Menjadi
seorang pendidik itu tentu saja bukan suatu pekerjaan yang mudah. Mudah sih kelihatannya, namun
praktiknya tak semudah kelihatannya. Mendidik
itu tidak sama dengan mengajar. Jika
mengajar lebih menitikberatkan pada bagaimana proses transfer ilmu pengetahuan
supaya siswa dari tidak tahu menjadi tahu, hanya sampai di sana. Maka mendidik tidak berhenti di sana
saja, tetapi lebih jauh juga bagaimana menanamkan nilai moral pada diri
siswanya. Contoh
sederhananya paling tidak bagaimana seorang pendidik bisa membuat suasana
kelasnya kondusif tanpa harus membuang tenaga demi memarahi siswanya supaya
diam. Atau bagaimana
seorang pendidik bisa mengerjakan hal lain semisal merekap nilai dengan tenang
kala siswanya mengerjakan ulangan karena percaya bahwa para siswanya berlaku
jujur.
Nah,
kalau diinternalisasikan ke dalam diri penulis, penulis sih merasa belum
berhasil untuk ada di level pendidik. Bukan
tidak berusaha, tapi sejauh ini nampaknya usaha (yang bisa jadi belum seberapa
keras ini) tersebut masih tak kunjung berbuah hasil yang manis. Ya bagaimana, indikasi nyatanya kapan
pernah penulis keluar kelas dalam keadaan tenggorokan yang baik-baik saja?
Rasa-rasanya belum pernah. Meski
tidak sampai marah-marah (karena memang tidak bisa dan tidak tega marahin anak
orang), tetapi minimal penulis masih harus teriak-teriak di kelas demi membuat
atmosfer kelas menjadi kondusif (baca: mendiamkan siswa). Dan setelahnya…masih ditawari gorengan
pula oleh mereka (do you get what I mean?).
Penulis
sih awalnya merasa kalau siswa nya yang kurang kooperatif. Tapi semakin lama, semakin sering,
semakin dievaluasi…fix faktor penulis-nya yang justru bermasalah. Terutama sebagai organisator, mangacu
pada kondusivitas kelas, penulis merasa tingkat kegagalannya 90%. Alat ukurnya yaitu saat penulis
mengajar di kelas lain yang dari hasil survey beberapa rekan yang juga sempat
mengajar di kelas tersebut dikategorikan sebagai kelas yang paling tenang, lho
kok ya malah (jadi) ribut pas sama penulis. Kok iso mereka santai aja makan minum
di depan penulis. It
clearly indicates something wrong with me.
Berkaca
dari sana, banyak sekali PR yang harus penulis tuntaskan guna betransformasi
menjadi pendidik yang baik. Sampai
hari ini saja bahkan menjadi pengajar yang baik pun penulis masih sangsi. Makanya selalu ada perasaan bersalah
setiap penulis keluar dari kelas. Apalagi
saat para siswa meminta penulis yang saat ini hanya berstatus sebagai tenaga
pengajar pengganti saban dua mingguan ini untuk menjadi pengajar tetap. Terlepas dari motif mereka yang beragam (sebagain besar
lebih karena atmosfer tegang yang terbangun dengan staf pengajar aslinya), bagi
penulis menjadi pengajar tetap adalah beban moral tersendiri untuk saat ini. Memang, pada akhirnya skill mumpuni
dan jam terbang sangat memegang peranan penting di sini.
Sebagai
‘orang baru’ dalam dunia pengajaran masih banyak hal yang belum dan harus
penulis kuasai dan atasi. Bukan
semata deg-degan, bukan. Perasaan
itu sudah sangat lama bisa diatasi. Ini
lebih kepada perasaan bersalah saja, terlebih ketika kita hadir tanpa persiapan
yang matang. Rasanya adalah
sebuah penghianatan kepada mereka yang terlihat sungguh-sungguh menyambut
kehadiran kita (ya mungkin juga karena berjumpa dengan kita berarti terhindar
dari ketegangan dengan pengajar aslinya). Sekali lagi, apa pun modus mereka,
yang jelas penulis selalu yakin ada diantara mereka yang memang mencintai
dengan tulus mata pelajaran ini dan selalu menantikannya dengan antusias. Dan merekalah yang tentu paling kecewa
pada akhirnya dengan semua keterbatasan penulis. Maaf..itu saja mungkin kata yang bisa
penulis utarakan di sini. Maaf
belum bisa menjadi fasilitator yang baik. Maaf belum bisa menjadi penyampai yang
jelas. Maaf belum bisa
menjadi contoh panutan.
Akhirnya,
saat ini hanya kata maaf saja itu yang bisa terucap. Ke depannya, penulis berjanji akan
terus berusaha dan belajar demi menjadi pendidik yang baik. Pendidik ya, bukan sekedar pengajar. Mudah-mudahan gak keluar kelas dengan
tenggorokan yang gatal dan suara parau lagi. Ya,
kalaupun tidak berakhir di ranah pendidikan formal (sejujurnya, kurang tertarik
bergelut di sini), minimal kan bisaditerapkan kepada anak cucu kita nantinya. Yang jelas, bukan sengaja tidak
memberikan yang terbaik, namun nampaknya usahanya masih harus ditingkatkan. Sekali lagi, betul bahwa mendidik itu
bukan suatu pekerjaan mudah, namun bukan berarti mustahil. Dengan kesungguhan dan kerja keras
dijamin kelak bisa terwujud. Salam
sukses untuk kita semua ya. :)
p.s:
artikel ini dipersembahkan secara khusus sebagaipermohonan maaf untuk mereka
yang merasaterkhianati antusiam-nya terhadap pelajaran yang sapenulis
bawakan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar