tabloid Bintang Indonesia dok |
Hari
itu adalah kali ketiga (kalau ingatan penulis belum seterganggu kata hasil cek
pemeriksaan kesehatan beberapa hari lalu) penulis melaksanakan aktivitas
marathon film. Yups, betul sekali,
sesuai namanya marathon film itu ya penulis nonton dua film berturut-turut di
hari yang sama. Capek? Paling matanya
aja ya karena harus fokus ke layar besar selama paling tidak 3 jam (anggap aja
lagi nonton film Bollywood). Pertama
kali maraton film itu sekitar 2005 (entah sebelum, pas, atau sesudahnya *lupa*)
dan yang dimaratonkan adalah film “Doraemon the Movie” dilanjut “Apa Artinya
Cinta”. Kedua kalinya saat
berturut-turut menyaksikan “Transformer 2” dan “Rumah Dara . Dan yang terbaru sekitar sepekan yang lalu
saat penulis akhirnya memutuskan untuk memarantonkan dua film-nya bang Vino GB
yang entah apa pun motifnya tayang berbarengan, “Madre” dan “Tampan Tailor”. Penulis sih sudah tidak akan lagi membahas
dua marathon film sebelumnya, hanya akan fokus pada marathon film yang
terakhir. Kenapa? Ya karena yang lalu
biarlah berlalu (baca: udah pada lupa), mari fokus pada yang terakhir yang jadi
asyik dibahas karena kedua film yang dimaratonkan seperti yang sudah diungkap
di awal sama-sama dibintangi oleh bang Vino GB, salah satu aktor dalam negeri
favorit penulis (apalagi pas amasih lajang #loh). Ya, berhubung dibintangi oleh pemeran yang
sama, otomatis perbandingan tak akan terelakkan. Tapi jangan khawatir penulis sih bakal
berusaha memaparkan secara terpisah dahulu sebelum mempertemukan mereka kembali
di akhir *hyaa..sami sareng*. So please
enjoy this!
#MADRE#
Cantik & Ganteng, tapi sayang kurang bisa dinikmati kebersamaanya ^^ |
Agak
sedikit berbeda tapi masih berhubungan dari dan dengan “Perahu Kertas” yang
penulis baca setelah mendengar kabar produksi film-nya, untuk ‘Madre’ yang
sama-sama ditulis mbak Dewi Lestari ini penulis sudah baca bahkan sebelum hingar
bingar produksi film-nya menggaung di kolom berita. Tapi, tak bisa dipungkiri, bahwa awal
perkenalan penulis dengan novelet ini pun tak terlepas dari perkenalan penulis
dengan “Perahu Kertas”. Syukurnya
adalah, penulis tidak cukup terlambat untuk mengenali dan lalu melahap kisah
‘Madre’ versi tulisannya. Dan ketika muncul kabar tentang produksi film dari
novel yang disebut-sebut best of, karuan saja rasa penasaran penulis menanjak
hingga level BANGET. Apalagi setelah
terungkap bahwa yang cast-ya bang
Vino GB dan teteh Laura Basuki giliran antuasiasme yang menguat hingga level
BANGET. Belum lagi lokasi syuting-nya
yang ternyata tidak jauh dari lokasi tempat penulis sempat intens beraktivitas
tahun lalu, kan makin membuat pengen segera menikmati film-nya—yang ternyata
tayang Maret ini, yang berarti berbulan-bulan lamanya sejak rasa penasaran dan
antusias ini menguat. POKOKNYA ALL ABOUT MADRE MADE ME SO SO SO CURIOUS!
Dan
hasilnya? Jreng..jreng..jreng…My
curiosity, to be honest, turn into a disappointment. Why?
Let you find after the synopsis. Well, seperti bukunya, “Madre” rasa
audio-visual ini berpusat pada kisah Tansen (Vino GB), seorang ahli waris dari
‘Tan de Baker’, sebuah toko roti klasik milik mendiang kakeknya yang sudah
tidak lagi beroperasi selama belasan tahun.
Berkat setoples biang roti bernama ‘madre’ yang dijaga dengan sangat
telatennya oleh Pak Hadi (Didi Petet), rekan sekaligus sahabat sang kakek, ia
pun bisa terhubung dengan Meilan Tanuwidjaja (Laura Basuki), pemilik toko roti
modern “Fairy Bread”, yang sudah sejak lama mengagumi bahkan terobsesi dengan
madre.
Perkenalannya
dengan madre memberi banyak warna baru dalam hidup Tansen yang sebelumnya hanya
terfokus pada laut, pantai, dan ombak.
Ya, sebelum bertemu madre ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di
pulau Dewata, bersahabat dengan ombak dan kedamaian (baca: rutinitas
monoton). Tapi, madre membuat hidupnya
berubah 180°. Mengenal pak Hadi dkk, Mei, membuatnya
tertahan di Bandung dan malah menjadi pembuat roti. Sempat hendak menjual harta terbesarnyaa.
“Madre”, pada Mei, toh akhirnya ia memiliki ikatan mendalam dengan ‘Madre’ dan
apa-apa yang berkaitan dengan ‘Madre’ yang belakangan diketahuinya berarti ibu
dan bahkan dijaganya bak ibu sungguhan.
Selebihnya?
ya sebagaimana yang terkisah di bukunya.
Hanya saja ada sejumlah tokoh tambahan semisal James (Framly), yang calon
suami Mei di versi film-nya ini.
Kehadiran tokoh baru sih sepengrasaan penulis yang penikmat film ini tidaak
terlalu memberi efek apa gimanaaa gitu.
Kan, durasi munculnya pun hanya sekian menit saja. Jadi, ada tau tidak ada pun rasanya tidak
terlalu berpengaruh. Eh ada deng sedikit, soalnya versi bukunya mah sih
konfliknya cenderung tidak meledak-ledak, ya jadi kurang unsur dramatisasi nya
kali kalau itu tokoh James gak muncul. Mungkin.
Secara
keseluruhan jujur saja penulis rada kecewa dengan hasil akhir film ini. Jalan ceritanya sebenarnya tidak banyak yang
berbeda dari bukunya, adapun beberapa yang berbeda ya hanya
penyesuaian-penyesuaian saja dengan versi audio-visual. Chemistry
Vino-Laura bagi penulis pribadi kurang terasa hangat kecuali durasi filmnya diperpanjang
30 menit mungkin ya. Entah sih, mungkin
karena adegan romantis-nya nanggung. Lagi-lagi mungkin. Tapi iya ah, penulis rada bingung sama fokus
ceritanya. Mau tentang jatuh bangun
usaha roti, kurang kerasa maksimal. Mau
mengumbar romantisme, kok kayak ditahan-tahan.
Jadi? Penulis sih kurang dibikin sengiler roti buatan Tansen, seterkagum
sama badan jenjangnya Laura Basuki, dan sebetah mendengarkan “Jodoh pasti
Bertemu”-nya Afgan sama film-nya sendiri.
Meski demikian, penulis sih tetap merekomendasikan film ini.
~~~
#TAMPAN
TAILOR#
Ini
film rada ajaib sih kalau bagi penulis.
kenapa? Soalnya kan kalau ‘Madre’ penulis sudah tau dan mengantisipasi
sejak berbulan-bulan sebelumnya. Eh film
ini tiba-tiba saja link trailer-nya di RT sama akun twitter-nya bang Vino. Penasaran dong, ya ikutan ngeklik, dan
ya-ampun-film-apa-pula-kok-ada-bang Vino-nya itu yang muncul di benak
penulis. Kece juga sih trailernya. Ada anak kecil yang dicurigai sebagai
anak-nya bang Vino, dan mbak Marsha Timothy bisa jadi berperan sebagai istrinya
atau paling tidak bakal berpasangan dengan bang Vino-nya. Dan kalau ‘Madre’ penulis yakin premiere-nya
di tanggal 28, nah ‘Tampan Tailor’ ini penulis yakin gak yakin. Wajar sih, kan ‘Madre’ promo-nya WOW BGT, nah
‘Tampan Tailor’ cenderung seadanya.
Setelah menyaksikan via youtube tempo hari, setelahnya sekali dua kali
penulis saksikan trailer-nya di sela-sela komersial break di televisi swasta
nasional. Selebihnya? Ya paling dari
RT-an nya bang Vino di twitter. That’s all. Untung yang mainnya bang Vino, jadi
tanpa promo jor-joran pun penulis tetap ingat sih dan memasukan film-nya ke
dalam list a-must-see-movie.
Film
ini ternyata benar adanya berfokus pada hubungan ayah-anak. Topan (Vino GB) dan Bintang (Jefan Nathanio)
terpaksa jadi tuna wisma dadakan setelah gerai ‘Tampan Tailor’ miliknya disita
pihak bank. Ya, Topan ini dulunya
berprofesi sebagai penjahit dan bersama almarhumah istrinya mengembangkan butik
jahit ‘Tampan Tailor’ yang merupakan gabungan dari nama Tami, sang istri, dan
Topan sendiri. Beruntung ia masih
memiliki Asep (Ringgo Darman), satu-satunya kerabat yang ia miliki di
Jakarta. Menumpanglah Topan dan Bintang
di rumah petak Darman yang sudah sesak oleh istri dan keempat anaknya. Tak kunjung mendapat pekerjaan memaksa Topan
mengikuti jejak Darman menjadi calo kereta api.
Apalagi Bintang, anaknya, sudah tak diperbolehkan lagi masuk sekolah
setelah menunggak biaya berbulan-bulan.
Pada
Bintang, Topan berkilah kalau pekerjaannya itu semacam intel yang kece badai di
matanya dan bahwa ia tidak dulu sekolah karena harus libur dulu. Bintang sendiri pada akhirnya banyak
menghabiskan waktu melihat ikan di warung Prita (Marsha Timothy) pemilik kios
Fotocopy sekaligus tempat penitipan anak.
Prita ini bak dewi penolong bagi pasangan ayah-anak ini. Ia yang mengamankan Bintang saat sang ayah
diinapkan di kantor polisi, juga iya yang memperkenalkan Topan pada salah satu
manajer di perusahaan pembuat setelan jas.
Tak heran jika pada akhirnya Topan pun jatuh hati pada gadis
berpembawaan jutek ini.
Dan
cerita pun bergulir pada perjuangan Topan dalam pekerjaannya. Pasang surut hubungannya dengan Prita. Dan, tentu saja, keeratan ikatan ayah-anak
antara Topan dan Bintang yang cukup mendominasi cerita. Overall,
kisahnya menyentuh walaupun gak sampai bikin penulis meneteskan air mata. Chemistry
Vino sama yang jadi anaknya terjalin sangat baik. Kisah asmara Topan dengan Prita pun sungguh
diberi porsi yang wajar, tidak berlebihan.
Ya kalau chemistry Vino-Marsha
nya sendiri sih gausah dibahas, udah suami istri beneran juga kan ya gimana gak
dapet. Penampilan Ringgo Darman sebagai Asep
dengan keluarga ajaib-nya pun cukup memberi warna tersendiri. Secara keseluruhan film ini berhasil
menyajikan satu tontonan yang seenak dan serapi melihat jas jahitan Topan. Satu-satunya yang patut disayangkan adalah
promo film-nya yang terbilang minim.
Untung cast-nya menjual, jadi
ya kalaupun penontonnya sepi gak pake level BANGET.
*****
Madre vs Tampan Tailor: When
Promotion is the Main Cast
Oke.
Berhubung dua-duanya film bang Vino, jadi sah-sah aja dong ya kalau penulis mau
ngebandingin? Sah? Sah! *ala ijab Kabul*.
Nih, kalau dari segi tema cerita, sebenarnya “Madre” lebih potensial sih
untuk dikembangkan. Tema kuliner-nya
cukup fresh lah untuk ukuran film
Indonesia. Kalau tema yang diangkat di
‘Tampan Tailor’ cenderung lebih lumrah.
Fokus hubungan ayah-anak kan udah sempat dimunculkan di beberapa film
Indonesia semisal ‘King’ dan banyak lainnya.
Nah, tapi kalau dari segi penceritaannya penulis lebih suka dan lebih engaged sama ‘Tampan Tailor’. ‘Madre’ bagi penulis kurang ada
letupan-letupan yang bisa bikin ceritanya lebih menggigit dan lebih lezat,
malah cenderung datar karena serba nagging *bagi penulis lho ya*. Dari segi chemistry-nya, gak ada yang salah
sih dengan duet Vino-Laura, hanya saja jalan cerita yang kurang berpihak pada
intensitas dan porsi kebersamaan keduanya tidak membuat chemistry mereka
terjalin dengan cetar membahana dan kurang terpampang nyata. Sayang.
Sementara chemistry Vino-anaknya sangat terbangun erat dengan porsi
kebersamaan yang intens di hampir sepanjang film. Apalagi? Hmmh..dari ‘Madre’ penulis rada
terganggu dengan rambut gimbalnya Tansen, kecentilan kurang wajar-nya bu Qory,
figuran yang nampak sangat kefiguranannya di sekitar Tan de Baker Bakery,
ketidakjelasan penyelesaian akhir hubungan Mei-James, kenanggungan porsi
keintiman Tansen-Mei. Tapi sangat suka
dengan soundtrack “Jodoh Pasti Bertemu” nya Afgan yang kece, Laura Basuki nya yang shining,
dan…udah deh kayaknya. Nah sedangkan di
‘Tampan Tailor’ penulis cukup terganggu dengan apa ya…rasanya hampir tidak ada
kecuali keheranan pas Prita tiba-tiba muncul siang bolong pesen kopi di kios
sekitar stasiun dengan menyisakan pertanyaan lah-itu-kiosnya-siapa-yang-jaga-? Emang-kiosnya-deket-ke-stasiun-ya-?,
promonya yang minim dan emang kurang niat sama soundtrack-nya yang juga memakai
lagu yang sudah available, bukan
khusus diciptakan untuk kebutuhan film. Jadilah soundtrack yang apa adanya, sekalipun sah-sah saja. Kesimpulannya
adalah bahwa promo jor-joran tidak jadi jaminan bahwa filmnya seWAH
promonya. Dan jangan sampai film bDarman
rada terlewatkan justru karena promo yang minim dan kurang niat. Dua-duanya sungguh disayangkan. Suka atau tidak pada akhirnya sangat
bergantung pada selera masing-masing.
Saya, apa yang saya ungkapkan dan tuangkan di sini, ya itulah selera
saya, berdasarkan apa yang saya rasakan selama menikmati kedua film tersebut
secara marathon. Anda ya silakan dengan selera Anda. Yang
satu selera ya terima kasih, yang beda selera ya tak masalah. Yang masih bingung dan jadi penasaran ya
buruan aja gih ke bioskop terdekat sebelum pada turun layar! :)
Nih spesial untuk kalian :))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar