Siang menjelang sore tadi mendapat satu pesan singkat dari sebuah nomor asing yang isinya:
Dia : Hai Feb, apa kabar? Ini Siti (nama samaran,
red). Gimana skripsinya udah sampai mana? Ada di rumah hari apa aja
(kalau
udah nanya ada di rumah kapan aja berarti mau ngasihin sesuatu yang penting
secara langsung. Nah justru kalimat
ketiga atau pertanyaan keduanya yang ukup menohok tentang skripsi. Eh tapi dalam hal ini pertanyaan ini
sebenernya cuma semacam penyedap yang dijawab atau tidak pun tak masalah)
Saya : Alhamdulillah baik. Baru mulai
bimbingan..hehe. Di rumahnya tergantung, bisa hari apa aja ada. Hehe..kenapa
mau ngasih undangan ya?
(saya
langsung tembak aja sih ke maksud nanya jadwal keeradaan saya di rumahnya,
soalnya udah lama gak ada kontak dan tiba-tiba ngajak ketemu ya apalagi kalau
bukan terkait kartu undangan—info terakhir ya doi memang berenana berkeluarga
di tahun ini)
Dia : Kok tau? Hehe..Iya nih insya Allah walimahan-nya
nanti tanggal 2 Februari.
(tuh
kan…exactly accurate! Udah ketebak sih maksud dari sms doi kesana..dan ya congratulation!)
Setelahnya
masih berlanjut sms-an tentang jadwal janjian yang dipindah ke masjid dekat
almamater kami dulu. Masjid bersejatrah
sih itu. Tempat kami janjian kalau mau
kemana-mana bareng. Eh ada satu sms lagi
deh yang cukup menarik setelahnya, yaitu tentang calonnya. Mastiin aja dsih iya sama yang waktu itu atau…kan
jodoh itu who-knows-yaa ;p.
Saya : Wh..sama yang waktu itu kan?
Dia : Iya, sama yang waktu itu.
(Syukurlah………………)
***
Saya
dan teman saya ini dulunya karib semasa masih bersergam putih abu. Kami sama-sama tergabung dalam satu
organisasi di sana. Bahkan sebenarnya
kami sudah bersama-sama sejak masih
berseragam putih-biru, sekelas malah, tiga tahun pula. Tapi, saat itu kami tidak begitu akrab
walaupun dia adalah sohib saya shalat bareng semasa duduk di kelas satu (kan
kelas satu sekolah siang jadi shalat dzuhur+ashar nya di sekolah). Nah, baru
deh memasuki masa putih-abu, walaupun gak sekelas, kami justru malah jadi
akrab. Saya, dia, dan tiga teman lainnya
pada akhirnya mampu bertahan di organisasi yang kami ikuti hingga akhir. Awalnya sih bejibun, Cuma biasa seleksi alam
terjadi pada teman-teman kami lainnya sehingga hanya menyisakan kami berlima
perempuan dan seorang lelaki. Meski begitu,
namun toh hikmahnya kami jadi akrab satu sama lain.
Selepas
kelulusan, kami mengambil jalan masing-masing.
Empat orang dari kami, termasuk saya, melanjutkan studi ke perguruan
tinggi. Sementara seorang lainnya lebih
memilih bekerja. Namun, nasib saya
ternyata tidak seberuntung ketiga kawan saya yang lain karena saya terpaksa
menunda studi saya selama setahun setelah tidak lolos ke jurusan manapun saat
mengikuti SPMB. Ya, akhirnya saya
terpaksa turun jabatan sebagai ‘junior’ nya karib-karib saya. Walaupun tidak kuliah saya pun tidak bekerja,
hanya mengambil bimbel dan meneruskan kursus bahasa.
Di tahun
kedua setelah kelulusan kami, teman saya yang bekerja itu ternyata mendahului
kami untuk naik pangkat sebagai istri. Ia
dipersunting oleh seseorang yang saya sendiri kurang paham jelas pertalian awal
keduanya (lewat mana atau siapa dipertemukannya karena ia agak pelit
bercerita). Jadi, kami (yang masih
berstatus lajang) tinggal berempat. Dan,
tahun lalu (lupa tepatnya kapan) seorang lagi dari kami menyusul si teman yang
bekerja tadi. Tinggalah kami
bertiga. Sampai akhirnya…pesan singkat
tadi jadi semacam sinyal kalau kini, saya dan seorang teman lainnya, akan resmi
menjadi minoritas di antara kami berlima.
Ya, kami akan tinggal hanya berdua yang status nya masih sama-sama aja:
lajang.
Dan
itu sih sebenernya yang mengiringi kebahagiaan saya untuk sang teman yang
mengirimi pesan singkat itu tadi. Bukan suatau
ketakutan ataupun sesuatu yang menakutkan memang. Hanya saja ada semaam perasaan “Yah…ditinggalin
lagi deh”. Yakan namanya sudah
berkeluarga mah sedikit banyak ada perbedaan.
Makanya, setelah beres berbalas pesan dengn sang teman yang calon
manten, saya segera menghubungi satu-satunya teman saya yang sejauh ini masih akan
setia menemani saya dalam keminoritasan kami.
Ya, begini sih jawabannya ketika saya meminta kepastian bahwa ia tdak
akan tega membiarkan saya menjadi minoritas seorang diri:
Dia : Tenang, iya ditemenin kok (sambil nunggu)
(Hyaaaa…yang
dalam kurungnya itu loh mengisyaratkan bahwa saat ini mungkin tidak, tapi akan
dalam waktu-yang saya-rasa-tidak-akan-terlalu-jauh)
Ya,
bisa dikatakan mungkin ini sejenis kegalauan penulis yang ‘ditinggalkan’ satu
demi satu oleh teman-teman karib penulis semasa berseragam putih abu. Tentu ada semacam kesedihan karena
bagaimanapun nantinya setelah resmi, intensitas pertemuan kami akan
berkurang. Ya sedih juga mendapati nasib
bahwa jreng jreng saya alamat menjadi penutup perubahan status kami. Kan, dulu, semasa masih pada hijau kami
sempat beberapa kali membahas masalah siapa-ganti status-duluan. Bercandaan sih, tapi di setiap resepsinya
kami selalu berkelakar “hayo..siapa lagi habis ini?” “terus siapa lagi?” “Habis
itu?”. Bahkan pernah sekali waktu dengan
konyolnya kita saling lempar-lemparan untuk jadi yang terakhir berganti
status. Nah, ketika teman ketiga sudah
pasti pergantian statusnya, kami kan berlima, so kemungkinan untuk menjadi yang
terakhir itu ya peluangnya 50/50. Itu sih
yang bikin “oh…no!” alesannya? Ya itu loh kadung sama-sama ogah jadi yang
terakhir! Hehe.
Hemm..sebenernya
saya sih sudah gak begitu peduli mau terakhir, mau sebelum terakhir, karena
pada akhirnya kembali pada jodoh-siapa-yang-tahu. Ya siapapun nanti mau saya dulu mau teman
saya dulu yang jelas kami selalu saling mendo’akan yang terbaik tentunya bagi
kami semua. Semoga teman yang akan
merubah status lajang dari mayoritas menjadi minoritas ini dilanarkan prosesi
pernikahannya, dan setelahnya bisa menjadi keluarga sakinah dengan mawwadah
warahmah. Dan semoga kami berdua pun
bisa segera menggenapi status mereka supaya tidak ada lagi minoritas di antara
kami. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar