Tersebutlah Karaeng Tiro (Aspar Paturusi) dan karaeng Caya (Widyawati), sepasang suami istri asal Bira, Bulukumba, Sulawesi Selatan yang masih menjunjung tinggi ada istiadat Bugis. Suatu hari mereka, terutama karaeng Tiro, dibut berang oleh tingkah putri bungsusnya, Andi Tenri (Tika Bravani) yang nekat untuk melakukan silariang (Kawin lari) dengan Firman (Guntara Hidaya), kekasihnya yang takkunjung mendapat restu. Dalam adat Bugis, silariang merupakan suatu perbuatan yang mendatangkan aib besar bagi keuarga dan meluluhlantakkan harga diri mereka. Andi Aso (Reza Rahardian), kakak Tenri sekaligus sahabat Firman, yang sedang merampungkan skripsinya di Makassar pun dipanggil pulang oleh Karaeng Tiro, tetta nya (baca: ayah).
Aso diperintah oleh ayahnya untuk menemukan Tenri demi menyelamatkan harga diri keluarga. Dalam menjalankan tugsnya mencari dan membawa pulang kembali Tenri ke rumah, sang Tetta menitipkan sebuah Badik padanya. Badik merupakan senjata tradisional Bugis, yang menurut adat yang berlaku badik yang telah terhunus pantang kembali disarungi sebelum terlumuri darah. Artinya, jika badik sudah bicara maka pertumpahan darah pun tak pelak untuk dihindari. Sebenarnya ia tidak ingin menyimpan badik itu karena pada dasaranya ia merasa semuanya bisa diselesaikan tanpa kekerasan.
Namun, keteguhan hati Tettanya dalam menjunjung tinggi adat membuatnya terpaksa mengalah dan akhirnya menerima juga badik tsb. Ditambah lagi perkataan Daeng Limpo (Ilham Anwar), anak angkat karaeng Tiro yang diminta menemani Aso mencari Tenri. Limpo yang merasa berhutang budi pada keluarga Aso begitu menggebu dalam pencarian Tenri. Sikap keras dan emosionalnya bahkan hampir menimbulkan perpecahan baru dengan keluarga Firman yang memang sudah lama tidak akur, yang kemudian melatarbelakangi tidak turunnya restu pada Tenri-Firman. Ia menyesalkan sikap Aso yang hanya menyimpan saja Badik yang seharusnya dihunuskan pada Firman ataupun keluarganya yang dianggap merendahkan martabat keluarga. Beruntung, Aso bukan tipikal emosionaldan lebih bisa menahan diri sehingga tak sampai terjadi pertumpahan darah saat itu. Namun, sejak kejadian itu ia mulai befikir untuk menggunakan badik itu.
Aso yang masih belum mengerti ada dendam sebenarnya di masa lalu antar ayahnya dan ayah Firman akhirnya mulai paham mengapa ayahnya begitu menentang Tenri untuk berhubungan serius dengan Firman, padahal dulu ketika ereka masih bersahabat semuanya baik-baik saja. Dari amma nya (baca: ibu) ia tahu bahwa sebenarnya ayahnya tak ingin memupuk dendam, buktinya ia tak pernah mempermasalahkan persahabatan dirinya dan Firman. Namun rupanya keseriusan hubungan Tenri-Firman yang hingga mengarah pada hubungan kekeluargaan menguak luka dan dendam yang lalu antara ayahnya dan ayah Firman yang juga sahabat dipicu masalah bisnis dan kepercayaan. Maka saat hubungan Tenri-Firman mengarah kearah yang serius (baca: menikah), ia pun serta merta menolak memberikan restu hingga terjadilah silariang.
Aso, kemudian memutuskan untuk fokus mencari Tenri di Makassar sambil meneruskan proses penyelesaian skripsinya yang sempat tertunda. Disana ia sempat “ditodong’ sang kekasih juga sahabat yang mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Aso tak begitu mengacuhkannya karena fokusnya kini hanya satu: menemukan Tenri.
Sementara itu, di tempat lain, Tenri yang ternyata sudah menikah dan sedang mengandung terus dirungrung kegelisahan bersama Firmn suaminya. Ia beberapa kali mengajak Tenri pulang ke kampung halamannya untuk eminta maaf namun ia enggan karena takut malah akan menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan. Terlebih setelah ia mengetahui bahwa Aso, kakak yang diharapkan bisa berpihak padanya tak bisa lagi diaharapkan, terlebih setelah ia mendapat informasi bahwa Aso dibekali dengan sebuah badik. Keputusasaan menimpa keluarga kecilnya. Tenri bukannya tidak rindu orang tua dan betah dicap anak durhaka, namun ia pun tak menginginkan hal yang buruk menimpa suaminya. Mereka pun terus bermain kucing-kucingan dengan Aso selama di Makassar. Sampai suatu hari Tenri melahirkan dan akhirnya diketahuilah keberadaannya oleh Daeng Limpo.
Di hari Tenri berniat kembali ke Bira untuk minta maaf dengan membawa serta bayi merekayang baru lahir itu, ayahnya dipanggil menghadap sang kuasa. Kematian ayahnya membuat Aso begitu terpukul sampai-sampai saat Tenri beserta suami dan anaknya tiba di Bira, ia telah bersiap menghujamkan badik yang terhunus. Firman yang juga memegang badik sama-sama menghunuskan badiknya. Melihat itu, Tenri maju ke tengah diantara kakak dan suaminya. Daeng Limpo meminta Aso untuk segera mengakhiri semuanya saat itu juga dengan badikyang ada ditangannya. Beruntung sebelum semuanya menjadi lebih buruk Karaeng Caya, Amma mereka menengahi. Ia dengan berurai air mata meminta agar semua permasalahan diselesaikan dengan jalan damai, tanpa harus ada badik yang terhunus, tanpa harus ada pertumpahan darah.
Setelah menjadi “mediator” ia pun bersimpu di hadapan suaminya memohon ampun atas pembangkangannya untuk pertama kali terhadap suaminya. Ia bukannya tak paham adat dan tak patuh suami, hanya saja ia tak sanggup harus menguburkan suami berikut anak dan menantunya sekaligus. Bagaimanapun katanya, kesalahan Tenri yang begitu besar bukan tak mungkin karena adaandil mereka juga. Semuayag terlibat dalam pertikaian itu pun larut dalam keharuan akan tindakan ‘pahlawan’ karaeng Caya yang mendamaikan pihak yang bertikai dengan kelembutannya. Kedua badik pun pada akhirnya hanya terhunus pada kayu-kayu yang ada disana. Dan kedua lelaki yang memegangi badik-badik itu pun kemudian berpelukkan.
Adegan ditutup dengan dihunuskannya badik titpan karaeng Tiro oleh Limpo ke pahanya sendiri. Adegan itu cukup menegaskan konsistensi seorang Limpo dalam menjalankan adat sebagaimana ayah angkatnya karena ia percaya bahwa badik yang telah terhunus tak bisa masuk kembali ke sarungnya sebelum ada darah yang melumurinya. Maka, setelah badik itu terhunus ke pahanya sehingga membuat badik itu berdarah barulah ia memasukkan kembali badik itu ke sarungnya dihadapan foto karaeng Tiro.
Aso diperintah oleh ayahnya untuk menemukan Tenri demi menyelamatkan harga diri keluarga. Dalam menjalankan tugsnya mencari dan membawa pulang kembali Tenri ke rumah, sang Tetta menitipkan sebuah Badik padanya. Badik merupakan senjata tradisional Bugis, yang menurut adat yang berlaku badik yang telah terhunus pantang kembali disarungi sebelum terlumuri darah. Artinya, jika badik sudah bicara maka pertumpahan darah pun tak pelak untuk dihindari. Sebenarnya ia tidak ingin menyimpan badik itu karena pada dasaranya ia merasa semuanya bisa diselesaikan tanpa kekerasan.
Namun, keteguhan hati Tettanya dalam menjunjung tinggi adat membuatnya terpaksa mengalah dan akhirnya menerima juga badik tsb. Ditambah lagi perkataan Daeng Limpo (Ilham Anwar), anak angkat karaeng Tiro yang diminta menemani Aso mencari Tenri. Limpo yang merasa berhutang budi pada keluarga Aso begitu menggebu dalam pencarian Tenri. Sikap keras dan emosionalnya bahkan hampir menimbulkan perpecahan baru dengan keluarga Firman yang memang sudah lama tidak akur, yang kemudian melatarbelakangi tidak turunnya restu pada Tenri-Firman. Ia menyesalkan sikap Aso yang hanya menyimpan saja Badik yang seharusnya dihunuskan pada Firman ataupun keluarganya yang dianggap merendahkan martabat keluarga. Beruntung, Aso bukan tipikal emosionaldan lebih bisa menahan diri sehingga tak sampai terjadi pertumpahan darah saat itu. Namun, sejak kejadian itu ia mulai befikir untuk menggunakan badik itu.
Aso yang masih belum mengerti ada dendam sebenarnya di masa lalu antar ayahnya dan ayah Firman akhirnya mulai paham mengapa ayahnya begitu menentang Tenri untuk berhubungan serius dengan Firman, padahal dulu ketika ereka masih bersahabat semuanya baik-baik saja. Dari amma nya (baca: ibu) ia tahu bahwa sebenarnya ayahnya tak ingin memupuk dendam, buktinya ia tak pernah mempermasalahkan persahabatan dirinya dan Firman. Namun rupanya keseriusan hubungan Tenri-Firman yang hingga mengarah pada hubungan kekeluargaan menguak luka dan dendam yang lalu antara ayahnya dan ayah Firman yang juga sahabat dipicu masalah bisnis dan kepercayaan. Maka saat hubungan Tenri-Firman mengarah kearah yang serius (baca: menikah), ia pun serta merta menolak memberikan restu hingga terjadilah silariang.
Aso, kemudian memutuskan untuk fokus mencari Tenri di Makassar sambil meneruskan proses penyelesaian skripsinya yang sempat tertunda. Disana ia sempat “ditodong’ sang kekasih juga sahabat yang mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, Aso tak begitu mengacuhkannya karena fokusnya kini hanya satu: menemukan Tenri.
Sementara itu, di tempat lain, Tenri yang ternyata sudah menikah dan sedang mengandung terus dirungrung kegelisahan bersama Firmn suaminya. Ia beberapa kali mengajak Tenri pulang ke kampung halamannya untuk eminta maaf namun ia enggan karena takut malah akan menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan. Terlebih setelah ia mengetahui bahwa Aso, kakak yang diharapkan bisa berpihak padanya tak bisa lagi diaharapkan, terlebih setelah ia mendapat informasi bahwa Aso dibekali dengan sebuah badik. Keputusasaan menimpa keluarga kecilnya. Tenri bukannya tidak rindu orang tua dan betah dicap anak durhaka, namun ia pun tak menginginkan hal yang buruk menimpa suaminya. Mereka pun terus bermain kucing-kucingan dengan Aso selama di Makassar. Sampai suatu hari Tenri melahirkan dan akhirnya diketahuilah keberadaannya oleh Daeng Limpo.
Di hari Tenri berniat kembali ke Bira untuk minta maaf dengan membawa serta bayi merekayang baru lahir itu, ayahnya dipanggil menghadap sang kuasa. Kematian ayahnya membuat Aso begitu terpukul sampai-sampai saat Tenri beserta suami dan anaknya tiba di Bira, ia telah bersiap menghujamkan badik yang terhunus. Firman yang juga memegang badik sama-sama menghunuskan badiknya. Melihat itu, Tenri maju ke tengah diantara kakak dan suaminya. Daeng Limpo meminta Aso untuk segera mengakhiri semuanya saat itu juga dengan badikyang ada ditangannya. Beruntung sebelum semuanya menjadi lebih buruk Karaeng Caya, Amma mereka menengahi. Ia dengan berurai air mata meminta agar semua permasalahan diselesaikan dengan jalan damai, tanpa harus ada badik yang terhunus, tanpa harus ada pertumpahan darah.
Setelah menjadi “mediator” ia pun bersimpu di hadapan suaminya memohon ampun atas pembangkangannya untuk pertama kali terhadap suaminya. Ia bukannya tak paham adat dan tak patuh suami, hanya saja ia tak sanggup harus menguburkan suami berikut anak dan menantunya sekaligus. Bagaimanapun katanya, kesalahan Tenri yang begitu besar bukan tak mungkin karena adaandil mereka juga. Semuayag terlibat dalam pertikaian itu pun larut dalam keharuan akan tindakan ‘pahlawan’ karaeng Caya yang mendamaikan pihak yang bertikai dengan kelembutannya. Kedua badik pun pada akhirnya hanya terhunus pada kayu-kayu yang ada disana. Dan kedua lelaki yang memegangi badik-badik itu pun kemudian berpelukkan.
Adegan ditutup dengan dihunuskannya badik titpan karaeng Tiro oleh Limpo ke pahanya sendiri. Adegan itu cukup menegaskan konsistensi seorang Limpo dalam menjalankan adat sebagaimana ayah angkatnya karena ia percaya bahwa badik yang telah terhunus tak bisa masuk kembali ke sarungnya sebelum ada darah yang melumurinya. Maka, setelah badik itu terhunus ke pahanya sehingga membuat badik itu berdarah barulah ia memasukkan kembali badik itu ke sarungnya dihadapan foto karaeng Tiro.
*****
#My Own Review#
Begitulah synopsis S20WI episode minggu ini. Secara keseluruhan sinema ini amat layak untuk disaksikan. Selain jalan ceritanya yang bagus, kualitas pemain dan settingnya pun tak kalah ciamik. Penulis sih tidak begitu mengenal logat Makassar, jadi yah bagi penulis tidak terlalu masalah. Oh,ya, yang juga menarik adalah pemilihan Bugis sebagai latar budaya dan tentu saja setting. Dari belasan judul S20WI sebelumnya, rata-rata latar budaya dan setting yang diambil adalah Jawajadi cukup mengenal adat dan budaya Bugis. Aksi Reza seperti biasa selalu memikat bagi penulis (ini juga nih sebenernya yang jadi alesan kuat penulis pengen BGT nonton nih sinema), pun Widyawati dengan kelembutannya. Aspar Paturusi, tampil meyakinkan dengan ketegasan dan keteuhannya dalam memegang adat, pokonya beda sekalai saat ia berperan sebagai ayah Furqon di KCB yang cenderung kalem dan penyabar. Tika Bravani, yah gitu-gitu aja sih sebenernya, penulis malah masih terngiang sama aksinya di ALNI. Naah, yang juga cukup menarik perhatian penulis ini nih yang jadi Firman, Guntara Hidayat, wajah imu-imutnya bikin gemes! hehe. Meskipun nothing special with his acting bagi penulis, tapi wajah imutnya cukuplah menutupi aktingnya yang so-so aja ituh . Yang jadi Limpo juga cukup konsisten dengan sikap keras dan emosionalnya. Tapi yah memang semua toh tak ada yang sempurna bukan, pun dengan sinema ini. Ada lah beberapa detail yang terlewatkan atau cenderung diabaikan. Okelah cerita Aso dan sang kekasih tak masalah untuk tidak dieksplore lebih jauh, tapi bukan itu, justru hal kecil, semisal bagaimana mungkin bayi yang paling banter hanya baru berusia 2 hari, bisa digendong seenak hati (gak takut pootong apa tuh bebi). Yah tapi terlepas dari berbagi kekurangan, overall, sinema yang satu ini layak diapresiasi. Setting yang indah tanpa didukung akting pemain yang ciamik dan tentu saja cerita yang berkualitas akan menjadikurang berarti. Maka, yuukz kita dukung gerakan produksi sinema berkualitas, bukan melulu kuantitas ang diutamakan .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar