Miris
gak sih ketika hari ini (ya mungkin warisan turun temurun dari dulu juga)
siswa-siswi kita udah gak bisa diem tuh kepalanya setiap menjalani apa yang
dilabeli ujian. Entah ujian harian yang
paling tidak sebulan sekali ataupun ujian semseteran, tengah maupun akhir, yang
Cuma 2x/6 bulan. Kayaknya begitu
didegungkan istilah tersebut otak mereka langsung terkoneksi dengan program “BAGAIMANA
CARA SUPAYA WAJIB DAPET NILAI BAGUS” yang bersinergi dengan program “STRATEGI
SEARCHING JAWABAN DI LUAR OTAK SENDIRI”.
Dan kedua program ini melahirkan satu style yang dinamai “UJIAN STYLE”. Layaknya Gangnam styl-nya PSY ataupun shuffle
dance-nya anak gaul barat sana yang tiba-tiba mengguncang dengan ciri khasnya, “Ujian
Style” pun marak di waktu ujian. Adapun
ciri khasnya ialah gerakan kepala dan lirikan mata serta tubuh bagian atas,
tidak seperti Gangnam atau Shufle yang cenderung mengaktifkan tubuh bagian
bawah. Dan, biasanya para penganut “Ujian
Style” ini ialah mereka yang kadar PD-nya below poverty (gak edan gimana udah
poverty, below pula). Tapi percaya atau
tidak, ya beginilah kondisi siswa-siswi negeri kita hari ini. Lebih miris lagi ialah fakta bahwa kadar
ketakutan dan malu mereka sudah banyak berkurang yang merupakan indikasi nyata
degradasi moral yang terjadi pada generasi muda kita hari ini. Mungkin aktivitas mencari jawaban diluar otak
sendiri atau mencotek ini dianggap hal sederhana. Tapi, disadari atau tidak hal sesederhana ini
jika dicerna secara mendalam akibatnya tidaklah sesederhana prakteknya. Praktek menyalin jawaban dari luar otak
sendiri ini bila dipelihara bisa menjadi suatu kebiasaan yang mendarah
daging. Okelah kalau kadarnya tidak
lebih dari mengambil jawaban orang atau dari sumber yang bukan milik
sendiri. Nah, apa gak jadi masalah besar
kalau bukan hanya jawaban, melainkan hingga uang orang lain pun kita ambil
begitu saja? Berlebihan, mungkin bagi
yang merasa, tapi itu satu fakta yang kemungkinan terjadinya besar. Bisa dikatakan jika mencontek bisa dikatakan
merupakan bentuk korupsi kecil-kecilan sejak dini. Dan, bisa jadi para pencontek ini ke depannya
bertransformasi jadi para koruptor yang licin nan licik. Sepakat? Ya terserah kalau tidak
percaya. Tapi setidaknya kita sebagai
bagian dari dunia pendidikan hari ini mesti berupaya bagaimana caranya paling
tidak meminimalisir aksi tidak sportif tersebut. tentu tidak mudah, butuh keteguhan dan
ketegaran karena kita akan melawan arus.
Apalagi jika posisi kita masih dipandang sebelah mata dengan status kita
yang belum menjadi unsur pendidik sungguhan, baru sebatas praktek. Keberanian dan kepercayaan diri sangat
diperlukan jika kita tak ingin diserang balik dengan telaknya oleh argument yang
cerdas (namun tidak pada tempatnya) para siswa-siswi oknum koruptor dini tsb. Ahh..bukan salah-salah mereka amat
sebetulnya. Sistem pendidikan kita yang
masih berorientasi pada nilai dan kuantitas tanpa kesadaran mengirinya dengan
penguatan dan pembenahan kualitas mendorong oknum-oknum koruptor cilik itu
bermunculan. Jika saja sedari awal
pembelajaran diarahkan pada penguasaan materi, penguasaan skil, tentu bisa
meminimalisir tindakan tidak terpuji ini.
Namun, ya, sekalipun sistemnya bermasalah jangan sampai kita yang ada
dalam sistem tersebt ikut tergulung arus begitu saja tanpa ada pertahanan yang
berarti. Sekali lagi kita punya
kesempatan untuk paling tidak meminimalisir praktek korupsi dini tersebut. Yuk, kalian yang punya kepedulian lebih dengan pendidikan di negeri
ini, mari berantas praktek korupsi dini di kalangan siswa-siswi kita! Mari ciptaan
lingkungan belajar yang kondusif: serius tapi menyenangkan, mari kedepankan
kualitas di atas kuantitas. Salam pencerahan, salam positivism, dan salam
anti KORUPSI!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar