Pemain: Reza Rahardian, Ario
Bayu, Baim Wong, Pevita Pearce, Slamet Raharjo, Roy Martin, Tio Pakusadewo, Jajang C. Noer, Winky
Wiryawan, Wulan Guritno, Ray Sahetapy, Lukman Sardi
Sutradara: Adila Dimitri, Bobby
Eryanto, Robert Ronny, Yudi Datau, Rinaldi Puspoyo
Produser: Wulan Guritno, Adila
Dimitri
Sinopsis:
Upacara
di lapangan kepolisisan membuka kisah film ini.
Ada Ario (Aryo Bayu), perwira pplisi yang baru saja dipindahtugaskan
dari Medan (akan diketahui menjelang akhir film) yang sudah ditunggu Komandan Bowo (Tio Pakusadewo) di parkiran. Dan,
setelah permintaan maaf mebuat menunggu mereka pun bermobil bersama menuju satu
titik.
Di
sudut lain, sekelompok masa yang mengatasnamakan jamaah anu (mirip front
pembela agama itu loh) sedang menggelar shalat berjamaah dengan diimami Ibnu
(Baim Wong) yang bersama rekannya Said (Wingky Wiryawan) hendak memimpin ‘perjuangan’
memberantas ormas lain yang dinilai menyimpang dan menodai agamanya. Puluhan polisi sudah bersiaga menghadapi
kemungkinan bentrokan dan kerusuhan yang memang sudah tak terelakkan lagi. Di tengah-tengah
bentrokan terlihat Ario yang baru saja memarkir mobilnya bersama komandan Tio
berusaha menyelamatkan seorang nak kecil yang berteriak-teriak “Abi…..Abi……”
dan lalu buuuk! Sebuah pukulan mendarat di kepala Ario. Gelap.
DILEMA
besar-besar muncul di layar gelap tadi. Kisah
pun beralih ke sebuah pantai dimana seorang gadis muda nan jelita Dian Wibisana
(Pevita Pearce) sedang menikmati berjemur
di bawah terik matahari pantai tak jauh dari hingar binger pesta yang memecah ‘kedamaiannya’. Sempat dihampiri seorang pemuda yang hendak
mengambil bola sambil mengajaknya bergabung, ia menolak, “gak perlu diundang
gue bakal datang sendiri kalau gue mau” jawabnya datar atas ajakan itu. Tidak lama ia dihampiri lagi, kali ini oleh
seorang perempuan hamil yang mengenalkan dirinya sebagai Rima. Setelah berbincang beberapa saat mereka pun
menjadi akrab bak kawan dekat. Akrab dalam
hitungan jam, hati-hati!
Kembali
ke ibu kota, di sebuah ruangan yang tertata rapi, Adrian (Reza Rahardian) kedatangan
seorang tamu bernama Hetty (Jajang C. Noer). Wanita paruh baya yang ditemani dua pengawal
itu menyerahkan sebuah kartu nama dan memintanya mengunjungi orang yang
disebutnya Bapak di alamat tersebut. Sempat
tak acuh, ia pun acuh juga setelah kawan sekaligus rekan kerjanya (Abimana)
menyebutkan nama Soni Wibisono setelah membaca kartu nama yang tergeletak
begitu saja di atas meja. Sempat ragu,
ia pun akhirnya menyempatkan diri memeuhi undangan itu. Disambut Hetty yang menjanjikan bahwa ia akan
pulang dalam keadaan baik-baik saja, iapun menunggu sosok SW yang tersohor dan
entah mengapa mengundangnya itu.
Di
sudut Jakarta lainnya, di kawasan pinggiran, seorang lelaki paruh baya yang
belakangan diketahui bernaa Sigit (Slamet Raharjo) perlahan-lahan kembali masuk
ke kasino tempatnya bermain judi, aktivitas yang sudah cukup lama ia tinggalkan
dan menyebabkannya ditinggalkan anak istri.
Sekedar melintas tadinya, toh ia kembali tergiur untuk beraksi lagi,
apalagi pasca melihat jam warisan kesayangannya yang ia gadaikan akibat
kekalahan berjudi. 150 juta, harga yang
tidak sedikit, untuk menebusnya. Sempat diperingatkan
(Lukman Sardi) untuk segera pulang dan tidak lagi terlibat dalam perjuadian
itu, ia malah justru menerima tantangan si empunya kasino (Ray Sahetapi). Bermodalkan pinjaman sepuluh juta, sekali dua
kali main ia kalah, merugi, berhutang. Pinjam
Lukman Sardi tak diberi, seseorng akhirnya bersedia meminjaminya dengan bungan
25% per hari (judi..oh judi). Sebagai mantan
penjudi tangguh, tanpa ragu ia banyak melakukan all in. Dan, tidak sia-sia, jam tangan seharga 150 juta
itu pun kembali ke tangannya, tepat sebelum polisi menggerebek lokasi kasino
serta meringkus semua yang ada disitu.
Sementara
itu, Soni Wibisono (Roy Marten) orang paling ‘disegani’ an mengaku sebagai
penguasa Jakarta tengah dalam kondisi sakit.
Istrinya telah meninggal, anak perempuannya tak mungkin mau meneruskan
dan mewarisi bisnisnya katanya satu kali.
Maka, ia yang merasa kerja kerasnya selama ini mesti ada yang
melanjutkan memutuskan memanggi anak lamanya, untuk memberi tahu sekaligus
mewariskan apa yang ia punya. Sayang,
orang yang ditunggunya dengan sedikit gugup sekaligus harapannya menolak
mentah-mentah. Apalagi setelah tahu
bahwa kemapanan karir dan keberhasilan hidupnya selama ini adalah hasil campur
tangan orang yang sekarang tiba-tiba mengaku sebagai anaknya. Ya, dialah Adrian. Adrian lantas pergi setelah mengamuk, merebut
pistol dan Laptop SW. Hetty pun tak
kuasa mencegahnya. “Biarkan anak itu pergi” kata SW kemudian sambil
terengah-engah.
Malam
harinya, Ario menemani komandan Bowo alam sebuah operasi penggerebekan sebuah rumah
kasino. Lokasi dimana ia menyksikan
sendiri seorang yang amat ia kenal ikut diringkus dalam penggerebekan itu,
seseorang yang tadinya ingin ia beri kejutan namun malah justru mengejutkannya. Kejutan apakah itu? Di sebrang pulau, di tepi
pantai, Dian akhirnya mau bergabung di perta yang diadakan Raymond dan bersedia
meminum obat yang diberikan Rima, barang yang sebenarnya sudah ia
tinggalkan. Ia menari, ngobat, hingga
bercinta untuk sejenak melupakan kepenatan ditinggal sang bunda tercinta dan ‘ditelantarkan’
sang ayah yang takan mencarinya menurutnya.
Apakah kesenangan malam itu akan memberikan kehidupan baru baginya? Bagiamana dengan sang ayah?
Sementara
di sudut ibukota lainnya, Ibnu yang tersadarkan akan demo-demo tak bertujuan yang
malah menciderai agamanya dan membuatnya dijauhi sang gadis pujaan mulai ‘tobat’
hingga membuat Said, yang belakangan diketahui menjual agamanya dengan
memprovokasi kawan-kawannya berdemo dan mebuat aksi kekacauan lainnya dengan
disokong para donator sekaligus dalang yang salah satunya adalah SW, begitu
marah. Apakah ia akan benar-benar
berhenti? Mampukan ia menyadarkan Said yang masih memiliki anak perempuan
kecil? Lalu akankah Adrian bisa bebas
begitu saja setelah ‘pemberontakan’nya atas SW--terlebih dengan membawa laptop
yang berisi data-data berharganya? Lantas bagaimana nasib kerajaan SW pasca
peninggalannya kelak setelah sia hali waris yang diharapkan justru menolak
bahkan memberontaknya? Apa yang akan ia
lakukan pada anak ‘durhaka’ tak tahu diuntung itu? Akan setega apa pada anak kandungnya? Nasib anak
perempuannya pun bagaimana? Bagaimana pula
nasib sang penjudi yang setelah terbebas berkali-kali berkat nama besar ayahnya
yang orang penting di kepolisian itu pasca diringkus di tempat kasino itu?
Temukan
semuanya di film DILEMA ini, buruan kunjungi bioskop terdekat kesayangan Anda
sebelum film ini turun bioskop (lagi-lagi, untuk kesekian kalinya, nonton hanya
bertemankan kurang dari sepuluh orang lainnya di bioskop yang berkapasitas
sekitar 200 orang).
***
he always charming! |
Lima
cerita yang akhirnya menyatu. Alasan
utama penulis menonton film ini tak lain dan tak bukan karena sosok aa REZA
RAHARDIAN. Jadi pengusaha muda yang
sukses walaupun yatim piatu sejak kecil.
Hidup di panti asuhan setelah ortunya wafat dalam sebuah kecelakaan,
hidupnya yang seharusnya sulit itu entah mengapa terasa begitu mudah dengan
beasiswanya dan kesuksesan bisninsnya sekarang.
Usut punya usut ternyata semua bisa menjadi begitu mudah karena semua
itu dirancang oleh seseorang. Beasiswa itu,
perusahaan itu. Kebayang gak remuk
redamnya, usaha dan kesuksesan yang selama ini kita bangun susah payah dan
bangga-banggain ternyata adalah hasil ‘karya’ orang lain. Water lah si aa disini mana endingnya…ahh…so
poor lah aa Reza disini.
Setelah
sekian lama *ehh…pernah nonton apa ya filmnya dia the? Eiffel gitu ya?—lupa*,
akhirnya liat lagi Pevita Pearce di layar lebar! Doi berani pisan lah disini. Berbikini ria, ciuman—bahkan sama tokoh Rima
(Wulan Guritno) yang entah bener nempel dan emang Cuma secup udah atau efek
sensor juga, yang jelas latar-nya remang-remang jadi emang samar, sampai adegan
ranjang segala. Karena settingnya pantai
kali ya, ahh dunno lah, yang jelas doi jadi cewek frustasi yang berkali-kali
nyoba bunuh diri *ada luka bekas sayatan di pergelangan tangnnya di salah satu
scene* dan berhasil dibujuk kemblai ngobat.
Wulan Guritno juga Nampak sangat berbeda disini dengan rambut
pendeknya. Tadinya sebelum sadar doi
ternyata pengedar gitu, kirain mau jadi lesbi disini apalagi pas ada adegan
nyium si Dian (Pevita).
Yang
rada ganggu dari film ini buat penulis yakni jambang Said yang kalo dari deket
keliatan pisan lah palsunya! Terus ya
gak tau kurang suka juga sama perannya, kurang ngena. Belum lagi tempelan kayak pamflet sedanya *dari
kertas tipis yang warna-warni* bertuliskan “Pemerintah Vs Pejuang”. keliatan Banget maksanya, meski ditempel di
berbagai sudut tapi tetep kesan maksainnya buat penulis pribadi loh ini tetep
kerasa ganggu! Terus sub-tittle yang
ada di film ini juga jadi bikin penulis geli buat curi-curi liat dan
ngebandingin (karena kebetulan konsentrasi studi penulis di penerjemahan)
sampai-sampai sesekali ya kelewat aja adegan-adegannya, begitu. Tapi, diantara semuanya yang paling bikin penulis berkali-kali mengrenyitkan dahi adalah latar waktu yang gak sinkron antara satu kisah dengan kisah lain, perasaan sepanjang adegan aa Reza itu full cahaya matahari meski dalam kamar; di Pevita ada pagi-siang-malam-pagi; di Ario pagi-siang-malam; di Slamet Raharjo siang-malam; di Baim-Winky siang-malam-subuh. padahal mereka seolah satu kesatuan cerita kan pada akhirnya mah, nah loh?
Secara
keseluruhan film ini mood-nya suram,
gambarnya, settingnya, karakternya.
Iya, makanya dikasih judul DILEMA juga karena begitu kali ya. Nonton lah, cast-nya bagus-bagus, ceritanya
juga sedilematis judulnya, klimaksnya, kalo bagi penulis dapet meski ada
beberapa hal yang kalau bagi penulis mesti butuh penjelasan lebih lanjut kayak tokohnya
om Tio yang polisi oknum korupsi. Menonton
film ini seorang diri tidak membuat penulis menyesal karena dengan mood suram
tadi film ini berpotensi membuat penonton-penonton tertentu cepat bosan *bahkan penulis sendiri sempat sekali dua menguap, heu*. Setidaknya penulis gak perlu merasa gak enak
karena mengajak teman yang ternyata merasa menonton film ini hanya buang-buang
duit soalnya filmnya bosenin banget *sudah terlalu pesimis dengan penonton
Indonesia yang dalam hal ini teman2 penulis,--so sorry guys*. Ehh..yang unik juga, menonton ini entah
mengapa bikin penulis sedikitnya ngeh sama istilah-istilah di meja judi kayak “all
in” sama “full house”! yang jelas, yuk
semarakan film Indonesia berkualitas dengan menontonnya di bioskop! J
2 komentar:
nice blog nih :)
follback aku yaa ka..
di IPM juga yaa ka, salam pejuang ikatan deh :)
ditunggu silaturahmi di blog akuu :)
maksih yaa sudah menyempaykan berkunjung nenk Halida :)
tapi, masa iya sih gak kenal? heuu
okay, I'll visiti ur blog soon :)
Posting Komentar