sambil berucap “Aku cinta kamu, sayang” “Maafin aku, aku janji akan segera
pulang”. Nah, di tengah-tengah kondisi
kritis doi keingetan si isteri yang lagi ngelus-ngelus perutnya sambil senyum
deh yang bikin semangatnya kayak di-charge
lagi.
Anyway,
ini postingan yang awalnya tidak niat panjang-panjang, malah sepertinya udah di
luar batasan. Jadi, mari kita simpulkan
saja ya. Secara keseluruhan ya ini film
jaminan mutu deh terlepas dari unsur penceritaan yang bagi sebagian besar
kritikus dinilai kurang kuat. Maka dari
itu, bagi yang belum sempat ataupun mnyempatkan diri mampir ke bioskop buat
menyaksikan film ini, buruan deh.
Sekalipun film ini gak akan bernasib senahas film Indonesia lainya yang
gak bertahan lebih dari seminggu, tapi bukan tidak mungkin film ini akan segera
lenyap dari layar bioskop sebelum Anda sempat menyaksikannya. Bbanyak Film yang mengantri untuk ditayangkan
bung, ada Titanic yang tayang ulang pula!
Ahh…buruan lah sebelum kalian semenyesal penulis yang tidak sempat
menyaksikan Mata Tertutup. Yuuk…dukung
FILM INDONESIA BERKUALITAS! J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar