“tidak selamanya
adat menjawab kebutuhan” Dapunta Hyang
“masalah perampok,
masa ya harus dibereskan oleh angkatan perang?” Sri Ratu
Alkisah di suatu
Kedatukaan di ranah Sumatera Selatan memimpin seorang Raja bernama Dapunta
Hyang (Slamet Rahardjo)
yang beristrikan Sri Ratu (Jajang C. Noer) dan memiliki dua orang putra
bernama Awang Kencana dan Purnama Kelana.
Kepemimpinan Dapunta Hyang tengah diuji dengan merajalelanya praktek
korupsi dan pejabat yang juga korup.
Belum lagi masalah pemberontakan dan perampokan oleh komplotan pimpinan
Ki Goblek (Mathis Mutchus), semakin merunyamkan suasana
di kedatukan Bukit Jurai.
Dapunta Hyang yang
sudah berusia lanjut hendak menyerahkan tahta kedatukan Bukit Jurai pada
lanang-nya (anak lelaki-red). Sesuai
adat, sudah semestinya tampuk kerajaan jatuh ke tangan Awang Kencana (Agus
Kuncoro) sebagai
anak lelaki tertua. Adapun Purnama
Kelana (Syahrul Gunawan) sebagai anak kedua seara
otomatis menadampingi Awang sebagai patih.
Sayangnya semua menjadi runyam tatkala sang ayah ragu untuk memberikan
restu pada sang lanang tertua, ia justru lebih merestui lanang bungsunya
sebagai calon pewaris tahta. Hal yang
tentu saja ditolak keras oleh Awang dan juga Sri Ratu.
Sebagai seorang
ayah ia sangat mengenal perangai kedua lanangnya yang sangat bertolak
belakang. Jika Awang Kencana lebih
berjiwa pendekar, maka Purnama Kelana lebih berjiwa cendekiawan. Saat Awang memilih mendalami ilmu bela diri,
Purnama justru memilih menuntut ilmu bahkan hingga ke negeri Cina. Di mata sang ayah, calon penerusnya mestilah
dari kalangan cendekiawan, bukan pendekar yang cenderung lebih mengutamakan
otot dibanding otak.
Belum usai polemik
mengenai restu sebagai raja, Dapunta Hyang tak lama kemudian justru ditemukan
terbunuh. Purnama menjadi tersangka
utama setelah kalung pemberian Dawangi, sahabat sekaligus wnita yang
mencintainya, miliknya ditemukan di dekat jenazah sang ayah. Ia pun dijebloskan ke dalam penjara. Namun berkat bantuan dari sahabatnya dari
Cina dan tabib istana, ia pun akhirnya mampu melarikan diri. Di tengah pelariannya, ia terkena busur panah
pengawal yang membuntutinya atas perintah Awang yang menyadari konspirasi
pelarian sang adik. Beruntung, ia hanya
terluka oleh busur panah dan diselamatkan oleh Malini (Julia
Perez),
yang ternyata putri Ki Goblek.
Sementara itu,
Sang Ratu mengambil alih kepemimpnan sementara Kedatukan Rawa Jurai hingga 100
hari ke depan. Setelahnya, akhirnya
Awang lah yang memimpin kerajaan sebagai satu-satunya lanang Dapunta Hyang yang
masih hidup (Purnama dianggap sudah wafat-red).
Bahkan ia pun meminang Dawangi untuk menjadi permaisurinya. Dalam kepemimpinannya ia mengedepankan
kekuatan fisik dan mulai memasok senjata api dari Cina. Ia mulai tertarik pada senjata api setelah
senjata tersebut membutakan salah satu matanya.
Ya, dalam sebuah penyerangan oleh kelompok pimpinan ki Goblek, ia
dilumpuhkan oleh sebuah tmbakan yang menembus salah satu matanya. Sejak itu pulalah dendamnya pada gerombolan
ki Goblek makin membara.
Ki Goblek sendiri
masih akan meneruskan usaha-usahanya untuk menjatuhkan rezim kedatukan Bukit
Jurai, yang penguasanya dianggap tidak beus mengurus rakyat, serakah. Makanya
saat tahu bahwa orang yang ditolong putrinya adalah salah satu putra mahkota
kerajaan, ia beserta komplotannya hendak menghakimi kalau saja Purnama tidak
menjelaskan bahwa ia pun berada di pihak yang besebrangan dengan Awang,
kakaknya. Disana, ia yang tak diauhkan
berkarib dengan Bian, adik Malini, yang diarahkan menjadi seorang terpelajar
seperti dirinya. Kecerdasannya dalam
bersiasat pun akhirnya mulai diakomodir oleh kelompok ki Goblek. Bahkan hubungannya dengan Malini pun makin
hari makin mencair. Sayang sebuah
penghianatan menghancurkan segalanya …..
Siapakah sang
pengkhianat yang sebenarnya? Apa mungkin Purnama Kelna terlibat di
dalamnya? Bagaimana nasib Kedatukan
Raja Jurai di bawah kekuasaan Awang Kelana? Bagaimana pula nasib Sri Ratu,
Dawangi, dan Malini? Apa sebenarnya
Gending Sriwijaya? Kalau penasaran silakan segera kunjungi bioskop terdekat
kesayangan para pengunjung yang budiman.
Buruan lho, keburu turun layar! Soalnya
penulis pun kelewatan menyaksikan “Demi Ucok” padahal cuma baru berlayar
seminggu doang di studio-studio di kota penulis ini *curcol*.
~~~
Well,
nonton film ini sebenernya penasaran dengan pemilihan cast-nya terutama Julia
Perez yang biasanya main di film yang you-know-how sama Sharul Gunawan yang
bahkan ini kali pertama penulis liat aksinya di layar emas. Kalau untuk Agus Kuncoro sendiri ya sudah
tidak asing sih apalagi di film-film besutannya mas Hanung (ini pula yang bikin
penasaran). Tapi, kiprahnya sebagai
pemeran utama seingat penulis sih baru di sini ya, kan doi lebih banyak main
sebagai pemeran pendukung.
Adapun cast lainnya
macam Slamet Rahardjo, Jajang C. Noer, Early Ashi, Teuku Rifnu Wikana, Yatty
Surachman, dll sih ya udah sering penulis nikmati juga ya di banyak film lokal
yang penulis tonton dalam beberapa tahun ini.
Dan ya, penulis sih gak kecewa dengan penampilan para cast. Jupe ya mau-mau nya tampil dekil dengan gigi
roges plus dipukul tendang pula sama lawan mainnya. Sahrul Gunawan...hem, bagian perut yang
membesar ya dibiarkan begitu saja secara memang karakternya digambarkan sosok
terpelajar, bukan pendekar. Agus
Kuncoro, berhasil bikin penulis keki sama karakter Awang yang dimainkannya.
Ada
sejumlah pesan moral yang dimunculkan film ini sepenangkapan penulis yang
penikmat (bukan pengamat ya) film ini. Semuanya
diejawantahkan melalui sejumlah konflik yang muncul di sepanjang film berdurasi
dua jam lebih ini (tumben ya durasi film lokal panjang beud). Mulai dari konflik internal keluarga mengenai
kecemburuan kakak-beradik hingga maraknya praktek korupsi di kalangan pejabat
pemerintahan Kedatukan Raja Jurai sebagai konflik terbesar. Belum lagi konflik asmara yang melibatkan
Awang-Dawangi-Purnama-Malini. Ada lagi
konflik tentang pengkhianatan dan kesetiaan.
Dan ya semuanya mendapat porsinya masing-masing dengan latar belakang
yang sama-sama jelasnya (bagi penulis).
Menariknya
lagi melihat sejumlah pertentangan dari karakter tokoh-tokohnya. Awang yang cenderung berjiwa pendekar,
sementara Purnama lebih berjiwa cendekiawan.
Jika Dapunta lebih bersifat terbuka terhadap tradisi, sebaliknya Sri
Ratu masih sangat memegang teguh tradisi.
Meski demikian Sri Ratu digambarkan sebagai seorang yang teguh dalam
memegang prinsip. Bagaimana ketika ia
harus menjebloksan anaknya sendiri ke penjara, kekekeuhnya mendukung Awang
sebagi anak tertua untuk mengisi posisi raja sesuai adat. Namun, di sisi lain, ia pun orang pertama
yang menentang rencana pemberantasan para perampok dengan melibatkan pasukan
perang yang dianggapnya terlalu berlebihan.
Pun dengn tokoh-tokoh wanita lainnya yang digambarkan memiliki keteguhan
hati macam Malini, Nyi Goblek, hingga Dawangi yang masih kukuh mempercayai
bahwa Purnama tidak bersalah.
Sejujurnya
penulis ini bukan penggemar genre kolosal ataupun action, tapi sekalipun begitu toh penulis yang pecinta drama sejati
ini bisa menikmati film ini. Meski agak
aneh, tapi kehadiran scene animasi-nya juga cukup mencuri perhatian (kebayang
sih kalau adegan ngaben, membalsem dibuat real sesusah apa). Sebenarnya ending-nya juga cukup ketebak,
tapi ya proses menuju endingnya paling tidak gak sampe bikin penulis
terkantuk-kantuk (kayak ada tuh film yang rillis 1-2 bulan ke belakang)
walaupun durasinya terhitung panjang. Duet
Syahrul Gunawan-Jupe yang awalnya sempet penulis ragukan juga ternyata berhasil
tampil dengan chemistry yang baik. Kalaupun ada yang agak menganggu ya itu sih kostumnya Sri Ratu yang agak aneh aja ya di beberapa scene. Overall,
ini adalah film pembuka yang menyenangkan dan sama sekali tidak mengecewakan
bagi penulis. Bravo Mas Hanung dan tim! Jaya terus perfilman Indonesia. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar