Adalah
Alif, seorang remaja tanggung asal Maninjau, Sumatera Barat, yang bercita-cita
meneruskan sekolah menengah atasnya di salah satu sekolah negeri di kota
Bandung. Sayang, sang Amak (Lulu Tobing)
memintanya untuk melanjutkan pendidikan di kampus Madani, di Jawa Timur
sana. Sempat menolak dan mengalami
dilema, Alif pun pada akhirnya mengikuti keinginan sang Amak meski ia pun
fikirannya masih tertancap kuat di kota kembang sana. Maka berangkatlah ia dengan diantar sang ayah
(David Chalik) ke pondok Madani tersebut
diiringi tangisan sang kawan sejawat (Sakurta Ginting). Sesampainya disana, ia disuguhi sejumlah
bangunan dalam ukuran besar dan serangkaian tes penerimaan. Empat tahun total masa sekolah yang mesti
ditempuh karena sebagai santri yang masuk di kelas 4 (setara kelas 1 SMA),
mereka mesti mengikuti kelas persiapan dan pembinaan selama setahun. Hal sempat menciutkan niatan Alif
sampai-sampai ia hampir saja ngasal mengisi soal ujian supaya tidak lulus dan
bisa masuk SMA. Namun, takdir menuntunnya
untuk mengurungkan niat polosnya tersebut sehingga pada akhrnya ia bisa
tergabung dalam “Sahibul Menara”, bersama lima kawan barunya yang adalah Baso,
Raja, Said, Atang, dan Dulmajid yang memberinya berjuta pengalaman luar biasa.
Baso,
seorang penghafal Al-qur’an asal Goa yang sangat cemerlang prestasi
akademiknya. Raja, pemuda aseli Medan
yang relatif tempramen dan memiliki minat di bidang seni. Said, wong Suroboyo, pemilik badan paling
besar dan kekar di antara para Sahibul Menara yang lain. Atang, jajak bandung yang kentara sekali
logat Sunda-nya serta memiliki ketertarikan dalam otak atik mesin. Dulmajid, pemuda asal Lamongan yang sangat
fanatic terhadap bulu tangkis. Sementara
Alif sendiri, pemuda Padang ini memiliki ketartarikan dalam berbahasa dan dunia
jurnalistik. Terbentuknya Sahibul Menara
berawal dari intensitas kebersamaan mereka yang makin meningkat pasca dihukum
bersama di bawah menara majid pondok yang tersohor itu akibat telat masuk
masjid. Sejak saat itu mereka yang
terkena hukuman saling jewer menjadi makin akrab dan menjadikan Menara saksi
bisu ketika mereka dihukum itu sebagai ‘markas’ mereka. Dari sekedar merebahkan diri di tengah jeda
istirahat siang sambil tidur-tiduran,
berdiskusi, hingga tidak jarang berdebat merupakan aktivitas yang lumrah dilakukan oleh enam sekawan ini
disana, jadi akhirnya merekapun dijuluki “sahibul menara” yang berarti si
empunya menara.
Semangat
keenam orang ini khususnya sangat dipengaruhi oleh semangat “Man Jadda Wa Jada” yang diperkenalkan
pertama kali oleh ustad kesayangan sekaligus panutan mereka Ustad Salman (Donny
Alamsyah). Ada pula sosok pemimpin
pondok, Kiai Rais yang di luar posisinya sebagai pemimpin tertinggi di pondok
merupakan pribadi bersahaja. Ia tak
segan turut mampir ke studio menunjukan kemahirannya bermain gitar bahkan
menyempatkan diri mampir untuk menyewa generator. Alif sendiri cukup terinspirasi oleh
seniornya di klub jurnalistik (Andika Pertama) dalam mencari berita. Nisa yang keponakannya kiai Rais pun sempat
menjadi bumbu bagi mereka yang sehari-hari berkutat dengan sesamanya.
Film
ini lebih mengedepankan cerita persahabatan dan suka duka keenam tokoh sahibul
menara tersebut. Dari mulai perjuangan
Baso dalam mengikuti pidato berbahasa Inggris, perjuangan Dulmajid untuk
memungkinkan adanya nonton bareng Piala Thomas
antara Indonesia-Malaysia di tengah-tengah larangan hadirnya TV di
pondok tersebut, seorang Atang yang mulai menunjukkan bakat di bidang
permesinan saat mengersitekii perbaikan generator disamping cita-citanyamenjadi
seorang anggota DPR, atau bagaimana Raja menjadi team leader dalam pementasan
Ibnu Batutah sepeninggal Baso yang terpaksa meninggalkan pondok lebih awal
karena sakit sang nenek yang merupakan satu-satunya kerabat yang dimilikinya
semakin parah sehingga ia pun mesti bersegera kembali ke Goa dijemput
tetangganya, sementara Said meski berbadan besar namun senantiasa tampil
sebagai si pendamai. Dan, tentu saja
bagaimana pergulatan batin seorang Alif hingga akhirnya memutusakan untuk
bertahan di Pondok meski foto yang dikirimkan sahabatnya dari Bandung sempat
begitu menggodanya.
Sohibul Menara out of scene |
Di
luar itu, tidak ada letupan letupan konflik yang menaikkan tensi cerita
sih. Makanya review penulis kali ini gak
terlalu banyak bertutur tentang jalan cerita di film ini karena ya itu tadi
ceritanya gak datar sih tapi lurus lurus saja.
Ada beberapa adegan seru dari novel yang penulis tunggu, tapi tidak
muncul dalam film seperti adegan piket malam sampai menggrebek maling yang
muncul dari semak di balik sungai; turnamen bola yang melibatkan Kiayi Rais; dan
lain-lain. Belum lagi beberapa hal yang
agak menganggu seperti detil yang kurang terperhatikan (*ahh..sepengamatan
penulis masalah ini selalu hampir terjadi dan terulang di tiap proyek besar
kayak kerudung kusust nan menerawang padahal dipake sama akhwat di AAC) seperti
pas di satu adegan apa lupa yang melibatkan cukup banyak figuran, naah kan
ceritanya titu settingnya id penghujung tahun 80’an kan, tapi baju para figuran
itu sangat kekinian, pun bahan jilbab yang dipakai istri Kiayi beserta anak
keponaknannya yang berbahan paris yang kayaknya belum muncul deh tau
segitu. Ada juga kan pas lokasi di luar
pondok yang cukup kentara nuansa kekiniannya (ahh…kadang penulis berfikir apa
ini Cuma halusinansi penulis belaka atau sebegitu niatnya penulis sampai
merhatiin hal-hal “sepele” begituan?).
Selain
itu, pemilihan aktor yang memerankan para sahibul menara pas udah lewat sepuluh
tahun kemudian. Yang paling pas sih ya
Ario Wahab yang emang mirip sama A. Fuadi, sementara yang paling menggelitik
yaitu dipilihnya Udjo Project Pop sebagai Atang. Sundanya sih oke-oke aja, dapet, tapi kan
maaf postur beliau tidak begitu tinggi sementara yang memerankan Atang remaja
itu posturnya relatif tinggi. Tapi,
yang agak aneh juga kan Alif remaja itu terlalu ganteng dan kebulean deh untuk
kemudian bertransformasi dalam sosok Ario Wahab—di luar kapasitas aktingnya
yang cukup mumpuni. Eitss….bukan maksud
membanding-bandingkan tapi ini bermain logika.
Meski
demikian, secara keseluruhan penulis sangat mengapresiasi film ini. Kehadiran seorang Donny Alamsyah menjadi salah satu daya dukung utama yang mendorog penulis untuk
sesegera mungkin menyambangi bioskop begitu film ini dirilis disamping ya tentu
saja novelnya yang sampai bikin penulis pengen jadi santri di pondok tersebut
loh… Dan, pas film sudah diputar, ehh..penulis dapet bonus bisa liat lagi Gecha
yang adiknya si Vino di “Malaikat Tanpa Sayap”.
Pada akhirnya penulis hanya bisa merekomendasikan film ini sebagai film
yang sangat layak tonton apalagi buat para alumni pondok tersebut tentu akan member
kesan tersendiri seraya membangkitkan jutaan kenangan indah akan masa-masa
kebersamaan bersama kawan-kawan seperjuangan di pondok dulu. Buat yang masih punya kesempatan nyantri,
tonton filmnya, perkuat baca bukunya, niscaya jadi menggebu untuk jadi bagian
dari pndok ini dan mengukir sejarah-sejarah bari layaknya Sahibul Menara. Bener-benar terakhir, hayu segera kunjungi
bioskop-bioskop terdekat kesayangan Anda *dan rasakan kembali nonton film
Indonesia dengan jumlah penonton yang hampir memadati setengah gedung bioskop
di luar film horor dan drama berurai airt mata!*. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar