Kisruh Penyelenggaraan UN SMA Sederajat 2013
Beberapa
pekan ke belakang berita seputar kekisruhan penyelenggaraan Ujian Nasional (UN)
tengah menjadi buah bibir. Kisruh
mengenai penyelenggaraan UN sebenarnya bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, banyak ditemukan sejumlah pelanggaran
dan kecurangan yang pada akhirnya menciderai pelaksanaan UN itu sendiri. Tahun ini kisruh serupa kembali terjadi,
namun jauh lebih parah. Jika tahun-tahun
sebelumnya tidak menyentuh teknis, maka tahun ini justru kendala teknis yang menjadi
sumber kekisruhan. Siapa yang akan sepakat
bahwa tidak-ada-masalah jika UN di sejumlah daerah harus diundurkan sampai tiga
hari karena perangkat ujian (lembar soal & jawaban) masih tertahan di
percetakan?
Hanya
orang yang masa bodoh yang akan menganggapnya sebagai suatu yang bukan
masalah. Memang benar mungkin ini
adalah kesalahan teknis. Tetapi kan
seharusnya hal semacam ini bisa terantisipasi dari awal. Kan, sejak jauh-jauh hari waktu pelaksanaan
UN sudah ditetapkan, jadi seharusnya pihak dinas pendidikan dan perusahaan
percetakan terkait pun sudah harus bisa memperhitungkan dan menyesuaikan waktu
penyelesaian percetakan perangkat UN tersebut.
Bila semuanya telah dilaksanakan sesuai prosedur, rasanya kejadian yang
secara terang-terangan mencoreng penyelenggaraan UN macam begini tidak
semestinya terjadi. Seolah belum cukup
sampai di sana, sejumlah daerah yang telah menerima perangkat UN ini pun tak
luput dari masalah. Kali ini persoalannya adalah pada kulitas kertas perangkat
UN yang dinilai terlalu tipis sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi banyak
peserta UN kalau-kalau LJK-nya mudah sobek dan rusak.
Hal
tersebut tentu saja menimbulkan sejumlah pertanyaan di benak publik mengenai
keseriusan dari pihak DEPDIKBUD, terutama MENDIKBUD yang dalam hal ini menjadi
penanggung jawab utama dalam penyelenggaraan UN. Selain itu muncul pula tuntutan transparansi
anggaran UN sebagai buntut dari molornya
waktu penyelesaian percetakan perangkat UN.
Biaya yang tidak sedikit itu pasti.
Tapi seberapa minimalisnya dana yang dialokasikan sampai-sampai molor
dan yang ada pun kualitas kertasnya mengecewakan, itu yang membuat penasaran
banyak pihak. Pada akhirnya tidak
sedikit pihak yang beranggaapan ada indikasi penggelapan dana operasional UN
alias korupsi di tubuh penyelanggara UN.
Lebih jauh banyak yang meyakini bahwa indikasi tersebut membuktikan
telah terjadi politisasi di tubuh pendidikan negeri ini.
Oleh
karenanya, kisruh UN ini bisa jadi satu indikator bahwa ada kecacatan dalam
penyelanggaraan UN di negeri ini.
Kecacatan tersebut seperti menunjukkan ketidaksiapan dari pihak
penyelenggara. Lebih jauh lagi, keduanya
seolah menegaskan bahwa sudah sepatutnya UN ini dihapuskan saja dari sistem
pendidikan kita karena toh lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Menguji siswa memang harus, akan tetapi tidak
usah dipaksakan dengan UN. Kecuali jika
sistem dan pelaku pendidikannya sudah benar-benar terorganisir dengan baik. Kan siswa dalam hal ini hanya obyek dari
sistem pendidikan yang diatur, disahkan, dan diberlakukan oleh subyek
pendidikan yang terdiri dari aparat pendidikan dari mulai guru hingga menteri
pendidikan.
Quantity-oriented:
Sebuah Disorientasi
Tentang
nilai dan nilai. Itulah yang penulis
rasakan dari pendidikan kita hari ini.
Bukan nilai secara abstrak, tapi nilai konkrit yang bersimbolkan
angka. Bisa dalam skala 1-10 atau
10-100. Tergantung. Dan karena standarnya adalah angka, maka orientasi
belajar para siswa pun lebih kepada bagaimana meraih angka sebesar-besarnya,
bukan pemahaman yang sedalam-dalamnya dan pengetahuan yang seluas-luasnya. Akibatnya? Tidak sedikit yang menghalalkan
segala cara (baca: mencontek) demi meraih nilai tinggi, dengan mengadaikan
pemahamannya terhadap materi yang bersangkutan.
Apalagi,
belakangan ini, orientasi nilai ini semakin ‘didukung’ oleh pemberlakuan sistem
Ketentuan Ketuntasan Minimun (KKM). KKM
ini adalah batas nilai minimum yang mesti dicapai siswa untuk bisa dinyatakan
lulus dalam satu mata pelajaran. Sebagai
contoh jika seorang siswa mendapat nilai 65 untuk mata pelajaran Matematika
yang KKM nya 66, maka ia belum tuntas dalam mata pelajaran tersebut. Dan siswa bersangkutan wajib mengikuti
remedial hingga nilainya mencapai KKM demi menuntaskan tugas belajarnya di mata
pelajaran tersebut.
Karuan
saja siswa yang tidak ingin repot dua kali akan lebih memilih jalan pintas demi
mencapai KKM di kali pertama. Caranya? Itu
tadi berbagai praktek kecurangan seperti mencontek menjadi jurus yang paling
jitu dan diminati. Parahnya lagi, setiap
tahunnya, KKM ini terus meningkat.
Bahkan kini sudah banyak sekolah yang menetapkan KKM nya mendekati angka
80. Angka yang cukup fantastis bukan? Tidak
heran bila praktek mencontek pun pada akhirnya semakin kemari semakin marak dan
malah jadi terkesan lumrah. Kan hari ini
meraih nilai tinggi sudah bukan lagi masalah gengsi, melainkan tuntutan. Dan mencotek pun tidak sekedar didorong
kemauan, tetapi tuntutan kebutuhan.
Guru
bukannya tidak tahu, tetapi berlaga tak tahu alias memaklumi. Bagaimanapun tuntutan standar nilai yang
tinggi mau tidak mau memaksa pendidik berada dalam situasi yang sulit. Di satu sisi ingin menegakkan idealisme
sebagai pendidik berdedikasi yang senantiasa menanamkan kejujuran di kalangan
siswanya. Sementara di sisi lain
dibenturkan dengan ego sebagai profesional yang bisa dinilai memiliki kecacatan
bila siswanya tidak mampu mencapai KKM. Tentu wajar jika para guru tersebut
merasa terjebak dalam dilema semacam begitu.
Bagaimanpun guru adalah manusia dengan segala keterbatasan dan
batasannya.
Baik siswa
ataupun guru, bagaimanapun, tidak bisa sepenuhnya disalahkan atas segala
kecurangan dan ‘kemasabodohan’nya.
Pendidikan yang sejatinya menekankan pada proses menyeluruh untuk
membangun kecerdasan intelektual sekaligus mental spiritual para peserta
didiknya, hari ini saat rezim nilai sudah memegang Kendali, bak dikebiri. Kesuksesan capaian belajar seorang siswa
hanya diukur dari satu aspek saja, yakni intelektual. Itu pun dengan proses yang entah bagaimana. Sisi mental dan spiritual-nya bukan nya
terbangun justru semakin tenggelam. Ya
jika kesadaran mental spiritual-nya terbangun sedari awal, tentu berbagai
praktek kecurangan akan bisa diminimalisir, termasuk dalam penyelenggaraan
Ujian Nasional yang lagi-lagi bertameng nilai.
UN: When
Quantity Doesn’t Meet Quality
Ujian
Nasional ini bagi penulis sama seperti KKM yang menopang orientasi nilai itu
tadi. Meskipun judulnya menguji hasil
belajar siswa selama tiga tahun, tetapi sama seperti penerapan KKM, maka dalam
UN diberlakukan sistem kelulusan. Bila
mencapai standar maka lulus, bila tidak masih bisa asal…atau bahkan tidak
lulus. Masalahnya, juga sama seperti
KKM, setiap tahun standar nilainya mengalami peningkatan. Tujuannya? Konon demi perbaikan kualitas
peserta didik. Apa iya? Sama sekali
tidak sepakat. Santer terdengar bila
peningkatan KKM ini demi mengejar standar yang diterapkan oleh negeri
tetangga. Kan kita ini panasan.
Peningkatan
mutu standar kelulusan UN itu sayangnya tidak dibarengi dengan upaya
peningkatan mutu pendidikan. Hasilnya?
Ada ketimpangan yang ditambal paksa dengan itu tadi, berbagai praktek
kecurangan. Ironisnya, bukan hanya siswa
yang terlibat, tapi hampir meliputi seluruh pihak yang berkutat dalam dunia
pendidikan termasuk para stake holder.
Bila kekhawatiran siswa berpangkal pada rasa minder jika sampai tidak
lulus UN; bagi para stake holder perihal kelulusan itu menyangkut ranah
gengsi. Bukan apa-apa besar tinggi-nya
nilai siswa berpengaruh pada tingkat kelulusan siswa di satu sekolah bahkan
hingga satu provinsi. Inilah masalahnya.
Jika
saja UN ini benar untuk menguji tanpa
menentukan lulus tidaknya tentu pelanggaran dan kecurangan UN yang tersistem
bisa diberantas. Tidak akan ada kasus
‘pengeroyokan’ orang tua siswa yang melaporkan kecurangan UN oleh satu sekolah. Tapi ya kembali karena pendidikan kita hari
ini lebih berorientasi pada nilai berupa angka, maka kuantitas itu jauh lebih
penting dibanding kualitas. Adalah suatu
kebanggan bila tingkat pencapaian satu sekolah hingga propinsi mendekati atau
bahkan mecapai 100%. Makin sempurna
dengan nilai rata-rata yang mencapai angka 80-90. Luar biasa ‘cerdas’ bukan?
Parahnya,
gengsi kedaerahan atau kesekolahan cenderung mengamini tren nilai sangat tinggi
tersebut. Adalah sebuah aib bila angka
kelulusan di satu sekolah hingga provinsi kurang dari 90%. Sebaliknya, suatu kebangaan bagi sekolah
hingga provinsi dengan kelulusan mendekati bahkan encapai 100%. Ada semacam reward bernama gengsi yang
menyertainya. Sehingga semua berlomba meminimalisir angka ketidaklulusan yang
salah satu langkah strategisnya yakni dengan me-mark up nilai siswa melalui
salah satu nya membiarkan bahkan ikut terlibat dalam praktik kecurangan yang
sistematis.
UN yang
pada awalnya ingin mengukur sejauh mana kualitas belajar siswa selama tiga
tahun justru berujung pada praktek mark
up nilai hasil 3 tahun belajar hanya dalam tempo 3 hari saja. Indikasi quality-oriented:
soal berkode-kode lengkap dengan barcode-nya,
niatnya supaya siswa fokus serta meminimalisir tindak kecurangan siswa. Nyatanya? Siswa resah, gerasak gerusuk,
merancang berjuta strategi menyamakan barcode,
boro-boro tenang dan fokus. Kan
lucu, ibaratnya ingin hati menggapai gunung apa daya tangan tak sampai. Buat ngakalin? Naik helikopter alias melalui
jalan pintas.
Makin lucu
semua ketidakkondusifan atmosfer UN tersebut dirancang oleh mereka-mereka
sendiri. Peningkatan mutu nilai standar
kelulusan yang naik dari tahun ke tahun.
Varian soal yang dibuat semakin banyak dan variatif. Aturan main kelulusan yang dirancang dan ditentukan
sedemikian rupa. Malah sekarang UN ini
konon dijadikan salah satu nilai yang diakumulasikan untuk masuk
universitas. Ah..semakin diberi peluang
saja berbagai tindak kecurangan ini untuk merajalela. Jangan heran bila ke depan, mahasiswa di perguruan
tinggi negeri bisa banyak secara kuantitas namun minim kualitas. Toh, terlalu muluk bila kita berbicara
kualitas di tengan gencarnya ekspansi kuantitas di tengah pendidikan kita. Jika mindset-nya tidak dirubah, maka penulis
harus setuju dengan pernyataan seorang kawan bahwa pendidikan hari ini bukan
lagi memanusiakan manusia, melainkan merobotkan manusia. Dan nilai, angka, jumlah lah sebagai
pengendalinya.
Intinya,
ketika kuantitas tidak berbanding lurus dengan kualitas siap-siap menghadapi
degradasi peserta didik kita di masa depan.
Artinya bersiap siagalah menyambut generasi yang premature karena hanya
berorientasi hasil tanpa memperhatikan proses yang sepatutnya. Bagi kalian insan pendidikan tanah air, baik
pelaku atau paling tidak yang merasa peduli, yuk sama-sama kawal pendidikan
hari ini supaya kembali pada orientasi awal yang mengutamakan kualitas peserta
didik yang dibarengi dengan kuantitas nilai yang mumpuni, bukan
sebaliknya.
***
Terakhir
berikut sepenggal surat terbuka untuk mendikbud.
Kepada
MENDIKBUD yth, tolong kembalikan pendidikan di negeri ini pada hakikatnya. Biarkan para siswa terbiasa dengan proses
bukan semata hasil. Jangan tega-tega nya
menggadaikan kualitas demi kuantitas yang besar dan banyak. Apalah arti kuantitas tanpa diimbangi
kualitas yang mumpuni? Relakah Anda
mendapati tingginya angka pengangguran?
Relakah Anda menghasilkan generasi yang prematur secara pemahaman?
2 komentar:
ternyata bunda suka juga blogging yaaa,... mantep artikelnya cuman pegel niee kepanjangan bacanya,...
ternyata suka blogingg juga,.. mantap niee artikelnya nyampe bolorr gini mata, kepanjangan bacannya!!
Posting Komentar