Saya baru sadar bahwa saya telah jatuh cinta dengan dua
aktivitas yang kelak bisa jadi menjadi profesi yang saya tekuni…
A Passionate & Professional Translator (To Be)
Beberapa pekan ke belakang, tepatnya 10 hari jelang 1 Syawal
1434 H, saya secara resmi mengerjakan project
terjemahan lagi setelah sekian lama (entah berapa bulan, tidak sampai menahun
kok ;p). Tanpa banyak negosiasi apa pun
di muka, kecuali durasi (saat itu saya tengah disibukkan dengan project lain yang cukup menguras
fikiran, akhirnya muncullah kesepakatan deadline: 2 pekan. Belasan lembar, Indonesia-Inggris, tema
terjemahan seputar cabang ilmu pengetahuan sosial membuat 2 pekan itu dinilai
proporsional.
Pekan pertama berlalu begitu saja, karena ternyata di
hari-hari menjelang 1 Syawal yang saya fikir waktu saya relatif fleksibel, eh
malah sama hectic-nya seperti 2 pekan
sebelumnya. Bahkan hal ini terjadi
hingga malam takbiran! Esoknya, lebaran,
dan sehari setelahnya sungguh bukan waktu yang kondusif untuk mengerjakan sutu
project. Mood lebaran itu ya mood
bercengkrama dengan hangat bersama keluarga besar, berkunjung ke sana ke mari,
icip-icip kue lebaran, syukur-syukur masih masuk list penerima angpao. Akhirnya
pekan pertama dari deadline 2 pekan pun berlangsung sama sekali tidak efektif.
Pekan kedua di depan mata. Oke, bagaimanapun sebagai
seseorang yang mencoba profesional saya harus patuh pada ‘kontrak’ 2 pekan yang
disepakati di awal. Niat sudah 100% (hanya belum sampai 200%), tapi selalu
ada ini itu sehingga -2 hari awal kinerja penulis baru mencapai sekitar 20%-nya
saja. Suasana libur lebaran yang (masih)
didukung kehadiran sanak famili di rumah juga sedikit banyak mempengaruhi. Hingga puncaknya adalah rencana bepergian ke
luar provinsi bersama keluarga inti untuk mengantar kepulangan adik saya ke
kota tempatnya menimba ilmu sekarang: suatu kota di tengah-selatan pulau
Jawa. Celakanya, saya selalu tak kuasa
menafikkan pesona kota tersebut, saya selalu larut dalam godaan-nya. Lebih celaka lagi karena jarak tempuhnya yang
mencapai seharian. Baru 20% lho! Belum lagi saya ini terikat komitmen moral
terhadap diri saya dan kedua orang tua saya yang mengeluarkan status tahanan
kota pada saya yang belum kunjung menuntaskan studi sarjana-nya. Dengan sedikit kompromi yang tidak alot-alot amat,
akhirnya saya dan orang tua saya (yang syukurnya tidak terlalu strict dengan aturan yang dirancang
mereka sendiri) mencapai kesepakatan dengan embel-embel: syarat dan ketentuan
berlaku. Persis seperti pembelaan saya
terhadap status tahanan kota saya pada keduanya (like parents, like child ;p).
Dengan segala kemungkinan resiko dan konsekuensi atas
pilihan sadar saya untuk plesir ke luar provinsi yang cukup memakan waktu di
tengan deadline project, saya
memantapkan hati untuk menjalankan keduanya dengan seimbang. Ya, ada resiko-resiko yang mau tidak mau saya
tempuh, seperti: membebani tas cangklong dengan notebook beserta baterai-nya, bergadang selama beberapa malam,
menjadi satpam di kontakan adik (yang kami inapi saat itu) tatkala seluruh
rombongan disibukkan dengan tur keliling objek wisata di sekitar kota
tersebut. Ya, sedari awal, saya sudah
berusaha menjaga komitmen untuk ikut-demi-menikmati-suasana-kotanya, bukan
ikut-demi-menikmati-objek-wisata nya.
Jadi, all is well for me,
sekalipun harus stay home seharian.
Kembali ke project
saya *ala mr. 4 mata*. Di sanalah waktu
yang saya manfaatkan maksimal untuk merampungkan 80% dari total 100% porsi project saya. Dengan semangat ‘man jadda wa jada’, saya kerahkan seluruh kekuatan dan kemampuan
saya demi menjaga etika professional-to-be
saya. Dengan berbekal sebatang modem
milik adik yang alhamdulillah sekali kuota nya masih bersahabat untuk diajak
bekerja siang-malam, pagi-sore *ala restoran padang di rest area—halah*,
alhamdulillah beberapa hari di sana project
saya sudah menyentuh angka 80%. Alhamdulillah yang diteruskan dengan astaghfirulloh…masih 20% to go.
Deadline semakin mendekat,
jadwal pulang pun sudah di depan mata: alamak..ya masakan saya harus
mengerjakan project ini di mobil? Waktu kami pulang itu sore, artinya
perjalanan malam! Hey, can I make it
effectively? I guess not!
Di tengah kepenatan oleh deadline yang disokong kelelahan
karena begadang dan bercengkrama dengan layar notebook sehari-semalaman,
tiba-tiba muncullah ‘hidayah’ dari si empunya project. Beliau (oke, si
empunya project ini jauh lebih senior dan berpengalam dari segi keilmuan nya
dari saya, hanya sepertinya beliau sedikit bermasalah dengan bahasa, makanya …)
dengan penuh kebijaksanaan memberikan ‘injury
time’ untuk project yang saya
kerjakan ini selama 2880 menit (baca: 2 hari).
Itu rasanya ALHAMDULILLAH
sekali, setidaknya bisa saya bereskan saat sudah tiba kembali di kota yang
sudah saya tinggali sedari brojol ke
dunia ini. Saya rasa beliau menangkap
radar-lebaran sehingga akhirnya memberi sedikit kelonggaran pada deadline, sesuai lah dengan jatah
tanggal merah di kalender *hihiw*.
Dan…alhamdulillah, tepat sehari sebelum peluit deadline
ditiupkan, project yang saya kerjakan
sudah terdaftar di sent item e-mail saya.
Rasanya itu legaaaa. Meskipun sempat
merasa terbebani dan keteteran saat mengerjakan 20% pertama, di fase 60% untuk
menggenapi menjadi 80% saya, sekalipun hampir bekerja sepanjang waktu, ternyata
amat menikmati apa yang saya kerjakan. Yang
sedikit mengganggu hanya rasa lelah dan pegal yang sesekali mampir. Tapi, di luar itu, all is well *again*. Everything is running well in its own path. Tanpa sadar saya sudah melibatkan hati saya
terhadap project ini sehingga
hambatan-hambatan seperti technical terms
dan lain-lain bisa diatasi dengan…cukup tenang.
Meskipun terkesan terburu-buru, tapi saya mengerjakannya dengan seksama
kok, dengan mengacu pada banyak sources yang tentu saja relevan dengan
topiknya. Special thanks to mr. google for the journal link, serta kamud digital
to help me in checking the correct words in term of its context. And also for my sister’s modem, and last but
not least for my beloved notebook that was strong enough to fight night and
day. Thanks all! :*
What I’m actually
trying to say (baca: INTINYA), selama dalam proses pengerjaan project yang bisa saya kategorikan
sebagai titik balik untuk karier profesional saya ke depannya ini (bahasa
gaulnya: project ini telah membantu
mendewasakan saya—menuju tahap yang lebih profesional), saya sadar betapa
sebetulnya saya mencintai aktivitas ini.
Saya rasa ini ada passion
terselubung yang jika diasah terus dan diseriusi bisa menjadi sesuatu dalam
rekam jejak kehidupan saya. Dan karena
kecintaan saya ini pula yang sepertinya merontokan keraguan dan beban di
awal. Well, nampaknya yang paling pas mewakili gambaran kisah di atas itu
lirik lagu kemenangan-nya mbak Joy Tobing “Semua karena cinta, tak mampu diriku
dapat berdiri tegak, terima kasih cinta”.
So, to make all is well we need to
do it with passion that comes up because of love. And thanks GOD to make me
realize that I do love translating activity so well. #IMO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar