http://ibnulinggasakti.wordpress.com/2009/11/page/2/ |
“Berdasarkan
pengalaman tahun lalu, peminat ke jurusan IPA itu jauh lebih banyak daripada ke
jurusan IPS, maka punten saja ketika kuota sudah penuh, kami potong, sisanya
masuk kelas IPS karena hanya ada 5 kelas IPA di sekolah kita ini. Jadi, bagi murid kelas X yang ingin masuk IPA
diharapkan bisa belajar sungguh-sungguh supaya masuk dalam kuota tersebut.”
begitulah salah satu petikan pesan yang disampaikan oleh seorang kepala sekolah
di salah satu sekolah menengah negeri di kota Bandung dalam suatu upacara hari
senin pagi. Saya, yang juga berada di
situ takjub dan tertegun saja mendengar ucapan beliau. Saya memang takjub, namun ketakjuban saya
bukan karena terpesona oleh isi pidato beliau, melainkan lebih kepada kok
kenapa bisa terlontar ucapan seperti itu dari beliau. Ada yang salah? Tidak juga sih, mungkin. Ya, secara umum dan objektif himbauan yang beliau berikan sepertinya tidak
ada muatan negatif. Akan tetapi, secara
subyektif saya sih merasa keberatan dengan himbauan yang beliau berikan. Apa pasal? Berikut saya jabarkan poin-poin
yang tidak bisa saya sepakati dari pernyataan beliau.
Pertama,
pengkultusan jurusan IPA. Sudah jadi
stigma umum dan dipertahankan sekian tahun lamanya bahwa jurusan IPA dipandang
lebih tinggi secara strata soasial dibanding kelas sosialnya itu sendiri. Cap anak pintar dan baik-baik begitu melekat dengan
para penghuni IPA, sebaliknya hampir semua stigma negatif mau tidak mau
ditujukan pada mereka warga IPS. Kan,
kalau yang pintar identik dengan IPA, berarti IPS identik dengan? Ah, saya sih
tidak berani menjawab ya, khawatir ada yang keberatan. Karena sebenarnya saya sendiri pun
keberatan. Tidak semua yang masuk IPA
memiliki kemampuan akademis yang lebih dari kaum IPS yang termarjinalkan,
sepengalaman saya. Waktu zaman saya SMA
ada kok satu anak yang level kepintarannya setara dengan anak terpintar di IPA,
tapi dia toh berstatus ‘makhluk’ sosial.
Implikasinya apa? Dia tetap menjadi yang terbaik di lingkungan mana pun
ia menetap. Dari kelas satu peringkat
sebagai bintang kelas tak pernah lepas dari genggamannya. Dan, kasus teman saya ini akan menggiring kita
menuju poin kedua.
Bagi
saya dan berdasarkan pada pengalaman teman saya di atas, menjadi anak IPS itu
tidak selamanya merupakan takdir, akan tetapi dalam beberapa kasus hal tersebut
merupakan pilihan. Pilihan yang
dilakukan secara sadar, bukan karena terpaksa karena tidak mencukupi masuk IPA
dari segi kuantitas nilai, tidak pula karena tak ada pilihan lain. Dan, tidak sedikit dari mereka-mereka yang
memilih IPS itu dilandasi kesadaran bahwa pada akhirnya mereka memang akan dan
ingin menempuh program studi berbasis IPS seperti manajemen, akuntansi,
ekonomi, dsb. Saya kemudian berangkat
dari fenomena tersebut iseng mengelompokkan mengelompokkan siswa IPS ke dalam
dua kategori: Siswa yang dipilih takdir dan siswa yang memilih takdirnya
sendiri. Sama? beda lho. Kalau yang kategori pertama ya mereka-mereka
yang entah karena nilai IPA-nya tidak mencukupi, kuota masuk IPA sudah habis,
dll sehingga dinyatakan gagal menjadi anak IPA.
Sedangkan kategori yang kedua diperuntukkan bagi mereka yang memang
sedari awal sudah menentukan sikap untuk masuk IPS, tanpa peduli nilainya cukup
atau tidak ke IPA. Dan, tanpa bermaksud
mengeneralisasi kebanyakan mereka yang masuk kategori kedua, mereka sebenarnya
sangat berpotensi masuk IPA baik dari segi kuantitas nilai ataupun kapasitas
keilmuannya.
Poin
selanjutnya adalah himbauan untuk menyeriusi mata pelajaran MAFIKIBI (Matematika,
Fisika, Kimia, Biologi) seolah makin menegaskan kedigdayaan dan popularitas IPA
di atas IPS. Ini serius. Bagi saya pernytaan tersebut sudah terlalu
berlebihan. Jika saya menjadi guru mata
pelajaran IPS, sangat mungkin saya akan merasa tersinggung atau minimal terusik
dengan himbauan yang diskriminatif tersebut.
Ya sekalipun sudah jadi sesuatu yang dimahfumi banyak pihak seharusnya
keberpihakkan secara berlebih pada satu program mesti dihilangkan, terlebih di
ranah sekola menengah. Bisa dimaklumi
jika ranah pendidikan kita adalah kejuruan yang memang sedari awal sudah
memfokuskan diri pada satu bidang. Saya,
sebagai calon guru mata pelajaran umum saja merasa terusik. Dan jika saya adalah siswa saya akan
berfikiran naïf untuk mengesampingkan pelajaran lain di luar MAFIKIBI yang pada
prakteknya hari ini dinilai tidak seurgen dan serelevan MAFIKIBI. Syukurlah saya sudah bukan siswa lagi.
Maksud
himbauan di atas mungkin baik, mendorong siswa untuk giat belajar sejak dini
(baca: kelas X). maklum lah siswa zaman
sekarang mentang-mentang didukung oleh mudahnya akses informasi maunya serba
instan. Waktu saya masih berseragam
putih abu, akses internet masih terbatas.
Sekarang? Beragam paket dengan sistem kuota hingga unlimited bak kacang goreng sehingga akses informasi
sangat mudah menyebar dan diterima. Efeknya?
Siswa malas baca lah, enggan belajar lah, sungkan mengerjakan tugaslah,
semuanya berakar dari satu hal: terbiasa disuguhi yang serba instan. Bahkan ulangan pun rasanya tidak afdol jika
tidak lirik kanan-kiri. Nah, tapi yang
disayangkan himbauan positif ini beriringan dengan citra negatif atas
pengekerdilan jurusan lain, atau mata pelajaran lain diluar mata pelajaran inti
IPA, MAFIKIBI itu tadi.
Mohon
maaf sekali Bapak, saya bukannya tidak ingin menghormati Bapak, saya hanya
kurang sepaham dengan amanat yang Bapak sampaikan dalam upacara tempo hari. Saya mungkin orang yang baru seumur jagung,
masih terlalu hijau berkecimpung sebagai subyek di ranah pendidikan. Tetapi saya telah lama sekali menjadi obyek
pendidikan, sejak 17 tahun lalu hingga detik ini. Paling tidak saya bisa mengungkapkan
pandangan saya dari sudut objek pendidikan.
Paling tidak apa yang saya ungkapkan di atas mewakili posisi saya
sebagai objek pendidikan. Semakin
diperkuat ketika saya menjadi subjek menu saja.
pendidikan. Artinya ketika saya terlibat langsung saya menjadi
sedikit-sedikit paham bagaimana cara penilaian guru, aspek apa saja yang
dinilai sampai keharusan untuk mencapai standar ketuntasan minimum (KKM) yang
dalam beberapa kasus meletupkan pemberontakan dalam hati saya. KKM ini seolah menegaskan quantity-oriented
dalam pendidikan formal kita hari ini sebagaimana halnya pengkultusan jurusan
IPA di atas yang berorientasi pada jumlah dan nilai. Kan, tidak disinggung aspek minat disana,
yang ada hanya unsur bakat yang diwakili angka (baca: nilai mata
pelajaran). Sementara dalam beberapa
teori, pemilihan jurusan alangkah baiknya didasari oleh sinergisitas aspek
minat dan bakat. Bakat memang bisa
diasah, minat pun bisa ditumbuhkan; namun apakah keduanya bisa dipaksakan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar